Vania kembali ke ruang rawat putrinya, setelah selesai makan siang di kantin. Dia juga tak lupa membungkus makan siang untuk Galang yang membantu menunggu putri bungsunya di ruang rawat. Hingga saat Vania membuka pintu ruang rawat itu, Vania menatap pemandangan yang seketika membuat dia tersentuh melihatnya. "Om Galang, terima kasih bonekanya!" ucap Kanaya yang terlihat senang mendapatkan hadiah. "Terima kasih bonekanya, Om. Tania juga senang. Terima kasih sudah mau jenguk Tania. Om baik." sambung Tania sambil memeluk tubuh Galang saat itu. "Kalau begitu, Tania lekaslah sembuh! Nanti setelah sembuh, kita jalan-jalan sama-sama. Katanya Tania dan Kanaya mau lihat kebun binatang bawah laut kan? Bagaimana jika nanti pergi dengan Om dan mama kalian? Apakah kalian mau?" tanya Galang yang langsung disambut anggukan kepala dari kedua anak Vania itu. "Ya. Kami mau." ucap Kanaya dan Tania serempak. Kanaya menengadah, menatap lekat wajah Galang, dan menarik lembut ujung lengan baju kem
Sementara di sisi lain, langkah kaki Galang terlihat berjalan cepat dengan senyum sumringah di bibirnya. Dia tidak pernah mengira, jika dia masih punya kesempatan untuk dekat, dan berbincang lagi dengan mantan kekasihnya itu. Kerinduan yang bertahun-tahun terpendam, akhirnya bisa dilepaskan semua dari hati Galang saat ini. "Bos, kita ada rapat dengan pemegang saham hari ini pukul dua. Adakah yang ingin anda minta aku siapkan untuk dapat pemegang saham itu?" tanya Hans yang membuyarkan lamunan Galang saat itu. "Cerewet! Siapkan saja yang perlu disiapkan. Jangan ganggu aku!" balas Galang dengan nada kesal. "Bos, anda begitu menyukai nona Vania, kenapa tidak langsung nikahi dia saja? Minta nona Vania gugat cerai adik anda, bukankah setelah itu, kalian bisa menikah?" "Diam lah! Tidak perlu perduli dengan urusan pribadiku. Ayo segera bawa aku kembali ke kantor!" ucap Galang yang seketika membuat Hans menutup rapat-rapat mulutnya dan segera mengendarai mobil menuju arah kantor.
Vania pun berjalan keluar rumah sakit sambil menuntun kedua putri kecilnya. Terlihat wajah Kanaya dan Tania yang sebelumnya masih murung karena papa mereka tidak datang, kini mulai menebar senyum. Sampai di depan jalan raya di gerbang rumah sakit, Vania pun menunggu taksi untuk membawa kedua putri kecilnya kembali ke rumah mereka. Tapi lama berdiri di sana, tak ada satu taksi pun yang lewat. Vania pun mulai gelisah, dan mengusap wajah kedua putrinya yang terlihat lelah. "Harusnya mama bawa mobil saat ke rumah sakit untuk jemput Tania. Setidaknya kalian tidak harus menunggu dan kepanasan seperti ini," keluh Vania, merasa bersalah pada kedua anaknya. "Mama, jangan sedih! Kami tidak lelah. Kami juga tidak kepanasan kok!" balas Kanaya sambil tersenyum kecil. "Ma, Tania haus!" sambung putri bungsu Vania sambil memegangi tenggorokannya. "Mama bawa air. Minumlah dulu! Semoga kita bisa secepatnya dapat taksi," ucap Vania sambil berjongkok dan menyuapi putrinya minum air mineral
Vania tak bicara. Tapi dia meremas-remas tangannya sendiri untuk menghilangkan rasa cemas dan bersalahnya pada Galang. Dia tidak tahu bagaimana cara untuk menyampaikan hak yang terjadi pada dia dan Candra waktu itu hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Sampai detik ini bibir Vania kelu, tak mampu mengungkapkan kebenaran kalau dirinya pernah diberi obat dan berakhir berada di tempat tidur yang sama bersama adik Galang, yang kini jadi suaminya itu. "Maaf!" Hanya itu kata-kata yang mampu Vania ucapkan pada Galang. Dia memalingkan wajahnya dari pria yang menatapnya itu. Namun dengan cepat, Galang menarik ujung dagu Vania hingga kembali menatap ke arah wajahnya lagi. "Maaf untuk apa? Coba jelaskan!" pinta Galang yang membuat Vania semakin gugup dibuatnya. "Maaf, maaf untuk semua kesalahanku di masa lalu. Sekarang, aku sudah mendapatkan balasannya. Harusnya kamu tidak perlu menolongku. Ini memang salahku. Aku yang memutuskan menikahi Mas Candra, aku harusnya tidak mel
Kanaya memegangi tangan ibunya yang nampak gelisah. Walaupun Kanaya masih kecil, tapi gadis itu tahu tentang hubungan papa mereka yang mulai renggang dengan mamanya setelah papanya menikah lagi. Dia pun berusaha untuk tersenyum di depan Vania, dan mengurungkan keinginannya bisa merayakan perayaan sekolah dengan keluarga utuh. "Ma, sudahlah. Jangan hubungi papa lagi! Kalau memang papa sibuk, kita saja yang pergi. Ada mama, ada Tania, Kanaya sudah cukup senang," ucap Kanaya sambil terus memegangi tangan Vania. "Semua anak di sekolah pasti mengajak ayah dan ibu mereka. Mama takut kamu akan sedih kalau papa tidak datang. Nanti mama akan cari cara untuk bertemu papa, dan memintanya untuk datang ke sekolah Kanaya besok," balas Vania, seraya mengusap lembut pucuk kepala putrinya. "Ma, bukankah tanpa papa, kita juga hidup bahagia? Kanaya cukup punya mama. Selama mama tetap bersama Kanaya, dan Tania, Kanaya sudah bahagia." Mendengar kata-kata putri sulungnya, hati Vania bergetar. Sea
Keesokan harinya, terlihat Candra sudah rapi dengan baju olahraga yang dipakainya. Dia berniat untuk ke sekolah Kanaya di hari perayaan sekolahnya. Setiap tahun, entah di TK atau SD itu, memang merayakan hari perayaan sekolah dengan mengadakan lomba kekompakan anak dan orang tua. Hal itu pun yang membuat Candra terbiasa dengan perayaan itu, dan berusaha menyempatkan waktu memenuhi keinginan Vania juga putrinya. Melihat suaminya sudah rapi, dan bersiap untuk pergi ke sekolah Kanaya, Irma tak menerima. Dia pun melakukan segala cara untuk menghentikan sang suami pergi ke perayaan putrinya itu. Irma sempat berpura-pura sakit, tapi Candra tahu kalau selama ini dia terus berpura-pura sakit saat Candra ingin menemui Vania atau putrinya. Jadi saat Irma bilang dia sakit, Candra justru tetap kekeh berangkat, dan hanya meminta dokter untuk memeriksa keadaan Irma saat itu. "Mas, kamu gak boleh pergi! Aku gak izinkan kamu temui Vania ataupun anak-anaknya. Mas, aku sedang hamil anak kamu. Ini a
Vania memeluk tubuh kedua putrinya dengan wajah sedih. Selama ini dia menahan kesedihan dan lukanya sendiri dari pernikahannya dengan Candra, semua hanya demi mempertahankan status pernikahan untuk kedua putrinya. Dia tidak ingin kedua putrinya hidup tanpa sosok seorang ayah. Tapi saat ini, apa bedanya mereka dengan anak-anak di luar sana yang tidak punya ayah? Bahkan di saat dibutuhkan, Candra tak datang untuk memenuhi tugas sebagai seorang ayah. Hingga waktu perlombaan perayaan di sekolah tiba, di mana ayah akan menggendong putrinya menuju arah ibu yang menunggu di seberang jalan. Terlihat Vania kebingungan, tanpa ayah anak-anaknya, apa yang bisa dia lakukan di perayaan sekolah itu. Melihat wajah penuh harap dari kedua putrinya, Vania pun berjalan di garis depan, bersiap untuk menggendong putrinya untuk menggantikan sosok ayah yang tak datang ke sekolah hari itu. Hingga di detik-detik terakhir, Vania terkejut, mendapati Galang datang menghampiri mereka dan menuntun kedua putri
