"Aku yang mengundangnya," kata Arsen ketika alis Olivia terangkat mengarah padanya.
Alvaro duduk tegap di sebelah Arsen. Sikapnya tenang, tapi tatapannya sangat menusuk. Terlebih ketika bibir Olivia komat-kamit. Seperti sedang memakinya dalam hening.
Alvaro dan Arsen duduk bersebelahan. Sedangkan Olivia sendirian di hadapan mereka. Ia seperti sedang diinterogasi oleh pihak berwajib karena telah melakukan kesalahan fatal. Sungguh, Olivia ingin kabur dari sana sekarang juga. Kedekatan mereka berdua membuat pikiran Olivia berkecamuk. Ia khawatir mereka sedang merencanakan sesuatu untuknya.
"Terima kasih sudah datang menemuiku, Al. Aku sangat membutuhkan bantuanmu sekarang." Arsen bicara pada Alvaro, tapi netranya malah mengarah pada Olivia. Olivia yakin ini bukan pembicaraan bisnis. "Bawa dia bersamamu ke Dubai."
Apa yang diminta Arsen membuat Alvaro dan Olivia sama-sama melotot padanya. Kali ini baru, Arsen memohon pada Alvaro melalui tatapannya.
Fyi, Alvaro berhutang budi pada Arsen. Beberapa tahun lalu--ketika mereka masih sama-sama awam dalam dunia bisnis--mereka dipertemukan dalam sebuah kecelakaan. Saat itu Alvaro mabuk, mobilnya melawan arah hingga menabrak mobil yang ditumpangi Arsen. Membuat Arsen terluka parah di kakinya. Arsen menolak biaya kompensasi dan menyembunyikan berita kecelakaan itu agar nama baik Alvaro tidak tercoreng. Secara tidak langsung, Arsen menyelamatkan bisnis yang sedang Alvaro rintis. Alvaro berjanji pada Arsen bahwa ia akan membalas kebaikan Arsen suatu hari nanti. Dan Alvaro tidak menyangka Arsen akan menagih janji itu untuk kehidupan sang adik.
"Kakak!" seru Olivia tidak terima.
Olivia tau Arsen marah, tapi apa harus seperti ini? Menyerahkan Olivia pada orang asing? Walaupun Arsen mengenal Alvaro, tapi bukan berarti kakaknya itu bisa percaya padanya. Bagaimana jika ternyata Alvaro orang jahat?
"Kakak akan mengurus kontrakmu dengan industri film, Olivia. Kamu tidak diizinkan menjadi public figure lagi. Sebaiknya kamu ikut Alvaro ke Dubai dan memulai hidup baru di sana!"
"Tidak-tidak! Kakak tidak bisa membiarkanku tinggal dengan dia! Saling kenal saja tidak! Bagaimana jika dia melecehkanku mengingat kita hanya berdua nantinya?"
Olivia bergidik ngeri. Di tempat umum saja, Alvaro berani menciumnya dengan brutal. Apalagi jika tinggal berdua nanti? Bisa-bisa Olivia menjadi budak nafsu Alvaro di sana!
"Hey, Nona. Kau bilang aku gay, tapi kau takut dilecehkan olehku? Aneh sekali!" cibir Alvaro.
Hidung Olivia kembang-kempis. Berhadapan dengan Alvaro benar-benar menguras emosinya. Alvaro sekarang lebih menyebalkan dari admin akun gosip di sosial media. Rasanya, ingin sekali Olivia mengangkat kursi yang ia duduki lalu melemparnya pada Alvaro. Membuat Alvaro pingsan. Ah, kalau perlu mati sekalian.
Astaga, maafkan hati Olivia yang tiba-tiba kejam ini, Tuhan.
"Kau sedang mengaku bahwa dirimu memang gay, Tuan Vederich?" singgung Olivia berapi-api.
Tidak peduli lagi dengan sopan santun karena hal itu tidak akan terlihat di mata Alvaro. Jadi, Olivia akan menjadi lebih menyebalkan dari pria itu.
"Kau salah menafsirkan," kata Alvaro, "tubuhmu bahkan tidak menarik dimataku. Jadi untuk apa aku melecehkanmu?"
Olivia menjentikan ibu jari dan jari tengahnya di hadapan Alvaro. Menarik fokus pria itu agar terus mengarah padanya. "Jika tubuhku tidak menarik, film yang aku bintangi tidak akan laku di pasaran!"
