Sembari melepaskan pelukannya, Kaisar berpikir bagaimana caranya supaya Almeera berhenti menangis. Pasalnya, suara gadis itu membuatnya sulit untuk memejamkan mata. Entah mengapa Almeera tidak berhenti mengusik ketenangannya, bahkan dalam kondisi tidur sekalipun. Andai saja Almeera tidak dalam kondisi lemah, mungkin dia akan segera membangunkan gadis tersebut. “Nenek ….”Mendengar suara Almeera yang mengigau, Kaisar menebak bila gadis ini bermimpi mengenai neneknya. Pastilah di dalam hati Almeera masih mencemaskan kondisi sang nenek di kampung, hingga terbawa ke alam mimpi. Hanya saja, gadis itu tidak berani bertanya secara langsung. Kaisar pun teringat akan Willy yang ia tugaskan untuk mendatangi rumah Almeera di kampung. Hingga saat ini, orang kepercayaannya itu belum memberikan laporan apa-apa. Namun, Kaisar yakin bila Willy sudah bertemu dengan neneknya Almeera.‘Besok, aku akan bertanya kepada Willy apa dia sudah membereskan masalah hutang piutang itu,’ pikir Kaisar. ***Di da
Dalam perjalanan pulang, Almeera mendengar Kaisar mendapat telepon dari Willy. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan oleh mereka, tetapi wajah Kaisar terlihat tegang. Almeera pun berpikir bahwa telepon tersebut mungkin ada kaitannya dengan sang nenek, mengingat Kaisar mengutus Willy untuk mengunjungi kampungnya. Diam-diam, gadis itu berusaha mencuri dengar. Sayangnya, Kaisar lebih banyak mendengarkan daripada bicara, sehingga Almeera tidak tahu apa isi percakapan tersebut. Bahkan, Kaisar kemudian menyuruh Willy untuk menghubunginya lagi di sore hari.Jujur, Almeera sangat ingin menanyakan kabar Gayatri. Terlebih, semalam ia baru saja bermimpi buruk mengenai sang nenek yang menghilang dalam kegelapan. Hanya saja sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk bicara, sebab Kaisar sedang terburu-buru. Usai menerima panggilan dari Willy, Kaisar kembali menyibukkan diri dengan berbalas pesan. Sedangkan Almeera masih setia melemparkan pandangan ke arah jalan raya. Berbeda dengan interaksi mereka d
“Almeera, kalau ada yang bersikap tidak baik padamu di mansion ini, kamu bisa melaporkannya kepada Opa. Nanti Opa akan menyuruh Hamdan untuk mengirimkan nomor ponsel Opa yang baru padamu,” sindir Tuan Barata seraya melirik sekilas ke arah Hana. Sudah jelas ia ingin memberikan peringatan kepada menantunya itu.Almeera hanya membalas dengan anggukan kecil. Ia tidak tahu siapa yang dimaksud oleh Tuan Barata, entah itu Kaisar atau Hana. Yang pasti ia tidak ingin memperkeruh keadaaan. Apalagi, dia bukanlah siapa-siapa selain seorang yang menumpang hidup pada keluarga Syailendra. Jika bukan karena belas kasihan Tuan Barata, mungkin dirinya dan sang adik akan hidup terlantar seperti gelandangan. “Kita harus berangkat sekarang, atau Opa akan ketinggalan pesawat,” sela Kaisar. Lelaki itu nampak sudah tidak sabar untuk mengajak sang kakek ke bandara.Sempat terdengar helaan napas berat dari pria tua itu sebelum beranjak dari sofa. Meski berat meninggalkan rumahnya, Tuan Barata akhirnya melang
Ketika mengerjapkan mata, Gayatri terkejut melihat dirinya ada di sebuah ruangan serba putih. Perempuan tua itu melihat sekelilingnya dengan bingung, berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Seingatnya semalam ia masih berada di rumah. Namun kedatangan lelaki muda yang memberikan kabar mengejutkan tentang sang cucu, membuat ia mendadak pusing dan hilang kesadaran. Mungkinkah pria itu yang membawanya kemari?Melihat selang infus yang terpasang di tangannya, Gayatri baru mengerti bahwa ia berada di kamar rumah sakit. Tadi pagi ia juga sempat membuka mata sebentar. Namun, kondisi tubuh yang masih lemah membuat perempuan tua itu tertidur lagi. Gayatri pun berusaha untuk turun dari brankar, meski kepalanya terasa seringan kapas. Namun, ia berhenti saat mendengar langkah kaki yang mendekat ke pintu. Tak berselang lama, dua orang masuk bersamaan ke kamarnya. Yang satu adalah pria yang kemarin bertamu ke rumahnya, dan satu lagi adalah seorang perawat. “Nenek sudah bangun?” Willy bergegas men