Saat tengah makan ice cream, Vania kembali melihat hal yang meneduhkan hatinya. Dimana saat itu, Galang berbincang dan tertawa dengan dua putri Vania, seperti layaknya putrinya sendiri. Beberapa kali, Vania pun melihat Galang mengusap bibir kedua putrinya yang belepotan dengan sapu tangan. Perhatian yang sangat mirip, seperti perhatian seorang ayah pada anak-anaknya. "Alangkah baiknya jika ayah anak-anakku adalah kak Galang," gumam Vania dengan senyum getir. Vania pun diam sambil terus memperhatikan Galang dan dua putrinya, yang saat itu berada tepat di sebelahnya. Dia kembali mendengarkan obrolan antara Galang, dan dua putrinya, sambil sesekali memperhatikan ketampanan mantan pacarnya itu. "Om Galang, dilomba selanjutnya kita harus menang lagi!" pinta Kanaya. "Ya, kita harus menang!" sambung Tania antusias. "Baik, siapa takut! Kita akan menang lagi di lomba selanjutnya. Kalian tidak perlu takut! Ada Om, kita pasti menang!" balas Galang dengan penuh semangat dan percaya
Vania pun makan malam bersama Candra dan dua anaknya. Dia melihat Candra begitu memanjakan dua anaknya. Dimana saat itu Candra menyuapi kedua putrinya dengan penuh kasih sayang. Walaupun hati Vania sudah lama dikecewakan oleh Candra, tapi melihat anak-anaknya bisa tertawa bahagia bersama ayah mereka, itu sudah lebih dari cukup untuk Vania. "Tania, makan pelan-pelan! Kemari, biar papa suapi!" ucap Candra sambil mengusap bibir putri bungsunya dengan sapu tangan di tangannya. "Pa, aku juga mau disuapi!" pinta Kanaya, yang ikut manja pada papanya. "Baiklah. Hari ini papa akan suapi kalian sampai kalian kenyang!" balas Candra yang berakhir membuat mereka tertawa bersama-sama. Setelah selesai makan malam, Candra mendekati Vania. Walaupun sebelumnya sempat marah karena Vania mengusir Irma dan bayinya dari rumah itu, tapi Candra tidak bisa mengendalikan dirinya untuk mendatangi Vania setelah dia pulang dinas. Bahkan sebelum pulang menemui Irma, Candra sengaja datang ke rumah Vania leb
Galang yang melihat Vania melamun, menatap ke arah mobil Irma, segera menepuk pundak gadis itu. Vania pun menoleh ke arah Galang, lalu kembali menatap mobil Irma yang pergi meninggalkan tempat itu. "Kamu kenapa? Khawatir pada adik brengsekku itu? Kasihan karena dia diselingkuhi istri keduanya? Vania, ingatlah, dia juga selingkuh dan menyakiti kamu juga anak-anak! Ini hanya balasan yang cepat atau lambat pasti akan diterima oleh seorang pengkhianat," ucap Galang yang membuat Vania menundukkan kepalanya dalam-dalam."Kamu benar. Ini adalah balasan. Sama seperti hal yang terjadi padaku sekarang. Ini semua balasan karena aku pernah menyakiti hatimu, dan mengkhianati kamu," gumam Vania pelan. "Tidak, itu tidak sama.""Tapi kenyataannya, aku memang selingkuh, dan menikahi adik dari pacarku sendiri. Maafkan aku! Hal yang terjadi padaku saat ini, adalah balasan atas semua hal buruk yang pernah aku lakukan padamu. Aku benar-benar minta maaf!" "Bodoh! Aku tidak pernah membencimu. Kamu sama s
