"Alva, jangan ganggu Mello terus. Buruan berangkat kerja sana!" Cara berusaha menghindar karena Alvaro terus saja mengganggu Mello yang sedang menyusu.
Alvaro merasa gemas sekali dengan Mello hingga membuatnya ingin terus mencium pipi malaikat kecilnya yang tembam itu.
"Alva, ih!" Cara mendorong tubuh Alvaro agar menjauh. Dia takut Mello tersedak saat minum ASI karena Alvaro tidak berhenti mencolek bahkan mencium pipi Mello.
"Kalau kamu nggak berangkat sekarang nanti telat ke kantor." Cara kembali mengingatkan.
Alvaro pun melihat jam tangan merek Rolex yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Sudah jam delapan kurang lima belas menit. Dia pasti akan terlambat datang ke kantor jika tidak berangkat sekarang. Namun, entah kenapa dia merasa berat sekali meninggalkan anak dan istrinya.
"Alva!" Cara mendesah panjang karena Alvaro malah melemparkan diri ke atas tempat tidur padahal dia su
Geraman kesal itu keluar dari bibir seorang wanita yang memakai mini dress berwarna merah tanpa lengan yang memperlihatkan kedua kaki jenjangnya. Amarah tergambar jelas di wajah cantiknyakarena sang suami tidak mau menerima telepon darinya. Padahal dia sangat membutuhkan bantuan dari suaminya itu untuk mengurus visa-nya yang ditahan oleh pihak imigrasi agar bisa kembali lagi ke Indonesia. Setelah puas menikmati liburan selama tujuh hari di Labuan Bajo, Angela dan Allendra langsung terbang ke Paris untuk mengunjungi orang tua angkat Allendra yang tinggal di sana sekaligus liburan. Suasana kota Paris yang begitu romantis membuat Angela betah berlama-lama tinggal di sana. Apa lagi Allendra selalu ada di sampingnya hingga membuatnya lupa jika masa berlaku visa liburannya telah habis. Padahal Angela ingin pulang untuk melanjutkan kembali rencananya dan Allendra untuk merebut perusahaan Dinata dari tangan Alvaro. "Apa A
"Eh, jangan!" jawab Bik Arum cepat. "Mello masih terlalu kecil, Caramell. Lagi pula udara malam tidak baik untuk bayi sekecil, Mello."Cara menghela napas panjang lalu kembali memandangi Mello yang sedang tertidur lelap dengan lekat. Sebenarnya dia ingin sekali membawa Mello pergi bersamanya dan Alvaro. Namun, Mello masih terlalu kecil untuk dibawa-bawa pergi keluar. Apa lagi saat malam seperti sekarang."Baiklah kalau begitu. Cara pergi dulu ya, Bik. Kalau ada apa-apa cepat telepon Cara."Bik Arum mengangguk. "Iya, Caramell. Hati-hati di jalan.""Makasih, Bik." Cara mengecup kening, mata, hidung, pipi, dan bibir Mello dengan penuh sayang sebelum keluar meninggalkan kamar.Gadis itu berjalan dengan anggun menuruni tangga lalu menghampiri lelaki yang diminta oleh Alvaro untuk menjemputnya."Em, maaf."Lelaki itu sontak berdiri dari tempat duduknya lantas me
"Aku tidak pernah meminta orang untuk menjemput Cara, Bik. Apa mungkin—" Wajah Alvaro sontak mengeras, rahangnya pun mengatup rapat karena nama Jafier tiba-tiba melintas di ingatannya. Alvaro yakin sekali hilangnya Cara pasti ada hubungannya dengan lelaki berengsek itu.Alvaro cepat-cepat merogoh saku celananya karena ingin menelepon Cara. Namun, teleponnya malah diabaikan oleh gadis itu.Wajah Alvaro berubah cemas. "Caramell, ayolah. Angkat teleponku ...," desahnya terdengar khawatir."Tuan, maaf. Caramell sepertinya lupa membawa ponselnya."Jantung Alvaro mencelus melihat benda yang diulurkan Bik Arum pada dirinya. Dia tidak mungkin bisa menghubungi Cara karena ponsel gadis itu tertinggal di rumah.Alvaro mengusap wajah kasar. Ketakutan tergambar jelas di wajah tampannya karena dia sangat mengkhawatirkan Cara. "Apa orang yang menjemput Cara tadi mengatakan akan pergi ke mana, Bik?"
"Hubungan kita sudah berakhir, Jafier. Tolong mengertilah ...." "Belum." Jafier terus saja mengelak. "Hubungan kita belum berakhir karena aku masih mencintaimu, Caramell." "Tapi aku sudah tidak mencintaimu lagi." Kedua mata Cara menatap Jafier dengan lekat. Kesungguhan terpancar jelas dari kedua sorot matanya karena dia ingin membuat Jafier berhenti berharap dan melakukan hal licik seperti ini untuk menarik kembali perhatiannya. Semua perhatian dan kasih sayang yang Jafier tunjukkan tidak akan mampu meluluhkan hatinya karena dia sangat mencintai Alvaro. "Cintamu pada Alvaro cuma sesaat karena hanya aku lelaki yang benar-benar kamu cintai, Caramell." "Jafier, jangan gila!" "Aku sudah gila sejak berpisah denganmu." "Aku tidak mencintaimu lagi," ucap Cara terdengar penuh penekanan. "Kamu hanya singgah di hati Alvaro karena rumahmu yan
Tubuh Cara sontak menegang mendengar ucapan Jafier barusan. Apa lagi lelaki itu sedang menatapnya tajam dan menyeringai seram. Darah di dalam tubuh Cara seolah-olah berhenti mengalir ketika tangan Jafier perlahan bergerak, menurunkan gaun bagian atasnya. "Jafier, jangan ...." Cara berusaha menghentikan Jafier. Namun, lelaki itu tidak memedulikan ucapannya sama sekali. Isak tangis yang keluar dari bibirnya pun tidak berhasil membuat Jafier iba untuk menghentikan perbuatannya. "Aku akan melakukannya dengan lembut agar tidak menyakitimu, Caramell. Percaya padaku," bisik Jafier sambil menatap Cara dalam-dalam. Tanpa sadar dia menelelan ludah melihat dua buah gundukan kenyal milik Cara yang masih terbungkus bra berwarna merah. "Tapi yang kamu lakukan ini sudah menyakitiku, Jafier." Air mata Cara jatuh semakin deras membasahi pipinya. Dia ingin menutupi tubuh bagian atasnya agar tidak terlihat oleh Jafier, t
Kondisi Cara sangat memprihatinkan. Wajahnya basah oleh keringat bercampur air mata. Rambutnya sangat acak-acakan. Tubuh bagian atasnya sudah tidak tertutupi apa-apa. Kedua lengannya terlihat memerah karena cengkeraman Jafier sangat kuat. Pergelangan tangannya pun terasa perih karena terus berusaha meloloskan diri dari jeratan Jafier."Jangan menangis, Baby Girl." Jafier menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik Cara, kemudian menghapus air mata yang membasahi pipi gadis itu.Air mata Cara malah jatuh semakin deras membasahi pipinya. Gadis itu merasa begitu terhina atas apa yang Jafier lakukan pada dirinya. Cara tidak pernah menyangka lelaki yang begitu sabar dan penyayang seperti Jafier, malah tega menghancurkan hidupnya. Melecehkan dengan penuh kesadaran."Jangan menangis, Sayangku. Aku tidak suka air mata itu menghiasi wajah cantikmu."Cara memalingkan wajahnya ke arah lain karena Jafie
"Aku tidak akan membiarkan Jafier atau siapa pun menyakitmu, Caramell. Sekarang kita bersihkan dirimu dulu, ya?" Alvaro mendekat, lantas mengambil alih Mello dari gendongan Cara."Tapi, bagaimana kalau—" Cara masih terlihat ragu."Sstt, tenanglah. Semua akan baik-baik saja." Alvaro meletakkan Mello kembali ke dalam box bayi. Setelah itu dia mengambil handuk dan sebaskom air hangat dari atas meja kecil samping tempat tidur untuk membasuh tubuh Cara.Mereka duduk saling berhadapan. Alvaro menyingkap selimut yang membungkus tubuh Cara dengan perlahan. Cara tanpa sadar menahan napas. Jantungnya berdetak tidak nyaman karena Alvaro memperhatikan seluruh tubuhnya dengan sangat lekat. Cara sepenuhnya menyadari Alvaro pasti marah setelah melihat bekas kemerah-merahan di leher dan dadanya.Wajah Alvaro sontak mengeras, rahangnya pun mengatup rapat melihat memar di lengan Cara. Rasanya pasti sangat sakit. Namun
"Eung, hadiah?" Kedua alis Cara menyatu. Gadis itu terlihat bingung karena tidak menyiapkan hadiah apa pun untuk Alvaro. Lagi pula dia lupa jika hari ini ulang tahun pernikahan mereka.Alvaro malah tersenyum karena gemas melihat Cara yang kebingungan memikirkan hadiah apa yang akan diberikan untuknya. "Aku cuma bercanda," ucapnya seraya mengusap puncak kepala Cara dengan gemas."Sebaiknya kita segara beristirahat. Selamat tidur, Istriku." Alvaro mengecup puncak kepala Cara dengan penuh sayang lalu meminta gadis itu untuk berbaring di sampingnya.Namun, Cara malah tidak bisa tidur karena terus memikirkan hadiah apa yang akan dia berikan untuk Alvaro. Apakah dia perlu memberi jam tangan, kemeja, sepatu, atau dasi untuk lelaki itu?Cara tanpa sadar menggelengkan kepala cepat karena Alvaro sudah mempunyai semua barang-barang tersebut. Bahkan harganya sangat mahal.Apa yang harus dia berikan pa
