“Tolong … ambilkan obat alergi di laci,” pinta Kaisar berusaha mengatur napasnya.“Alergi?” beo Almeera. Ia masih belum mengerti apa yang membuat Kaisar mendadak sakit seperti ini. “Cepat, aku mulai sesak napas,” desak Kaisar dengan wajah memerah. “I-iya, Tuan.”Tanpa bertanya lagi, Almeera bergegas membuka setiap laci yang ada di kamar dan mengecek satu per satu isinya. Namun, ia belum menemukan obat yang dimaksud oleh Kaisar. Gadis itu malah menjatuhkan beberapa dokumen yang tersimpan di dalamnya.“Tidak ada, Tuan. Bentuk dan warna obatnya seperti apa?” tanya Almeera dilanda kepanikan. “Warna putih dan kecil,” jawab Kaisar masih berpegangan pada dinding. Pantang menyerah, Almeera kembali melakukan pencarian sampai ke laci yang ada di walk in closet. Beruntung, usahanya kali ini tidaklah sia-sia. Almeera berhasil menemukan lima butir pil berwarna putih yang tersimpan di dalam kotak. “Apa benar ini obatnya, Tuan?” tanya Almeera menunjukkan obat yang dibawanya. Mendapat anggukan
“Bagaimana caranya, Tuan?” cicit Almeera gugup. Jantung gadis itu serasa bertalu-talu di dalam sana. Bagaimana tidak. Hanya beberapa senti lagi dan bibirnya akan bersentuhan dengan bibir Kaisar. Ditambah lagi, Kaisar menatap lekat wajahnya tanpa berkedip. Seakan mengalami dejavu, Almeera teringat akan kenangan manis bersama Kaisar dalam mimpinya. Hingga detik ini, ia bahkan bisa merasakan ciuman lembut yang diberikan lelaki itu. Mungkinkah khayalan satu malam itu sungguh akan terwujud di dunia nyata?“Kamu sungguh ingin tahu?” balas Kaisar.Alih-alih memberikan penjelasan yang dapat dimengerti, pria itu malah semakin mendekatkan wajahnya. Tak mampu melarikan diri, Almeera hanya bisa memejamkan mata. Sambil menahan napas, gadis itu menunggu detik-detik di mana Kaisar akan mendaratkan kecupan di bibirnya.Namun dalam situasi yang mendebarkan itu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan di pintu. Sungguh, siapapun yang datang kali ini telah menyelamatkan dirinya dari pesona berbahaya seorang
Manik mata Willy langsung menyipit saat mendengar kalimat tak senonoh yang diucapkan Harsono. Sungguh, lelaki ini benar-benar tidak tahu diri. Dengan usianya yang hampir setengah abad, ia malah menginginkan seorang gadis muda. Pantas saja jika Almeera sampai melarikan diri ke Jakarta demi menghindari Harsono.“Lupakan saja keinginan Anda, karena Almeera sudah menikah di Jakarta,” tegas Willy sembari melepaskan tangan preman yang dicekal olehnya. Kini, giliran Harsono yang dibuat terperangah. Pria botak itu maju beberapa langkah seraya menatap Willy dengan seksama. Berdasarkan jam terbangnya sebagai seorang rentenir, ia bisa membedakan mana orang yang berkata jujur dan mana yang berbohong, hanya dari sorot mata. “Jangan coba-coba menipuku,” ancam Harsono. “Apa saya kelihatan seperti pembohong? Saya datang menemui Anda atas perintah dari bos saya, yang merupakan suami Almeera. Tolong sebutkan saja berapa jumlah yang harus saya lunasi,” desak Willy tidak sabaran. Anak buah Harsono y
Berdasarkan pengalamannya semalam, Almeera berusaha membiasakan diri untuk merawat Kaisar. Seperti pagi ini, ia mengoleskan salep di bagian ruam yang diderita Kaisar sebelum pria itu berangkat ke kantor. Selama itu pula Kaisar hanya diam mengamati, tidak mengatakan apa pun.“Apa masih gatal, Tuan?” tanya Almeera.“Sedikit,” jawab Kaisar singkat. “Nanti aku akan pulang malam, tidak usah menungguku,” lanjut Kaisar seraya memakai jasnya. Ketika Kaisar berlalu dari kamar, Almeera teringat bahwa pria itu belum membawa obat alergi. Buru-buru, ia mengambilnya dari laci lalu mengejar Kaisar. Beruntung kakinya sudah tidak nyeri, sehingga ia mampu berjalan lebih cepat. “Tuan, ini obat Anda. Siapa tahu Anda membutuhkannya nanti,” ujar Almeera.Hana yang baru keluar dari kamar turut mendengar ucapan Almeera. Hatinya pun terasa panas menyaksikan gadis itu masih bercokol di mansion. Terlebih, Kaisar malah memasukkan obat pemberian Almeera ke saku jasnya. Terbukti sudah bila rencananya untuk memic
Di kampung, Gayatri juga sudah diizinkan meninggalkan rumah sakit. Dengan bantuan Willy, perempuan tua itu dibawa pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, Gayatri masih cemas memikirkan Almeera. Entah mengapa firasatnya mengatakan bahwa pernikahan dadakan yang dilakukan sang cucu bukanlah pernikahan biasa. Apalagi, suami Almeera ini sepertinya orang yang kaya dan berkuasa. Ketika mobil yang membawanya sudah tiba di pekarangan, Gayatri melihat Mirza berdiri di depan teras rumahnya. Setengah berlari, Mirza pun bergegas menghampiri Gayatri. Lelaki muda itu nampak terkejut melihat Gayatri dikawal oleh tiga orang pria bertubuh tinggi. “Nenek ke mana saja? Dari pagi tadi saya kemari, tapi tidak ada orang. Saya khawatir Nenek dicelakai oleh Pak Kasman atau Harsono,” ujar Mirza dengan raut penuh kerisauan. “Nenek baru keluar dari rumah sakit, Mirza,” jawab Gayatri.“Nenek sakit apa? Kemarin waktu saya pulang, Nenek masih baik-baik saja.” Mirza kemudian memandang Willy dan anak buahnya deng
Nada suara Hana yang penuh intimidasi, membuat Rifki menunduk ketakutan. Melihat hal itu, Almeera segera memegang bahu sang adik. Ia merasa perlu meluruskan kesalahpahaman ini agar Hana tidak berprasangka buruk. “Saya sudah mendapat izin dari Opa Barata dan Tuan Kaisar untuk membawa adik saya.”“Aku tidak bertanya siapa yang memberimu izin. Hanya saja, seharusnya kamu tahu diri sedikit. Apalagi, adikmu ini bisa menularkan virus dan bakteri di mansion,” sarkas Hana. “Adik saya sudah dinyatakan sembuh oleh dokter, Nyonya. Dan saya berjanji dia tidak akan sering keluar dari kamar,” kata Almeera. Gadis itu lantas meminta Rifki agar memperkenalkan dirinya kepada Hana dengan sopan. Sama seperti yang dilakukan sang adik terhadap Bi Yuli. Namun saat Rifki maju beberapa langkah, Hana langsung bergerak menjauh.“Mundur, jaga jarak dariku,” usir Hana. Perempuan paruh baya itu beralih menatap Almeera dengan gusar.“Cepat bawa adikmu ke kamar! Jangan sampai dia bertemu atau berpapasan denganku,
Usai menebarkan kebohongan, Reni menutup pintu kamar Rifki lalu turun ke bawah. Dengan mengendap-endap, perempuan itu berjalan seperti seorang penguntit. Ia ingin memantau apakah Rifki benar-benar mematuhi apa yang dia katakan. Sementara itu, Rifki menelusuri lantai satu sesuai dengan arahan dari Reni. Beberapa pelayan yang berpapasan dengannya mencoba untuk bertanya. Hanya saja, bocah kecil itu tak mau menghiraukan. Rifki hanya fokus pada tujuan utamanya, yaitu masuk ke kamar dengan pintu yang berwarna putih keemasan. Dalam hitungan menit, Rifki sudah menemukan kamar yang dimaksud Reni. Sedikit ragu-ragu, bocah itu lantas memutar tuas pintu. Kebetulan ada seorang pelayan muda yang melihat Rifki berdiri sendirian. Ia hendak memberi teguran kepada Rifki, tetapi Reni dengan cepat mencegahnya. “Mau apa kamu, Sur?” tanya Reni menghadang langkah temannya. “Itu adiknya Nyonya Almeera, kan? Dia mau masuk ke kamar Nyonya Besar. Kita harus mencegahnya, Ren.”“Jangan, mungkin dia memang dis
Tanpa menjawab terlebih dulu, Hana merebut cincin bermata biru itu dari tangan sang pelayan. Ia menyematkan cincin tersebut di jari manisnya dengan sorot mata dingin. Kemudian, perempuan paruh baya itu berdiri di tengah kamar, menunjukkan bahwa ia telah siap menjatuhkan hukuman yang berat kepada Rifki.Melihat situasi genting itu, Bi Yuli diam-diam mencari celah agar bisa keluar. Ia merasa iba akan nasib Rifki yang menjadi sasaran tuduhan Hana. Secepat mungkin, ia harus memberitahu Almeera bahwa adiknya sedang dalam masalah besar. Ketika Bi Yuli hendak turun, ia berpapasan dengan Almeera di tengah tangga. “Bi, kenapa di bawah sepi sekali? Ke mana para pelayan yang lain?” tanya Almeera merasa heran. “Mereka semua ada di kamar Rifki, termasuk Nyonya Besar. Anda harus menolong Rifki, Nyonya,” tukas Bi Yuli. DEG!Jantung Almeera serasa berhenti detik itu juga. Tak ayal, firasat buruk langsung menyergap hatinya. Ia sangat yakin bila Hana sudah mengetahui bahwa Rifki sempat masuk ke kama
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe