"Bunga ini ditaruh di mana, Nyonya?" tanya seorang pelayan yang bekerja di mansion keluarga Mahendra pada Shela.
"Tolong kamu tarus di sana." Shela menunjuk sebuah meja kecil yang berada tepat di samping piano yang sering Jafier mainkan sejak kecil.
Pelayan wanita itu pun bergegas menaruh bunga tersebut di atas meja yang Shela tunjuk.
Beberapa pelayan yang bekerja di mansion keluarga Mahendra terlihat sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing karena keluarga Mahendra akan mengadakan acara reuni kecil-kecilan. Ada yang menyiapkan hidangan, membersihkan rumah dan halaman depan, serta menghias ruangan agar terlihat lebih menarik dan membuat tamu yang datang tidak akan merasa bosan mengikuti acara yang selalu digelar tiap enam bulan sekali oleh kakek Jafier tersebut.
Para pelayan mengerjakan pekerjaan rumah dengan cekatan karena sudah paham dengan tugas masing-masing.
Shela beranjak ke dapur
Jafier mengemudikan Audy R8 miliknya dengan perasaan berbunga-bunga. Beban di kedua pundaknya seolah-olah terangkat setelah sang ibu memberi dukungan pada dirinya agar semangat mendekati Cara. Sekarang tidak akan ada lagi orang yang bisa menghalanginya untuk bersatu dengan gadis itu. Sekali pun itu kakeknya. Jafier merasa sangat menyesal kenapa dulu begitu tergesa-gesa pergi meninggalkan Cara. Seharusnya dia memastikan dulu kebenarannya sebelum memutuskan untuk pergi. Namun, percuma saja dia menyesali semuanya karena dia tidak akan bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahannya. Lebih baik sekarang dia berusaha mendekati Cara agar kembali jatuh ke dalam pelukannya. Lagi pula dia sangat yakin jika gadis itu masih memiliki perasaan yang sama pada dirinya. Jafier menurunkan kaca mobilnya lalu mengeluarkan s
Tubuh Cara menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak mendengar ucapan Jafier barusan. Lelaki itu pasti bebohong. Iya, pasti. "Aku berkata sungguh-sungguh, Caramell." Cara masih bertahan di posisinya. Sementara Alvaro tidak tahu harus berkata apa. Dia benar-benar terkejut mendengar ucapan Jafier barusan, sama seperti Cara. Apa benar jika Jafier dan Cara bukan saudara kandung? "Anda jangan main-main, Mr. Mahendra? Saya sudah cukup sabar menghadapi Anda. Jadi, stop! Jangan pernah mengganggu istri saya lagi." Alvaro ingin pergi meninggalkan Jafier, tapi langkahnya tertahan karena mantan kekasih Cara itu kembali bicara. "Aku tidak berbohong, Caramell," ucap Jafier mengabaikan ancaman Alvaro. "Selama ini Kakek telah berbohong padaku karena dia tidak suka aku menjalin hubungan denganmu. Aku merasa sangat bodoh karena percaya deng
Alvaro berdiri mematung dengan mata mengerjab-ngerjab dan jantung yang berdetak hebat karena terkejut dengan apa yang Cara lakukan barusan.Sedikit pun dia tidak pernah menyangka Cara tiba-tiba mengecup bibirnya. Rasanya sungguh gila dan membuat jantungnya berdebar-debar.Rasa panas sontak menjalari wajah Alvaro meninggalkan semburat merah di kedua pipinya, bahkan merambat hingga ke telinganya.Debaran jantungnya semakin tidak jelas karena Cara menatapnya begitu lekat. Gadis itu seolah-olah magnet yang berhasil menarik seluruh perhatiannya hingga membuatnya tidak mampu melihat ke arah lain.Ini benar-benar gila.Sepertinya Alvaro telah jatuh hati terlalu dalam pada gadis polos dan ceroboh seperti Cara."Aku mencintaimu, Roo," bisik Cara terdengar merdu di telinganya.Seharusnya Alvaro merasa bahagia. Namun, dia hanya diam, menatap Cara dengan pandangan yan
"Apa aku tidak memiliki kesempatan sama sekali, Caramell?" Jafier menatap Cara dengan penuh harap.Cara menggeleng tegas. Lagi pula dia tidak ingin memberi Jafier harapan palsu karena di hatinya hanya ada nama Alvaro."Caraemell, aku mohon ....""Sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, kan?"Jafier menggeleng padahal dia masih ingin berbicara dengan Cara dan memandangi wajah gadis itu lebih lama."Kalau begitu pulanglah." Cara ingin beranjak ke kamar karena sudah meninggalkan Mello terlalu lama, tapi Jafier malah mencekal pergelangan tangannya."Untukmu." Jafier memberikan seikat bunga mawar putih yang dibawanya ke Cara.Cara cepat-cepat melepas tangannya dari genggaman Jafier. "Terima kasih, tapi kamu tidak perlu memberiku bunga, Jafier," tolaknya."Apa kamu tidak menyukainya?" Kening Jafier berkerut dalam karena Cara menolak bung
Dentuman musik terdengar keras di setiap sudut kelab malam yang paling terkenal di Ibu Kota. Baik laki-laki mau pun perempuan terlihat asyik meliuk-liukkan tubuh mereka di atas lantai dansa. Mereka menari seperti orang kehilangan akal untuk sekadar mencari hiburan atau pun melepas penat. "Beri aku minuman lagi." Seorang lelaki berkemeja biru kembali memesan segelas cocktail. Padahal dia sudah nyaris kehilangan kesadaran karena terlalu banyak minum. Malam ini Jafier pergi ke kelab malam karena ingin berhenti sejenak memikirkan Cara. Namun, gadis itu enggan enyah dari dalam pikirannya. Setiap sudut di pikirannya dipenuhi Cara, Cara, dan Cara. Sialan! "Cepat buatkan minumanku!" geramnya membuat seorang pemuda yang berdiri di belakang meja bartender terlonjak kaget. "Tapi, Anda sudah terlalu banyak mium." "Jangan banyak bicara dan buatkan saja minumanku!" sengit Jafier t
"Kau menyanggupi permintaanku kan, Jafier?" Brian menatap sang sahabat dengan lekat. Semoga saja Jafier tidak melakukan cara kotor untuk mendapatkan Caramell kembali.Jafier menarik napas pajang, sedetik kemudian dia menganggukkan kepala."Iya, aku menyanggupi permintaanmu," jawabnya membuat Brian sontak mengembuskan napas lega.***Semilir angin menerobos masuk ke dalam kamar yang didominasi cat berwarna abu-abu itu. Menerbangkan tirai-tirai halus yang menggantung di jendela.Alvaro bergerak gelisah di atas tempat tidurnya. Rasanya seperti ada seseorang yang mengecupi wajahnya. Mulai dari mata, kening, pipi, bahkan bibirnya.Alvaro pun mencoba untuk membuka kedua matanya walau terasa berat. Namun, ra
"Pak, tolong naikkan bunga-bunga ini kembali ke mobil."" ... ""Pak, saya mohon. Bawa bunga-bunga ini kembali."Orang-orang tersebut tidak ada memedulikan ucapan Cara. Mereka terus menurunkan bunga dari mobil pick up tersebut hingga membuat ruang tamu, teras, bahkan halaman rumah Alvaro penuh dengan bunga."Argh!" Cara mengacak-acak rambutnya dengan asal untuk melampiaskan kekesalan karena rumah Alvaro sekarang benar-benar mirip dengan toko bunga milik Danica."Tu-tunggu. Apa lagi ini?" Cara terlihat panik karena sebuah mobil pick up yang membawa aneka jenis bunga kembali memasuki halaman. Tidak lama kemudian seorang lelaki yang Cara taksir berusia sekitar empat puluh tahun turun dari mobil tersebut lantas berjalan menghampirinya."Apa Anda, Nona Caramell?""Ya." Cara mengangguk kaku."Ada kiriman bunga untuk Anda." Kurir tersebut mengulu
"Kita akan mendapat keuntungan yang sangat besar jika membangun sebuah pusat perbelanjaan dan kebugaran di kawasan elit tersebut. Bagaimana pendapat Anda, Mr. Dinata?"Semua mata sontak tertuju pada Alvaro. Namun, lelaki itu hanya diam karena tidak menyimak sama sekali presentasi yang disampaikan oleh kliennya."Sstt, Al ...." sengit Jafier menatap Alvaro tajam untuk mengembalikan fokus sahabatnya itu.Namun, Alvaro malah mengabaikan tegurannya karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Alvaro benar-benar ingin tahu siapa orang yang sudah mengirimkan bunga untuk Cara.Apa mungkin Kafka?"Bagaimana pendapat Anda tentang proyek kerja sama perusahaan kita dengan Phoenix Groub, Mr. Dinata?" Suara Felix terdengar sangat berat dan penuh penekanan. Dia pasti sudah memukul kepala Alvaro agar berhenti melamun jika tidak ada orang.Alvaro tergagap karena mendengar suara Felix berusan.
