Cara terenyak. Dia sontak mengangkat kepala, menatap Alvaro yang duduk di hadapannya dengan pandangan tidak percaya.
"Ka-kamu sudah tahu, Al?"
"Iya, Caramell. Aku sudah tahu kalau Jafier yang mengirim bunga untukmu."
"Kamu tahu dari mana?" tanya Cara ingin tahu.
"Kepo," sahut Alvaro datar seperti biasa.
"Alva ...." Cara mendesah kesal. Alvaro malah terkekeh geli melihatnya karena Cara terlihat sangat menggemaskan.
"Aku tadi tanya ke kurir," ucap Alvaro agar Cara berhenti merengek.
Cara kembali memilin ujung piyama yang dipakainya hingga berkerut karena merasa sangat gugup. "Ka-kamu marah sama aku, Al?"
"Marah?" Alis Alvaro terangkat sebelah. "Untuk apa aku marah, Caramell?"
"Karena Jafier mengirim bunga sebanyak itu untukku." Cara membasahi bibir bagian bawahnya sebelum melanjutkan kalimatnya. "Aku berani bersumpa
Caramell dan Alvaro makin lengket. Aww.... 😍
Jafier mengerang tertahan karena mendengar ponselnya yang berada di atas meja samping tepat tidur bergetar. Kedua matanya mengerjab beberapa kali sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya untuk melihat jam yang menempel di dinding kamar yang didominasi oleh cat berwarna abu-abu. Jam tiga pagi.Siapa orang gila yang menelepon saat dini hari seperti ini?Jafier pun meraih ponselnya yang tergelatak di atas meja kecil samping tempat tidur dengan wajah mengantuk. Dia langsung menerima panggilan tersebut tanpa melihat dulu siapa yang menelepon."Halo," ucapnya terdengar serak, khas orang bangun tidur.'Jangan pernah mengganggu istri saya. Saya bersumpah akan membuat perhitungan dengan Anda jika berani mengganggu istri saya lagi, Mr. Mahendara.' Suara di seberang terdengar sangat tajam dan penuh penekanan.Tanpa perlu bertanya, Jafier sudah tahu orang yang sedang meneleponnya adalah Alvaro.
"Alva, jangan ganggu Mello terus. Buruan berangkat kerja sana!" Cara berusaha menghindar karena Alvaro terus saja mengganggu Mello yang sedang menyusu.Alvaro merasa gemas sekali dengan Mello hingga membuatnya ingin terus mencium pipi malaikat kecilnya yang tembam itu."Alva, ih!" Cara mendorong tubuh Alvaro agar menjauh. Dia takut Mello tersedak saatminum ASI karena Alvaro tidak berhenti mencolek bahkan mencium pipi Mello."Kalau kamu nggak berangkat sekarang nanti telat ke kantor." Cara kembali mengingatkan.Alvaro pun melihat jam tangan merek Rolex yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Sudah jam delapan kurang lima belas menit. Dia pasti akan terlambat datang ke kantor jika tidak berangkat sekarang. Namun, entah kenapa dia merasa berat sekali meninggalkan anak dan istrinya."Alva!" Cara mendesah panjang karena Alvaro malah melemparkan diri ke atas tempat tidur padahal dia su
Geraman kesal itu keluar dari bibir seorang wanita yang memakai mini dress berwarna merah tanpa lengan yang memperlihatkan kedua kaki jenjangnya. Amarah tergambar jelas di wajah cantiknyakarena sang suami tidak mau menerima telepon darinya. Padahal dia sangat membutuhkan bantuan dari suaminya itu untuk mengurus visa-nya yang ditahan oleh pihak imigrasi agar bisa kembali lagi ke Indonesia. Setelah puas menikmati liburan selama tujuh hari di Labuan Bajo, Angela dan Allendra langsung terbang ke Paris untuk mengunjungi orang tua angkat Allendra yang tinggal di sana sekaligus liburan. Suasana kota Paris yang begitu romantis membuat Angela betah berlama-lama tinggal di sana. Apa lagi Allendra selalu ada di sampingnya hingga membuatnya lupa jika masa berlaku visa liburannya telah habis. Padahal Angela ingin pulang untuk melanjutkan kembali rencananya dan Allendra untuk merebut perusahaan Dinata dari tangan Alvaro. "Apa A
"Eh, jangan!" jawab Bik Arum cepat. "Mello masih terlalu kecil, Caramell. Lagi pula udara malam tidak baik untuk bayi sekecil, Mello."Cara menghela napas panjang lalu kembali memandangi Mello yang sedang tertidur lelap dengan lekat. Sebenarnya dia ingin sekali membawa Mello pergi bersamanya dan Alvaro. Namun, Mello masih terlalu kecil untuk dibawa-bawa pergi keluar. Apa lagi saat malam seperti sekarang."Baiklah kalau begitu. Cara pergi dulu ya, Bik. Kalau ada apa-apa cepat telepon Cara."Bik Arum mengangguk. "Iya, Caramell. Hati-hati di jalan.""Makasih, Bik." Cara mengecup kening, mata, hidung, pipi, dan bibir Mello dengan penuh sayang sebelum keluar meninggalkan kamar.Gadis itu berjalan dengan anggun menuruni tangga lalu menghampiri lelaki yang diminta oleh Alvaro untuk menjemputnya."Em, maaf."Lelaki itu sontak berdiri dari tempat duduknya lantas me
"Aku tidak pernah meminta orang untuk menjemput Cara, Bik. Apa mungkin—" Wajah Alvaro sontak mengeras, rahangnya pun mengatup rapat karena nama Jafier tiba-tiba melintas di ingatannya. Alvaro yakin sekali hilangnya Cara pasti ada hubungannya dengan lelaki berengsek itu.Alvaro cepat-cepat merogoh saku celananya karena ingin menelepon Cara. Namun, teleponnya malah diabaikan oleh gadis itu.Wajah Alvaro berubah cemas. "Caramell, ayolah. Angkat teleponku ...," desahnya terdengar khawatir."Tuan, maaf. Caramell sepertinya lupa membawa ponselnya."Jantung Alvaro mencelus melihat benda yang diulurkan Bik Arum pada dirinya. Dia tidak mungkin bisa menghubungi Cara karena ponsel gadis itu tertinggal di rumah.Alvaro mengusap wajah kasar. Ketakutan tergambar jelas di wajah tampannya karena dia sangat mengkhawatirkan Cara. "Apa orang yang menjemput Cara tadi mengatakan akan pergi ke mana, Bik?"
"Hubungan kita sudah berakhir, Jafier. Tolong mengertilah ...." "Belum." Jafier terus saja mengelak. "Hubungan kita belum berakhir karena aku masih mencintaimu, Caramell." "Tapi aku sudah tidak mencintaimu lagi." Kedua mata Cara menatap Jafier dengan lekat. Kesungguhan terpancar jelas dari kedua sorot matanya karena dia ingin membuat Jafier berhenti berharap dan melakukan hal licik seperti ini untuk menarik kembali perhatiannya. Semua perhatian dan kasih sayang yang Jafier tunjukkan tidak akan mampu meluluhkan hatinya karena dia sangat mencintai Alvaro. "Cintamu pada Alvaro cuma sesaat karena hanya aku lelaki yang benar-benar kamu cintai, Caramell." "Jafier, jangan gila!" "Aku sudah gila sejak berpisah denganmu." "Aku tidak mencintaimu lagi," ucap Cara terdengar penuh penekanan. "Kamu hanya singgah di hati Alvaro karena rumahmu yan
Tubuh Cara sontak menegang mendengar ucapan Jafier barusan. Apa lagi lelaki itu sedang menatapnya tajam dan menyeringai seram. Darah di dalam tubuh Cara seolah-olah berhenti mengalir ketika tangan Jafier perlahan bergerak, menurunkan gaun bagian atasnya. "Jafier, jangan ...." Cara berusaha menghentikan Jafier. Namun, lelaki itu tidak memedulikan ucapannya sama sekali. Isak tangis yang keluar dari bibirnya pun tidak berhasil membuat Jafier iba untuk menghentikan perbuatannya. "Aku akan melakukannya dengan lembut agar tidak menyakitimu, Caramell. Percaya padaku," bisik Jafier sambil menatap Cara dalam-dalam. Tanpa sadar dia menelelan ludah melihat dua buah gundukan kenyal milik Cara yang masih terbungkus bra berwarna merah. "Tapi yang kamu lakukan ini sudah menyakitiku, Jafier." Air mata Cara jatuh semakin deras membasahi pipinya. Dia ingin menutupi tubuh bagian atasnya agar tidak terlihat oleh Jafier, t
Kondisi Cara sangat memprihatinkan. Wajahnya basah oleh keringat bercampur air mata. Rambutnya sangat acak-acakan. Tubuh bagian atasnya sudah tidak tertutupi apa-apa. Kedua lengannya terlihat memerah karena cengkeraman Jafier sangat kuat. Pergelangan tangannya pun terasa perih karena terus berusaha meloloskan diri dari jeratan Jafier."Jangan menangis, Baby Girl." Jafier menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik Cara, kemudian menghapus air mata yang membasahi pipi gadis itu.Air mata Cara malah jatuh semakin deras membasahi pipinya. Gadis itu merasa begitu terhina atas apa yang Jafier lakukan pada dirinya. Cara tidak pernah menyangka lelaki yang begitu sabar dan penyayang seperti Jafier, malah tega menghancurkan hidupnya. Melecehkan dengan penuh kesadaran."Jangan menangis, Sayangku. Aku tidak suka air mata itu menghiasi wajah cantikmu."Cara memalingkan wajahnya ke arah lain karena Jafie