"Pak, tolong naikkan bunga-bunga ini kembali ke mobil."
" ... "
"Pak, saya mohon. Bawa bunga-bunga ini kembali."
Orang-orang tersebut tidak ada memedulikan ucapan Cara. Mereka terus menurunkan bunga dari mobil pick up tersebut hingga membuat ruang tamu, teras, bahkan halaman rumah Alvaro penuh dengan bunga.
"Argh!" Cara mengacak-acak rambutnya dengan asal untuk melampiaskan kekesalan karena rumah Alvaro sekarang benar-benar mirip dengan toko bunga milik Danica.
"Tu-tunggu. Apa lagi ini?" Cara terlihat panik karena sebuah mobil pick up yang membawa aneka jenis bunga kembali memasuki halaman. Tidak lama kemudian seorang lelaki yang Cara taksir berusia sekitar empat puluh tahun turun dari mobil tersebut lantas berjalan menghampirinya.
"Apa Anda, Nona Caramell?"
"Ya." Cara mengangguk kaku.
"Ada kiriman bunga untuk Anda." Kurir tersebut mengulu
"Kita akan mendapat keuntungan yang sangat besar jika membangun sebuah pusat perbelanjaan dan kebugaran di kawasan elit tersebut. Bagaimana pendapat Anda, Mr. Dinata?"Semua mata sontak tertuju pada Alvaro. Namun, lelaki itu hanya diam karena tidak menyimak sama sekali presentasi yang disampaikan oleh kliennya."Sstt, Al ...." sengit Jafier menatap Alvaro tajam untuk mengembalikan fokus sahabatnya itu.Namun, Alvaro malah mengabaikan tegurannya karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Alvaro benar-benar ingin tahu siapa orang yang sudah mengirimkan bunga untuk Cara.Apa mungkin Kafka?"Bagaimana pendapat Anda tentang proyek kerja sama perusahaan kita dengan Phoenix Groub, Mr. Dinata?" Suara Felix terdengar sangat berat dan penuh penekanan. Dia pasti sudah memukul kepala Alvaro agar berhenti melamun jika tidak ada orang.Alvaro tergagap karena mendengar suara Felix berusan.
Cara terenyak. Dia sontak mengangkat kepala, menatap Alvaro yang duduk di hadapannya dengan pandangan tidak percaya. "Ka-kamu sudah tahu, Al?" "Iya, Caramell. Aku sudah tahu kalau Jafier yang mengirim bunga untukmu." "Kamu tahu dari mana?" tanya Cara ingin tahu. "Kepo," sahut Alvaro datar seperti biasa. "Alva ...." Cara mendesah kesal. Alvaro malah terkekeh geli melihatnya karena Cara terlihat sangat menggemaskan. "Aku tadi tanya ke kurir," ucap Alvaro agar Cara berhenti merengek. Cara kembali memilin ujung piyama yang dipakainya hingga berkerut karena merasa sangat gugup. "Ka-kamu marah sama aku, Al?" "Marah?" Alis Alvaro terangkat sebelah. "Untuk apa aku marah, Caramell?" "Karena Jafier mengirim bunga sebanyak itu untukku." Cara membasahi bibir bagian bawahnya sebelum melanjutkan kalimatnya. "Aku berani bersumpa
Jafier mengerang tertahan karena mendengar ponselnya yang berada di atas meja samping tepat tidur bergetar. Kedua matanya mengerjab beberapa kali sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya untuk melihat jam yang menempel di dinding kamar yang didominasi oleh cat berwarna abu-abu. Jam tiga pagi.Siapa orang gila yang menelepon saat dini hari seperti ini?Jafier pun meraih ponselnya yang tergelatak di atas meja kecil samping tempat tidur dengan wajah mengantuk. Dia langsung menerima panggilan tersebut tanpa melihat dulu siapa yang menelepon."Halo," ucapnya terdengar serak, khas orang bangun tidur.'Jangan pernah mengganggu istri saya. Saya bersumpah akan membuat perhitungan dengan Anda jika berani mengganggu istri saya lagi, Mr. Mahendara.' Suara di seberang terdengar sangat tajam dan penuh penekanan.Tanpa perlu bertanya, Jafier sudah tahu orang yang sedang meneleponnya adalah Alvaro.