Olivia mengeluarkan ponsel dan membuka akun sosial medianya. "Lihat, bahkan aku memiliki lebih dari 10 juta followers. Ini sudah membuktikan bahwa mereka memiliki ketertarikan padaku!"
Tawa remeh seketika terlontar dari bibir Alvaro. Ia menatap Arsen dengan menunjuk Olivia. "Adikmu gila!"
"Dia membanggakan jumlah followers-nya yang bertambah setelah memainkan peran sebagai wanita rendahan. Ya, ya, mereka tertarik padamu sampai menjadikan foto-foto tubuhmu sebagai alat memancing nafsu. Membuat mereka berfantasi liar dengan tubuhmu untuk mencapai pelepasan sendiri," lanjutnya menohok.
Olivia meneguk ludahnya kasar. Baru kali ini, ada orang yang mengatainya sampai menusuk ke dalam hati. Olivia tersinggung, tapi tidak bisa menyalahkan ucapan Alvaro.
Olivia tidak pernah berpikir ke arah sana. Followers-nya 90% terdiri dari kaum adam. Namun, Olivia selalu beranggapan bahwa mereka jatuh hati akan kecantikan yang dimiliki olehnya. Olivia tidak tau jika pemikiran mereka bisa saja melenceng jauh, bukan kecantikan yang mereka lihat, tapi lekuk tubuhnya yang seksi dan mampu membangkitkan birahi. Pernyataan Alvaro, lebih relate.
"Kau dengar Oliv?"
Sekarang Arsen ikut menatapnya dingin. Pria itu setuju dengan Alvaro. Ini yang Arsen takutkan. Ia takut tubuh Olivia menjadi bahan fantasi liar para lelaki di luaran sana. Arsen tidak rela tubuh adiknya dipertontonkan seperti itu di film. Arsen takut, Olivia dicap sebagai wanita rendahan sesungguhnya.
"Itu--itu hanya pikirannya saja yang mesum, kak!" tuduh Olivia pada Alvaro. Olivia marah karena Arsen lebih berpihak pada Alvaro. Ia cemburu.
Mengabaikan Olivia, Alvaro membuka halaman berita terbaru tentang bisnis. Lalu netranya menyipit sinis ketika fotonya yang mencium Olivia tersebar sampai ranah pekerjaannya. "Aku dicap menjadi orang ketiga antara dirinya dengan aktor itu."
"Bukankah itu yang kau mau, Tuan Vederich?"
"Apa maksudmu?"
"Kau menciumku untuk mendapatkan sensasi. Agar namamu dikenal oleh masyarakat. Kau tau aku sedang menjadi topik pembicaraan akhir-akhir ini!" seru Olivia menuding Alvaro dengan segala tuduhan tidak berdasar.
Arsen sampai malu pada Alvaro. Perkataan sang adik membuatnya ingin segera melenyapkan diri dari hadapan Alvaro sekarang juga.
Olivia sangat awam di dunia bisnis. Jadi gadis itu tidak tau bahwa tanpa membuat berita konyol seperti itu, nama Alvaro sudah melejit. Bahkan beberapa kali wajah Alvaro muncul di sampul halaman bisnis internasional. Olivia seharusnya malu jika mengetahui kenyataan ini nanti.
"Mulutmu benar-benar!" geram Alvaro.
Jika tidak ada Arsen, ia mungkin tidak bisa menahan dirinya untuk segera membungkam mulut Olivia. Bukan hanya melukai bibirnya, Alvaro akan membuat lidah Olivia kelu setelah mendapatkan serangan darinya.
"Aku tidak bisa menampungnya!" putus Alvaro cepat. Berhadapan dengan Olivia selama setengah jam saja bisa mengundang amarahnya. Bagaiman jadinya jika mereka tinggal satu atap? Bisa jadi Alvaro terkena darah tinggi karena selalu berdebat dengan gadis itu.
"Aku juga tidak sudi tinggal denganmu! Kau gay! Aku takut mendapatimu bercinta dengan kekasih berbatangmu!"
"Olivia!"
Arsen menggebrak mejanya. Kali ini Olivia keterlaluan. Gadis itu melewati batasnya. Pasti karena salah bergaul, sikap dan sifat Olivia berubah. Dia bukan lagi gadis baik dan penurut. Sekarang Olivia adalah gadis pembangkang yang memiliki mulut pedas.
"Ikut aku!"