Harum bau masakan tercium di seluruh dapur. Setelah menghidangkan makanan di atas meja makan, Almeera duduk sebentar untuk mengistirahatkan diri. Mungkin akibat kakinya yang belum pulih dengan sempurna, gadis itu mudah lelah. Sembari menyeka keringatnya, Almeera meminum seteguk air untuk melepas dahaga. Namun, ia hampir tersedak saat mendengar suara Hana yang menggelegar. Almeera pun menoleh ke arah peremuan paruh baya itu dengan tatapan bingung. Begitu pula dengan Bi Yuli dan para pelayan yang baru pulang dari berbelanja. “Almeera!”Bibir Hana tertarik kencang dalam satu garis lurus yang tegas. Tangan kanannya menggenggam blazer berwarna putih, sementara tangan kirinya mengepal di sisi tubuh. Mata perempuan paruh baya itu menyala dengan api kemarahan, seakan ingin membakar habis gadis berkacamata di hadapannya. "Kecerobohan macam apa yang kamu lakukan ini? Bagaimana bisa kamu tidak hati-hati?" suara Hana keluar serak, penuh dengan kemarahan yang tertahan. Dengan gerakan cepat, p
“Tolong … ambilkan obat alergi di laci,” pinta Kaisar berusaha mengatur napasnya.“Alergi?” beo Almeera. Ia masih belum mengerti apa yang membuat Kaisar mendadak sakit seperti ini. “Cepat, aku mulai sesak napas,” desak Kaisar dengan wajah memerah. “I-iya, Tuan.”Tanpa bertanya lagi, Almeera bergegas membuka setiap laci yang ada di kamar dan mengecek satu per satu isinya. Namun, ia belum menemukan obat yang dimaksud oleh Kaisar. Gadis itu malah menjatuhkan beberapa dokumen yang tersimpan di dalamnya.“Tidak ada, Tuan. Bentuk dan warna obatnya seperti apa?” tanya Almeera dilanda kepanikan. “Warna putih dan kecil,” jawab Kaisar masih berpegangan pada dinding. Pantang menyerah, Almeera kembali melakukan pencarian sampai ke laci yang ada di walk in closet. Beruntung, usahanya kali ini tidaklah sia-sia. Almeera berhasil menemukan lima butir pil berwarna putih yang tersimpan di dalam kotak. “Apa benar ini obatnya, Tuan?” tanya Almeera menunjukkan obat yang dibawanya. Mendapat anggukan
“Bagaimana caranya, Tuan?” cicit Almeera gugup. Jantung gadis itu serasa bertalu-talu di dalam sana. Bagaimana tidak. Hanya beberapa senti lagi dan bibirnya akan bersentuhan dengan bibir Kaisar. Ditambah lagi, Kaisar menatap lekat wajahnya tanpa berkedip. Seakan mengalami dejavu, Almeera teringat akan kenangan manis bersama Kaisar dalam mimpinya. Hingga detik ini, ia bahkan bisa merasakan ciuman lembut yang diberikan lelaki itu. Mungkinkah khayalan satu malam itu sungguh akan terwujud di dunia nyata?“Kamu sungguh ingin tahu?” balas Kaisar.Alih-alih memberikan penjelasan yang dapat dimengerti, pria itu malah semakin mendekatkan wajahnya. Tak mampu melarikan diri, Almeera hanya bisa memejamkan mata. Sambil menahan napas, gadis itu menunggu detik-detik di mana Kaisar akan mendaratkan kecupan di bibirnya.Namun dalam situasi yang mendebarkan itu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan di pintu. Sungguh, siapapun yang datang kali ini telah menyelamatkan dirinya dari pesona berbahaya seorang
Manik mata Willy langsung menyipit saat mendengar kalimat tak senonoh yang diucapkan Harsono. Sungguh, lelaki ini benar-benar tidak tahu diri. Dengan usianya yang hampir setengah abad, ia malah menginginkan seorang gadis muda. Pantas saja jika Almeera sampai melarikan diri ke Jakarta demi menghindari Harsono.“Lupakan saja keinginan Anda, karena Almeera sudah menikah di Jakarta,” tegas Willy sembari melepaskan tangan preman yang dicekal olehnya. Kini, giliran Harsono yang dibuat terperangah. Pria botak itu maju beberapa langkah seraya menatap Willy dengan seksama. Berdasarkan jam terbangnya sebagai seorang rentenir, ia bisa membedakan mana orang yang berkata jujur dan mana yang berbohong, hanya dari sorot mata. “Jangan coba-coba menipuku,” ancam Harsono. “Apa saya kelihatan seperti pembohong? Saya datang menemui Anda atas perintah dari bos saya, yang merupakan suami Almeera. Tolong sebutkan saja berapa jumlah yang harus saya lunasi,” desak Willy tidak sabaran. Anak buah Harsono y
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe