"Tidak ada pria yang bisa mengabaikan pesonaku!"
Olivia Angelica menyibak rambutnya dengan gerakan arogan. Kemudian tawa dari mulutnya meledak. Terkikik geli karena tingkahnya sendiri.
Namun, perkataannya tidak bisa disangkal. Olivia adalah aktris yang sedang naik daun setelah membintangi film berjudul The Billionaire's Passion. Film dengan rating 21+ itu mampu membawa namanya melejit di kalangan muda. Bahkan sosial media milik Olivia langsung dibanjiri followers, serta komentar yang mengatakan bahwa Olivia sangat cantik dan mampu memikat lawan jenisnya dengan mudah.
Adanya rumor tentang hubungan tersembunyi antara Olivia dan peran utama pria dalam film tersebut menambah panas berita tentang dirinya. Banyak netizen yang mendukung mereka dan mengatakan mereka adalah pasangan yang serasi. Bahkan, mereka sering disebut dengan julukan 'si tampan dan si cantik'.
Antara Olivia dan Victor, tidak menyangkal ataupun membenarkan rumor tersebut. Bagi mereka para aktor dan aktris, rumor adalah sesuatu yang menguntungkan. Adanya rumor tersebut bisa membuat film yang mereka bintangi semakin banyak ditonton. Dan, hal itu menjadi keuntungan bagi industri perfilm-an. Sebagai pemeran, Olivia dan Victor pasti akan mendapat bayaran yang mahal.
"Ya, ya, terserah kau saja, Nona Olivia."
Erico Vederich, menatap Olivia malas. Ia akui Olivia memang cantik. Namun lama kelamaan ia muak karena Olivia tak henti-hentinya menyanjung dirinya sendiri. Erico tau itu hanya candaan semata. Tapi entahlah, mungkin Erico sudah terlalu kenyang menghadapi Olivia sejak mereka kuliah.
"Tapi benar apa yang aku katakan 'kan? Kau saja pernah jatuh cinta padaku sebelum akhirnya mencintai Adisty karena aku menolakmu!"
Olivia melipat bibir, menahan tawa remehnya ketika Erico meliriknya sinis. Mereka bersahabat, tidak bisa lebih. Olivia tidak memiliki perasaan apapun pada Erico. Sebaliknya, ia justru mendukung sahabatnya, Adisty untuk menaklukan Erico. Dan ia berhasil. Erico luluh akan lembutnya sikap Adisty.
"Jika Adisty mendengarmu, dia pasti kecewa," gumam Erico.
"Oh, ayolah. Aku hanya bercanda. Jangan sampai Adisty tau perasaanmu padaku. Persahabatan kita bisa rusak. Jadi biarkan ini menjadi rahasia kita saja," kata Olivia beruntun.
Bola mata Erico memutar malas. "Baiklah, katakan kenapa kau menemuiku di sini?"
Erico yakin, Olivia tidak mungkin menemuinya untuk hal yang tidak berguna. Gadis itu pasti membutuhkan bantuan. Erico paham tabiat Olivia yang selalu datang hanya ketika membutuhkan. Untung sahabat. Jika bukan, Erico bisa saja memanggil satpam dan mengusir Olivia karena mengganggunya sekarang.
Olivia berbinar karena pertanyaan Erico. Seketika tubuhnya tegak dan senyum manis muncul di bibir seksinya. "Kau tinggal bersama Adisty, bukan? Aku ingin menumpang!"
"Kau gila?"
Erico memang berhasil membuang perasaan cintanya untuk Olivia. Namun, karena mereka bersahabat, Erico sangat berhati-hati ketika berdekatan dengan gadis itu karena takut perasaannya goyah meskipun sekarang ia yakin bahwa cintanya adalah untuk Adisty. Jika mereka tinggal bersama, hubungan Erico dan Adisty akan terancam.
"Benar!" Olivia sedikit menggebrak meja. Wajahnya memelas pada Erico. "Kakak mengusirku karena film itu, Erico!"
"Itu salahmu! Aku dan Adisty sudah melarangmu menandatangani kontrak untuk film itu. Sudah jelas film itu sangat tabu dalam lingkungan keluargamu! Kau cari masalah karena egomu sendiri, Oliv!"
"Tapi Film itu membuatku terkenal dan mendapatkan banyak uang! Seharusnya kakakku bangga karena adiknya ini bisa menghasilkan sendiri!"
Kaki Olivia menginjak lantai ruangan Erico. Ia kesal. "Aku datang bukan mendengar omelanmu seperti kakakku! Aku kemari untuk meminta bantuan! Aku bisa tidur satu kamar dengan Adisty--"
"Adisty saja tidur denganku!"
Netra Olivia terbuka lebar. Kedua tangannya berada tepat di depan mulut. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Erico.
"Tuh kan! Kalian saja lebih nakal dariku! Jadi tidak usah menghakimiku karena film yang aku mainkan!" ketus Olivia marah.
"Setidaknya aku tidak membiarkan hubungan seks-ku menjadi konsumsi publik--"
"Erico! Adegan ranjang itu tidak asli! Mereka menggunakan peran pengganti!"
"Kalau begitu jelaskan itu pada kakakmu! Lihat apakah dia akan percaya atau tidak! Olivia, aku memang hanya sahabatmu, tapi aku juga marah karena keputusanmu ini. Jadi jangan harap aku bisa menolongmu. Aku mendukung Arsen mengusirmu dari rumahnya!"
"Ck! Jahat sekali!"
Olivia beranjak. Erico tidak membantu, jadi Olivia akan mendatangi Adisty. Sahabatnya itu pasti akan iba padanya dan mau memberikan tumpangan untuk tinggal.
"Jangan harap juga Adisty bisa menolongmu!"
Langkah Olivia segera terhenti. Tumitnya berputar, netranya memicing tajam pada Erico. Pria itu benar-benar menyebalkan!
"Kau--"
Erico mengabaikan Olivia. Membiarkan gadis itu lelah memakinya. Olivia harus menerima akibat dari keputusannya sendiri. Memainkan film dengan adegan dewasa sama saja mencari masalah dengan Arsen. Erico tau Arsen sangat menyayangi Olivia. Pria itu pasti sangat terpukul karena adiknya menentang larangan yang ia buat. Mendukung Olivia, sama saja Erico melukai perasaan Arsen.
Arsen sedang menghukum Olivia agar gadis itu sadar akan kesalahannya. Erico tidak ingin ikut campur. Ia juga berharap Olivia menyesal karena telah menerima dan memainkan film tersebut.
Karena Erico abai akan dirinya, Olivia beranjak pergi. Bibirnya berkedut menahan kesal. Setelah diusir dari rumah Arsen, Olivia berharap Erico bisa membantunya memberi tumpangan sampai kakaknya memaafkannya. Namun Erico sama saja!
Sekarang Olivia tidak tau harus kemana. Olivia tidak bisa tinggal sendiri. Sejak dulu, ia selalu menggantungkan hidupnya pada Arsen. Bermain film adalah usahanya untuk mandiri. Olivia ingin mencoba berinteraksi dengan dunia luar. Meyakinkan pada dirinya bahwa ia tidak boleh terjebak di masa lalu. Tapi bukan berarti itu menandakan Olivia siap hidup sendiri. Olivia butuh seseorang yang bisa dipercaya untuk membantunya.
Brukk!
Karena terlalu marah, Olivia tidak fokus ketika melangkah. Alhasil tubuhnya terhuyung sampai bokongnya menyentuh lantai marmer perusahaan Erico. Olivia menggeram kesal.
Jika dihitung dari skala 1 sampai 10, emosi Olivia yang tadinya berada di angka 6 sekarang beralih ke angka 9. Dada Olivia bergemuruh, wajahnya merah padam. Jika dalam serial kartun, pasti sekarang ada asap yang keluar dari hidungnya karena terlalu marah.
"Bisa nggak, lihat-lihat kalau jalan?!"
Seruan tersebut berhasil menahan kata maaf yang hendak keluar dari mulut si penabrak. Padahal kenyataannya, Olivia yang menabraknya karena berjalan linglung. Namun sekarang gadis itu justru menyalahkan dirinya. Aneh sekali gadis itu.
Jarum emosi Olivia bergeser ke angka 10 ketika si penabrak berlalu mengabaikannya. Sekarang kedua tangan Olivia mengepal. Emosinya benar-benar berada di puncak. Sampai rasa marahnya pada Erico tadi ingin sekali ia lampiaskan sekalian pada pria menyebalkan itu.
