Pagi ini Rhea dan Tian sudah bersiap untuk pulang dari rumah sakit. Tentunya bukan pulang ke rumah, karena saat ini keduanya masih berada di luar kota ... yang artinya ya pulangnya ke hotel.“Tian, kamu yakin hari ini kita langsung balik?”“Hmm,” angguk Tian. “memangnya kenapa?”“Nggak kenapa kenapa, cuman kasihan aja sama kamu. Beberapa hari kurang istirahat dan sekarang harus melakukan perjalanan jauh lagi.”Tian tersenyum menanggapi perkataan istrinya, kemudian berjalan menghampiri dia yang duduk di pinggiran tempat tidur.“Bukankah aku sudah biasa kurang tidur, jadi sekarang istirahat juga nggak akan membuatku merasa tenang.”“Terlalu memaksakan diri juga nggak boleh. Ingat, ada istri kamu yang selalu membutuhkanmu. Dan aku nggak mau kalau kamu sampai sakit gara gara kurang istirahat.”Tian mengangguk paham dengan apa yang dikatakan Rhea.“Maaf, jika aku terlalu cerewet menurutmu. Tapi aku benar benar merasa bersalah jika kamu kurang istirahat apalagi gara gara aku.”Tian langsung
“Hana,” gumam Justin tampak kaget akan kedatangan istrinya yang tiba tiba. Tak Hanya Justin, bahkan Tian yang juga ada di sana bersama dengannya juga dibuat kaget.“Kalian ngapain ke sini?” tanya Tian menghampiri keduanya. Sedang Justin masih diam di posisinya.Hana berjalan menghampiri Justin yang masih menatapnya fokus. Sampai dihadapan suaminya itu, lagi lagi ia bertanya.“Apa yang sedang kamu lakukan, Justin?”“Hanya melakukan sesuatu yang membuat seseorang merasakan sakit seperti yang ku rasakan kemarin,” jawabnya dengan mengarahkan telunjuk pada seseorang yang tampak menyedihkan di sana.Awalnya Hana tak terlalu peduli, tapi ketika pandangannya mengarah pada arah yang Justin tunjuk, membuatnya seketika kaget.“Astaga! Je, apa yang kamu lakukan pada dia?!”Ingat, kan ... wanita yang kemarin begitu kekeuh mendekati Justin dan ingin dekat dengan suaminya ini? Yap, kali ini dia terlihat menyedihkan dengan luka lebam di pipinya. Entah apa yang sudah dilakukan suaminya ini, hingga mem
Tian mengangguk cepat, pertanda setuju dengan pilihan yang diberikan Rhea.“Iya, aku janji ... aku janji nggak akan bikin hal semacam ini lagi. aku janji akan melakukan apapun yang emnurut kamu itu baik,” ucap Tian. “Sekarang, kemarilah.” Emngulurkan tangannya ke arah istrinya itu, agar menjauh dari pinggiran jembatan.“Jangan membohongiku.”“Haruskah aku berlutut agar kamu yakin dengan perkataanku kali ini?”Rhea tak menjawab, hingga akhirnya Tian benar benar melakukan apa yang ia katakan itu. Hanya saja tak sampai terjadi, karena Rhea lebih dulu mendekat dan memeluknya.“Jangan melakukan hal seperti itu lagi, Rhe ... itu membuatku takut,” bisik Tian memeluk erat Rhea dan menenggelamkan wajahnya di lekukan leher istrinya itu. “Aku akan lakukan apapun yang kamu mau dan inginkan, asal jangan pernah berpikir untuk pergi ninggalin aku.”Rhea tersenyum mendengar perkataan Tian. Entahlah, hanya rasanya senang saja ketika bisa membuat luluh hati keras seseorang seperti Tian. Memang, dia kel
Katanya dia hanya istirahat, bukan tidur ... tapi lihatlah, bahkan napas teratur yang dia hembuskan saja seakan meyakinkan kalau Justin benar benar tertidur.“Ya, kamu nggak tidur, hanya sekadar istirahat. Tapi lihatlah, justru hingga sekarang sudah satu jam waktu berjalan dan kamu belum bangun,” gumam Hana.Hana tersenyum, sambil mengelus lembut wajah yang tenang dalam pangkuannya ... kemudian sesekali mencium dahi Justin.Ia benar benar tak ingin Justin menyakiti dan merasa disakiti lagi. Karena dampaknya benar benar buruk, bahkan membahayakan. Bukan hanya menyiksa, karena merasa tersakiti membuat sikap kasarnya seketika muncul seolah tak pandang bulu untuk menyiksa.Awalnya ia tak begitu yakin jika sikap suaminya begini karena bawaan dari kebiasaan yang dia derita dari dulu, tapi ternyata faktor lain juga mempengaruhi. Ya, apalagi kalau bukan sebuah kebohongan yang dilakukan oleh mamanya. Membuat rasa percayanya terhadap wanita, seakan akan tak ada lagi. Maka dari itu jugalah, dia
