Rasanya bagai bermimpi tatkala Almeera menerima black card dari Kaisar. Bagaimana tidak. Kartu tersebut adalah alat pembayaran yang hanya dimiliki oleh para konglomerat. Namun, Kaisar malah memberikan benda berharga itu kepada dirinya, yang hanya berstatus sebagai istri kontrak.Sebenarnya Almeera ingin bertanya lebih lanjut, tetapi ponsel Kaisar tiba-tiba berdering. Melihat nama Akbar yang tertera di layar, tanpa ragu Kaisar mengangkat telepon dari asistennya itu.“Halo, Akbar,” tanya Kaisar dengan nada formal.“Tuan Kaisar, investor kita dari London sudah tiba di bandara. Mereka akan berkunjung ke kantor sekitar jam sebelas siang,” kata Akbar.Kaisar mengerutkan alisnya. “Tolong sambut mereka dulu. Aku akan ke kantor setelah menemui Rico.”“Baik, Tuan Kaisar,” jawab Akbar sebelum panggilan itu berakhir. Sesudah memasukkan ponselnya ke saku jas, Kaisar menoleh ke arah Almeera yang masih berdiri sambil memegang black card pemberiannya.“Aku harus pergi sekarang,” katanya sembari meng
Karena Rifki sedang tidur siang, Almeera memutuskan untuk menjenguk Karenina. Sepulang dari vila, ia memang ingin melihat kondisi Karenina. Hanya saja berbagai persoalan yang mendera, membuatnya belum sempat melakukan hal itu.Dengan membawa handuk kecil dan semangkuk air hangat, gadis itu masuk ke kamar istri pertama Kaisar. Suara langkah kakinya yang lembut hampir tidak terdengar di lantai berkarpet tebal. Kamar Karenina selalu tenang, hanya ada suara lembut alat medis yang memantau kondisi wanita yang masih koma itu. “Suster, apa boleh saya mengelap tangan dan kaki Nyonya Karenina dengan air hangat?” tanya Almeera kepada perawat yang menjaga Karenina.“Boleh, Nyonya, silakan.” Tanpa diminta, perawat tersebut meninggalkan Almeera supaya lebih leluasa berbicara dengan Karenina. Almeera pun meletakkan mangkuk yang ia bawa di atas nakas, lalu duduk di kursi samping ranjang.Dengan hati-hati, gadis itu mulai membasuh telapak tangan dan kaki Karenina, gerakannya lembut dan penuh kasih
Usai sang dokter menyanggupi permintaannya, Hana segera memutus sambungan telepon. Matanya yang jeli dan tajam menangkap keberadaan Almeera yang berdiri di dekat pintu. Tak ayal, amarahnya yang belum padam kembali muncul ke permukaaan. “Kenapa kamu masih berdiri di situ, hah? Pergi dari sini!” perintah Hana dengan berang. Tak ingin memperpanjang masalah, Almeera bergegas meninggalkan kamar Karenina. Air matanya mengalir deras saat menaiki anak tangga ke lantai dua. Di satu sisi, ia sangat mencemaskan kondisi Karenina, tetapi di sisi lain ia juga tak mau membuat Hana semakin murka. Kini, hanya kamar sang adik yang bisa menjadi tempat persembunyian Almeera. Setibanya di kamar Rifki, Almeera pun terduduk di tepi ranjang. Gadis itu langsung terisak sembari menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Rongga dadanya terasa sesak, mengingat semua tuduhan yang dilemparkan oleh Hana.Rifki, yang mendengar suara isakan kakaknya, segera mendekat. “Mbak Meera, ada apa?” tanya Rifki dengan suara p
Di kamar Rifki, Almeera masih duduk di tepi ranjang dengan mata sembap. Gadis itu terkejut melihat Kaisar tiba-tiba membuka pintu. Dalam sepersekian detik, tatapan mereka saling beradu. Entah mengapa sorot mata Kaisar membuat Almeera gentar. Seakan-akan ada kobaran api yang membara dari mata lelaki itu. “Tuan,” Almeera berdiri dengan gugup sambil menghapus air matanya. Kaisar berjalan masuk ke kamar Rifki dengan langkah cepat dan menghentak. Fokus matanya otomatis tertuju pada Almeera. Meski terhalang oleh kacamata, ia bisa melihat bahwa kedua netra gadis itu bengkak karena menangis. Tanpa berucap apa pun, Kaisar meraih tangan Almeera dengan cengkeraman yang kuat. Membuat Almeera terkejut dan mengerang pelan. Sungguh, ia belum tahu apa yang menyebabkan Kaisar mendadak bersikap kasar. “Tuan, ada apa?” tanya Almeera dengan suara bergetar. Kaisar tetap bungkam. Namun, tangannya menarik paksa Almeera keluar dari kamar Rifki, menuju kamar mereka sendiri. Terpaksa Almeera mengikuti lan
Kaisar turun ke lantai bawah dengan langkah cepat. Wajahnya masih tegang, tetapi dia mencoba mengendalikan emosi. Entah mengapa dia selalu lepas kendali setiap kali menyentuh Almeera, padahal tidak ada yang istimewa dari gadis itu. Dengan pikiran yang masih semrawut, Kaisar berjalan menuju ruang tengah, di mana dokter keluarga mereka telah menunggu.“Dokter Arman, bagaimana kondisi Nina?” tanya Kaisar segera menemui sang dokter.“Nyonya Karenina sudah sadar dan kondisinya cukup stabil, Tuan Kaisar. Ini benar-benar sebuah keajaiban. Tapi, dia harus dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lanjutan,” jelas sang dokter seraya memberikan surat rujukan kepada Kaisar.“Nyonya Karenina perlu melakukan terapi supaya bisa bergerak dengan normal. Ada satu hal lagi, Tuan Kaisar. Ingatan pasien mungkin sebagian hilang, akibat koma terlalu lama. Karena itu, dia tidak boleh menerima tekanan atau kejutan yang berat.”Kaisar mendengarkan dengan seksama, mencoba memproses informasi yang diberikan oleh
Meski tak bertemu muka, Kaisar merasa cukup memberikan pesan penting kepada Almeera. Kaisar pun berjalan menuju ruang kerjanya. Tangannya dengan cekatan mengeluarkan ponsel dari saku untuk menghubungi Akbar. Nada dering terdengar beberapa kali sebelum sang asisten menjawab panggilannya. “Akbar, tolong urus administrasi secepatnya di Rumah Sakit Prima untuk perawatan Karenina. Siapkan juga ambulans untuk membawa Karenina, karena dia baru saja sadar dari koma,” tegas Kaisar.Di ujung sana, Akbar merespons dengan sigap, “Baik, Tuan. Saya akan segera mengurusnya.”Kaisar menyebutkan sejumlah fasilitas yang dia inginkan untuk Karenina. Termasuk kualifikasi tim dokter yang akan merawat istrinya itu. Setelah memberikan beberapa instruksi tambahan, Kaisar akhirnya menutup telepon.Langkah berikutnya, Kaisar mencari Bi Yuli. Dia menemukan kepala pelayan itu di dapur, sedang menyiapkan makanan. “Bi Yuli, bilang kepada semua pelayan untuk menyiapkan pakaian dan keperluan Karenina. Pastikan sem
Pertanyaan pria itu membuat Almeera semakin bingung. Entah mengapa ia malah bertanya balik seolah-olah dia adalah pemilik mansion ini. Namun bila dipikir lagi, rasanya mustahil bila ada seorang penyusup yang masuk, sebab gerbang mansion dijaga ketat oleh security.“Berjanjilah untuk tidak berteriak, maka aku akan melepaskanmu,” kata pria itu. Almeera mengangguk pelan. Lebih baik, ia menurut dulu kepada pria ini supaya dibebaskan. Setelahnya, ia akan mencari tahu identitas dari lelaki misterius ini. Begitu pria tersebut melepaskan tangannya, Almeera langsung meraup oksigen sebanyak mungkin. Mencoba untuk meredakan denyut panik di dalam dadanya. Sesudah berhasil mengatur napas, gadis itu menjawab dengan gemetar, “Saya … Almeera.”Pria tersebut masih menatap Almeera tak berkedip. Dengan tangannya yang kokoh, ia menahan pinggang ramping Almeera. Sementara kedua alisnya tertaut, seolah mempertanyakan nama gadis itu. “Almeera?” ulangnya dengan ragu. “Kenapa aku tidak pernah mendengar ten
Di rumah sakit, Kaisar sedang berdiri di sisi brankar, menatap sang istri yang masih tergolek lemah. Dokter baru saja menjadwalkan sejumlah terapi dan pemeriksaan laboratorium untuk Karenina besok pagi. Ia tahu bahwa semua prosedur itu tidaklah mudah untuk dijalani, apalagi bagi seseorang yang baru tersadar dari koma.Usai dokter dan perawat pergi, Karenina kembali memohon pada Kaisar dengan mata berkaca-kaca. Terlihat jelas bahwa wanita itu enggan untuk berada terlalu lama di rumah sakit.“Tolong, bawa aku pulang sekarang, Kaisar. Aku merasa lebih nyaman di rumah.”Rasa iba menyeruak di relung hati Kaisar, tetapi dia tetap menggeleng dengan tegas. Toh, ini semua harus dilakukan demi kesembuhan Karenina.“Di rumah sakit perawatanmu lebih terjamin. Bersabarlah sedikit, Nina.”Melihat Kaisar belum mengabulkan permintaannya, Karenina merengek dengan suara lirih. “Kalau begitu kamu harus menjaga aku di sini. Jangan tinggalkan aku sendirian.”“Aku perlu bekerja, tidak mungkin bisa selalu m