Galang yang melihat Vania terus menangis, tak tahan, dan bergegas menarik tangan Vania hingga gadis itu jatuh di dalam pelukannya. Galang tidak tahu kenapa, perasaannya ikut sedih melihat kondisi Vania yang menderita seperti saat ini. Kalau memang sudah lelah, kenapa tidak pisah saja. Kenapa Vania bersikukuh bertahan dalam pernikahan yang hanya melukai hatinya. "Sudah cukup! Jangan menangis lagi! Sebagai atasanmu, yang memberikan kamu gaji setiap bulan, aku minta kamu berhenti menangis!" ucap Galang sambil mempererat pelukannya di tubuh Vania. Vania yang menangis pun, sedikit merekahkan senyuman. Dia melihat keperdulian di mata Galang, dari ketusnya tutur kata yang diucapkan sang bos saat itu. "Bos, jangan keterlaluan! Ini bukan waktu kerjaku. Kamu masih mau menindasku, dan tidak mengizinkan aku menangis di hari liburku? Dasar bos jahat!" gerutu Vania sambil melepaskan pelukannya dan memukul lembut dada Galang. "Aw... Vania, kamu pukul aku? Aku baik-baik datang untuk menghibur
Keesokan harinya, Vania terlihat sibuk mengurus kedua buah hatinya yang ingin pergi bermain di hari libur sekolah. Sudah lama dia tidak pernah mengajak dua anaknya bermain. Kebetulan punya uang dari Galang yang memberikan uang muka jual mobil, dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan menyenangkan hati dua putrinya. "Bi Sumi, Bi Imah, saya dan anak-anak mau pergi ke taman bermain. Hari ini tidak perlu masak makan siang. Kami akan makan di luar!" ucap Vania yang disambut anggukan kepala dari dua pembantu rumahnya. "Baik, nyonya.""Oh iya. Ini uang gaji kalian selama dua bulan. Maaf, aku baru bisa memberikannya hari ini. Kedepannya, mohon bantuannya untuk tetap menjaga rumah dan menjaga dua putriku. Terima kasih, Bi!" "Nyonya kenapa sungkan? Kami sudah anggap nyonya seperti keluarga sendiri," balas Imah sambil memegang tangan majikannya. "Iya. Nyonya banyak bantu keluarga saya dulu. Saya tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada nyonya dan nona kecil. Kedepannya, kami juga akan sel
Setelah cukup lama menangis di pelukan Galang, Vania pun sadar kembali dari lamunannya. Dia melepaskan pelukan itu, dan menundukkan kepalanya dalam-dalam di hadapan bosnya itu. "Maafkan saya. Saya bertindak sembarangan. Saya tidak seharusnya menangis sampai air mata saya mengotori kemeja anda. Maaf!" ucap Vania yang disambut senyum kecil dari Galang. Pria itu tak bicara. Tapi tangan kanannya mengusap lembut pucuk kepala Vania dengan penuh kasih sayang. Rasa kasih sayang yang sama seperti saat Galang menjadi kekasih Vania sembilan tahun lalu. Tanpa dirasa, ternyata pernikahannya dengan Candra sudah hampir hancur dalam kurun waktu satu tahun oleh kehadiran Irma, yang tak lain adalah sahabat baik Vania. "Makan ice cream dan kue coklatnya! Kuatkan diri! Kalau bukan untuk aku, setidaknya kuatkan diri untuk kedua anak-anakmu yang masih kecil. Kalau kamu rapuh, bagaimana bisa menjaga mereka dengan baik. Benar bukan?" ucap Galang yang disambut senyum dan anggukkan kepala dari Vania.