Cara sedang berada di sebuah toko khusus perlengkapan bayi bersama Alvaro. Mereka ingin membeli kado untuk ulang tahun putri Jafier dan Adisty yang pertama.Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa putri Jafier dan Adisty sudah berulang tahun yang pertama. Padahal rasanya seperti baru kemarin dia meminta Alvaro untuk menikahi Adisty demi memenuhi amanah terakhir Sadewa. Namun, kenyataannya Adisty malah menikah dengan Jafier. Mereka bahkan sudah memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Allecia Disa Mahendra."Alva, bagaimana kalau kita beli ini untuk Disa?" Cara menunjukkan beberapa buah biku cerita yang ada ditangannya pada Alvaro."Bagus, buku ini pasti berguna untuk Disa."Cara pun mengambil beberapa buku cerita untuk Disa lantas meletakkannya ke dalam keranjang. Setelah itu mereka berkeliling untuk melihat barang-barang yang lain. Sebuah sepatu khusus bayi berusia satu tahun berhasil menarik perhatian Cara. Sepatu berwarna merah itu pasti coc
Dua tahun kemudian ....Alvaro mengerjapkan kedua matanya perlahan karena cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah tampannya. Senyum tipis mucul bibirnya melihat Cara yang tertidur lelap di sampingnya.Alvaro pun mengecup bibir Cara sekilas lalu mendekap tubuh gadis itu semakin erat. Dia merasa sangat bahagia karena wajah Cara yang dia lihat pertama kali saat membuka mata."Sekarang jam berapa, Alva?" tanya Cara dengan mata terpejam.Alvaro pun melirik jam yang menempel di dinding kamar. Ternyata sekarang sudah jam tujuh, tapi dia mengatakan masih jam lima pada Cara."Tolong bangunin aku lima menit lagi." Cara menenggelamkan wajahnya di dada bidang Alvaro mencari posisi tidur yang paling nyaman dan kembali terlelap.Alvaro pun membiarkan Cara kembali tidur, bahkan lebih dari lima menit. Cara sepertin
Sambil terus berciuman Alvaro langsung membaringkan Cara di atas tempat tidur dan langsung menindih gadis itu."Erngh ...." Cara hanya biasa mengerang di bawah tubuh Alvaro. Kecupan dan hisapan lembut lelaki itu selalu membuatnya kualahan."Alva ...." Napas Cara terengah. Gadis itu langsung menarik napas sebanyak mungkin untuk memasok oksigen ke dalam paru-parunya karena Alvaro tidak memberinya kesempatan sama sekali untuk mengambil napas."Kamu mau membunuhku?"Kening Alvaro berkerut dalam mendengar pertanyaan Cara barusan. Sedetik kemudian dia tersenyum ketika menyadar Cara sedang sibuk mengatur napas."Aku tidak bisa menahannya lagi, Sayang. Maaf ...." Alvaro menarik Cara agar duduk menghadapnya lantas menurunkan resleting gaun gadis itu dengan perlahan.Sepasang buah dada Cara yang terbungkus strapless bra berwarna merah terpampang jelas di kedua matanya. Terlihat sang
Hari bahagia itu akhirnya tiba. Cara terlihat sangat cantik memakai gaun pengantin model Long Slevee A-Line yang mengembang di bagian bawah berwarna putih. Gaun tersebut membuat penampilan Cara terlihat lebih feminim lewat detail renda bermotif bunga yang panjangnya menyapu lantai. Sebuah mahkota perak berhias batu berlian yang ada di atas kepalanya membuat penampilan gadis itu semakin terlihat cantik.Jantung Cara berdetak cepat, telapak tangannya pun terasa dingin dan basah. Cara tanpa sadar meremas gaun pengantinnya dengan kuat karena mobil yang ditumpanginya sebentar lagi tiba di Gereja yang akan dia gunakan untuk pemberkatan bersama Alvaro."Gaunmu nanti bisa kusut kalau kamu remas seperti itu, Caramell!" Daniel berdecak kesal karena Cara sejak tadi terus meremas gaun pengantinnya hingga berkerut.Daniel sebenarnya malas sekali menghadiri pemberkatan pernikahan Alvaro dan Cara. Namun, dia terpaksa datang ke acara ters
Tatapan teduh Jafier seolah-olah mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja."Jangan menangis." Tubuh Adisty membeku di tempat karena Jafier tiba-tiba mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan lembut.Senyum hangat dan genggaman erat lelaki itu mampu mengubah perasaannya menjadi tenang dalam sekejab. Dalam seperkian detik Jafier telah berhasil menarik Adisty tenggelam dalam pesonanya.Namun, sedetik kemudian Adisty cepat-cepat tersadar kalau Jafier melakukan semua ini murni karena tanggung jawabnya sebagai suami, bukan karena alasan yang lain sebab lalaki itu tidak memiliki perasaan pada dirinya."Astaga, kalian manis sekali." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Cara karena melihat Jafier yang begitu perhatian pada Adisty.Adisty tergagap lantas cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Jafier karena malu. Suasana pun mendadak canggung selama beberapa saat. Semua kalima
Mama menatap beberapa contoh undangan pernikahan yang ditunjukkan oleh pemilik percetakan yang datang ke rumah karena dia malas pergi keluar. Lagi pula kondisi kakinya masih belum pulih sepenuhnya.Ada sekitar dua puluh contoh undangan yang orang tersebut tunjukkan. Namun, hanya dua undangan yang berhasil menarik perhatian Mama."Bagaimana menurutmu undangan ini?" Mama menunjukkan undangan yang kertasnya terdapat bibit tanaman. Jika kertas undangan tersebut dibasahi lalu ditanam, lama-kelamaan akan tumbuh bunga yang sangat indaj. Selain itu di dalam undangan tersebut tertulis doa agar rumah tangga mereka berjalan harmonis."Unik, kan?""Iya, Ma.""Yang ini juga bagus. Gimana menurut kamu?" Mama menunjukkan udangan pilihannya yang kedua pada Cara. Sebuah undangan dress code yang dilengkapi dengan aksesoris seperti, pita atau bros yang bisa digunakan oleh tamu undangan saat menghadiri resepsi pernikahannya dengan Alvaro.Kening Cara berkerut d
"Mama akhirnya merestui hubungan kita. Aku bahagia sekali." Alvaro menangkup kedua pipi Cara pantas mencium bibir tipis berwarna merah alami milik gadis itu berkali-kali untuk meluapkan kebahagiaannya."Aku tahu kamu sedang bahagia, tapi jangan menciumku terus." Cara berusaha menahan Alvaro yang ingin mencium bibirnya lagi."Aku sangat-sangat bahagia." Alvaro kembali menangkup kedua pipi Cara lantas mengecup mata, hidung, pipi, dan terakhir kening gadis itu dengan penuh perasaan bahagia."Alva, ih ...." Cara mendorong Alvaro agar menjauh karena dia merasa risih.Alvaro malah terkekeh lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Cara. Dia memeluk gadis itu begitu erat seolah-olah takut kehilangan."Sayang, kamu tahu tidak?""Tahu apa?" tanya Cara tidak mengerti."Aku bahagia sekali." Alvaro tersenyum sangat lebar. Apa lagi jika me
Cara meminta Mello untuk duduk di depan kaca, lantas mengambil sebuah sisir untuk menata rambut gadis kecilnya itu sebelum berangkat ke sekolah. Dia mengikat rambut hitam Mello model ekor kuda sebelum dikepang."Bunda, kenapa orang dewasa suka saling menempelkan bibir?"Cara tersentak mendengar pertanyaan Mello barusan hingga refleks berhenti mengepang rambut anak itu."Ke-kenapa Mello tanya begitu?" Cara malah balik bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Mello."Mello tadi liat Bunda dan Ayah saling menempelkan bibir di kamar. Waktu di pesawat juga," ujar anak itu terdengar polos.Mulut Cara sontak menganga lebar. Dia benar-benar tidak menyangka Mello memperhatikannya dan Alvaro saat berciuman. Dia pikir Mello tidak peduli dan menganggapnya hanya sekadar angin lalu."Kenapa, Bunda?" tanya Mello pesaran."Em, itu karena ...." Cara tanpa sadar membasahi bib
"Jangan bilang seperti itu lagi. Mengerti?" tanya Alvaro setelah melepas pagutan bibir mereka."Aku benar-benar takut, Alva ...." Kristal bening itu kembali jatuh membasahi pipi Cara.Dia ingin menikah dengan Alvaro dan membesarkan Mello bersama-sama sampai maut memisahkan. Namun, Mama tidak merestui hubungan mereka.Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia memutuskan hubungannya dengan Alvaro?"Sshh, tenanglah. Mama pasti akan merestui hubungan kita.""Sungguh?" Cara menatap kedua mata Alvaro dengan lekat, berusaha mencari kesungguhan di sana."Ya, aku yakin sekali. Sekarang kita tidur lagi, ya?"Alvaro mengecup kening Cara dengan penuh sayang lalu meminta gadis itu untuk berbaring di sampingnya dan menggunakan lengan kirinya sebagai bantal. Sementara tangannya yang lain memeluk pinggang gadis itu dengan erat.Cara membenamkan wajahnya di