Cara sedang berada di sebuah toko khusus perlengkapan bayi bersama Alvaro. Mereka ingin membeli kado untuk ulang tahun putri Jafier dan Adisty yang pertama.Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa putri Jafier dan Adisty sudah berulang tahun yang pertama. Padahal rasanya seperti baru kemarin dia meminta Alvaro untuk menikahi Adisty demi memenuhi amanah terakhir Sadewa. Namun, kenyataannya Adisty malah menikah dengan Jafier. Mereka bahkan sudah memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Allecia Disa Mahendra."Alva, bagaimana kalau kita beli ini untuk Disa?" Cara menunjukkan beberapa buah biku cerita yang ada ditangannya pada Alvaro."Bagus, buku ini pasti berguna untuk Disa."Cara pun mengambil beberapa buku cerita untuk Disa lantas meletakkannya ke dalam keranjang. Setelah itu mereka berkeliling untuk melihat barang-barang yang lain. Sebuah sepatu khusus bayi berusia satu tahun berhasil menarik perhatian Cara. Sepatu berwarna merah itu pasti coc
Dua tahun kemudian ....Alvaro mengerjapkan kedua matanya perlahan karena cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah tampannya. Senyum tipis mucul bibirnya melihat Cara yang tertidur lelap di sampingnya.Alvaro pun mengecup bibir Cara sekilas lalu mendekap tubuh gadis itu semakin erat. Dia merasa sangat bahagia karena wajah Cara yang dia lihat pertama kali saat membuka mata."Sekarang jam berapa, Alva?" tanya Cara dengan mata terpejam.Alvaro pun melirik jam yang menempel di dinding kamar. Ternyata sekarang sudah jam tujuh, tapi dia mengatakan masih jam lima pada Cara."Tolong bangunin aku lima menit lagi." Cara menenggelamkan wajahnya di dada bidang Alvaro mencari posisi tidur yang paling nyaman dan kembali terlelap.Alvaro pun membiarkan Cara kembali tidur, bahkan lebih dari lima menit. Cara sepertin
Sambil terus berciuman Alvaro langsung membaringkan Cara di atas tempat tidur dan langsung menindih gadis itu."Erngh ...." Cara hanya biasa mengerang di bawah tubuh Alvaro. Kecupan dan hisapan lembut lelaki itu selalu membuatnya kualahan."Alva ...." Napas Cara terengah. Gadis itu langsung menarik napas sebanyak mungkin untuk memasok oksigen ke dalam paru-parunya karena Alvaro tidak memberinya kesempatan sama sekali untuk mengambil napas."Kamu mau membunuhku?"Kening Alvaro berkerut dalam mendengar pertanyaan Cara barusan. Sedetik kemudian dia tersenyum ketika menyadar Cara sedang sibuk mengatur napas."Aku tidak bisa menahannya lagi, Sayang. Maaf ...." Alvaro menarik Cara agar duduk menghadapnya lantas menurunkan resleting gaun gadis itu dengan perlahan.Sepasang buah dada Cara yang terbungkus strapless bra berwarna merah terpampang jelas di kedua matanya. Terlihat sang
Hari bahagia itu akhirnya tiba. Cara terlihat sangat cantik memakai gaun pengantin model Long Slevee A-Line yang mengembang di bagian bawah berwarna putih. Gaun tersebut membuat penampilan Cara terlihat lebih feminim lewat detail renda bermotif bunga yang panjangnya menyapu lantai. Sebuah mahkota perak berhias batu berlian yang ada di atas kepalanya membuat penampilan gadis itu semakin terlihat cantik.Jantung Cara berdetak cepat, telapak tangannya pun terasa dingin dan basah. Cara tanpa sadar meremas gaun pengantinnya dengan kuat karena mobil yang ditumpanginya sebentar lagi tiba di Gereja yang akan dia gunakan untuk pemberkatan bersama Alvaro."Gaunmu nanti bisa kusut kalau kamu remas seperti itu, Caramell!" Daniel berdecak kesal karena Cara sejak tadi terus meremas gaun pengantinnya hingga berkerut.Daniel sebenarnya malas sekali menghadiri pemberkatan pernikahan Alvaro dan Cara. Namun, dia terpaksa datang ke acara ters
