Candra terus bicara dengan penuh kemarahan. Dia bahkan tidak membiarkan Vania untuk menjelaskan, hanya sibuk menghina, dan menilai Vania dari sisi pemikirannya sendiri. Mendengar kata-kata hujatan, dan hinaan dari sang suami, tentu saja Vania diam, menyadari seburuk itu dirinya di mata Candra selama ini.
"Vania, selama ini aku baik padamu. Selama ini semua yang kumiliki, aku berikan untukmu. Tapi setelah semua hal baik kuberikan, apakah kamu masih berniat kembali pada kakakku? Vania, tahu malulah sedikit! Sekalipun kamu tidak tahu malu ingin mendekati kakakku, kakakku tidak akan terima wanita penggoda yang sudah menikah seperti kamu. Kamu sungguh benar-benar mengecewakan aku! Demi bisa merebut kembali hati kakakku, kamu bahkan rela jadi sekretaris di perusahaan miliknya. Vania, aku tidak tahu kalau kamu sungguh sudah kehilangan urat malu demi bisa kembali bersama kakakku," oceh Candra yang tak henti menghina Vania dengan mulut kasarnya.
Suara tangis terdengar menyayat hati, terdengar dari dua anak yang dikurung Irma di kamar mandi itu. Tapi tak ada rasa iba, dan rasa perduli sedikitpun di wajah Irma, mendengar tangisan dua anak malang itu."Kak, kapan mama pulang? Tante Irma jahat! Tania gak mau dikurung di kamar mandi lagi seperti ini. Tania lapar, Tania ingin makan, Tania kedinginan, kak!" oceh gadis kecil itu dengan bibir gemetar, menahan rasa dingin dan lapar yang menjadi satu."Kakak minta maaf. Kakak gak bisa jaga adik. Gara-gara kakak gak bisa jagain adik, kamu jadi dikurung di sini sama kakak. Maafin kak Kanaya ya, dik!" ucap Kanaya sambil memeluk tubuh adiknya yang gemetar.Keduanya terlihat berpelukan, dan menunjukan keperdulian satu sama lain. Terlihat wajah Kanaya gelisah, saat memegangi dahi adiknya yang panas dan pucat saat itu.Dengan cepat Kanaya menggedor-gedor pintu kamar mandi untuk meminta
Vania tak menjawab pertanyaan Irma. Dia langsung meminta dua pembantu rumah untuk mencari kunci kamar mandi di kamar itu. Setelah mendapatkan kuncinya, Vania menatap tajam ke arah Irma dengan penuh kemarahan."Jika terjadi sesuatu pada putriku, aku tidak akan memaafkanmu!" ucap Vania seraya berjalan pergi menuju dapur.Saat dua pembantu rumah itu membuka pintu kamar mandi, Vania teriris hatinya melihat kondisi kedua putrinya di dalam sana. Air mata Vania mengalir deras, tak tega melihat dua putrinya yang masih kecil, dikurung di kamar mandi."Mama... Ma, Kanaya takut! Mama, jangan tinggalkan kami lagi!" tangis Kanaya dengan tubuh gemetar, dan air mata yang mengalir membasahi pipinya."Iya, sayang. Maafkan mama. Mama tidak akan tinggalkan Kanaya, dan Tania lagi. Maafkan mama ya, nak!" balas Vania ikut sedih."Ma, cepat tolong Tania! Dia pingsan di dal
Wajah Irma masih menampakkan wajah ketakutan, dan gaya manja di depan Candra saat itu. Melihat tingkah lakunya, Candra luluh. Tak tega rasanya membiarkan hal buruk terjadi pada Irma, terlebih saat wanita itu tengah mengandung anaknya. "Vania, tunggu! Jangan pergi dulu!" ucap Candra sambil menarik tangan Vania untuk menghentikan langkah kaki gadis itu. "Apalagi? Apa kamu masih mau bela dia? Tidak cukupkah selama ini aku mengalah, membiarkan dia merebut suamiku, menikahi suamiku, mengambil kasih sayang suamiku? Bahkan sekarang, saat dia menyakiti anak-anakku, haruskah aku tetap diam? Kalau aku tetap diam, bukankah aku bodoh?" oceh Vania kesal. "Mas, aku tahu alasan kamu begitu memihaknya karena kamu ingin melindungi bayi laki-laki dalam kandungannya. Tapi, apakah hanya bayi itu yang pantas untuk kamu lindungi? Apakah nyawa Tania tidak berharga untukmu, hingga kamu membiarkan orang yang menyakitinya tetap bebas tanpa hukuman? Mas, tolong, jangan menghancurkan hatiku untuk terakhir kali
