Harum bau masakan tercium di seluruh dapur. Setelah menghidangkan makanan di atas meja makan, Almeera duduk sebentar untuk mengistirahatkan diri. Mungkin akibat kakinya yang belum pulih dengan sempurna, gadis itu mudah lelah. Sembari menyeka keringatnya, Almeera meminum seteguk air untuk melepas dahaga. Namun, ia hampir tersedak saat mendengar suara Hana yang menggelegar. Almeera pun menoleh ke arah peremuan paruh baya itu dengan tatapan bingung. Begitu pula dengan Bi Yuli dan para pelayan yang baru pulang dari berbelanja. “Almeera!”Bibir Hana tertarik kencang dalam satu garis lurus yang tegas. Tangan kanannya menggenggam blazer berwarna putih, sementara tangan kirinya mengepal di sisi tubuh. Mata perempuan paruh baya itu menyala dengan api kemarahan, seakan ingin membakar habis gadis berkacamata di hadapannya. "Kecerobohan macam apa yang kamu lakukan ini? Bagaimana bisa kamu tidak hati-hati?" suara Hana keluar serak, penuh dengan kemarahan yang tertahan. Dengan gerakan cepat, p
“Tolong … ambilkan obat alergi di laci,” pinta Kaisar berusaha mengatur napasnya.“Alergi?” beo Almeera. Ia masih belum mengerti apa yang membuat Kaisar mendadak sakit seperti ini. “Cepat, aku mulai sesak napas,” desak Kaisar dengan wajah memerah. “I-iya, Tuan.”Tanpa bertanya lagi, Almeera bergegas membuka setiap laci yang ada di kamar dan mengecek satu per satu isinya. Namun, ia belum menemukan obat yang dimaksud oleh Kaisar. Gadis itu malah menjatuhkan beberapa dokumen yang tersimpan di dalamnya.“Tidak ada, Tuan. Bentuk dan warna obatnya seperti apa?” tanya Almeera dilanda kepanikan. “Warna putih dan kecil,” jawab Kaisar masih berpegangan pada dinding. Pantang menyerah, Almeera kembali melakukan pencarian sampai ke laci yang ada di walk in closet. Beruntung, usahanya kali ini tidaklah sia-sia. Almeera berhasil menemukan lima butir pil berwarna putih yang tersimpan di dalam kotak. “Apa benar ini obatnya, Tuan?” tanya Almeera menunjukkan obat yang dibawanya. Mendapat anggukan
“Bagaimana caranya, Tuan?” cicit Almeera gugup. Jantung gadis itu serasa bertalu-talu di dalam sana. Bagaimana tidak. Hanya beberapa senti lagi dan bibirnya akan bersentuhan dengan bibir Kaisar. Ditambah lagi, Kaisar menatap lekat wajahnya tanpa berkedip. Seakan mengalami dejavu, Almeera teringat akan kenangan manis bersama Kaisar dalam mimpinya. Hingga detik ini, ia bahkan bisa merasakan ciuman lembut yang diberikan lelaki itu. Mungkinkah khayalan satu malam itu sungguh akan terwujud di dunia nyata?“Kamu sungguh ingin tahu?” balas Kaisar.Alih-alih memberikan penjelasan yang dapat dimengerti, pria itu malah semakin mendekatkan wajahnya. Tak mampu melarikan diri, Almeera hanya bisa memejamkan mata. Sambil menahan napas, gadis itu menunggu detik-detik di mana Kaisar akan mendaratkan kecupan di bibirnya.Namun dalam situasi yang mendebarkan itu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan di pintu. Sungguh, siapapun yang datang kali ini telah menyelamatkan dirinya dari pesona berbahaya seorang
Manik mata Willy langsung menyipit saat mendengar kalimat tak senonoh yang diucapkan Harsono. Sungguh, lelaki ini benar-benar tidak tahu diri. Dengan usianya yang hampir setengah abad, ia malah menginginkan seorang gadis muda. Pantas saja jika Almeera sampai melarikan diri ke Jakarta demi menghindari Harsono.“Lupakan saja keinginan Anda, karena Almeera sudah menikah di Jakarta,” tegas Willy sembari melepaskan tangan preman yang dicekal olehnya. Kini, giliran Harsono yang dibuat terperangah. Pria botak itu maju beberapa langkah seraya menatap Willy dengan seksama. Berdasarkan jam terbangnya sebagai seorang rentenir, ia bisa membedakan mana orang yang berkata jujur dan mana yang berbohong, hanya dari sorot mata. “Jangan coba-coba menipuku,” ancam Harsono. “Apa saya kelihatan seperti pembohong? Saya datang menemui Anda atas perintah dari bos saya, yang merupakan suami Almeera. Tolong sebutkan saja berapa jumlah yang harus saya lunasi,” desak Willy tidak sabaran. Anak buah Harsono y
