Keheningan mencekam yang melingkupi ruangan itu terasa semakin berat, seolah-olah udara di sekitar mereka bertiga menjadi lebih pekat. Bara, yang kini berdiri di antara Vera dan Keira, merasakan beban tanggung jawab yang semakin menghimpit dadanya. Bara merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia tahu ini saatnya untuk bicara, untuk mengakhiri semua kebohongan yang telah ia bangun. Matanya melirik Keira yang berdiri dengan wajah pucat, lalu beralih pada Vera yang masih menatapnya penuh tuntutan.Ia tahu, apapun yang akan ia katakan, akan mengubah segalanya. Namun, ia tak bisa membiarkan situasi ini berlarut-larut. Bagaimanapun Bara menyadari bahwa situasi rumit ini terjadi karena rencana penuh kebohongan yang ia susun, semata-mata agar bisa merawat Keira tanpa gangguan kecemburuan Vera.Setelah menarik napas dalam-dalam beberapa kali, Bara akhirnya merasa siap untuk mengungkapkan kebenaran pada istrinya. Bagaimanapun, ia tak ingin Keira yang harus menanggung kemarahan Vera."Ve
Sesampainya di kediaman keluarga kecil Om Bara, Keira langsung diboyong oleh Tante Vera ke kamar yang akan menjadi tempat istirahatnya selama berada di rumah ini. Langkah Vera cepat dan tegas, sementara Keira mengikuti dengan canggung, sesekali menoleh ke belakang, mencari sosok Bara yang tertinggal di belakang mereka.Bara, yang khawatir membiarkan Keira hanya berdua saja dengan Vera, ingin sekali ikut mengantarkan gadis itu. Namun, dengan tegas Vera menyuruhnya untuk pergi ke kamar mereka saja.Ada ketegasan dalam suara Vera yang membuat Bara urung membantah. Seolah Vera memang benar-benar ingin memulai misinya untuk meminimalisir interaksi atau kedekatan antara suaminya dan Keira."Tapi Ve, aku ingin memastikan Keira nyaman dulu di kamarnya," Bara mencoba berargumen, meski ia tahu usahanya sia-sia.
"Kenapa kamu terlihat tidak bisa tidur dan gelisah sekali setelah tak sengaja bertemu dengan Keira tadi, Mas?" Vera bertanya, suaranya campuran antara kekhawatiran dan kecurigaan. "Benar tidak ada yang pernah terjadi antara kamu dan Keira selama sebulan lebih kamu tinggal berdua dengannya, 'kan?"Bara menelan ludah dan merasakan jantungnya berdegup kencang saat mendengar pertanyaan Vera. Ia berbalik perlahan, berusaha menenangkan diri sebelum menatap mata istrinya. Dalam keremangan kamar, ia bisa melihat sorot curiga di mata Vera.Namun, ia berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang. "Tidak ada apapun yang terjadi pada kami, Ve," jawabnya, suaranya terdengar lebih mantap dari yang ia rasakan. "Selama kami tinggal berdua, aku hanya membantu merawat Keira agar cepat pulih dari penyakit yang mengintainya."
Hari-hari berlalu bagaikan film yang diputar lambat di kediaman keluarga Bara. Matahari terbit dan tenggelam, tetapi suasana di rumah itu tetap saja terasa berat dan mencekam, seolah membeku dalam ketegangan yang tak kunjung berakhir.Setiap jam sarapan dan makan malam, mereka selalu berkumpul di meja makan, tetapi keheningan yang canggung seakan menjadi tamu tak diundang yang enggan pergi dan terus menerus hadir.Pagi itu, seperti biasa mereka duduk mengelilingi meja makan. Aroma roti panggang dan minuman hangat yang biasanya mengundang selera, kini terasa hambar di lidah mereka.Akhir-akhir ini, Vera tampak lebih pendiam dari biasanya. Matanya yang tajam sesekali melirik ke arah Bara dan Keira
Senja mulai merambat di langit kota ketika Bara melangkahkan kakinya memasuki rumah. Kekhawatiran yang sejak pagi menggerogoti hatinya kini semakin menjadi-jadi, seperti monster yang siap melahapnya bulat-bulat. Bayangan wajah pucat Keira yangterus membayangi benaknya dan juga pikirannnya yang tak bisa lepas dari hasil pemeriksaan dokter terhadap Keira, membuat Bara tak bisa berkonsentrasi sepanjang hari di kantor.Dengan langkah berat, Bara memasuki ruang keluarga. Di sana, ia menemukan Vera sedang duduk di sofa, matanya menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa suara. Atmosfer di ruangan itu terasa berat, seolah ada kabut tak kasat mata yang menyelimuti mereka."Ve," panggil Bara lembut, berusaha menelan kegugupannya. "Bagaimana hasil pemeriksaan Keira tadi?"Vera menoleh perlahan, matanya menatap tajam suaminya. Ada kilatan curiga yang tak bisa disembunyikan di balik sorot matanya yang lelah. "Dokter bilang dia hanya kelelahan," jawabnya singkat, nada suaranya dingin dan
Malam semakin larut ketika Bara akhirnya keluar dari kamar Keira. Ia melangkah pelan menuju ruang keluarga, dimana Vera menunggunya dengan wajah tegang. Suasana terasa berat, seolah ada kabut tak kasat mata yang menyelimuti ruangan itu."Lama sekali kamu di kamar Keira, Mas?!" Vera membuka percakapan, suaranya campuran antara kecemburuan, kekesalan, dan kecurigaan. "Apa memastikan kondisi gadis itu perlu menghabiskan waktu selama ini?"Bara menghela napas, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab. "Alasanku lama di sana karena menunggu Keira sampai selesai makan. Aku hanya ingin memastikan Keira menghabiskan makan malamnya, Ve."Vera menatap suaminya lekat-lekat, matanya menyipit penuh selidik. "Yakin hanya itu saja?!""Jangan mulai bersikap begini lagi, Ve!" Bara akhirnya tak bisa menahan emosinya. Suaranya meninggi, namun ada nada putus asa di dalamnya. "Asal tahu saja, sikapmu yang begini menjadi salah satu penyebab Keira menjadi banyak pikir
"Tante," Keira akhirnya bersuara, suaranya sedikit bergetar karena tangisannya masih berlansung. "Saya menghargai benget perhatian Tante dan tahu maksud Tante baik. Tapi... maaf, saya rasa saya belum siap untuk hal itu."Keira berani bersuara karena setelah memdangi wajah Vera beberapa saat, sepertinya ia bisa membaca kalau Tante Vera agaknya belum mengetahui kalau dirinya hamil anak Om Bara. Kalau pun tahu, ia yakin reaksi Tante Vera tak mungkin masih menunjukan rasa perhatian padanya.Sementara itu, Vera menghela napas panjang, matanya menatap Keira dengan campuran antara simpati dan determinasi. "Keira sayang, Tante mengerti ini bukan hal yang mudah. Tapi coba pikirkan masa depan anak-anakmu. Mereka butuh sosok ayah."Keira menggigit bibirnya. "Saya tahu, Tante. Tapi... saya mohon, beri saya waktu. Saya belum siap untuk membuka hati saya untuk orang lain."Vera menggenggam tangan Keira lembut, namun ada ketegasan dalam suaranya saat ia berkata, "Keira, Tante tidak memintamu untuk j
“Intinya aku tidak akan tinggal diam kalau kamu sampai membohongiku lagi, Mas!" Suara Vera memecah keheningan, tajam dan penuh ancaman. Setiap kata yang meluncur dari bibirnya bagaikan pisau yang siap menghujam.Bara, yang biasanya tenang dan berwibawa, kini terlihat goyah. Ia menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan kegugupan yang menggerogoti hatinya. Anggukan pelan yang ia berikan sebagai respon terasa begitu berat, seolah seluruh beban dunia ada di pundaknya.Jantung Bara berdegup kencang, irama tak beraturan yang seolah ingin memberontak keluar dari dadanya. Keringat dingin mulai membasahi dahinya, meski AC kamar berdesing lembut menghamburkan udara dingin. Rahasia yang ia simpan terasa semakin berat, seolah-olah mencekik lehernya. Namun, ia tahu bahwa mengungkapkan kebenaran saat ini hanya akan membuat segalanya menjadi lebih buruk. Sebelum ia jujur saja, Vera dapat dengan mudahnya membuat Keira banyak pikiran hanya karena gestur yang menunjukkan kecurigaan dan Vera jug