Setelah Candra melihat Irma pergi, dia pun berjalan menuju arah ruang rawat Tania. Terlihat wajah Vania yang masih panik, duduk di depan ruang rawat anak bungsunya itu. Candra merasa bersalah. Dia pun mendekat, dan duduk tepat di samping Vania saat itu. "Jangan terus menangis! Aku tidak tega melihatmu seperti ini!" ucap Candra sambil memberikan sapu tangan pada Vania. Vania menoleh, menatap ke arah Candra penuh kebencian. "Jangan berpura-pura perduli padaku! Kembali lah pada istri keduamu itu! Aku tidak butuh simpati palsumu!" ucap Vania kesal. "Simpati palsu? Vania, Tania itu putriku! Bagaimana bisa kamu bilang kalau aku sedang bersimpati palsu?" "Heh, siapa yang tahu! Bukankah kamu sendiri membiarkan orang yang menyakiti Tania bebas tanpa hukuman? Yang main drama ayah penyayang di saat kamu tidak bisa lagi memerankannya.""Vania, kamu...." Mendengar pertengkaran antara Vania, dan Candra, Kanaya yang saat itu sedang tidur di kursi ruang tunggu pun bangun. Dia menatap sedih melih
Malam harinya, Candra membangunkan Vania untuk mengabari jika putri bungsu mereka sudah sadar dari koma. Mendengar hal yang dikatakan Candra, Vania langsung bangun dengan semangat, dan berjalan menuju arah ruang rawat Tania "Nak, akhirnya kamu sadar! Maafkan mama, karena tidak menjaga kamu dengan baik," ucap Vania sambil menangis dan memeluk tubuh Tania yang terlihat lemah di ranjang pasien. "Ma... Mama... Jangan tinggalin Tania lagi! Tania takut! Tania gak mau ditemani oleh Tante Irma lagi. Tante Irma jahat! Huhuhu..." Tania menceritakan hal yang dilakukan Irma pada ibunya, terlihat wajah Candra marah, mendengar cerita yang diceritakan oleh putri bungsunya itu. "Ma, Tania cuma mau makan. Tania lapar. Tapi Tante Irma bilang kalau Tania merepotkan. Tania bikin susah. Saat kak Kanaya mau masak sendiri di dapur untuk aku, Tante Irma datang dan langsung marah-marah. Tante Irma tarik tangan aku dan kak Kanaya ke kamar mandi. Lalu kami dikunci di dalam kamar mandi. Ma, Tania gak nakal!
Galang sampai di rumah sakit tempat anak Vania dirawat. Dia pun berjalan masuk ke rumah sakit itu untuk mencari keberadaan gadis yang dicintainya itu. Saat Galang berjalan masuk, terlihat beberapa perawat yang nampak terkesima menatapnya. Tentu saja hal itu karena pesona ketampanan Galang yang memikat para wanita di sekitarnya. Galang terus berjalan, tak perduli dengan tatapan mata para wanita yang melihatnya dengan tatapan kagum. Itu bukan hal yang aneh, dan biasa terjadi saat Galang keluar rumah. Hans yang merupakan asisten pribadinya, tentu sudah bosan melihat sang bos yang menjadi sorotan para gadis di sekitar mereka. Namun, sebanyak apapun wanita yang mendekati Galang, tak ada satu pun yang dapat menggantikan Vania di hatinya. Cintanya terlalu dalam, bahkan sampai saat setelah tahu Vania menikahi adiknya, dia tetap berharap ada kesempatan dia bisa bersama Vania lagi. Bahkan jika kesempatan itu tidak pernah ada, dia hanya berharap bisa melihat wanita yang dicintainya itu bah