Mendengar kata-kata Candra, Vania menggelengkan kepalanya sambil tersenyum geli. Merasa sikap suaminya padanya semakin keterlaluan. Hanya dari beberapa kata provokasi dari Irma, suaminya langsung menyalahkan dia atas hal yang dilakukan kedua anaknya. Mau membela diri pun sudah tidak ada keinginan, dia lebih suka mengakhiri perbincangan tak mengenakan itu tanpa bicara apa-apa. "Ya, aku salah. Semua salahku. Kamu selingkuh dengan teman baikku, itu juga salahku. Kamu menikahi Irma, itu juga salahku. Kamu hamili Irma, itu juga salahku. Semua salahku di mataku kan, Mas? Kalau memang begitu, cepat ceraikan aku, dan jadikan Irma istrimu satu-satunya!" gumam Vania sambil berjalan pergi dengan kedua anak-anaknya. "Vania, tunggu dulu! Apa yang barusan kamu gumamkan? Vania! Kenapa setiap kali bertengkar, kamu selalu mengungkit kata cerai. Vania, kembali! Aku belum selesai bicara!" teriak Candra dengan wajah kesalnya. Vania tak perduli. Dia naik mobilnya bersama dua anaknya. Tubuhnya agak geme
Saat Irma bergumam sendiri, tiba-tiba Candra masuk ke dalam kamar itu dan menatap tajam ke arah Irma. Dia terlihat lelah. Matanya sayup menatap ke arah wanita yang sedang duduk di pinggir tempat tidur. "Irma, aku ada hal yang ingin aku bicarakan!" ucap Candra sambil duduk di samping gadis itu. "Ada apa, Mas?" tanya Irma sambil menyembunyikan buku rekening selundupannya dari Candra. "Aku lihat Vania kehilangan banyak berat badan. Sepertinya dia sedang banyak pikiran. Irma, bisakah kamu tanyakan pada Vania, apa yang dia butuhkan. Bagaimana pun dia juga istriku, dan juga wanita yang melahirkan anak-anakku. Jika dia butuh uang, atau butuh hal yang bisa aku selesaikan, tolong beritahu aku, aku akan bantu sebisaku!" ucap Candra yang hanya disambut senyum dan anggukkan kepala dari Irma. "Sampai matipun aku tidak akan melakukan apapun yang kamu minta, Mas. Semakin kamu perhatian pada Vania, semakin aku ingin menghancurkan dia dengan tanganku sendiri," batin Irma, dengan bibir yang
Vania berbaring di tempat tidur, dan menatap wajah dua putrinya yang sudah tidur di tempat tidurnya. Semakin ingat sikap Candra terhadapnya, semakin besar keinginan Vania berpisah dengan pria itu. Tapi setiap kali pikiran itu melintas di benaknya, Vania menatap dua anaknya. Dia takut kalau keputusannya pisah dengan Candra akan mempengaruhi kedua putrinya. Vania hampir putus asa dibuatnya. Namun bertahan hidup dengan Candra dalam pernikahan yang berat sebelah pun tidak menguntungkan baginya. Sekarang bukan hanya Candra tidak pernah datang menemani dia dan anak-anaknya, tapi jatah bulanan yang biasa diberikan Candra untuk anak-anaknya pun sudah dua bulan tak diberikan. Mau bicara dan membahas tentang itu, tapi di pikiran Candra hanya ada Irma, dan keinginan istri keduanya. Tak pernah Candra perduli, seberapa sulit kehidupan Vania menghidupi dua anaknya selama ini. Tok... Tok... Tok... Vania membuka pintu kamar, dan mendapati dua pembantu rumah sedang berdiri di depan pintunya. V
Irma masih belum puas hati mengolok-olok Vania. Dia masih menatap istri pertama suaminya itu dengan sorot mata penuh keserakahan. "Vania, kedepannya mas Candra akan sibuk mengurus aku dan bayi laki-laki kami. Aku harap, kamu bisa pengertian dan tidak mempermasalahkan ini ya? Kamu adalah teman baikku. Kamu pasti paling tahu isi hatiku lebih dari siapapun.""Heh, teman baik?" gumam Vania, mencibir kata-kata Irma. "Sudah selesai kah? Aku sungguh masih banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan. Jika memang kamu sudah puas bicara, biarkan aku pergi. Semoga kamu dan bayi kamu selamat!" ucap Vania sambil berjalan keluar dari ruang persalinan itu. Setelah berbicara dengan Vania, Irma pun melanjutkan persalinannya dengan dokter dan suster di rumah sakit. Saat mendengar suara bayi menangis dari ruang persalinan, Candra terlihat senang dan langsung bergegas menuju arah pintu untuk segera masuk melihat putra kecilnya yang baru lahir. Saat itu juga Vania merasa dibuang, dan langsung diabaikan ol