Keesokan harinya. Sesuai perjanjian untuk bertemu di hotel Golden Star. Membuat Rani kini sudah bersiap akan berkunjung ke sana. Dia memakai pakaian terbaiknya, dengan memoles wajahnya secara natural. Namun, tetap terlihat berkharisma dan cantik.
“Aku dengar kamu mendapat banyak uang semalam? Aku ingin meminta uang padamu?” cegah pria yang datang menemui Rani di kediamannya. “Aku akan melunasi, tetapi tidak hari ini. Hari ini aku sibuk, lusa aku akan ke tempatmu. Aku janji, semua akan ku lunasi!” timpal Rani memohon diberi waktu. “Alasan apalagi, hah? Aku ngga mau tahu, aku minta uangnya sekarang!” bentak pria itu emosi. Pria itu langsung mendorong Rani lalu menarik tasnya, ia membuka dan mengambil seluruh uang di dalam dompet Rani. Rani tak bisa memberontak selain pasrah. Setelah pria itu merampas semua isi di dompetnya, dia langsung pergi meninggalkannya begitu saja. Rani bahkan sampai tersungkur di lantai. Dia sudah muak diperlakukan kasar seperti ini. Ia sudah tidak tahan, dan ingin terlepas dari bayangan pria itu yang selalu merampas dengan mengatasnamakan hutang. “Aku bersumpah, ini menjadi hari terakhir kita berurusan!” gumam Rani dengan mengusap cairan bening yang turun ke atas pipinya. Setelah itu, Rani pun beranjak berdiri dan merapikan bajunya yang kusut. Ia juga melihat wajahnya yang sedikit luntur tetapi masih terlihat cantik. Ia tak mempermasalahkan, yang terpenting kali ini ia harus datang ke hotel tempat pertemuannya dengan pria yang akan menjadikannya istri kedua. Ia pun berjalan keluar dari apartemennya dan turun ke loby untuk menunggu taxi online yang sudah ia pesan. Di perjalanan. Hati Rani sangat gelisah tak menentu. Dia sudah biasa melayani banyak pria, tetapi entah kenapa pertemuannya dengan pria yang akan menjadikan dirinya istri kedua membuatnya terasa gugup. “Astaga! Kenapa perasaanku kaya gini sih! Nggak, aku harus bersikap biasa saja. Anggap saja pria itu sedang menyewa jasaku. Tapi, memang benar sih? Dia bukan menyewa jasa melainkan menyewa rahimku!” gumam Rani terkikik sendiri. Tidak lama, taxi yang ditumpangi Rani kini sudah sampai di tujuan. Ia pun langsung turun setelah membayarnya. Rani berjalan masuk ke dalam hotel dan tujuannya adalah ke ruang resepsionis untuk meminta petunjuk kamar yang sudah pria itu tentukan. “Terima kasih,” ucap Rani saat hendak diantar ke kamar tersebut. Setelah naik menggunakan lift dan sampai di kamar yang sebagai tempat pertemuannya. Rani pun masuk setelah pintu kamar di bukakan. “Nyonya, tunggu di dalam biar nanti saya panggilan Tuan Galvin ke sini,” titah pegawai hotel dengan sopan. “Galvin?” gumam Rani menyebut nama calon suaminya itu. Ia memang belum tahu nama orang yang akan menitipkan benih di rahimnya. Setelah mendudukkan bokongnya di sofa. Rani mengeluarkan satu kartu nama berwarna perpaduan black dan gold. “Galvin Chandra Hermawan,” ejanya secara pelan. “Wah, dia ternyata CEO di perusahaan tambang emas. Pantas saja dia berani membayarku dengan harga fantastis,” lanjutnya tak menyangka. Saat Rani sedang bertarung dengan pikirannya, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Ia pun langsung merapikan riasannya dan juga bajunya agar terlihat sempurna. Setelah pintu terbuka, Rani yang ingin menyapa dibuat tercengang oleh kedatangan pria tak dikenal. “Siapa kamu?” tanyanya dengan menelisik. “Tenang, Nona Cantik. Aku di sini hanya ingin menemanimu sebentar. Kebetulan tuan Galvin masih ada meeting,” kata Pria itu tersenyum. “Ternyata pilihan Galvin bagus juga. Kenapa semalam aku tidak melihatmu?” sambung pria itu dengan tatapan tak biasa. “Apa maksudmu?” “Tidak perlu berpura-pura, Manis. Bagaimana kalau kita bersenang-senang sambil menunggu kedatangan tuanmu. Tenang, akan aku bayar. Asal servismu memuaskan!” tawar pria itu menyeringai. Rani tidak terima dengan ucapan pria di hadapannya saat ini. “Jaga mulutmu, Tuan. Aku tidak sudi melayani pria sepertimu!” desisnya membuang muka. “Apa kamu bilang? Tidak sudi? Hei, wanita jal*ng. Aku bahkan bisa membayarmu lebih dari yang Galvin berikan padamu!” cecar Pria itu tak terima. Ia pun mendekat ke arah Rani lalu mendorongnya ke atas ranjang. Rani mencoba memberontak. Namun, tenaga pria itu sangat kuat. Membuat Rani tak bisa berbuat apa pun selain pasrah. “Lepaskan, Tuan. Aku bisa saja melaporkan dirimu atas tindakan pelec*han!” seru Rani dengan mencoba terlepas dari dekapan pria itu. Rani akhirnya menendang bagian sensitifnya, sampai pria itu meraung kesakitan. “Biad*p kau wanita murah*an!” teriak pria itu yang tersungkur di lantai. Rani tak menggubrisnya. Ia pun hendak berlari ke arah pintu. Namun, sayangnya kakinya tersandung tangan pria itu yang menghalangi. Ia pun terjatuh ke lantai dengan keras hingga akhirnya ia tak bisa bergerak, sebab pria itu sudah mengunci tubuh Rani di atasnya. “Lepaskan aku!” teriak Rani kencang. “Tolong!” jeritnya berharap ada seseorang yang mendengar dan membantunya. Pria itu dibuat emosi oleh Rani yang berani berteriak. Tamparan keras, ia layangkan ke wajah mulus Rani hingga bibirnya berdarah. Rani memegang pipinya yang panas. Buliran bening perlahan turun membasahi pipinya. Baru kali ini dia mendapatkan perlakuan kasar oleh pria tak di kenal selain si penagih hutang. “Jangan coba-coba melawan diriku! Aku bisa saja berbuat lebih kejam dari ini!” ancam pria itu dengan berbisik di daun telinga Rani dengan menjilat pelan. Rani benci tindakan pria ini yang lancang padanya. Kedua tangannya yang terkunci membuat dirinya tak bisa berbuat apa pun. Pria itu menyeringai melihat kedua mata wanita di bawahnya ini mulai sanyup. Ia pun hendak mencium bibir kecilnya yang sedari tadi sangat menggoda. Namun, belum juga menempel tiba-tiba seseorang mendorong pria itu dan memukul rahangnya dengan keras. “Brengs*k, kamu apakan wanita ini, hah!” hardik Galvin emosi. “Dia yang menggodaku, Galvin. Benar ‘kan kau menggodaku!” Pria itu menuduh Rani yang kini sudah berdiri di dekat pintu. “Bohong! Dia memaksaku untuk melayaninya,” kata Rani jujur. Emosi Galvin semakin meradang. Ia pun menghajar partner bisnisnya kembali tanpa ampun. “Maafkan aku, Galvin! Aku bisa jelaskan semuanya!” mohon pria itu tak berdaya. Galvin pun menghentikan aksinya dengan mendorong patner bisnisnya keras ke lantai. “Jangan coba-coba menyentuh wanitaku! Apa kamu paham!” ancam Galvin lalu menarik tangan Rani meninggalkan kamar itu. Sontak saja, Rani dibuat terharu oleh sikap Galvin padanya. Ia hanya bisa menurut mengikuti langkah pria yang akan menyewa rahimnya membawa ke kamar yang berbeda. Galvin menyuruh Rani untuk duduk di pinggir ranjang. Sementara dia mengambil kotak obat untuk mengobati bibir Rani yang berdarah. “Maafkan atas kelancangan temanku!” ucap Galvin dengan menempelkan kain kasa ke arah bibir Rani. Rani memandang Galvin dengan tatapan sendu. Baru kali ini dia diperlakukan baik seperti ini. Tak terasa cairan bening turun secara perlahan ke atas pipinya. “Terima kasih,” suara Rani bergetar. Galvin tersenyum. “Kamu akan baik-baik saja sekarang dan pastinya kamu akan aman dari pria itu,” timpalnya merasa bersalah. Rani hanya mengangguk pelan. “Kamu tunggu saja, sebentar lagi penata rias akan datang ke sini. Kita menikah hari ini. Aku akan menunggumu di bawah,” ujar Galvin tersenyum. Ia pun beranjak dari ranjang dan juga tidak lupa mengusap kepala Rani secara pelan. Hal itu sontak membuat Rani terkejut dan terdiam kaku. “Tidak. Ini jangan sampai terjadi!” ucapnya dengan memegang d*danya yang berdebar.Pernikahan Rani dan Galvin sudah diselenggarakan secara tertutup. Rani bahkan masih tak menyangka kinu statusnya sudah berubah menjadi seorang istri. Meski kenyataannya dia hanya menjadi istri kedua. “Setelah selesai apa aku boleh pulang?” tanya Rani saat berada di dalam satu kamar hotel. Galvin yang fokus dengan benda pipihnya pun mendongak ke arah Rani yang berdiri di hadapannya. “Apa? Pulang? Buat apa? Kamu istriku sekarang. Jadi, aku minta kamu tetap di sampingku mulai detik ini,” timpal Galvin dingin. Rani pun membelalak tak percaya. “Tapi, Tuan. Ada beberapa hal yang ingin aku selesaikan. Aku janji setelah semua tuntas, aku akan kembali ke sini,” ucapnya penuh berharap. “Seberapa pentingkah hal itu untukmu?” tanya Galvin dengan beranjak dari kursi dan mendekat ke arah istri keduanya. Rani cukup gugup untuk menjawab. Dia tidak bisa memberitahu kenyataannya jika hal penting itu adalah menyangkut hutang kedua orang tuanya. Ia tidak ingin melibatkan Galvin ke dalam mas
Galvin mengangguk pelan. Sementara Rani, ia menunduk takut. “Kenapa kamu baru memberitahuku, Mas?” Siska bertanya penuh emosi. “Bukankah ini yang kamu inginkan? Aku menikah lagi?” Galvin berbalik tanya membuat wajah Siska kelicutan. “Apa maksudmu?” Helena ikut angkat bicara. “Tanyakan sama menantumu, Bu,” tunjuk Galvin mengarah pada Siska. Helena pun menatap ke arah Siska meminta jawaban. Siska mengangguk lalu ia pun berkata, “Yang dikatakan mas Galvin benar, Bu. Aku menyuruhnya untuk menikah lagi. Karena aku tidak bisa memberinya anak. Tapi, yang jadi masalahnya kenapa harus diam-diam kamu menikah di belakangku, Mas. Apalagi kita tidak tahu asal usul dia dari mana!” Siska pun bicara jujur. Sontak Galvin dibuat tercengang saat Siska menanyakan asal usul istri keduanya. “Jawab Galvin? Dia dari keluarga mana? Apa setara dengan kita atau—,” “Yang terpenting dia orang baik,” sela Galvin memotong ucapan Helena, Ibu kandungnya. Siska mendecih. Ia melirik ke arah istri kedu
Sementara itu, Rani yang di kamar pun berganti pakaian memakai baju yang menurutnya sopan. Ia keluar untuk menyapa keluarga sang suami. Tidak ada rasa penyesalan sedikit pun di hati Rani setelah apa yang terjadi di beberapa menit yang lalu. Lagi pula itu sudah menjadi kebiasaannya. Membuat ia merasa hal itu biasa saja. “Selamat pagi semua,” sapa Rani tersenyum. Namun, sayangnya tidak ada satu pun yang merespons. Galvin yang tersenyum tipis, akhirnya menarik tangan istri keduanya untuk duduk di sebelahnya yang kosong. “Duduklah, setelah sarapan kita langsung pulang ke rumah,” titahnya kepada Rani yang mengangguk pelan. Rani hanya menurut. Ia tak mempermasalahkan sikap keluarga dari suaminya itu. “Maksudmu pulang apa, Mas?” tanya Siska menimpali. “Kita kembali ke rumah, lagi pula sekarang sudah ada Rani yang menemani kamu,” sahut Galvin. Siska mendecih. “Aku tak sudi ditemani orang kaya dia!” tunjuknya mengarah pada Rani. “Jangankan tinggal serumah, dekat saja aku mera
“Kenapa kamu diam? Karena memang benar makanya kamu tidak berani berkutik?” tawa Siska sinis. “Kalo memang benar kenapa? Lagi pula yang menginginkan diriku, suamimu bukan aku!” jawab Rani spontan. Siska pun tak habis pikir. Jika Rani masih berani melawannya. “Ingat, Nyonya! Meski aku wanita malam. Tapi, aku yang akan mengandung anakmu!” timpal Rani lagi lalu pergi meninggalkan Siska yang terdiam mematung. Tentu saja, Siska menghentakan kakinya saking kesalnya kepada istri kedua suaminya itu. “Lama-lama aku jadi g*la gara-gara dia! Semua gagal total karena mas Galvin!” gumam Siska dengan pergi meninggalkan kamar Rani. Di dalam kamar. Rani menghela napas panjang. Sebenarnya, dia sedikit takut karena Siska sudah tahu dari mana ia berasal. Entah kenapa ia mempunyai firasat yang tidak enak. “Ku kira ancaman Marko paling menakutkan. Ternyata ini lebih menyeramkan dari yang dibayangkan! Astaga, bagaimana aku bisa hidup tenang selama 10 bulan ke depan,” sesalnya dalam hati. Ra
“Aku tidak mau melepaskanmu! Asal kamu mau merahasiakan tentang Rani. Ini untuk kebaikan kita, Sayang. Rani berperan penting bagi anak kita nanti,” terang Galvin menenangkan istri pertamanya. Isak tangis Siska semakin pecah. Ia memang menginginkan seorang anak. Namun, ada rasa tidak terima jika anaknya nanti dikandung oleh wanita semacam Rani. “Aku mohon, kamu terima Rani. Bagaimana pun dia sudah rela mau memberikan anak untuk kita. Kamu mengerti ‘kan?” Galvin berkata kembali agar Siska paham. Anggukkan kecil pun Siska berikan kepada suaminya. Meski hatinya sebenarnya menolak keras, tetapi ia akan mencoba menerima Rani berada di keluarganya. “Maafkan aku, Mas. Aku terlalu egois. Sampai-sampai aku bersikap seperti ini,” sesal Siska lirih. Galvin yang masih memeluk tubuh istri pertamanya langsung merasa lega. Sebab, Siska sudah mau menerima Rani kali ini. “Tidak perlu meminta maaf. Ini semua salahku, harusnya dari awal aku memberitahumu. Akan tetapi, semua sudah terjadi,” ka
Galvin langsung membawa Helena ke rumah sakit terdekat dari kantor dibantu oleh asisten pribadinya. Setelah menempuh perjalanan kurang dari 20 menit. Kini mobil Galvin sudah sampai di halaman lobi rumah sakit. Lingga, asisten Galvin langsung membantu membukakan pintu mobil dan membantu mengangkat Helena ke atas brankar. “Lingga, tolong kamu handle dulu meeting hari ini. Aku akan menemani ibuku sampai sadar,” titah Galvin saat Helena sudah masuk ke ruang IGD. Sang asisten pun hanya mengangguk pelan. Setelah pamit kepada bosnya. Lingga langsung meninggalkan Galvin seorang diri di koridor rumah sakit. Galvin mendudukkan bokongnya di kursi tunggu dengan memijat pelipisnya secara pelan. Tak lama, seseorang datang tergesa-gesa menghampiri keberadaan Galvin. “Apa yang terjadi, Vin? Kenapa ibumu dilarikan ke rumah sakit?” tanya Frans tanpa basa basi. “Maafkan aku, Ayah. Ini semua salahku,” jawab Galvin dengan lesu. “Apa maksudmu, Galvin? Katakan dengan jelas!” hardik Frans menin
Rani yang bingung akan pengusiran dari mertuanya itu hanya bisa terdiam dengan wajah polosnya. “Apa yang terjadi, Mas?” Siska yang baru saja datang dibuat bingung oleh ekspresi wajah ibu mertuanya yang tampak kesal. “Suruh wanita j*lang itu pergi, Siska! Aku tidak sudi melihat dia di sini!” usir Helena sekali lagi mengarah pada Rani. “Kamu belum tahu ‘kan?” tunjuk Helena dengan jari telunjuknya. “Ternyata wanita itu adalah wanita malam. Aku tahu dia mau dijadikan istri kedua pasti ingin memanfaatkan Galvin dan juga anaknya nanti,” imbuhnya menyindir. Galvin yang mendengar hal itu tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. Karena kenyataannya tidak seperti itu. “Ibu, yang Ibu katakan itu tidak benar!” bela Galvin dengan tegas. “Aku yang menginginkan Rani. Aku pula yang sudah menawarkan Rani untuk menjadi istri keduaku. Rani memang sempat menolak, tetapi aku memaksanya. Sebab, aku merasa Rani wanita yang pantas untuk memberiku seorang anak,” beber Galvin menjelaskan
Sepulang dari rumah sakit. Rani tampak senang karena ia sudah bisa diterima oleh keluarga Galvin seutuhnya. Ia juga sudah berjanji akan memberikan seorang cucu secepatnya kepada Helena. Rani bahkan akan meminta haknya kepada Galvin agar melakukan hubungan selayaknya suami istri. Karena Siska saat ke rumah sakit membawa mobil sendiri membuat Rani dan Galvin pulang hanya berdua. Rani tidak akan melewatkan kesempatan untuk bertanya kembali mengenai haknya. “Tuan, aku ingin bicara,” kata Rani dengan serius. Galvin pun sengaja menghentikan mobilnya agar bisa mendengarkan apa yang akan dibicarakan oleh istri keduanya itu. “Mau bicara apa?” tanya Galvin dengan memandang ke arah wajah Rani. “Aku....,” jeda Rani gugup. Namun, karena ia tidak bisa menunda lagi. Akhirnya ia memberanikan diri mencium bibir Galvin. Tentu saja, Galvin sangat terkejut oleh sikap Rani yang seberani itu. Ia pun mendorong tubuh Rani untuk menjauh. “Maaf, Rani. Apa yang kamu lakukan?” Galvin berkata de
“Aku tidak suka, kalo kamu pergi tanpa seizinku, Rani!” pekik Galvin emosi. “Tapi, Mas ....” Rani hendak bicara, namun tanpa diduga bibirnya kini dilumat oleh Galvin hingga ia hampir kehabisan oksigen. Dia mendorong tubuh Galvin dengan keras. Hingga membuat tubuh suaminya itu terpental jatuh di atas ranjangnya. “Kenapa kamu sekasar ini, Mas? Apa salahku!” gertaknya tak terima. Galvin mendengkus. “Karena ini hukuman yang pantas untukmu, Rani!” sangkalnya menatap dingin. Rani menggeleng cepat. Ia lalu meninggalkan suaminya dengan masuk ke kamar mandi, tidak lupa juga menguncinya dari dalam. Setelah itu ia tatap wajahnya yang cukup berantakan. Lipstik yang ia pakai juga sudah belepotan ke mana-mana. Air matanya tak bisa ditahan lagi. Ia menghapus jejak air matanya yang berulang kali keluar. “Hanya karena pulang bersama mas Haris. Mas Galvin sampai semarah itu,” desisnya tak habis pikir. *** Setelah hampir dua jam lebih berada di dalam kamar mandi. Kini Rani keluar s
Kalisa menarik lengan mantan kekasihnya hingga dia berbalik ke hadapannya. Suara tamparan keras pun terdengar saat tangan mungil Kalisa mendarat ke pipi kiri mantannya itu. “Beraninya lo jalan sama wanita lain, sedangkan hutang lo aja belum dibayar!” cecarnya emosi. Marshel Gunawan, mantan kekasih dari Kalisa memegang pipinya yang terasa panas karena tamparan dari mantan kekasihnya itu. Ia mendengkus kesal kali ini. “Gue akan balikin secepatnya!” desisnya meninggi. “Kalau lo tetap memaksa, gue bisa aja sebarin rahasia kita!” ancamnya membuat wajah Kalisa yang kesal langsung melunak. “Jangan cuman berani mengancam saja, ya, Shel!” pekik Kalisa. Ia juga menatap ke wanita di samping Marshel dengan penuh amarah. “Sebelum lo jadi mangsa selanjutnya, lebih baik putusin dia, carilah yang lebih baik darinya!” tuduhnya membuat si wanita itu menunduk takut.“Jaga bicaramu, Lisa!” geram Marshel mendorong tubuh Kalisa hingga terhuyung ke arah lantai. Untung saja, Marko dengan sigap men
Beberapa hari kemudian. Setelah dinyatakan hamil, keadaan Rani cukup berbeda. Bukan hanya Galvin yang selalu mengkhawatirkan dirinya, tetapi sekarang Helena bersikap yang sama. Rani begitu bahagia diperlakukan sebaik itu oleh ibu mertuanya. Dari pakaian dan juga makanan, Helena sangat antusias menyiapkan semuanya untuk Rani. Tentu saja, hal itu membuat Siska semakin cemburu atas sikap Helena pada istri kedua suaminya. Rani seperti biasa setiap pagi ia kan menyirami tanaman di kebun samping rumah milik suaminya. Semenjak hamil, ia menjadi menyukai tanaman. “Bisa nggak, hamil jangan bikin manja atau caper ke semua orang! Jijik tahu nggak lihatnya!” desis Siska yang tiba-tiba berdiri di samping Rani. Rani memutar tubuhnya ke arah samping. Ia tatap wajah istri pertama suaminya dengan membuang napas secara pelan. “Siapa yang manja?” tanya Rani dengan kembali fokus ke arah tanaman. “Kamu tuh, ya!” geram Siska kesal. Tangannya yang terangkat seketika ia hempaskan secara kasar.
Rani di antar oleh Helena dan Frans sampai di kediaman Galvin. Meski wajahnya terlihat murung dan lesu, tetapi Rani harus menunjukkan senyum lebarnya kepada kedua orang tua suaminya. “Kamu istirahat saja di kamar, jangan terlalu banyak beraktivitas. Kalo perlu sesuatu panggil saja bi Inah. Dia yang akan ku suruh untuk menjagamu setiap saat,” titah Helena saat sudah masuk ke dalam rumah putranya. Bi Inah sendiri adalah pelayan kepercayaannya yang sengaja ia datangkan langsung dari rumahnya. Karena ini menyangkut cucu kesayangannya. Membuat Helena enggan mencari orang baru, ia belum sepenuhnya percaya kepada orang baru bahkan pembantu baru yang bekerja di rumah putranya saat ini. “Terima kasih, Bu. Ini suatu kehormatan untukku,” kata Rani tersenyum trenyuh. Helena seketika menggeleng. “Tidak perlu berkata seperti, Rani. Kamu sudah saya anggap seperti anakku, yang terpenting cucuku nantinya bisa lahir dengan sehat,” sahutnya lagi. Rani hanya tersenyum tak menjawab. Ia rasanya s
Satu jam pun berlalu. Keluarga Galvin dan istri pertamanya kini telah sampai di rumah sakit. Helena langsung memeluk Rani saat sudah berada di dalam ruang IGD. “Sayang, terima kasih untuk kehamilanmu,” ucapnya dengan lembut. “Iya, Bu. Terima kasih,” jawab Rani terharu. Frans juga mengucapkan selamat, di belakangnya kini tinggal Siska yang masih terdiam berdiri sembari menatap ke arah istri kedua suaminya. “Selamat, Rani. Jaga dirimu baik-baik selama 9 bulan,” kata Siska setelah mengurai pelukannya. “Terima kasih, Mbak,” sahut Rani tersenyum. Rani sedikit senang dengan ucapan Siska yang menurutnya enak di dengar. Entah ini hanya karena ada kedua mertuanya dia bersikap baik, atau memang senang mendengar atas kehamilannya. “Bu, kata Dokter, Rani sudah diperbolehkan pulang sekarang,” ucap Galvin saat masuk ke dalam ruangan. Saat orang tuanya datang. Dia memang dipanggil oleh suster untuk menemui sang dokter. “Syukurlah, hayo, Rani. Ibu dan ayah akan mengantarmu. Biar Siska
Bibir Rani seketika sulit terucap mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Galvin. “M-as!” sapa Rani gugup. “Jawab, ucapanku Rani! Siapa dia?” bentak Galvin terbawa emosi. Marko yang mendengar bentakan Galvin tidak terima, meski ia dulunya kasar kepada Rani. Melihat Rani diperlakukan seperti itu hatinya terasa sakit. “Aku Marko, kerabat Rani.” Marko akhirnya yang menjawab. Sebab, Rani masih saja terdiam.“Aku tidak bertanya kepadamu!” hardik Galvin menatap ke arah Marko. “Jawab, Rani! Siapa dia?” ulangnya geram. “Marko benar, Mas. Dia kerabatku, lebih tepatnya saudara dari ibu.” Rani berkata jujur. Kedua matanya yang mengembun kini menetes dengan menatap ke arah wajah Galvin yang memerah. “Kita pulang sekarang!” ajak Galvin dengan menarik lengan kanan Rani secara kasar. Namun, tangan kiri Rani ditahan oleh Marko. “Jangan bersikap kasar kepadanya!” tekan Marko tak terima. Rani pun menengok ke arah belakang di mana Marko berada. Ia seperti salah mendengar ucapan yang dika
Kalisa yang melihat Rani di depan pintu kamarnya seketika langsung tak sadarkan diri. Hal itu membuat Rani semakin panik, dengan cepat pula ia menghampiri ranjang sahabatnya mencoba membangunkan. “Kalisa! Bangun, Sa!” teriak Rani dengan kencang. Namun, suara Rani tetap tak bisa membangunkan keadaan Kalisa yang terpejam. Rani bingung harus menghubungi siapa karena di sini tak mempunyai kerabat selain Galvin. Terbesit dalam benak Rani nama Marko di pikirannya. Tanpa menunggu lama, ia langsung mencari nomor pria itu di ponselnya. Lalu menghubungi untuk ke apartemen Kalisa. “Baik, aku akan ke sama sekarang!” jawaban Marko membuat hati kecil Rani lega.“Terima kasih, Marko.” Ucapan Rani untuk pertama kali kepada Marko. Karena sedari dulu hanya umpatan yang sering ia keluarkan kepada Marko si penagih hutang. Rani pun turun dari ranjang Kalisa. Ia akan mencari sesuatu yang akan menjadi bukti nanti. Setelah mencari ke seluruh kamar sahabatnya. Tidak ada satu pun benda yang mencurig
Satu minggu kemudian. Hampir satu bulan Rani menyandang status sebagai seorang istri. Meski hanya sebagai istri kedua, tetapi Rani merasa kehidupannya mulai berubah. Ia pun kini tidak perlu lagi bersusah payah mencari selembar uang untuk menghidupi kesehariannya. Sebab, kini semua kebutuhan sudah tercukupi. Di pagi ini dengan suasana yang cerah. Rani disibukkan oleh beberapa tanaman bunga yang sengaja ia tanam. Meski tidak mendapat persetujuan dari istri pertama suaminya. Namun, untung saja Galvin sebagai sang suami tetap mengizinkan. Hal itu membuat Rani merasa senang oleh sikap Galvin yang semakin hari semakin perhatian. Disaat fokus menyirami, Rani sampai tidak tahu jika Siska kini berada di belakangnya sembari melipat kedua tangan di d*danya. “Setelah selesai, beresin seluruh rumah. Aku hari ini ada acara sampai sore,” titah Siska. Rani terkejut mendengar perintah dari istri pertama suaminya. Sebab, Galvin pernah bicara jika hari ini akan kedatangan pembantu untuk me
“Jadi kamu sudah tahu siapa Rani?” tanya Galvin menatap tajam ke arah Haris. Haris sendiri hanya mengangguk. “Entah ini kebetulan atau bagaimana, aku juga sedikit kaget. Saat tahu wanita malam kesayanganku harus menjadi istri keduamu. Padahal dialah yang menjadi alasanku kembali ke tanah air, jika sedang berlibur,” sahutnya terang-terangan. “Seberapa lama kalian kenal? Jadi, kamu pernah tidur dengan Rani?” cecar Galvin penasaran. Hatinya semakin panas, tetapi ia harus tetap bisa menyembunyikan ekspresi kesal di wajahnya. “Kurang lebih satu tahun, jangankan tidur, bersetu—.” Galvin seketika langsung meninggalkan Haris seorang diri. Padahal Haris belum selesai berbicara. Kepergian Galvin yang begitu saja, membuat Haris menyeringai. Ia tahu jika sepupunya terbakar cemburu oleh ucapannya. Namun, Haris tak mempermasalahkan, sebab, ia berbicara sesuai kenyataan yang ia alami. Galvin berjalan ke arah kebun belakang. Ia langsung meraih tangan kiri Rani untuk berdiri. “Bangun, ki