Olivia akui, pria itu sangat tampan. Alis tegas, netra gelap yang bersembunyi di balik bulu mata lentiknya, serta rahang kokohnya mampu membuat Olivia ingin memuji jika saja sikapnya baik. Namun ketampanan pria itu ia singkirkan dari pikirannya. Olivia harus menegur orang itu.
"Berhenti!"
Olivia berlari mengejar. Sampai punggung tegap itu terhenti ketika Erico keluar dari lift. Olivia yang tidak siap menghentikan larinya, otomatis menabrak punggung keras itu sampai pemiliknya berdecak.
"Telan pertanyaanmu tadi untuk dirimu sendiri, Nona!" celetuk pria itu menohok sampai ke ulu hati Olivia.
"Wow! Sepertinya aku ketinggalan berita. Ada kejadian apakah antara Tuan Alvaro Vederich dengan Nona Olivia Angelica?"
Sudut bibir Erico terangkat ketika netranya bersitatap dengan gelap bola mata sang kakak. Ia hanya bercanda, tapi Alvaro langsung memberikan tatapan membunuh.
"Kau mengenal gadis ini?"
Gerakan dagu Alvaro yang menunjuk Olivia tentu menyinggung perasaan gadis itu. Olivia dapat merasakan tatapan remeh dari netra hitam kelam pria itu. Namun ia hanya mampu menahan bibirnya agar tidak mencaci karena jujur, Alvaro memiliki aura yang menakutkan.
"Ah, dia hanya gadis terusir yang sedang membutuhkan tumpangan setelah membintangi film dewasa." Eriko mengedik acuh ketika Olivia melotot tajam. "Barangkali kau ingin menampungnya, Al?"
"Aku lebih sudi menampung lebih banyak siberian husky dari pada makhluk sepertinya!" Alvaro meneliti penampilan Olivia dari ujung kaki hingga kepala. Gadis itu memang berpakaian modis, tapi Alvaro tidak tertarik padanya. Dibandingkan dengan Olivia, lebih baik Alvaro menampung lebih banyak anjing husky. Mereka lebih cantik dari pada gadis di hadapannya itu. "Kau berkata seolah-olah tidak membutuhkan wanita, Tuan." Menurut Olivia, apa yang dikatakan Alvaro sangatlah munafik. Secinta-cintanya pria pada hewan peliharaannya, dia juga butuh wanita untuk menemani hidupnya hingga akhir. Atau setidaknya untuk memuaskan hasrat seksualnya. Tidak mungkin kebutuhan biologisnya tersalur pada siberian husky, bukan? "Kau benar. Aku tidak membutuhkannya." Alvaro melenggang santai diikuti Erico di belakangnya. Olivia tidak tinggal diam. Ia tersinggung akan ucapan Alvaro. Pria itu harus diberi pelajaran. "Kau gay?" Bibir Olivia tersungging sinis ketika Alvaro menghentikan langkahnya. Berbalik dan
"Aku yang mengundangnya," kata Arsen ketika alis Olivia terangkat mengarah padanya. Alvaro duduk tegap di sebelah Arsen. Sikapnya tenang, tapi tatapannya sangat menusuk. Terlebih ketika bibir Olivia komat-kamit. Seperti sedang memakinya dalam hening. Alvaro dan Arsen duduk bersebelahan. Sedangkan Olivia sendirian di hadapan mereka. Ia seperti sedang diinterogasi oleh pihak berwajib karena telah melakukan kesalahan fatal. Sungguh, Olivia ingin kabur dari sana sekarang juga. Kedekatan mereka berdua membuat pikiran Olivia berkecamuk. Ia khawatir mereka sedang merencanakan sesuatu untuknya. "Terima kasih sudah datang menemuiku, Al. Aku sangat membutuhkan bantuanmu sekarang." Arsen bicara pada Alvaro, tapi netranya malah mengarah pada Olivia. Olivia yakin ini bukan pembicaraan bisnis. "Bawa dia bersamamu ke Dubai." Apa yang diminta Arsen membuat Alvaro dan Olivia sama-sama melotot padanya. Kali ini baru, Arsen memohon pada Alvaro melalui tatapannya. Fyi, Alvaro berhutang budi pada Ars
