“Meera, tenanglah, ada aku di sini. Atur napasmu,” ujar Kaisar. Pria itu segera meletakkan senter yang ia bawa di lantai, agar bisa menopang tubuh Almeera. Dari temaram cahaya senter, Kaisar bisa melihat gadis itu belum mengenakan apa-apa. Buru-buru, ia menyambar handuk yang terletak di wastafel untuk menutupi tubuh polos Almeera. Tanpa memikirkan satu tangannya yang masih terluka, Kaisar segera menggendong gadis yang sedang tak berdaya itu menuju ke kamar. Beruntung, ia sempat menyalakan senter ponselnya di atas meja untuk menerangi kamar. Meski tidak tidak terlalu terang, tetapi cukup untuk memandu jalannya menuju ke tempat tidur. Dengan hati-hati, Kaisar lantas merebahkan Almeera di atas ranjang lalu menyelimuti tubuh gadis itu dengan bed cover. “Aku akan mengambil senter dan bajumu sebentar,” kata Kaisar.Almeera melihat kepergian Kaisar sembari meringkuk di bawah bed cover. Ia tidak menyangka lagi-lagi Kaisar-lah yang muncul sebagai pahlawan di kala ia terjebak dalam kesulita
Di kampung, Gayatri baru selesai membuat makan malam sederhana untuk dirinya sendiri. Biarpun ia masih mencemaskan kondisi Almeera, paling tidak sudah ada Mirza yang bersedia mencari sang cucu. Apalagi, Mirza juga sudah mengakui perasaannya terhadap Almeera. Lelaki muda itu telah berjanji akan segera menemukan Almeera, lalu menikahinya atas restu dari Gayatri. Sembari memikirkan kebahagiaan sang cucu, Gayatri pun meletakkan nasi goreng buatannya di atas meja. Baru saja ia hendak makan, terdengar suara ketukan yang berulang di pintu. Sontak, jantung perempuan tua itu berdebar kencang. Ia takut bila Kasman datang untuk mengganggunya lagi. Atau mungkin Harsono yang sengaja berkunjung di malam hari, demi memaksanya memberitahukan keberadaaan Almeera. Meski begitu, Gayatri tidak akan pernah membuka mulut sedikit pun. Mendengar bunyi ketukan yang tidak berhenti, Gayatri terpaksa berjalan menuju ke pintu. Ia sudah bersiap untuk menghadapi para penjahat yang berniat mencelakai Almeera. Tak
Sembari melepaskan pelukannya, Kaisar berpikir bagaimana caranya supaya Almeera berhenti menangis. Pasalnya, suara gadis itu membuatnya sulit untuk memejamkan mata. Entah mengapa Almeera tidak berhenti mengusik ketenangannya, bahkan dalam kondisi tidur sekalipun. Andai saja Almeera tidak dalam kondisi lemah, mungkin dia akan segera membangunkan gadis tersebut. “Nenek ….”Mendengar suara Almeera yang mengigau, Kaisar menebak bila gadis ini bermimpi mengenai neneknya. Pastilah di dalam hati Almeera masih mencemaskan kondisi sang nenek di kampung, hingga terbawa ke alam mimpi. Hanya saja, gadis itu tidak berani bertanya secara langsung. Kaisar pun teringat akan Willy yang ia tugaskan untuk mendatangi rumah Almeera di kampung. Hingga saat ini, orang kepercayaannya itu belum memberikan laporan apa-apa. Namun, Kaisar yakin bila Willy sudah bertemu dengan neneknya Almeera.‘Besok, aku akan bertanya kepada Willy apa dia sudah membereskan masalah hutang piutang itu,’ pikir Kaisar. ***Di da
Dalam perjalanan pulang, Almeera mendengar Kaisar mendapat telepon dari Willy. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan oleh mereka, tetapi wajah Kaisar terlihat tegang. Almeera pun berpikir bahwa telepon tersebut mungkin ada kaitannya dengan sang nenek, mengingat Kaisar mengutus Willy untuk mengunjungi kampungnya. Diam-diam, gadis itu berusaha mencuri dengar. Sayangnya, Kaisar lebih banyak mendengarkan daripada bicara, sehingga Almeera tidak tahu apa isi percakapan tersebut. Bahkan, Kaisar kemudian menyuruh Willy untuk menghubunginya lagi di sore hari.Jujur, Almeera sangat ingin menanyakan kabar Gayatri. Terlebih, semalam ia baru saja bermimpi buruk mengenai sang nenek yang menghilang dalam kegelapan. Hanya saja sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk bicara, sebab Kaisar sedang terburu-buru. Usai menerima panggilan dari Willy, Kaisar kembali menyibukkan diri dengan berbalas pesan. Sedangkan Almeera masih setia melemparkan pandangan ke arah jalan raya. Berbeda dengan interaksi mereka d
“Mbak Meera, ayo kita cepat pulang ke rumah sekarang! Rumah kita tadi didatangi oleh Pak Harsono dan mereka memukuli Bapak,” ucap adiknya, tampak panik.DEG!Pak Harsono?Almeera yang sedang melayani pelanggan rumah makan tempatnya bekerja, sontak berhenti. Firasat buruk langsung memenuhi hati Almeera mendengar nama rentenir paling kejam di kampungnya itu.Apakah ayah tirinya kembali membuat ulah?Memang sejak Ibunya meninggal, pria paruh baya itu semakin tak bisa diandalkan. Kerjanya hanya berjudi dan mabuk-mabukan–membuat keluarganya semakin terjerat dalam tumpukan utang.“Baik, Mbak akan pulang. Tunggu di sini dulu, Rifki, Mbak akan berpamitan kepada Bu Sri,” ucapnya, lalu segera menemui sang pemilik rumah makan. Untungnya, bos Almeera mengizinkan walau gajinya harus dipotong dua ratus ribu.Tapi, Almeera tak peduli.Bersama sang adik, dia pun bergegas keluar dari rumah makan itu.Secepat mungkin, keduanya berlari.Namun ketika mereka tiba di rumah, kaki Almeera melemas.Kondis
Tanpa pikir panjang, Almeera menggendong tubuh Rifki menuju ke taksi. Dengan mata berkaca-kaca, ia meminta sopir taksi agar mengantarnya ke rumah sakit terdekat. Badannya begitu panas, hingga Rifki pun dilarikan ke ruang IGD supaya bisa dilakukan penanganan secara intensif.“Apa Anda keluarga pasien?” tanya dokter yang memeriksa Rifki.“Iya, Dok, saya kakaknya. Bagaimana keadaan adik saya, Rifki?” tanya Almeera dengan raut wajah penuh kecemasan.“Pasien menderita pneumonia akut dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Kami sudah memasangkan ventilator untuk membantu pernapasannya. Nanti pasien akan ditangani secara langsung oleh dokter spesialis paru-paru. Sekarang, Anda bisa mengurus administrasinya dulu,” ujar sang dokter.Pneumonia?Bagaimana bisa?Namun, Almeera menahan pertanyaannya itu dan langsung menemui petugas bagian administrasi. Saat bagiannya tiba, seorang wanita dengan blazer hitam memberikan penjelasan mengenai estimasi biaya perawatan. Dimulai dari tarif kama
‘Sepertinya, rumah ini telah berpindah kepemilikan,’ batin Almeera mencoba menenangkan diri. Hanya saja, Almeera sekarang tak tahu harus meminta tolong kepada siapa.Dia tak punya kenalan di kota ini.Dengan gontai, Almeera lantas memutuskan untuk berjalan menjauh dari rumah itu.Dia bahkan tak sadar sudah melewati sederet bangunan ruko yang berjajar di pinggir jalan. Dan … dalam kondisi yang hampir putus asa, Almeera justru melihat seorang pria tua yang sedang menyeberang jalan, tapi tak menyadari bahwa ada sebuah mobil yang melaju kencang ke arahnya.Deg!Hati nurani Almeera langsung terusik. “Awas, Pak!” seru Almeera. Sang kakek menoleh ke arahnya dengan ekspresi terkejut.Namun, ia masih diam di tempat. Menyadari itu, Almeera berlari secepat kilat menuju ke arah sang kakek–mengambil tindakan penyelamatan. Sekuat tenaga, ia menarik lengan pria tua itu, lalu memeluknya hingga mereka terjatuh dalam posisi duduk di trotoar. Bugh!TIN!“Kalau jalan, pake mata dong! Ngaggetin tah
“Almeera kenapa kamu melamun? Ayo, masuk!” “Hah? I-iya. Opa, maaf,” kaget Almeera.Gadis itu mengiringi langkah Tuan Barata dengan perasaan canggung. Ini pertama kalinya ia melihat kediaman yang begitu mewah dan luas. Bahkan, jarak dari halaman ke pintu depan saja terhitung tiga kali lipat dari lebar rumahnya di kampung! Namun, kejutan tak berhenti di sana…..Begitu menginjakkan kaki di pintu, empat orang pelayan bergegas menyambut kedatangan mereka. “Selamat datang kembali, Tuan Besar. Apakah Anda ingin makan siang?” sapa salah satu pelayan yang sepertinya paling senior.Tuan Barata tampak mengangguk santai. “Makan siangnya nanti saja, Bi Yuli. Untuk sekarang, tolong obati luka di siku dan lutut Almeera, lalu buatkan teh herbal untuknya.”“Oh, iya. Jangan lupa, ambilkan salah satu baju milik Karenina untuk Almeera.”“Maaf? Baju Nyonya Muda untuk Nona ini?” tanya Bi Yuli, terkejut. Almeera sampai menengok. Entah mengapa, dia merasakan perempuan berseragam hitam itu meliriknya d