Vania kembali ke ruang rawat putrinya, setelah selesai makan siang di kantin. Dia juga tak lupa membungkus makan siang untuk Galang yang membantu menunggu putri bungsunya di ruang rawat. Hingga saat Vania membuka pintu ruang rawat itu, Vania menatap pemandangan yang seketika membuat dia tersentuh melihatnya. "Om Galang, terima kasih bonekanya!" ucap Kanaya yang terlihat senang mendapatkan hadiah. "Terima kasih bonekanya, Om. Tania juga senang. Terima kasih sudah mau jenguk Tania. Om baik." sambung Tania sambil memeluk tubuh Galang saat itu. "Kalau begitu, Tania lekaslah sembuh! Nanti setelah sembuh, kita jalan-jalan sama-sama. Katanya Tania dan Kanaya mau lihat kebun binatang bawah laut kan? Bagaimana jika nanti pergi dengan Om dan mama kalian? Apakah kalian mau?" tanya Galang yang langsung disambut anggukan kepala dari kedua anak Vania itu. "Ya. Kami mau." ucap Kanaya dan Tania serempak. Kanaya menengadah, menatap lekat wajah Galang, dan menarik lembut ujung lengan baju kem
Sementara di sisi lain, langkah kaki Galang terlihat berjalan cepat dengan senyum sumringah di bibirnya. Dia tidak pernah mengira, jika dia masih punya kesempatan untuk dekat, dan berbincang lagi dengan mantan kekasihnya itu. Kerinduan yang bertahun-tahun terpendam, akhirnya bisa dilepaskan semua dari hati Galang saat ini. "Bos, kita ada rapat dengan pemegang saham hari ini pukul dua. Adakah yang ingin anda minta aku siapkan untuk dapat pemegang saham itu?" tanya Hans yang membuyarkan lamunan Galang saat itu. "Cerewet! Siapkan saja yang perlu disiapkan. Jangan ganggu aku!" balas Galang dengan nada kesal. "Bos, anda begitu menyukai nona Vania, kenapa tidak langsung nikahi dia saja? Minta nona Vania gugat cerai adik anda, bukankah setelah itu, kalian bisa menikah?" "Diam lah! Tidak perlu perduli dengan urusan pribadiku. Ayo segera bawa aku kembali ke kantor!" ucap Galang yang seketika membuat Hans menutup rapat-rapat mulutnya dan segera mengendarai mobil menuju arah kantor.
Vania pun makan malam bersama Candra dan dua anaknya. Dia melihat Candra begitu memanjakan dua anaknya. Dimana saat itu Candra menyuapi kedua putrinya dengan penuh kasih sayang. Walaupun hati Vania sudah lama dikecewakan oleh Candra, tapi melihat anak-anaknya bisa tertawa bahagia bersama ayah mereka, itu sudah lebih dari cukup untuk Vania. "Tania, makan pelan-pelan! Kemari, biar papa suapi!" ucap Candra sambil mengusap bibir putri bungsunya dengan sapu tangan di tangannya. "Pa, aku juga mau disuapi!" pinta Kanaya, yang ikut manja pada papanya. "Baiklah. Hari ini papa akan suapi kalian sampai kalian kenyang!" balas Candra yang berakhir membuat mereka tertawa bersama-sama. Setelah selesai makan malam, Candra mendekati Vania. Walaupun sebelumnya sempat marah karena Vania mengusir Irma dan bayinya dari rumah itu, tapi Candra tidak bisa mengendalikan dirinya untuk mendatangi Vania setelah dia pulang dinas. Bahkan sebelum pulang menemui Irma, Candra sengaja datang ke rumah Vania leb
Galang yang melihat Vania melamun, menatap ke arah mobil Irma, segera menepuk pundak gadis itu. Vania pun menoleh ke arah Galang, lalu kembali menatap mobil Irma yang pergi meninggalkan tempat itu. "Kamu kenapa? Khawatir pada adik brengsekku itu? Kasihan karena dia diselingkuhi istri keduanya? Vania, ingatlah, dia juga selingkuh dan menyakiti kamu juga anak-anak! Ini hanya balasan yang cepat atau lambat pasti akan diterima oleh seorang pengkhianat," ucap Galang yang membuat Vania menundukkan kepalanya dalam-dalam."Kamu benar. Ini adalah balasan. Sama seperti hal yang terjadi padaku sekarang. Ini semua balasan karena aku pernah menyakiti hatimu, dan mengkhianati kamu," gumam Vania pelan. "Tidak, itu tidak sama.""Tapi kenyataannya, aku memang selingkuh, dan menikahi adik dari pacarku sendiri. Maafkan aku! Hal yang terjadi padaku saat ini, adalah balasan atas semua hal buruk yang pernah aku lakukan padamu. Aku benar-benar minta maaf!" "Bodoh! Aku tidak pernah membencimu. Kamu sama s
Galang yang melihat Vania terus menangis, tak tahan, dan bergegas menarik tangan Vania hingga gadis itu jatuh di dalam pelukannya. Galang tidak tahu kenapa, perasaannya ikut sedih melihat kondisi Vania yang menderita seperti saat ini. Kalau memang sudah lelah, kenapa tidak pisah saja. Kenapa Vania bersikukuh bertahan dalam pernikahan yang hanya melukai hatinya. "Sudah cukup! Jangan menangis lagi! Sebagai atasanmu, yang memberikan kamu gaji setiap bulan, aku minta kamu berhenti menangis!" ucap Galang sambil mempererat pelukannya di tubuh Vania. Vania yang menangis pun, sedikit merekahkan senyuman. Dia melihat keperdulian di mata Galang, dari ketusnya tutur kata yang diucapkan sang bos saat itu. "Bos, jangan keterlaluan! Ini bukan waktu kerjaku. Kamu masih mau menindasku, dan tidak mengizinkan aku menangis di hari liburku? Dasar bos jahat!" gerutu Vania sambil melepaskan pelukannya dan memukul lembut dada Galang. "Aw... Vania, kamu pukul aku? Aku baik-baik datang untuk menghibur
Keesokan harinya, Vania terlihat sibuk mengurus kedua buah hatinya yang ingin pergi bermain di hari libur sekolah. Sudah lama dia tidak pernah mengajak dua anaknya bermain. Kebetulan punya uang dari Galang yang memberikan uang muka jual mobil, dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan menyenangkan hati dua putrinya. "Bi Sumi, Bi Imah, saya dan anak-anak mau pergi ke taman bermain. Hari ini tidak perlu masak makan siang. Kami akan makan di luar!" ucap Vania yang disambut anggukan kepala dari dua pembantu rumahnya. "Baik, nyonya.""Oh iya. Ini uang gaji kalian selama dua bulan. Maaf, aku baru bisa memberikannya hari ini. Kedepannya, mohon bantuannya untuk tetap menjaga rumah dan menjaga dua putriku. Terima kasih, Bi!" "Nyonya kenapa sungkan? Kami sudah anggap nyonya seperti keluarga sendiri," balas Imah sambil memegang tangan majikannya. "Iya. Nyonya banyak bantu keluarga saya dulu. Saya tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada nyonya dan nona kecil. Kedepannya, kami juga akan sel
Setelah cukup lama menangis di pelukan Galang, Vania pun sadar kembali dari lamunannya. Dia melepaskan pelukan itu, dan menundukkan kepalanya dalam-dalam di hadapan bosnya itu. "Maafkan saya. Saya bertindak sembarangan. Saya tidak seharusnya menangis sampai air mata saya mengotori kemeja anda. Maaf!" ucap Vania yang disambut senyum kecil dari Galang. Pria itu tak bicara. Tapi tangan kanannya mengusap lembut pucuk kepala Vania dengan penuh kasih sayang. Rasa kasih sayang yang sama seperti saat Galang menjadi kekasih Vania sembilan tahun lalu. Tanpa dirasa, ternyata pernikahannya dengan Candra sudah hampir hancur dalam kurun waktu satu tahun oleh kehadiran Irma, yang tak lain adalah sahabat baik Vania. "Makan ice cream dan kue coklatnya! Kuatkan diri! Kalau bukan untuk aku, setidaknya kuatkan diri untuk kedua anak-anakmu yang masih kecil. Kalau kamu rapuh, bagaimana bisa menjaga mereka dengan baik. Benar bukan?" ucap Galang yang disambut senyum dan anggukkan kepala dari Vania.