Berdasarkan pengalamannya semalam, Almeera berusaha membiasakan diri untuk merawat Kaisar. Seperti pagi ini, ia mengoleskan salep di bagian ruam yang diderita Kaisar sebelum pria itu berangkat ke kantor. Selama itu pula Kaisar hanya diam mengamati, tidak mengatakan apa pun.“Apa masih gatal, Tuan?” tanya Almeera.“Sedikit,” jawab Kaisar singkat. “Nanti aku akan pulang malam, tidak usah menungguku,” lanjut Kaisar seraya memakai jasnya. Ketika Kaisar berlalu dari kamar, Almeera teringat bahwa pria itu belum membawa obat alergi. Buru-buru, ia mengambilnya dari laci lalu mengejar Kaisar. Beruntung kakinya sudah tidak nyeri, sehingga ia mampu berjalan lebih cepat. “Tuan, ini obat Anda. Siapa tahu Anda membutuhkannya nanti,” ujar Almeera.Hana yang baru keluar dari kamar turut mendengar ucapan Almeera. Hatinya pun terasa panas menyaksikan gadis itu masih bercokol di mansion. Terlebih, Kaisar malah memasukkan obat pemberian Almeera ke saku jasnya. Terbukti sudah bila rencananya untuk memic
Di kampung, Gayatri juga sudah diizinkan meninggalkan rumah sakit. Dengan bantuan Willy, perempuan tua itu dibawa pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, Gayatri masih cemas memikirkan Almeera. Entah mengapa firasatnya mengatakan bahwa pernikahan dadakan yang dilakukan sang cucu bukanlah pernikahan biasa. Apalagi, suami Almeera ini sepertinya orang yang kaya dan berkuasa. Ketika mobil yang membawanya sudah tiba di pekarangan, Gayatri melihat Mirza berdiri di depan teras rumahnya. Setengah berlari, Mirza pun bergegas menghampiri Gayatri. Lelaki muda itu nampak terkejut melihat Gayatri dikawal oleh tiga orang pria bertubuh tinggi. “Nenek ke mana saja? Dari pagi tadi saya kemari, tapi tidak ada orang. Saya khawatir Nenek dicelakai oleh Pak Kasman atau Harsono,” ujar Mirza dengan raut penuh kerisauan. “Nenek baru keluar dari rumah sakit, Mirza,” jawab Gayatri.“Nenek sakit apa? Kemarin waktu saya pulang, Nenek masih baik-baik saja.” Mirza kemudian memandang Willy dan anak buahnya deng
Nada suara Hana yang penuh intimidasi, membuat Rifki menunduk ketakutan. Melihat hal itu, Almeera segera memegang bahu sang adik. Ia merasa perlu meluruskan kesalahpahaman ini agar Hana tidak berprasangka buruk. “Saya sudah mendapat izin dari Opa Barata dan Tuan Kaisar untuk membawa adik saya.”“Aku tidak bertanya siapa yang memberimu izin. Hanya saja, seharusnya kamu tahu diri sedikit. Apalagi, adikmu ini bisa menularkan virus dan bakteri di mansion,” sarkas Hana. “Adik saya sudah dinyatakan sembuh oleh dokter, Nyonya. Dan saya berjanji dia tidak akan sering keluar dari kamar,” kata Almeera. Gadis itu lantas meminta Rifki agar memperkenalkan dirinya kepada Hana dengan sopan. Sama seperti yang dilakukan sang adik terhadap Bi Yuli. Namun saat Rifki maju beberapa langkah, Hana langsung bergerak menjauh.“Mundur, jaga jarak dariku,” usir Hana. Perempuan paruh baya itu beralih menatap Almeera dengan gusar.“Cepat bawa adikmu ke kamar! Jangan sampai dia bertemu atau berpapasan denganku,
Usai menebarkan kebohongan, Reni menutup pintu kamar Rifki lalu turun ke bawah. Dengan mengendap-endap, perempuan itu berjalan seperti seorang penguntit. Ia ingin memantau apakah Rifki benar-benar mematuhi apa yang dia katakan. Sementara itu, Rifki menelusuri lantai satu sesuai dengan arahan dari Reni. Beberapa pelayan yang berpapasan dengannya mencoba untuk bertanya. Hanya saja, bocah kecil itu tak mau menghiraukan. Rifki hanya fokus pada tujuan utamanya, yaitu masuk ke kamar dengan pintu yang berwarna putih keemasan. Dalam hitungan menit, Rifki sudah menemukan kamar yang dimaksud Reni. Sedikit ragu-ragu, bocah itu lantas memutar tuas pintu. Kebetulan ada seorang pelayan muda yang melihat Rifki berdiri sendirian. Ia hendak memberi teguran kepada Rifki, tetapi Reni dengan cepat mencegahnya. “Mau apa kamu, Sur?” tanya Reni menghadang langkah temannya. “Itu adiknya Nyonya Almeera, kan? Dia mau masuk ke kamar Nyonya Besar. Kita harus mencegahnya, Ren.”“Jangan, mungkin dia memang dis