Tatapan teduh Jafier seolah-olah mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja."Jangan menangis." Tubuh Adisty membeku di tempat karena Jafier tiba-tiba mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan lembut.Senyum hangat dan genggaman erat lelaki itu mampu mengubah perasaannya menjadi tenang dalam sekejab. Dalam seperkian detik Jafier telah berhasil menarik Adisty tenggelam dalam pesonanya.Namun, sedetik kemudian Adisty cepat-cepat tersadar kalau Jafier melakukan semua ini murni karena tanggung jawabnya sebagai suami, bukan karena alasan yang lain sebab lalaki itu tidak memiliki perasaan pada dirinya."Astaga, kalian manis sekali." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Cara karena melihat Jafier yang begitu perhatian pada Adisty.Adisty tergagap lantas cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Jafier karena malu. Suasana pun mendadak canggung selama beberapa saat. Semua kalima
Mama menatap beberapa contoh undangan pernikahan yang ditunjukkan oleh pemilik percetakan yang datang ke rumah karena dia malas pergi keluar. Lagi pula kondisi kakinya masih belum pulih sepenuhnya.Ada sekitar dua puluh contoh undangan yang orang tersebut tunjukkan. Namun, hanya dua undangan yang berhasil menarik perhatian Mama."Bagaimana menurutmu undangan ini?" Mama menunjukkan undangan yang kertasnya terdapat bibit tanaman. Jika kertas undangan tersebut dibasahi lalu ditanam, lama-kelamaan akan tumbuh bunga yang sangat indaj. Selain itu di dalam undangan tersebut tertulis doa agar rumah tangga mereka berjalan harmonis."Unik, kan?""Iya, Ma.""Yang ini juga bagus. Gimana menurut kamu?" Mama menunjukkan udangan pilihannya yang kedua pada Cara. Sebuah undangan dress code yang dilengkapi dengan aksesoris seperti, pita atau bros yang bisa digunakan oleh tamu undangan saat menghadiri resepsi pernikahannya dengan Alvaro.Kening Cara berkerut d
"Mama akhirnya merestui hubungan kita. Aku bahagia sekali." Alvaro menangkup kedua pipi Cara pantas mencium bibir tipis berwarna merah alami milik gadis itu berkali-kali untuk meluapkan kebahagiaannya."Aku tahu kamu sedang bahagia, tapi jangan menciumku terus." Cara berusaha menahan Alvaro yang ingin mencium bibirnya lagi."Aku sangat-sangat bahagia." Alvaro kembali menangkup kedua pipi Cara lantas mengecup mata, hidung, pipi, dan terakhir kening gadis itu dengan penuh perasaan bahagia."Alva, ih ...." Cara mendorong Alvaro agar menjauh karena dia merasa risih.Alvaro malah terkekeh lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Cara. Dia memeluk gadis itu begitu erat seolah-olah takut kehilangan."Sayang, kamu tahu tidak?""Tahu apa?" tanya Cara tidak mengerti."Aku bahagia sekali." Alvaro tersenyum sangat lebar. Apa lagi jika me
Cara meminta Mello untuk duduk di depan kaca, lantas mengambil sebuah sisir untuk menata rambut gadis kecilnya itu sebelum berangkat ke sekolah. Dia mengikat rambut hitam Mello model ekor kuda sebelum dikepang."Bunda, kenapa orang dewasa suka saling menempelkan bibir?"Cara tersentak mendengar pertanyaan Mello barusan hingga refleks berhenti mengepang rambut anak itu."Ke-kenapa Mello tanya begitu?" Cara malah balik bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Mello."Mello tadi liat Bunda dan Ayah saling menempelkan bibir di kamar. Waktu di pesawat juga," ujar anak itu terdengar polos.Mulut Cara sontak menganga lebar. Dia benar-benar tidak menyangka Mello memperhatikannya dan Alvaro saat berciuman. Dia pikir Mello tidak peduli dan menganggapnya hanya sekadar angin lalu."Kenapa, Bunda?" tanya Mello pesaran."Em, itu karena ...." Cara tanpa sadar membasahi bib
"Jangan bilang seperti itu lagi. Mengerti?" tanya Alvaro setelah melepas pagutan bibir mereka."Aku benar-benar takut, Alva ...." Kristal bening itu kembali jatuh membasahi pipi Cara.Dia ingin menikah dengan Alvaro dan membesarkan Mello bersama-sama sampai maut memisahkan. Namun, Mama tidak merestui hubungan mereka.Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia memutuskan hubungannya dengan Alvaro?"Sshh, tenanglah. Mama pasti akan merestui hubungan kita.""Sungguh?" Cara menatap kedua mata Alvaro dengan lekat, berusaha mencari kesungguhan di sana."Ya, aku yakin sekali. Sekarang kita tidur lagi, ya?"Alvaro mengecup kening Cara dengan penuh sayang lalu meminta gadis itu untuk berbaring di sampingnya dan menggunakan lengan kirinya sebagai bantal. Sementara tangannya yang lain memeluk pinggang gadis itu dengan erat.Cara membenamkan wajahnya di