Satu minggu setelah pertemuannya dengan Arsen dan adik gilanya--Alvaro tidak pernah bertemu lagi dengan mereka. Rasa syukur ia panjatkan karena masalah antara dirinya dengan Olivia tidak menyebabkan bisnisnya hancur. Mereka para pembisnis rupanya paham mana berita yang harus ditelan dan mana yang harus diabaikan. Alvaro sendiri bingung pada industri percetakan yang memuat fotonya dengan Olivia, itu bukan masalah bisnis jadi mereka melanggar aturan terbitnya sendiri. Seharusnya, mereka didenda karena melakukan sebuah kesalahan. "Al!" Suara menggema itu berhasil mengusik ketenangannya. Melupakan jus alpukat yang baru saja ia buat, langkahnya menghampiri Erico yang hendak menuju ke lantai atas untuk mencari keberadaannya. "Aku di sini!" Segera Erico memutar tubuh untuk menghampiri Alvaro. "Olivia mencarimu. Dia di teras mansion." Kerutan di kening Alvaro terlihat jelas setelah Erico bersuara. Olivia? Untuk apa gadis itu mencarinya? Bukankah--Olivia takut berdekatan karena menganggapn
"Baiklah, ayo menikah!" Alvaro membawa Olivia untuk melangsungkan janji suci secara sederhana, lalu ke gedung catatan sipil untuk mengurus akta pernikahan mereka. Olivia hanya menginginkan status pernikahannya untuk Arsen, jadi Alvaro tidak akan membuat pesta meriah. "Kemas barangmu di rumah dan bawa ke tempatku. Aku tidak bisa mengantarmu karena ada hal lain yang harus kuurus!" Alvaro meninggalkan Olivia di halaman gedung catatan sipil. Membuat Wanita itu menggeram kesal. Baru kali ini ada pria yang tega meninggalkannya sendiri. Padahal sejak dulu, Olivia yang selalu meninggalkan para pria. Tidak mau tenaganya terkuras oleh emosi, Olivia segera kembali ke rumah. Beruntung karena Arsen ada di sana jadi ia langsung menyerahkan akta pernikahan itu pada sang kakak. "Aku sudah menikah!" "Oliv--" "Aku memutuskan untuk menikahi pria yang Kak Arsen pilih. Jadi, berhenti memikirkanku dan cari lah kebahagiaan Kakak sendiri mulai sekarang," jelas Olivia. Olivia tidak marah. Ia justru le
"Kau berhutang cerita padaku, Al!"Alvaro menutup ponsel sebelum memandang sang adik. Sudah pukul 1 dini hari, ia sengaja menunggu karena tau Erico pasti datang untuk meminta penjelasan tentang pernikahannya dengan Olivia yang sangat mendadak."Tidak ada yang spesial dalam ceritaku, Erico. Aku berhutang budi pada kakaknya atas kecelakaan dulu, kau pun tau itu. Arsen memintaku menjaganya tapi gadis itu--"Alvaro menjeda. Sedikit terkekeh karena merasa hidupnya memiliki lelucon tersendiri setelah menikahi Olivia."--dia memaksaku menikah. Aku hanya menurutinya," lanjutnya menetralkan ekspresi di wajah tampannya."Al, kurasa Olivia tidak pantas dipermainkan," kata Erico lirih.Bohong memang ketika ia berkata pada Olivia bahwa dirinya tidak mengetahui fakta tentang Alvaro. Kenyataannya, Erico sering membantu Alvaro untuk menjebak tikus-tikus yang mencoba bersarang di perusahaan besarnya. Hanya saja, Erico bermain aman. Tidak seperti
Olivia tersadar dari lamunannya ketika ketukan pintu terdengar. Belum sempat bersuara, pintu kamar itu terbuka paksa. Seorang pelayan datang dan langsung menunduk hormat."Tuan Alvaro menunggu Anda di meja makan, Nona," katanya sopan."Aku tidak nafsu makan!" ketus Olivia.Alvaro hampir saja membuatnya mati semalam. Dan tanpa kata maaf, Alvaro bersikap seolah tidak terjadi apa-apa padanya. Ah, Olivia salah telah berharap Alvaro akan peduli dengan keadaannya. Nyatanya, seorang psikopat sepertinya memang tidak memiliki hati!Olivia ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia harus berpikir bagaimana caranya terlepas dari Alvaro.Olivia benci kenyataan bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Ya, ia menyesali pernikahan ini. Menikah dengan Alvaro sama saja ia mempertaruhkan hidupnya sendiri. Ia bisa saja mati di tangan Alvaro."Olivia."Ketukkan kasar serta panggilan datar itu membuat Olivia meremang. Ia jelas tau bahwa itu