"Alva, jangan ganggu Mello terus. Buruan berangkat kerja sana!" Cara berusaha menghindar karena Alvaro terus saja mengganggu Mello yang sedang menyusu.Alvaro merasa gemas sekali dengan Mello hingga membuatnya ingin terus mencium pipi malaikat kecilnya yang tembam itu."Alva, ih!" Cara mendorong tubuh Alvaro agar menjauh. Dia takut Mello tersedak saatminum ASI karena Alvaro tidak berhenti mencolek bahkan mencium pipi Mello."Kalau kamu nggak berangkat sekarang nanti telat ke kantor." Cara kembali mengingatkan.Alvaro pun melihat jam tangan merek Rolex yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Sudah jam delapan kurang lima belas menit. Dia pasti akan terlambat datang ke kantor jika tidak berangkat sekarang. Namun, entah kenapa dia merasa berat sekali meninggalkan anak dan istrinya."Alva!" Cara mendesah panjang karena Alvaro malah melemparkan diri ke atas tempat tidur padahal dia su
Geraman kesal itu keluar dari bibir seorang wanita yang memakai mini dress berwarna merah tanpa lengan yang memperlihatkan kedua kaki jenjangnya. Amarah tergambar jelas di wajah cantiknyakarena sang suami tidak mau menerima telepon darinya. Padahal dia sangat membutuhkan bantuan dari suaminya itu untuk mengurus visa-nya yang ditahan oleh pihak imigrasi agar bisa kembali lagi ke Indonesia. Setelah puas menikmati liburan selama tujuh hari di Labuan Bajo, Angela dan Allendra langsung terbang ke Paris untuk mengunjungi orang tua angkat Allendra yang tinggal di sana sekaligus liburan. Suasana kota Paris yang begitu romantis membuat Angela betah berlama-lama tinggal di sana. Apa lagi Allendra selalu ada di sampingnya hingga membuatnya lupa jika masa berlaku visa liburannya telah habis. Padahal Angela ingin pulang untuk melanjutkan kembali rencananya dan Allendra untuk merebut perusahaan Dinata dari tangan Alvaro. "Apa A
"Eh, jangan!" jawab Bik Arum cepat. "Mello masih terlalu kecil, Caramell. Lagi pula udara malam tidak baik untuk bayi sekecil, Mello."Cara menghela napas panjang lalu kembali memandangi Mello yang sedang tertidur lelap dengan lekat. Sebenarnya dia ingin sekali membawa Mello pergi bersamanya dan Alvaro. Namun, Mello masih terlalu kecil untuk dibawa-bawa pergi keluar. Apa lagi saat malam seperti sekarang."Baiklah kalau begitu. Cara pergi dulu ya, Bik. Kalau ada apa-apa cepat telepon Cara."Bik Arum mengangguk. "Iya, Caramell. Hati-hati di jalan.""Makasih, Bik." Cara mengecup kening, mata, hidung, pipi, dan bibir Mello dengan penuh sayang sebelum keluar meninggalkan kamar.Gadis itu berjalan dengan anggun menuruni tangga lalu menghampiri lelaki yang diminta oleh Alvaro untuk menjemputnya."Em, maaf."Lelaki itu sontak berdiri dari tempat duduknya lantas me
"Aku tidak pernah meminta orang untuk menjemput Cara, Bik. Apa mungkin—" Wajah Alvaro sontak mengeras, rahangnya pun mengatup rapat karena nama Jafier tiba-tiba melintas di ingatannya. Alvaro yakin sekali hilangnya Cara pasti ada hubungannya dengan lelaki berengsek itu.Alvaro cepat-cepat merogoh saku celananya karena ingin menelepon Cara. Namun, teleponnya malah diabaikan oleh gadis itu.Wajah Alvaro berubah cemas. "Caramell, ayolah. Angkat teleponku ...," desahnya terdengar khawatir."Tuan, maaf. Caramell sepertinya lupa membawa ponselnya."Jantung Alvaro mencelus melihat benda yang diulurkan Bik Arum pada dirinya. Dia tidak mungkin bisa menghubungi Cara karena ponsel gadis itu tertinggal di rumah.Alvaro mengusap wajah kasar. Ketakutan tergambar jelas di wajah tampannya karena dia sangat mengkhawatirkan Cara. "Apa orang yang menjemput Cara tadi mengatakan akan pergi ke mana, Bik?"
"Hubungan kita sudah berakhir, Jafier. Tolong mengertilah ...." "Belum." Jafier terus saja mengelak. "Hubungan kita belum berakhir karena aku masih mencintaimu, Caramell." "Tapi aku sudah tidak mencintaimu lagi." Kedua mata Cara menatap Jafier dengan lekat. Kesungguhan terpancar jelas dari kedua sorot matanya karena dia ingin membuat Jafier berhenti berharap dan melakukan hal licik seperti ini untuk menarik kembali perhatiannya. Semua perhatian dan kasih sayang yang Jafier tunjukkan tidak akan mampu meluluhkan hatinya karena dia sangat mencintai Alvaro. "Cintamu pada Alvaro cuma sesaat karena hanya aku lelaki yang benar-benar kamu cintai, Caramell." "Jafier, jangan gila!" "Aku sudah gila sejak berpisah denganmu." "Aku tidak mencintaimu lagi," ucap Cara terdengar penuh penekanan. "Kamu hanya singgah di hati Alvaro karena rumahmu yan