Mendengar kata-kata Candra, Vania menggelengkan kepalanya sambil tersenyum geli. Merasa sikap suaminya padanya semakin keterlaluan. Hanya dari beberapa kata provokasi dari Irma, suaminya langsung menyalahkan dia atas hal yang dilakukan kedua anaknya. Mau membela diri pun sudah tidak ada keinginan, dia lebih suka mengakhiri perbincangan tak mengenakan itu tanpa bicara apa-apa. "Ya, aku salah. Semua salahku. Kamu selingkuh dengan teman baikku, itu juga salahku. Kamu menikahi Irma, itu juga salahku. Kamu hamili Irma, itu juga salahku. Semua salahku di mataku kan, Mas? Kalau memang begitu, cepat ceraikan aku, dan jadikan Irma istrimu satu-satunya!" gumam Vania sambil berjalan pergi dengan kedua anak-anaknya. "Vania, tunggu dulu! Apa yang barusan kamu gumamkan? Vania! Kenapa setiap kali bertengkar, kamu selalu mengungkit kata cerai. Vania, kembali! Aku belum selesai bicara!" teriak Candra dengan wajah kesalnya. Vania tak perduli. Dia naik mobilnya bersama dua anaknya. Tubuhnya agak geme
Saat Irma bergumam sendiri, tiba-tiba Candra masuk ke dalam kamar itu dan menatap tajam ke arah Irma. Dia terlihat lelah. Matanya sayup menatap ke arah wanita yang sedang duduk di pinggir tempat tidur. "Irma, aku ada hal yang ingin aku bicarakan!" ucap Candra sambil duduk di samping gadis itu. "Ada apa, Mas?" tanya Irma sambil menyembunyikan buku rekening selundupannya dari Candra. "Aku lihat Vania kehilangan banyak berat badan. Sepertinya dia sedang banyak pikiran. Irma, bisakah kamu tanyakan pada Vania, apa yang dia butuhkan. Bagaimana pun dia juga istriku, dan juga wanita yang melahirkan anak-anakku. Jika dia butuh uang, atau butuh hal yang bisa aku selesaikan, tolong beritahu aku, aku akan bantu sebisaku!" ucap Candra yang hanya disambut senyum dan anggukkan kepala dari Irma. "Sampai matipun aku tidak akan melakukan apapun yang kamu minta, Mas. Semakin kamu perhatian pada Vania, semakin aku ingin menghancurkan dia dengan tanganku sendiri," batin Irma, dengan bibir yang
Vania berbaring di tempat tidur, dan menatap wajah dua putrinya yang sudah tidur di tempat tidurnya. Semakin ingat sikap Candra terhadapnya, semakin besar keinginan Vania berpisah dengan pria itu. Tapi setiap kali pikiran itu melintas di benaknya, Vania menatap dua anaknya. Dia takut kalau keputusannya pisah dengan Candra akan mempengaruhi kedua putrinya. Vania hampir putus asa dibuatnya. Namun bertahan hidup dengan Candra dalam pernikahan yang berat sebelah pun tidak menguntungkan baginya. Sekarang bukan hanya Candra tidak pernah datang menemani dia dan anak-anaknya, tapi jatah bulanan yang biasa diberikan Candra untuk anak-anaknya pun sudah dua bulan tak diberikan. Mau bicara dan membahas tentang itu, tapi di pikiran Candra hanya ada Irma, dan keinginan istri keduanya. Tak pernah Candra perduli, seberapa sulit kehidupan Vania menghidupi dua anaknya selama ini. Tok... Tok... Tok... Vania membuka pintu kamar, dan mendapati dua pembantu rumah sedang berdiri di depan pintunya. V
Irma masih belum puas hati mengolok-olok Vania. Dia masih menatap istri pertama suaminya itu dengan sorot mata penuh keserakahan. "Vania, kedepannya mas Candra akan sibuk mengurus aku dan bayi laki-laki kami. Aku harap, kamu bisa pengertian dan tidak mempermasalahkan ini ya? Kamu adalah teman baikku. Kamu pasti paling tahu isi hatiku lebih dari siapapun.""Heh, teman baik?" gumam Vania, mencibir kata-kata Irma. "Sudah selesai kah? Aku sungguh masih banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan. Jika memang kamu sudah puas bicara, biarkan aku pergi. Semoga kamu dan bayi kamu selamat!" ucap Vania sambil berjalan keluar dari ruang persalinan itu. Setelah berbicara dengan Vania, Irma pun melanjutkan persalinannya dengan dokter dan suster di rumah sakit. Saat mendengar suara bayi menangis dari ruang persalinan, Candra terlihat senang dan langsung bergegas menuju arah pintu untuk segera masuk melihat putra kecilnya yang baru lahir. Saat itu juga Vania merasa dibuang, dan langsung diabaikan ol