Tetap, ya ... tak seperti keinginan Hana. Justin tetap bersikeras akan mengemudi. Memang benar benar keras kepala sekali dia. Padahal niatnya kan biar suaminya itu bisa istirahta jika ada supir, toh sampai di rumah dia pasti akan langsung emngurus kerjaan. Bakalan kurang tidur dan istirahat.“Han, kamu nggak mau mengajak suamimu ini mengobrol?” tanya justin ketika Hana memilih untuk diam.“Nggak ada yang mau ku bicarakan,” respon Hana menahan tawanya.“Itu kenapa juga harus tertawa.”“Aku cuman pengin kamu fokus mengemudi aja, Je. Kalau ku ajakin nbgobrol terus, ntar malah makin lama nyampenya. Kalau makin lama, itu artinya nyampe rumah kamu nggak bisa istirahat dulu. Lanjut ke kantor, kerja sampai malam, lembur dan ...” Menghentikan penjelasannya. “Sudahlah, aku capek jelasinnya, saking panjangnya.”“Ya, baiklah,” respon Justin pake mode pasrah.Berharap saja Hana bisa tertidur, karena kalau tidak, ia juga nggak bisa pake mode ngebut. Karena wanita yang di sampingnya ini akan terus m
Melanjutkan kehidupan seperti hari hari sebelumnya, di mana dengan dirinya yang hanya mendekam di rumah sebagai seorang ibu hamil dengan perut yang membesar. Rasanya sudah benar benar nggak bisa diungkap dengan kata kata. Dari awal perutnya yang masih datar, sekarang sudah mau otewe lounching aja ini bibit si Tuan besar. Tinggal menghitung hari perkiraan lahir.“Nona mau ngapain?” tanya seorang asisten rumah tangga ketika melihat majikannya berjalan menuju pintu belakang.“Nggak keman-mana, hanya mau ke taman belakang,” jawabnya dengan napas berat. Bagaimana tidak, setiap pergerakannya ditanya terus. Sampai sampai terkadang hanya mau ke kamar mandi, itu tempat diperiksa dulu dari kebersihan, keamanan dan segala macamnya.Bukan sok kurang kerjaan, tapi jujur saja rasanya memang membosankan jika tak berbuat apa apa. Ditambah lagi dengan semua asisten rumah tangga yang ada di rumah seolah berada dalam perintah Justin. Bahkan hanya untuk mengambil minum saja dirinya seolah dilarang, karen
Seperti yang Rhea bilang tadi, ia memang tak bisa lama lama menemani Hana. Ya, apalagi kalau bukan karena ada kuliah sore. Kalau tidak, mungkin akan ia temani sobatnya ini biar nggak kesepian.“Han, lo benar benar aman, kan?” tanya rhea memastikan ketika dirinya hendak pergi.“Kenapa?”“Si Baby nggak gelud, kan, di dalam perut lo?”Hana menempeleng kepala Rhea ketika sobatnya itu malah terlalu kepikiran akan dirinya. Nyesal juga bilang tai, lihat setalah itu dia malah selalu bertanya dan bertanya.“Udah di bilang gue nggak kenapa kenapa,” berengutnya.“Atau, gue telepon Om Justin, ya.”“Rhea, udah gue bilang juga nggak kenapa kenapa. Lagian, ini masih belum tanggal prediksinya, kan.”“Hanaku tersayang, udah tahu kan namanya prediksi ... itu artinya nggak bisa pasti. Bisa maju dari tanggal hari perkiraan bisa juga maju dari tanggal. Ya, siapa tahu elo masuk klu yang pertama.”“Udah, udah ... sana pergi. Bisa bisa endingnya lo malah nggak masuk kuliah ini.”“Anjay, gue diusir,” keluh Rh
Rhea segera menghubungi Justin, untungnya cowok itu langsung menanggapi panggilan teleponnya. Kalau tidak, haruskah ia menggunakan cara lama untuk menarik dia ke rumah sakit?Yap, mungkin sekitar 10 menit, Justin tampak berlari dari kejauhan menghampirinya.“Hana gimana?”“Ada di dalam, sama dokter,” jawab Rhea.Justin langsung bergegas masuk ke dalam sebuah ruangan di mana Hana berada. Yap, ada dokter Mila dengan istrinya yang sufdah lengkap dengan sebuah selang infus di pergelangan tangannya.““Justin,” gumam Hana.“Hana, kamu baik baik aja, kan? Kenapa nggak menhubungiku?” mengelus lembut wajah istrinya itu, dengan satu tangan menggenggam tangannya.“Maaf, ku pikir bukan waktunya.” Ini mukanya sudah nggak karuan lagi bentukannya. Antara rasa bersalah pada Justin dan rasa khawatir akan khamilannya.“Dokter, gimana?” tanya Justin pada dokter Mila.“Kondisi Mbak Hana baik, hanya tadi sempat pingsan karena mungkin kecapean juga. Dan, seperti yang saya sarankan sebelumnya, Mbak Hana n