Di kamar Rifki, Almeera masih duduk di tepi ranjang dengan mata sembap. Gadis itu terkejut melihat Kaisar tiba-tiba membuka pintu. Dalam sepersekian detik, tatapan mereka saling beradu. Entah mengapa sorot mata Kaisar membuat Almeera gentar. Seakan-akan ada kobaran api yang membara dari mata lelaki itu. “Tuan,” Almeera berdiri dengan gugup sambil menghapus air matanya. Kaisar berjalan masuk ke kamar Rifki dengan langkah cepat dan menghentak. Fokus matanya otomatis tertuju pada Almeera. Meski terhalang oleh kacamata, ia bisa melihat bahwa kedua netra gadis itu bengkak karena menangis. Tanpa berucap apa pun, Kaisar meraih tangan Almeera dengan cengkeraman yang kuat. Membuat Almeera terkejut dan mengerang pelan. Sungguh, ia belum tahu apa yang menyebabkan Kaisar mendadak bersikap kasar. “Tuan, ada apa?” tanya Almeera dengan suara bergetar. Kaisar tetap bungkam. Namun, tangannya menarik paksa Almeera keluar dari kamar Rifki, menuju kamar mereka sendiri. Terpaksa Almeera mengikuti lan
Kaisar turun ke lantai bawah dengan langkah cepat. Wajahnya masih tegang, tetapi dia mencoba mengendalikan emosi. Entah mengapa dia selalu lepas kendali setiap kali menyentuh Almeera, padahal tidak ada yang istimewa dari gadis itu. Dengan pikiran yang masih semrawut, Kaisar berjalan menuju ruang tengah, di mana dokter keluarga mereka telah menunggu.“Dokter Arman, bagaimana kondisi Nina?” tanya Kaisar segera menemui sang dokter.“Nyonya Karenina sudah sadar dan kondisinya cukup stabil, Tuan Kaisar. Ini benar-benar sebuah keajaiban. Tapi, dia harus dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lanjutan,” jelas sang dokter seraya memberikan surat rujukan kepada Kaisar.“Nyonya Karenina perlu melakukan terapi supaya bisa bergerak dengan normal. Ada satu hal lagi, Tuan Kaisar. Ingatan pasien mungkin sebagian hilang, akibat koma terlalu lama. Karena itu, dia tidak boleh menerima tekanan atau kejutan yang berat.”Kaisar mendengarkan dengan seksama, mencoba memproses informasi yang diberikan oleh
Meski tak bertemu muka, Kaisar merasa cukup memberikan pesan penting kepada Almeera. Kaisar pun berjalan menuju ruang kerjanya. Tangannya dengan cekatan mengeluarkan ponsel dari saku untuk menghubungi Akbar. Nada dering terdengar beberapa kali sebelum sang asisten menjawab panggilannya. “Akbar, tolong urus administrasi secepatnya di Rumah Sakit Prima untuk perawatan Karenina. Siapkan juga ambulans untuk membawa Karenina, karena dia baru saja sadar dari koma,” tegas Kaisar.Di ujung sana, Akbar merespons dengan sigap, “Baik, Tuan. Saya akan segera mengurusnya.”Kaisar menyebutkan sejumlah fasilitas yang dia inginkan untuk Karenina. Termasuk kualifikasi tim dokter yang akan merawat istrinya itu. Setelah memberikan beberapa instruksi tambahan, Kaisar akhirnya menutup telepon.Langkah berikutnya, Kaisar mencari Bi Yuli. Dia menemukan kepala pelayan itu di dapur, sedang menyiapkan makanan. “Bi Yuli, bilang kepada semua pelayan untuk menyiapkan pakaian dan keperluan Karenina. Pastikan sem
Pertanyaan pria itu membuat Almeera semakin bingung. Entah mengapa ia malah bertanya balik seolah-olah dia adalah pemilik mansion ini. Namun bila dipikir lagi, rasanya mustahil bila ada seorang penyusup yang masuk, sebab gerbang mansion dijaga ketat oleh security.“Berjanjilah untuk tidak berteriak, maka aku akan melepaskanmu,” kata pria itu. Almeera mengangguk pelan. Lebih baik, ia menurut dulu kepada pria ini supaya dibebaskan. Setelahnya, ia akan mencari tahu identitas dari lelaki misterius ini. Begitu pria tersebut melepaskan tangannya, Almeera langsung meraup oksigen sebanyak mungkin. Mencoba untuk meredakan denyut panik di dalam dadanya. Sesudah berhasil mengatur napas, gadis itu menjawab dengan gemetar, “Saya … Almeera.”Pria tersebut masih menatap Almeera tak berkedip. Dengan tangannya yang kokoh, ia menahan pinggang ramping Almeera. Sementara kedua alisnya tertaut, seolah mempertanyakan nama gadis itu. “Almeera?” ulangnya dengan ragu. “Kenapa aku tidak pernah mendengar ten
Di rumah sakit, Kaisar sedang berdiri di sisi brankar, menatap sang istri yang masih tergolek lemah. Dokter baru saja menjadwalkan sejumlah terapi dan pemeriksaan laboratorium untuk Karenina besok pagi. Ia tahu bahwa semua prosedur itu tidaklah mudah untuk dijalani, apalagi bagi seseorang yang baru tersadar dari koma.Usai dokter dan perawat pergi, Karenina kembali memohon pada Kaisar dengan mata berkaca-kaca. Terlihat jelas bahwa wanita itu enggan untuk berada terlalu lama di rumah sakit.“Tolong, bawa aku pulang sekarang, Kaisar. Aku merasa lebih nyaman di rumah.”Rasa iba menyeruak di relung hati Kaisar, tetapi dia tetap menggeleng dengan tegas. Toh, ini semua harus dilakukan demi kesembuhan Karenina.“Di rumah sakit perawatanmu lebih terjamin. Bersabarlah sedikit, Nina.”Melihat Kaisar belum mengabulkan permintaannya, Karenina merengek dengan suara lirih. “Kalau begitu kamu harus menjaga aku di sini. Jangan tinggalkan aku sendirian.”“Aku perlu bekerja, tidak mungkin bisa selalu m
Beberapa kali, Almeera menggeliat ke kanan dan ke kiri. Meski kamar sang adik sangat tenang dan kasurnya terasa nyaman, ia tidak bisa terlelap. Pikiran gadis itu malah berputar-putar mengenai kata-kata Reval tentang kacamatanya. Ia khawatir Reval akan membongkar penyamarannya di depan Kaisar. Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, Almeera memutuskan untuk keluar dari kamar. Mencari tahu apakah Reval masih terjaga atau sudah tertidur. Langkahnya ringan melintasi lorong yang tenang, menyelinap di antara bayang-bayang yang terpantul dari cahaya remang di koridor. Namun mendadak ia berhenti, merasa bingung yang mana kamar dari adik Kaisar itu.Di kala Almeera sedang berpikir, ia terkejut melihat Reval keluar dari kamar, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Rambutnya masih basah, menandakan bahwa lelaki itu baru saja selesai mandi. Cahaya lembut dari koridor menerangi tubuhnya yang tinggi dan atletis.“Tuan Reval!” desis Almeera. Ia merasa malu karena kepergok oleh Reval. Saudara l
Untuk beberapa saat Kaisar terdiam, bingung mencari jawaban yang tepat. Ia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya harus terburu-buru pulang ke mansion. Mungkinkah pikiran dan hatinya saat ini mulai tidak sinkron?“Aku ingin bicara dengan Reval. Kami sudah lama tidak bertemu,” ucapnya dengan nada suara yang tidak meyakinkan. Baru sekali ini, Kaisar merasa canggung saat berbicara.Almeera pun memandang sang suami dengan tatapan rumit. Namun sebelum ia sempat berkata apa-apa, Kaisar sudah mengambil alih kendali percakapan. Jangan sampai Almeera melemparkan pertanyaan lain, yang akan mengusik gengsinya sebagai laki-laki.“Tidurlah, jangan keluar lagi dari kamar. Aku akan menemui Reval,” tegas Kaisar dengan suara yang lebih lembut. Pria itu bergegas membuka pintu dan meninggalkan Almeera sendirian di kamar. Almeera termenung sejenak di tempat, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Sikap Kaisar yang otoriter dan gemar berprasangka buruk, membuatnya bingung dan terluka. Namun, ia mem
Usai percakapan dengan topik yang berat, Reval mencoba mencairkan suasana. Ia merasa perlu menceritakan tentang rencananya untuk berpindah tempat tinggal. Tidaklah pantas bila ia tinggal satu atap bersama dengan dua orang istri kakaknya.“Besok, aku akan mencari apartemen. Sudah waktunya bagiku untuk hidup mandiri, Kak,” ujar Reval. Kaisar langsung mengangguk paham. “Keputusanmu itu benar, Reval. Kamu pasti butuh ruang untuk hidup mandiri, apalagi kamu sudah terbiasa tinggal di apartemen.”“Iya, Kak, secepatnya aku akan pindah. Aku sudah dapat beberapa referensi apartemen, yang fasilitasnya sesuai dengan keinginanku. Aku akan berkunjung ke sana untuk melihat-lihat.”Reval lantas berdiri dari sofa sembari merentangkan kedua lengannya. Kedua netranya menyipit, pertanda ia sudah ingin merebahkan diri di tempat tidur. Seluruh tubuhnya juga terasa letih, akibat terlalu lama berada di dalam pesawat.“Aku ke kamar dulu, Kak. Aku butuh tidur sekarang.”“Istirahatlah, besok kita berangkat ber