Arsen menarik paksa tangan Olivia. Amarahnya yang memuncak sampai membuatnya lupa untuk berpamitan pada Alvaro. Ia terus membawa Olivia sampai mereka tiba di lorong kosong dan Arsen menghempaskan tubuhnya di sana.
Olivia tersungkur. Ia dapat merasakan pergelangan tangannya terkilir karena menahan tubuhnya agar tidak terbentur lantai. Dada Olivia bergemuruh dan netranya memanas. Baru tadi siang--ketika ia diperlakukan kasar oleh Alvaro--dirinya mengingat Arsen yang tidak pernah kasar padanya. Namun sekarang, Arsen berlaku sama seperti Alvaro. Mereka berdua sama-sama tidak memiliki hati.
"Aku malu karenamu, bodoh! Seharusnya kamu bersyukur karena aku masih memperhatikan masa depanmu dengan menyerahkanmu pada Alvaro. Dia pria baik yang aku percaya dapat membantumu sembuh dari trauma, Olivia!"
"Kenapa harus orang lain padahal Kakak bisa melakukannya?" jerit Olivia disertai isakannya yang kuat. Ia benar-benar sakit hati diperlakukan seperti itu oleh sang kakak.
"Aku bisa! Sangat bisa, jika saja aku tidak ingin menikahi wanita yang aku cintai, Olivia!" Suara Arsen bergetar menahan tangisnya. "Aku--aku juga memimpikan masa depanku, Oliv. Aku ingin memiliki istri dan anak. Keberadaan mereka nanti bisa saja membuatku lupa untuk menenangkanmu jika kau terbangun karena mimpi buruk itu. Aku ingin ada pria yang menggantikan posisiku untuk menjagamu. Dan aku percaya Alvaro bisa melakukannya, Oliv!"
Satu minggu setelah pertemuannya dengan Arsen dan adik gilanya--Alvaro tidak pernah bertemu lagi dengan mereka. Rasa syukur ia panjatkan karena masalah antara dirinya dengan Olivia tidak menyebabkan bisnisnya hancur. Mereka para pembisnis rupanya paham mana berita yang harus ditelan dan mana yang harus diabaikan. Alvaro sendiri bingung pada industri percetakan yang memuat fotonya dengan Olivia, itu bukan masalah bisnis jadi mereka melanggar aturan terbitnya sendiri. Seharusnya, mereka didenda karena melakukan sebuah kesalahan. "Al!" Suara menggema itu berhasil mengusik ketenangannya. Melupakan jus alpukat yang baru saja ia buat, langkahnya menghampiri Erico yang hendak menuju ke lantai atas untuk mencari keberadaannya. "Aku di sini!" Segera Erico memutar tubuh untuk menghampiri Alvaro. "Olivia mencarimu. Dia di teras mansion." Kerutan di kening Alvaro terlihat jelas setelah Erico bersuara. Olivia? Untuk apa gadis itu mencarinya? Bukankah--Olivia takut berdekatan karena menganggapn
"Baiklah, ayo menikah!" Alvaro membawa Olivia untuk melangsungkan janji suci secara sederhana, lalu ke gedung catatan sipil untuk mengurus akta pernikahan mereka. Olivia hanya menginginkan status pernikahannya untuk Arsen, jadi Alvaro tidak akan membuat pesta meriah. "Kemas barangmu di rumah dan bawa ke tempatku. Aku tidak bisa mengantarmu karena ada hal lain yang harus kuurus!" Alvaro meninggalkan Olivia di halaman gedung catatan sipil. Membuat Wanita itu menggeram kesal. Baru kali ini ada pria yang tega meninggalkannya sendiri. Padahal sejak dulu, Olivia yang selalu meninggalkan para pria. Tidak mau tenaganya terkuras oleh emosi, Olivia segera kembali ke rumah. Beruntung karena Arsen ada di sana jadi ia langsung menyerahkan akta pernikahan itu pada sang kakak. "Aku sudah menikah!" "Oliv--" "Aku memutuskan untuk menikahi pria yang Kak Arsen pilih. Jadi, berhenti memikirkanku dan cari lah kebahagiaan Kakak sendiri mulai sekarang," jelas Olivia. Olivia tidak marah. Ia justru le
"Kau berhutang cerita padaku, Al!"Alvaro menutup ponsel sebelum memandang sang adik. Sudah pukul 1 dini hari, ia sengaja menunggu karena tau Erico pasti datang untuk meminta penjelasan tentang pernikahannya dengan Olivia yang sangat mendadak."Tidak ada yang spesial dalam ceritaku, Erico. Aku berhutang budi pada kakaknya atas kecelakaan dulu, kau pun tau itu. Arsen memintaku menjaganya tapi gadis itu--"Alvaro menjeda. Sedikit terkekeh karena merasa hidupnya memiliki lelucon tersendiri setelah menikahi Olivia."--dia memaksaku menikah. Aku hanya menurutinya," lanjutnya menetralkan ekspresi di wajah tampannya."Al, kurasa Olivia tidak pantas dipermainkan," kata Erico lirih.Bohong memang ketika ia berkata pada Olivia bahwa dirinya tidak mengetahui fakta tentang Alvaro. Kenyataannya, Erico sering membantu Alvaro untuk menjebak tikus-tikus yang mencoba bersarang di perusahaan besarnya. Hanya saja, Erico bermain aman. Tidak seperti
Olivia tersadar dari lamunannya ketika ketukan pintu terdengar. Belum sempat bersuara, pintu kamar itu terbuka paksa. Seorang pelayan datang dan langsung menunduk hormat."Tuan Alvaro menunggu Anda di meja makan, Nona," katanya sopan."Aku tidak nafsu makan!" ketus Olivia.Alvaro hampir saja membuatnya mati semalam. Dan tanpa kata maaf, Alvaro bersikap seolah tidak terjadi apa-apa padanya. Ah, Olivia salah telah berharap Alvaro akan peduli dengan keadaannya. Nyatanya, seorang psikopat sepertinya memang tidak memiliki hati!Olivia ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia harus berpikir bagaimana caranya terlepas dari Alvaro.Olivia benci kenyataan bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Ya, ia menyesali pernikahan ini. Menikah dengan Alvaro sama saja ia mempertaruhkan hidupnya sendiri. Ia bisa saja mati di tangan Alvaro."Olivia."Ketukkan kasar serta panggilan datar itu membuat Olivia meremang. Ia jelas tau bahwa itu
2 minggu berlalu. Olivia masih terkurung di dalam mansion Alvaro. Segala macam cara telah ia lakukan agar bisa bebas dari pria itu, tapi semuanya sia-sia. Alvaro tidak segampang itu membiarkannya kabur.Olivia keluar kamar setelah mengonsumsi pil kontrasepsi. Salah satu hal yang ia syukuri karena berhasil membawa masuk pil itu ke area mansion dan meminumnya.Tau bahwa Alvaro adalah seorang mafia, Olivia tidak ingin memiliki keturunan darinya.Setelah puas menggauli Olivia malam itu, Alvaro pergi tanpa pamit. Ya, memang Olivia salah telah berharap lebih pada Alvaro. Nyatanya, setelah puas memakainya, Alvaro tidak berubah. Sampai sekarang, Alvaro tidak menghubunginya sama sekali. Ia tidak tau pria itu kemana dan pelayan di sana juga bungkam ketika Olivia bertanya.Duduk di taman belakang, Olivia tersenyum kecil ketika beberapa siberian husky mungil datang menghampiri. Memutari kakinya dengan lidah terjulur. Kemudian naik ke pangkuannya. An
Hari ini, Olivia dipaksa untuk ikut ke acara pesta pernikahan rekan bisnis Alvaro. Penolakannya tidak berguna karena Alvaro mengirim beberapa pelayan ke mansion hanya untuk mengurus penampilan Olivia. Hal itu membuat Olivia cukup kesal.Olivia bukan wanita kurang pergaulan yang tidak mengerti fashion. Apalagi Olivia mantan aktris. Ia tentu tau seperti apa gaun yang pantas digunakan untuk acara mewah seperti ini. Seharusnya Alvaro tidak perlu repot memerintah mereka kemari."Kalian bilang acaranya setengah jam lagi, tapi Tuan kalian belum juga pulang!" ketus Olivia ketika kukunya sedang diberi warna marun. Sesuai dengan gaun yang dikenakannya."Jadi kau menungguku?" Alvaro muncul dari balik pintu. Pria itu masih mengenakan setelan kerjanya berwarna abu. Tidak cocok dengan baju yang dikenakan oleh Olivia sekarang. Dengan satu gerakan dagu, Alvaro berhasil mengusir beberapa pelayan yang telah menyelesaikan tugasnya. Kini hanya mereka berdua di dalam kamar."Tidak. Kau terlalu percaya di
Olivia terbiasa menghadiri pesta. Namun kali ini, pesta yang ia kunjungi bersama Alvaro jauh lebih mewah. Seluruh tamu undangan berasal dari kalangan atas dan Olivia merasa dirinya tidak pantas berada di sana."Oliv?""Victor!" Senyum Olivia mengembang saat Victor berdiri di depannya. Menyodorkan minuman merah dengan senyum khas yang menunjukkan lesung di pipi kanannya. Olivia tidak berpikir akan bertemu dengan Victor di sini."Bagaimana kabarmu?" tanya Victor setelah Olivia menerima minuman darinya."I'm good. How about you? Gimana hubunganmu sama gadis Rusia itu?" tanya Olivia berbisik di akhir pertanyaannya."Yaaa, begitulah," jawab Victor tidak jelas. "Jadi sekarang apa kesibukanmu setelah lepas dari industri perfilman?""Tidak ada," balas Olivia tidak sepenuhnya berbohong. Nyatanya menjadi istri Alvaro membuatnya tidak memiliki aktivitas apapun. Bahkan untuk keluar dari mansion saja Olivia butuh izin."Kau benar-benar menjalin hubungan dengan anak tunggal keluarga Vederich?" tan
Olivia meringis perih ketika menyeka bekas luka di sudut bibirnya. Alvaro benar-benar menggoreskan pisau itu. Beruntung hanya goresan kecil yang Alvaro berikan. Olivia tidak bisa membayangkan jika Alvaro memberikan sayatan di bibirnya. Pasti akan berkali lipat lebih menyakitkan dari ini."Jangan memancing emosinya, Oliv. Alvaro tidak akan kasar jika kau menurut."Suara Erico kembali terdengar. Padahal Olivia menelfon Adisty tapi yang mengangkat panggilannya justru Erico. Pria itu sama menyebalkannya seperti Alvaro."Erico, jujur saja padaku! Kau tau seperti apa sebenarnya Alvaro itu! Kau adiknya!"Erico tidak pernah mau mengaku ketika Olivia menudingnya tau tentang Alvaro. Padahal Olivia sangat yakin jika Erico juga ikut andil dalam setiap pembunuhan yang Alvaro lakukan."Ya aku tau Alvaro! Dia baik dan penyayang! Percaya padaku, sekali saja kau mencintainya, kau tidak akan pernah bisa menghentikan perasaan itu!"Erico memutus telponnya. Membiarkan Olivia bingung sendiri atas keadaan
Olivia kesepian.Setiap hari, Olivia hanya beraktivitas di dalam kamar dan di taman belakang dengan beberapa anjing kesayangan Alvaro. Tidak ada yang bisa ia kerjakan di sini. Membantu memasak pun tidak bisa. Bersih-bersih? Olivia yang tidak sudi melakukannya.Jujur saja selama beberapa hari ini hatinya gelisah. Alvaro tidak pernah pulang semenjak perdebatan mereka beberapa hari lalu.Olivia heran pada dirinya sendiri. Seharusnya ia senang karena jauh dari Alvaro. Namun pikirannya selalu tertuju pada suaminya. Ia pikir, perkataannya terlalu kejam sampai melukai perasaan Alvaro."Tunggu!"Olivia menghentikan pelayan yang mengantarkan susu ke kamarnya. Menyuruh wanita muda itu duduk di tepi ranjang."Berapa lama kau kerja di sini?" tanya Olivia."Sejak menggantikan ibuku yang sakit. Hampir 3 tahun," balas pelayan itu tanpa berani mengangkat wajah. Sudah menjadi peraturan, pelayan tidak boleh mengangkat wajah di hadapan maj
Olivia meringis perih ketika menyeka bekas luka di sudut bibirnya. Alvaro benar-benar menggoreskan pisau itu. Beruntung hanya goresan kecil yang Alvaro berikan. Olivia tidak bisa membayangkan jika Alvaro memberikan sayatan di bibirnya. Pasti akan berkali lipat lebih menyakitkan dari ini."Jangan memancing emosinya, Oliv. Alvaro tidak akan kasar jika kau menurut."Suara Erico kembali terdengar. Padahal Olivia menelfon Adisty tapi yang mengangkat panggilannya justru Erico. Pria itu sama menyebalkannya seperti Alvaro."Erico, jujur saja padaku! Kau tau seperti apa sebenarnya Alvaro itu! Kau adiknya!"Erico tidak pernah mau mengaku ketika Olivia menudingnya tau tentang Alvaro. Padahal Olivia sangat yakin jika Erico juga ikut andil dalam setiap pembunuhan yang Alvaro lakukan."Ya aku tau Alvaro! Dia baik dan penyayang! Percaya padaku, sekali saja kau mencintainya, kau tidak akan pernah bisa menghentikan perasaan itu!"Erico memutus telponnya. Membiarkan Olivia bingung sendiri atas keadaan
Olivia terbiasa menghadiri pesta. Namun kali ini, pesta yang ia kunjungi bersama Alvaro jauh lebih mewah. Seluruh tamu undangan berasal dari kalangan atas dan Olivia merasa dirinya tidak pantas berada di sana."Oliv?""Victor!" Senyum Olivia mengembang saat Victor berdiri di depannya. Menyodorkan minuman merah dengan senyum khas yang menunjukkan lesung di pipi kanannya. Olivia tidak berpikir akan bertemu dengan Victor di sini."Bagaimana kabarmu?" tanya Victor setelah Olivia menerima minuman darinya."I'm good. How about you? Gimana hubunganmu sama gadis Rusia itu?" tanya Olivia berbisik di akhir pertanyaannya."Yaaa, begitulah," jawab Victor tidak jelas. "Jadi sekarang apa kesibukanmu setelah lepas dari industri perfilman?""Tidak ada," balas Olivia tidak sepenuhnya berbohong. Nyatanya menjadi istri Alvaro membuatnya tidak memiliki aktivitas apapun. Bahkan untuk keluar dari mansion saja Olivia butuh izin."Kau benar-benar menjalin hubungan dengan anak tunggal keluarga Vederich?" tan
Hari ini, Olivia dipaksa untuk ikut ke acara pesta pernikahan rekan bisnis Alvaro. Penolakannya tidak berguna karena Alvaro mengirim beberapa pelayan ke mansion hanya untuk mengurus penampilan Olivia. Hal itu membuat Olivia cukup kesal.Olivia bukan wanita kurang pergaulan yang tidak mengerti fashion. Apalagi Olivia mantan aktris. Ia tentu tau seperti apa gaun yang pantas digunakan untuk acara mewah seperti ini. Seharusnya Alvaro tidak perlu repot memerintah mereka kemari."Kalian bilang acaranya setengah jam lagi, tapi Tuan kalian belum juga pulang!" ketus Olivia ketika kukunya sedang diberi warna marun. Sesuai dengan gaun yang dikenakannya."Jadi kau menungguku?" Alvaro muncul dari balik pintu. Pria itu masih mengenakan setelan kerjanya berwarna abu. Tidak cocok dengan baju yang dikenakan oleh Olivia sekarang. Dengan satu gerakan dagu, Alvaro berhasil mengusir beberapa pelayan yang telah menyelesaikan tugasnya. Kini hanya mereka berdua di dalam kamar."Tidak. Kau terlalu percaya di
2 minggu berlalu. Olivia masih terkurung di dalam mansion Alvaro. Segala macam cara telah ia lakukan agar bisa bebas dari pria itu, tapi semuanya sia-sia. Alvaro tidak segampang itu membiarkannya kabur.Olivia keluar kamar setelah mengonsumsi pil kontrasepsi. Salah satu hal yang ia syukuri karena berhasil membawa masuk pil itu ke area mansion dan meminumnya.Tau bahwa Alvaro adalah seorang mafia, Olivia tidak ingin memiliki keturunan darinya.Setelah puas menggauli Olivia malam itu, Alvaro pergi tanpa pamit. Ya, memang Olivia salah telah berharap lebih pada Alvaro. Nyatanya, setelah puas memakainya, Alvaro tidak berubah. Sampai sekarang, Alvaro tidak menghubunginya sama sekali. Ia tidak tau pria itu kemana dan pelayan di sana juga bungkam ketika Olivia bertanya.Duduk di taman belakang, Olivia tersenyum kecil ketika beberapa siberian husky mungil datang menghampiri. Memutari kakinya dengan lidah terjulur. Kemudian naik ke pangkuannya. An
Olivia tersadar dari lamunannya ketika ketukan pintu terdengar. Belum sempat bersuara, pintu kamar itu terbuka paksa. Seorang pelayan datang dan langsung menunduk hormat."Tuan Alvaro menunggu Anda di meja makan, Nona," katanya sopan."Aku tidak nafsu makan!" ketus Olivia.Alvaro hampir saja membuatnya mati semalam. Dan tanpa kata maaf, Alvaro bersikap seolah tidak terjadi apa-apa padanya. Ah, Olivia salah telah berharap Alvaro akan peduli dengan keadaannya. Nyatanya, seorang psikopat sepertinya memang tidak memiliki hati!Olivia ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia harus berpikir bagaimana caranya terlepas dari Alvaro.Olivia benci kenyataan bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Ya, ia menyesali pernikahan ini. Menikah dengan Alvaro sama saja ia mempertaruhkan hidupnya sendiri. Ia bisa saja mati di tangan Alvaro."Olivia."Ketukkan kasar serta panggilan datar itu membuat Olivia meremang. Ia jelas tau bahwa itu
"Kau berhutang cerita padaku, Al!"Alvaro menutup ponsel sebelum memandang sang adik. Sudah pukul 1 dini hari, ia sengaja menunggu karena tau Erico pasti datang untuk meminta penjelasan tentang pernikahannya dengan Olivia yang sangat mendadak."Tidak ada yang spesial dalam ceritaku, Erico. Aku berhutang budi pada kakaknya atas kecelakaan dulu, kau pun tau itu. Arsen memintaku menjaganya tapi gadis itu--"Alvaro menjeda. Sedikit terkekeh karena merasa hidupnya memiliki lelucon tersendiri setelah menikahi Olivia."--dia memaksaku menikah. Aku hanya menurutinya," lanjutnya menetralkan ekspresi di wajah tampannya."Al, kurasa Olivia tidak pantas dipermainkan," kata Erico lirih.Bohong memang ketika ia berkata pada Olivia bahwa dirinya tidak mengetahui fakta tentang Alvaro. Kenyataannya, Erico sering membantu Alvaro untuk menjebak tikus-tikus yang mencoba bersarang di perusahaan besarnya. Hanya saja, Erico bermain aman. Tidak seperti
"Baiklah, ayo menikah!" Alvaro membawa Olivia untuk melangsungkan janji suci secara sederhana, lalu ke gedung catatan sipil untuk mengurus akta pernikahan mereka. Olivia hanya menginginkan status pernikahannya untuk Arsen, jadi Alvaro tidak akan membuat pesta meriah. "Kemas barangmu di rumah dan bawa ke tempatku. Aku tidak bisa mengantarmu karena ada hal lain yang harus kuurus!" Alvaro meninggalkan Olivia di halaman gedung catatan sipil. Membuat Wanita itu menggeram kesal. Baru kali ini ada pria yang tega meninggalkannya sendiri. Padahal sejak dulu, Olivia yang selalu meninggalkan para pria. Tidak mau tenaganya terkuras oleh emosi, Olivia segera kembali ke rumah. Beruntung karena Arsen ada di sana jadi ia langsung menyerahkan akta pernikahan itu pada sang kakak. "Aku sudah menikah!" "Oliv--" "Aku memutuskan untuk menikahi pria yang Kak Arsen pilih. Jadi, berhenti memikirkanku dan cari lah kebahagiaan Kakak sendiri mulai sekarang," jelas Olivia. Olivia tidak marah. Ia justru le
Satu minggu setelah pertemuannya dengan Arsen dan adik gilanya--Alvaro tidak pernah bertemu lagi dengan mereka. Rasa syukur ia panjatkan karena masalah antara dirinya dengan Olivia tidak menyebabkan bisnisnya hancur. Mereka para pembisnis rupanya paham mana berita yang harus ditelan dan mana yang harus diabaikan. Alvaro sendiri bingung pada industri percetakan yang memuat fotonya dengan Olivia, itu bukan masalah bisnis jadi mereka melanggar aturan terbitnya sendiri. Seharusnya, mereka didenda karena melakukan sebuah kesalahan. "Al!" Suara menggema itu berhasil mengusik ketenangannya. Melupakan jus alpukat yang baru saja ia buat, langkahnya menghampiri Erico yang hendak menuju ke lantai atas untuk mencari keberadaannya. "Aku di sini!" Segera Erico memutar tubuh untuk menghampiri Alvaro. "Olivia mencarimu. Dia di teras mansion." Kerutan di kening Alvaro terlihat jelas setelah Erico bersuara. Olivia? Untuk apa gadis itu mencarinya? Bukankah--Olivia takut berdekatan karena menganggapn