2 minggu berlalu. Olivia masih terkurung di dalam mansion Alvaro. Segala macam cara telah ia lakukan agar bisa bebas dari pria itu, tapi semuanya sia-sia. Alvaro tidak segampang itu membiarkannya kabur.Olivia keluar kamar setelah mengonsumsi pil kontrasepsi. Salah satu hal yang ia syukuri karena berhasil membawa masuk pil itu ke area mansion dan meminumnya.Tau bahwa Alvaro adalah seorang mafia, Olivia tidak ingin memiliki keturunan darinya.Setelah puas menggauli Olivia malam itu, Alvaro pergi tanpa pamit. Ya, memang Olivia salah telah berharap lebih pada Alvaro. Nyatanya, setelah puas memakainya, Alvaro tidak berubah. Sampai sekarang, Alvaro tidak menghubunginya sama sekali. Ia tidak tau pria itu kemana dan pelayan di sana juga bungkam ketika Olivia bertanya.Duduk di taman belakang, Olivia tersenyum kecil ketika beberapa siberian husky mungil datang menghampiri. Memutari kakinya dengan lidah terjulur. Kemudian naik ke pangkuannya. An
Hari ini, Olivia dipaksa untuk ikut ke acara pesta pernikahan rekan bisnis Alvaro. Penolakannya tidak berguna karena Alvaro mengirim beberapa pelayan ke mansion hanya untuk mengurus penampilan Olivia. Hal itu membuat Olivia cukup kesal.Olivia bukan wanita kurang pergaulan yang tidak mengerti fashion. Apalagi Olivia mantan aktris. Ia tentu tau seperti apa gaun yang pantas digunakan untuk acara mewah seperti ini. Seharusnya Alvaro tidak perlu repot memerintah mereka kemari."Kalian bilang acaranya setengah jam lagi, tapi Tuan kalian belum juga pulang!" ketus Olivia ketika kukunya sedang diberi warna marun. Sesuai dengan gaun yang dikenakannya."Jadi kau menungguku?" Alvaro muncul dari balik pintu. Pria itu masih mengenakan setelan kerjanya berwarna abu. Tidak cocok dengan baju yang dikenakan oleh Olivia sekarang. Dengan satu gerakan dagu, Alvaro berhasil mengusir beberapa pelayan yang telah menyelesaikan tugasnya. Kini hanya mereka berdua di dalam kamar."Tidak. Kau terlalu percaya di
Olivia kesepian.Setiap hari, Olivia hanya beraktivitas di dalam kamar dan di taman belakang dengan beberapa anjing kesayangan Alvaro. Tidak ada yang bisa ia kerjakan di sini. Membantu memasak pun tidak bisa. Bersih-bersih? Olivia yang tidak sudi melakukannya.Jujur saja selama beberapa hari ini hatinya gelisah. Alvaro tidak pernah pulang semenjak perdebatan mereka beberapa hari lalu.Olivia heran pada dirinya sendiri. Seharusnya ia senang karena jauh dari Alvaro. Namun pikirannya selalu tertuju pada suaminya. Ia pikir, perkataannya terlalu kejam sampai melukai perasaan Alvaro."Tunggu!"Olivia menghentikan pelayan yang mengantarkan susu ke kamarnya. Menyuruh wanita muda itu duduk di tepi ranjang."Berapa lama kau kerja di sini?" tanya Olivia."Sejak menggantikan ibuku yang sakit. Hampir 3 tahun," balas pelayan itu tanpa berani mengangkat wajah. Sudah menjadi peraturan, pelayan tidak boleh mengangkat wajah di hadapan maj
Olivia meringis perih ketika menyeka bekas luka di sudut bibirnya. Alvaro benar-benar menggoreskan pisau itu. Beruntung hanya goresan kecil yang Alvaro berikan. Olivia tidak bisa membayangkan jika Alvaro memberikan sayatan di bibirnya. Pasti akan berkali lipat lebih menyakitkan dari ini."Jangan memancing emosinya, Oliv. Alvaro tidak akan kasar jika kau menurut."Suara Erico kembali terdengar. Padahal Olivia menelfon Adisty tapi yang mengangkat panggilannya justru Erico. Pria itu sama menyebalkannya seperti Alvaro."Erico, jujur saja padaku! Kau tau seperti apa sebenarnya Alvaro itu! Kau adiknya!"Erico tidak pernah mau mengaku ketika Olivia menudingnya tau tentang Alvaro. Padahal Olivia sangat yakin jika Erico juga ikut andil dalam setiap pembunuhan yang Alvaro lakukan."Ya aku tau Alvaro! Dia baik dan penyayang! Percaya padaku, sekali saja kau mencintainya, kau tidak akan pernah bisa menghentikan perasaan itu!"Erico memutus telponnya. Membiarkan Olivia bingung sendiri atas keadaan
Olivia terbiasa menghadiri pesta. Namun kali ini, pesta yang ia kunjungi bersama Alvaro jauh lebih mewah. Seluruh tamu undangan berasal dari kalangan atas dan Olivia merasa dirinya tidak pantas berada di sana."Oliv?""Victor!" Senyum Olivia mengembang saat Victor berdiri di depannya. Menyodorkan minuman merah dengan senyum khas yang menunjukkan lesung di pipi kanannya. Olivia tidak berpikir akan bertemu dengan Victor di sini."Bagaimana kabarmu?" tanya Victor setelah Olivia menerima minuman darinya."I'm good. How about you? Gimana hubunganmu sama gadis Rusia itu?" tanya Olivia berbisik di akhir pertanyaannya."Yaaa, begitulah," jawab Victor tidak jelas. "Jadi sekarang apa kesibukanmu setelah lepas dari industri perfilman?""Tidak ada," balas Olivia tidak sepenuhnya berbohong. Nyatanya menjadi istri Alvaro membuatnya tidak memiliki aktivitas apapun. Bahkan untuk keluar dari mansion saja Olivia butuh izin."Kau benar-benar menjalin hubungan dengan anak tunggal keluarga Vederich?" tan
Hari ini, Olivia dipaksa untuk ikut ke acara pesta pernikahan rekan bisnis Alvaro. Penolakannya tidak berguna karena Alvaro mengirim beberapa pelayan ke mansion hanya untuk mengurus penampilan Olivia. Hal itu membuat Olivia cukup kesal.Olivia bukan wanita kurang pergaulan yang tidak mengerti fashion. Apalagi Olivia mantan aktris. Ia tentu tau seperti apa gaun yang pantas digunakan untuk acara mewah seperti ini. Seharusnya Alvaro tidak perlu repot memerintah mereka kemari."Kalian bilang acaranya setengah jam lagi, tapi Tuan kalian belum juga pulang!" ketus Olivia ketika kukunya sedang diberi warna marun. Sesuai dengan gaun yang dikenakannya."Jadi kau menungguku?" Alvaro muncul dari balik pintu. Pria itu masih mengenakan setelan kerjanya berwarna abu. Tidak cocok dengan baju yang dikenakan oleh Olivia sekarang. Dengan satu gerakan dagu, Alvaro berhasil mengusir beberapa pelayan yang telah menyelesaikan tugasnya. Kini hanya mereka berdua di dalam kamar."Tidak. Kau terlalu percaya di
2 minggu berlalu. Olivia masih terkurung di dalam mansion Alvaro. Segala macam cara telah ia lakukan agar bisa bebas dari pria itu, tapi semuanya sia-sia. Alvaro tidak segampang itu membiarkannya kabur.Olivia keluar kamar setelah mengonsumsi pil kontrasepsi. Salah satu hal yang ia syukuri karena berhasil membawa masuk pil itu ke area mansion dan meminumnya.Tau bahwa Alvaro adalah seorang mafia, Olivia tidak ingin memiliki keturunan darinya.Setelah puas menggauli Olivia malam itu, Alvaro pergi tanpa pamit. Ya, memang Olivia salah telah berharap lebih pada Alvaro. Nyatanya, setelah puas memakainya, Alvaro tidak berubah. Sampai sekarang, Alvaro tidak menghubunginya sama sekali. Ia tidak tau pria itu kemana dan pelayan di sana juga bungkam ketika Olivia bertanya.Duduk di taman belakang, Olivia tersenyum kecil ketika beberapa siberian husky mungil datang menghampiri. Memutari kakinya dengan lidah terjulur. Kemudian naik ke pangkuannya. An
Olivia tersadar dari lamunannya ketika ketukan pintu terdengar. Belum sempat bersuara, pintu kamar itu terbuka paksa. Seorang pelayan datang dan langsung menunduk hormat."Tuan Alvaro menunggu Anda di meja makan, Nona," katanya sopan."Aku tidak nafsu makan!" ketus Olivia.Alvaro hampir saja membuatnya mati semalam. Dan tanpa kata maaf, Alvaro bersikap seolah tidak terjadi apa-apa padanya. Ah, Olivia salah telah berharap Alvaro akan peduli dengan keadaannya. Nyatanya, seorang psikopat sepertinya memang tidak memiliki hati!Olivia ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia harus berpikir bagaimana caranya terlepas dari Alvaro.Olivia benci kenyataan bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Ya, ia menyesali pernikahan ini. Menikah dengan Alvaro sama saja ia mempertaruhkan hidupnya sendiri. Ia bisa saja mati di tangan Alvaro."Olivia."Ketukkan kasar serta panggilan datar itu membuat Olivia meremang. Ia jelas tau bahwa itu
"Kau berhutang cerita padaku, Al!"Alvaro menutup ponsel sebelum memandang sang adik. Sudah pukul 1 dini hari, ia sengaja menunggu karena tau Erico pasti datang untuk meminta penjelasan tentang pernikahannya dengan Olivia yang sangat mendadak."Tidak ada yang spesial dalam ceritaku, Erico. Aku berhutang budi pada kakaknya atas kecelakaan dulu, kau pun tau itu. Arsen memintaku menjaganya tapi gadis itu--"Alvaro menjeda. Sedikit terkekeh karena merasa hidupnya memiliki lelucon tersendiri setelah menikahi Olivia."--dia memaksaku menikah. Aku hanya menurutinya," lanjutnya menetralkan ekspresi di wajah tampannya."Al, kurasa Olivia tidak pantas dipermainkan," kata Erico lirih.Bohong memang ketika ia berkata pada Olivia bahwa dirinya tidak mengetahui fakta tentang Alvaro. Kenyataannya, Erico sering membantu Alvaro untuk menjebak tikus-tikus yang mencoba bersarang di perusahaan besarnya. Hanya saja, Erico bermain aman. Tidak seperti
"Baiklah, ayo menikah!" Alvaro membawa Olivia untuk melangsungkan janji suci secara sederhana, lalu ke gedung catatan sipil untuk mengurus akta pernikahan mereka. Olivia hanya menginginkan status pernikahannya untuk Arsen, jadi Alvaro tidak akan membuat pesta meriah. "Kemas barangmu di rumah dan bawa ke tempatku. Aku tidak bisa mengantarmu karena ada hal lain yang harus kuurus!" Alvaro meninggalkan Olivia di halaman gedung catatan sipil. Membuat Wanita itu menggeram kesal. Baru kali ini ada pria yang tega meninggalkannya sendiri. Padahal sejak dulu, Olivia yang selalu meninggalkan para pria. Tidak mau tenaganya terkuras oleh emosi, Olivia segera kembali ke rumah. Beruntung karena Arsen ada di sana jadi ia langsung menyerahkan akta pernikahan itu pada sang kakak. "Aku sudah menikah!" "Oliv--" "Aku memutuskan untuk menikahi pria yang Kak Arsen pilih. Jadi, berhenti memikirkanku dan cari lah kebahagiaan Kakak sendiri mulai sekarang," jelas Olivia. Olivia tidak marah. Ia justru le
Satu minggu setelah pertemuannya dengan Arsen dan adik gilanya--Alvaro tidak pernah bertemu lagi dengan mereka. Rasa syukur ia panjatkan karena masalah antara dirinya dengan Olivia tidak menyebabkan bisnisnya hancur. Mereka para pembisnis rupanya paham mana berita yang harus ditelan dan mana yang harus diabaikan. Alvaro sendiri bingung pada industri percetakan yang memuat fotonya dengan Olivia, itu bukan masalah bisnis jadi mereka melanggar aturan terbitnya sendiri. Seharusnya, mereka didenda karena melakukan sebuah kesalahan. "Al!" Suara menggema itu berhasil mengusik ketenangannya. Melupakan jus alpukat yang baru saja ia buat, langkahnya menghampiri Erico yang hendak menuju ke lantai atas untuk mencari keberadaannya. "Aku di sini!" Segera Erico memutar tubuh untuk menghampiri Alvaro. "Olivia mencarimu. Dia di teras mansion." Kerutan di kening Alvaro terlihat jelas setelah Erico bersuara. Olivia? Untuk apa gadis itu mencarinya? Bukankah--Olivia takut berdekatan karena menganggapn