Ketika Almeera selesai berkemas, terdengar suara ketukan di pintu. Bi Yuli bergegas masuk ke kamar dengan wajah penuh kekhawatiran. Pandangannya langsung tertuju ke tas besar yang sedang dibawa oleh Almeera. “Nyonya Almeera mau pergi?” tanya Bi Yuli sambil mendekati Almeera. “Bukankah Nyonya harus izin dulu pada Tuan Muda?”Almeera berhenti sejenak, menatap Bi Yuli dengan netra yang penuh air mata. “Saya tidak punya pilihan, Bi. Demi Rifki, saya harus pergi sekarang. Kalau tidak, Nyonya Hana akan memanggil polisi untuk menangkap adik saya.”Bi Yuli mencoba menahan Almeera, memegang tangannya dengan erat. “Nyonya adalah istri dari Tuan Muda dan cucu menantu dari Tuan Besar. Mereka pasti akan marah jika Nyonya pergi tanpa pamit. Nyonya harus bertahan, setidaknya sampai Tuan Muda pulang dari kantor.”Meski ditahan oleh Bi Yuli, Almeera tidak bergeming. Gadis itu justru menarik tangannya dari genggaman sang kepala pelayan, dan mengajak Rifki keluar dari kamar. “Maafkan saya, Bi. Nyonya
Dengan perasaan yang masih campur aduk, Almeera mengajak Rifki menaiki tangga. Diam-diam, gadis itu merasa kagum terhadap ketegasan Kaisar dalam menghadapi situasi yang rumit ini. Meski terlihat keras, ia tahu bahwa Kaisar sebenarnya bertindak sebagai suami yang melindungi dirinya. “Mbak, apa pria yang menolong kita tadi Tuan Kaisar? Aku pernah melihatnya di rumah sakit,” tanya Rifki saat mereka sudah masuk ke kamar.“Iya, Dek, dia Tuan Kaisar.”“Aku mau punya kakak laki-laki yang baik dan ganteng seperti Tuan Kaisar.”Almeera tidak sempat menjawab, karena pintu kamarnya dibuka dari luar. Dan tak lama kemudian, muncul Kaisar dan Bi Yuli di depan pintu. Buru-buru, Almeera menempelkan telunjuk ke bibir supaya sang adik tidak berbicara sembarangan. Kaisar pun menaikkan alis melihat tingkah kakak beradik itu yang seperti terkejut melihat kedatangannya. “Bi Yuli, tolong keluarkan baju-baju Rifki dari koper dan temani dia sampai tidur,” titah Kaisar lantas menoleh ke arah Bi Yuli. Kepal
Rasanya bagai bermimpi tatkala Almeera menerima black card dari Kaisar. Bagaimana tidak. Kartu tersebut adalah alat pembayaran yang hanya dimiliki oleh para konglomerat. Namun, Kaisar malah memberikan benda berharga itu kepada dirinya, yang hanya berstatus sebagai istri kontrak.Sebenarnya Almeera ingin bertanya lebih lanjut, tetapi ponsel Kaisar tiba-tiba berdering. Melihat nama Akbar yang tertera di layar, tanpa ragu Kaisar mengangkat telepon dari asistennya itu.“Halo, Akbar,” tanya Kaisar dengan nada formal.“Tuan Kaisar, investor kita dari London sudah tiba di bandara. Mereka akan berkunjung ke kantor sekitar jam sebelas siang,” kata Akbar.Kaisar mengerutkan alisnya. “Tolong sambut mereka dulu. Aku akan ke kantor setelah menemui Rico.”“Baik, Tuan Kaisar,” jawab Akbar sebelum panggilan itu berakhir. Sesudah memasukkan ponselnya ke saku jas, Kaisar menoleh ke arah Almeera yang masih berdiri sambil memegang black card pemberiannya.“Aku harus pergi sekarang,” katanya sembari meng
Karena Rifki sedang tidur siang, Almeera memutuskan untuk menjenguk Karenina. Sepulang dari vila, ia memang ingin melihat kondisi Karenina. Hanya saja berbagai persoalan yang mendera, membuatnya belum sempat melakukan hal itu.Dengan membawa handuk kecil dan semangkuk air hangat, gadis itu masuk ke kamar istri pertama Kaisar. Suara langkah kakinya yang lembut hampir tidak terdengar di lantai berkarpet tebal. Kamar Karenina selalu tenang, hanya ada suara lembut alat medis yang memantau kondisi wanita yang masih koma itu. “Suster, apa boleh saya mengelap tangan dan kaki Nyonya Karenina dengan air hangat?” tanya Almeera kepada perawat yang menjaga Karenina.“Boleh, Nyonya, silakan.” Tanpa diminta, perawat tersebut meninggalkan Almeera supaya lebih leluasa berbicara dengan Karenina. Almeera pun meletakkan mangkuk yang ia bawa di atas nakas, lalu duduk di kursi samping ranjang.Dengan hati-hati, gadis itu mulai membasuh telapak tangan dan kaki Karenina, gerakannya lembut dan penuh kasih
