"Apa aku tidak memiliki kesempatan sama sekali, Caramell?" Jafier menatap Cara dengan penuh harap.
Cara menggeleng tegas. Lagi pula dia tidak ingin memberi Jafier harapan palsu karena di hatinya hanya ada nama Alvaro.
"Caraemell, aku mohon ...."
"Sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, kan?"
Jafier menggeleng padahal dia masih ingin berbicara dengan Cara dan memandangi wajah gadis itu lebih lama.
"Kalau begitu pulanglah." Cara ingin beranjak ke kamar karena sudah meninggalkan Mello terlalu lama, tapi Jafier malah mencekal pergelangan tangannya.
"Untukmu." Jafier memberikan seikat bunga mawar putih yang dibawanya ke Cara.
Cara cepat-cepat melepas tangannya dari genggaman Jafier. "Terima kasih, tapi kamu tidak perlu memberiku bunga, Jafier," tolaknya.
"Apa kamu tidak menyukainya?" Kening Jafier berkerut dalam karena Cara menolak bung
Dentuman musik terdengar keras di setiap sudut kelab malam yang paling terkenal di Ibu Kota. Baik laki-laki mau pun perempuan terlihat asyik meliuk-liukkan tubuh mereka di atas lantai dansa. Mereka menari seperti orang kehilangan akal untuk sekadar mencari hiburan atau pun melepas penat. "Beri aku minuman lagi." Seorang lelaki berkemeja biru kembali memesan segelas cocktail. Padahal dia sudah nyaris kehilangan kesadaran karena terlalu banyak minum. Malam ini Jafier pergi ke kelab malam karena ingin berhenti sejenak memikirkan Cara. Namun, gadis itu enggan enyah dari dalam pikirannya. Setiap sudut di pikirannya dipenuhi Cara, Cara, dan Cara. Sialan! "Cepat buatkan minumanku!" geramnya membuat seorang pemuda yang berdiri di belakang meja bartender terlonjak kaget. "Tapi, Anda sudah terlalu banyak mium." "Jangan banyak bicara dan buatkan saja minumanku!" sengit Jafier t
"Kau menyanggupi permintaanku kan, Jafier?" Brian menatap sang sahabat dengan lekat. Semoga saja Jafier tidak melakukan cara kotor untuk mendapatkan Caramell kembali.Jafier menarik napas pajang, sedetik kemudian dia menganggukkan kepala."Iya, aku menyanggupi permintaanmu," jawabnya membuat Brian sontak mengembuskan napas lega.***Semilir angin menerobos masuk ke dalam kamar yang didominasi cat berwarna abu-abu itu. Menerbangkan tirai-tirai halus yang menggantung di jendela.Alvaro bergerak gelisah di atas tempat tidurnya. Rasanya seperti ada seseorang yang mengecupi wajahnya. Mulai dari mata, kening, pipi, bahkan bibirnya.Alvaro pun mencoba untuk membuka kedua matanya walau terasa berat. Namun, ra
"Pak, tolong naikkan bunga-bunga ini kembali ke mobil."" ... ""Pak, saya mohon. Bawa bunga-bunga ini kembali."Orang-orang tersebut tidak ada memedulikan ucapan Cara. Mereka terus menurunkan bunga dari mobil pick up tersebut hingga membuat ruang tamu, teras, bahkan halaman rumah Alvaro penuh dengan bunga."Argh!" Cara mengacak-acak rambutnya dengan asal untuk melampiaskan kekesalan karena rumah Alvaro sekarang benar-benar mirip dengan toko bunga milik Danica."Tu-tunggu. Apa lagi ini?" Cara terlihat panik karena sebuah mobil pick up yang membawa aneka jenis bunga kembali memasuki halaman. Tidak lama kemudian seorang lelaki yang Cara taksir berusia sekitar empat puluh tahun turun dari mobil tersebut lantas berjalan menghampirinya."Apa Anda, Nona Caramell?""Ya." Cara mengangguk kaku."Ada kiriman bunga untuk Anda." Kurir tersebut mengulu
"Kita akan mendapat keuntungan yang sangat besar jika membangun sebuah pusat perbelanjaan dan kebugaran di kawasan elit tersebut. Bagaimana pendapat Anda, Mr. Dinata?"Semua mata sontak tertuju pada Alvaro. Namun, lelaki itu hanya diam karena tidak menyimak sama sekali presentasi yang disampaikan oleh kliennya."Sstt, Al ...." sengit Jafier menatap Alvaro tajam untuk mengembalikan fokus sahabatnya itu.Namun, Alvaro malah mengabaikan tegurannya karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Alvaro benar-benar ingin tahu siapa orang yang sudah mengirimkan bunga untuk Cara.Apa mungkin Kafka?"Bagaimana pendapat Anda tentang proyek kerja sama perusahaan kita dengan Phoenix Groub, Mr. Dinata?" Suara Felix terdengar sangat berat dan penuh penekanan. Dia pasti sudah memukul kepala Alvaro agar berhenti melamun jika tidak ada orang.Alvaro tergagap karena mendengar suara Felix berusan.
Cara terenyak. Dia sontak mengangkat kepala, menatap Alvaro yang duduk di hadapannya dengan pandangan tidak percaya. "Ka-kamu sudah tahu, Al?" "Iya, Caramell. Aku sudah tahu kalau Jafier yang mengirim bunga untukmu." "Kamu tahu dari mana?" tanya Cara ingin tahu. "Kepo," sahut Alvaro datar seperti biasa. "Alva ...." Cara mendesah kesal. Alvaro malah terkekeh geli melihatnya karena Cara terlihat sangat menggemaskan. "Aku tadi tanya ke kurir," ucap Alvaro agar Cara berhenti merengek. Cara kembali memilin ujung piyama yang dipakainya hingga berkerut karena merasa sangat gugup. "Ka-kamu marah sama aku, Al?" "Marah?" Alis Alvaro terangkat sebelah. "Untuk apa aku marah, Caramell?" "Karena Jafier mengirim bunga sebanyak itu untukku." Cara membasahi bibir bagian bawahnya sebelum melanjutkan kalimatnya. "Aku berani bersumpa
Jafier mengerang tertahan karena mendengar ponselnya yang berada di atas meja samping tepat tidur bergetar. Kedua matanya mengerjab beberapa kali sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya untuk melihat jam yang menempel di dinding kamar yang didominasi oleh cat berwarna abu-abu. Jam tiga pagi.Siapa orang gila yang menelepon saat dini hari seperti ini?Jafier pun meraih ponselnya yang tergelatak di atas meja kecil samping tempat tidur dengan wajah mengantuk. Dia langsung menerima panggilan tersebut tanpa melihat dulu siapa yang menelepon."Halo," ucapnya terdengar serak, khas orang bangun tidur.'Jangan pernah mengganggu istri saya. Saya bersumpah akan membuat perhitungan dengan Anda jika berani mengganggu istri saya lagi, Mr. Mahendara.' Suara di seberang terdengar sangat tajam dan penuh penekanan.Tanpa perlu bertanya, Jafier sudah tahu orang yang sedang meneleponnya adalah Alvaro.
"Alva, jangan ganggu Mello terus. Buruan berangkat kerja sana!" Cara berusaha menghindar karena Alvaro terus saja mengganggu Mello yang sedang menyusu.Alvaro merasa gemas sekali dengan Mello hingga membuatnya ingin terus mencium pipi malaikat kecilnya yang tembam itu."Alva, ih!" Cara mendorong tubuh Alvaro agar menjauh. Dia takut Mello tersedak saatminum ASI karena Alvaro tidak berhenti mencolek bahkan mencium pipi Mello."Kalau kamu nggak berangkat sekarang nanti telat ke kantor." Cara kembali mengingatkan.Alvaro pun melihat jam tangan merek Rolex yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Sudah jam delapan kurang lima belas menit. Dia pasti akan terlambat datang ke kantor jika tidak berangkat sekarang. Namun, entah kenapa dia merasa berat sekali meninggalkan anak dan istrinya."Alva!" Cara mendesah panjang karena Alvaro malah melemparkan diri ke atas tempat tidur padahal dia su
Geraman kesal itu keluar dari bibir seorang wanita yang memakai mini dress berwarna merah tanpa lengan yang memperlihatkan kedua kaki jenjangnya. Amarah tergambar jelas di wajah cantiknyakarena sang suami tidak mau menerima telepon darinya. Padahal dia sangat membutuhkan bantuan dari suaminya itu untuk mengurus visa-nya yang ditahan oleh pihak imigrasi agar bisa kembali lagi ke Indonesia. Setelah puas menikmati liburan selama tujuh hari di Labuan Bajo, Angela dan Allendra langsung terbang ke Paris untuk mengunjungi orang tua angkat Allendra yang tinggal di sana sekaligus liburan. Suasana kota Paris yang begitu romantis membuat Angela betah berlama-lama tinggal di sana. Apa lagi Allendra selalu ada di sampingnya hingga membuatnya lupa jika masa berlaku visa liburannya telah habis. Padahal Angela ingin pulang untuk melanjutkan kembali rencananya dan Allendra untuk merebut perusahaan Dinata dari tangan Alvaro. "Apa A