Usai sang dokter menyanggupi permintaannya, Hana segera memutus sambungan telepon. Matanya yang jeli dan tajam menangkap keberadaan Almeera yang berdiri di dekat pintu. Tak ayal, amarahnya yang belum padam kembali muncul ke permukaaan. “Kenapa kamu masih berdiri di situ, hah? Pergi dari sini!” perintah Hana dengan berang. Tak ingin memperpanjang masalah, Almeera bergegas meninggalkan kamar Karenina. Air matanya mengalir deras saat menaiki anak tangga ke lantai dua. Di satu sisi, ia sangat mencemaskan kondisi Karenina, tetapi di sisi lain ia juga tak mau membuat Hana semakin murka. Kini, hanya kamar sang adik yang bisa menjadi tempat persembunyian Almeera. Setibanya di kamar Rifki, Almeera pun terduduk di tepi ranjang. Gadis itu langsung terisak sembari menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Rongga dadanya terasa sesak, mengingat semua tuduhan yang dilemparkan oleh Hana.Rifki, yang mendengar suara isakan kakaknya, segera mendekat. “Mbak Meera, ada apa?” tanya Rifki dengan suara p
Di kamar Rifki, Almeera masih duduk di tepi ranjang dengan mata sembap. Gadis itu terkejut melihat Kaisar tiba-tiba membuka pintu. Dalam sepersekian detik, tatapan mereka saling beradu. Entah mengapa sorot mata Kaisar membuat Almeera gentar. Seakan-akan ada kobaran api yang membara dari mata lelaki itu. “Tuan,” Almeera berdiri dengan gugup sambil menghapus air matanya. Kaisar berjalan masuk ke kamar Rifki dengan langkah cepat dan menghentak. Fokus matanya otomatis tertuju pada Almeera. Meski terhalang oleh kacamata, ia bisa melihat bahwa kedua netra gadis itu bengkak karena menangis. Tanpa berucap apa pun, Kaisar meraih tangan Almeera dengan cengkeraman yang kuat. Membuat Almeera terkejut dan mengerang pelan. Sungguh, ia belum tahu apa yang menyebabkan Kaisar mendadak bersikap kasar. “Tuan, ada apa?” tanya Almeera dengan suara bergetar. Kaisar tetap bungkam. Namun, tangannya menarik paksa Almeera keluar dari kamar Rifki, menuju kamar mereka sendiri. Terpaksa Almeera mengikuti lan
Kaisar turun ke lantai bawah dengan langkah cepat. Wajahnya masih tegang, tetapi dia mencoba mengendalikan emosi. Entah mengapa dia selalu lepas kendali setiap kali menyentuh Almeera, padahal tidak ada yang istimewa dari gadis itu. Dengan pikiran yang masih semrawut, Kaisar berjalan menuju ruang tengah, di mana dokter keluarga mereka telah menunggu.“Dokter Arman, bagaimana kondisi Nina?” tanya Kaisar segera menemui sang dokter.“Nyonya Karenina sudah sadar dan kondisinya cukup stabil, Tuan Kaisar. Ini benar-benar sebuah keajaiban. Tapi, dia harus dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lanjutan,” jelas sang dokter seraya memberikan surat rujukan kepada Kaisar.“Nyonya Karenina perlu melakukan terapi supaya bisa bergerak dengan normal. Ada satu hal lagi, Tuan Kaisar. Ingatan pasien mungkin sebagian hilang, akibat koma terlalu lama. Karena itu, dia tidak boleh menerima tekanan atau kejutan yang berat.”Kaisar mendengarkan dengan seksama, mencoba memproses informasi yang diberikan oleh
Meski tak bertemu muka, Kaisar merasa cukup memberikan pesan penting kepada Almeera. Kaisar pun berjalan menuju ruang kerjanya. Tangannya dengan cekatan mengeluarkan ponsel dari saku untuk menghubungi Akbar. Nada dering terdengar beberapa kali sebelum sang asisten menjawab panggilannya. “Akbar, tolong urus administrasi secepatnya di Rumah Sakit Prima untuk perawatan Karenina. Siapkan juga ambulans untuk membawa Karenina, karena dia baru saja sadar dari koma,” tegas Kaisar.Di ujung sana, Akbar merespons dengan sigap, “Baik, Tuan. Saya akan segera mengurusnya.”Kaisar menyebutkan sejumlah fasilitas yang dia inginkan untuk Karenina. Termasuk kualifikasi tim dokter yang akan merawat istrinya itu. Setelah memberikan beberapa instruksi tambahan, Kaisar akhirnya menutup telepon.Langkah berikutnya, Kaisar mencari Bi Yuli. Dia menemukan kepala pelayan itu di dapur, sedang menyiapkan makanan. “Bi Yuli, bilang kepada semua pelayan untuk menyiapkan pakaian dan keperluan Karenina. Pastikan sem
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe