"Sial ... Baterai lemah lagi! Mana bisa dipakai buat nelfon si Jeni!"
Seorang gadis melemparkan ponsel yang kini telah mati begitu saja hingga pecah berserakan."Percuma saja ponsel mahal tapi gak tahan lama tuh baterai! Emang sial udah hari ini ... Sial semuanya!"Gadis itu terus menggerutu tidak jelas, hampir 30 menit dia terkunci di dalam sebuah toilet umum di sebuah perkampungan dimana Jenika. Sahabat barunya tinggal tidak jauh dari sana.Tak berselang lama, suara sebuah mobil tiba tiba terdengar berhenti, Air menggedor pintu dengan keras, berharap siapapun yang berada di sana mengetahui jika dirinya berada di dalam toilet dengan kunci yang macet. Hingga pria itu bergegas menolongnya dan mengeluarkan Air yang melompat dan jatuh terjerembab mengenai tembok pembatas.Air Sagara Maheswara. Seorang gadis yang masih berusia 16 tahun meringis kesakitan seraya memegangi kedua lututnya yang kini berdarah."Kamu tidak apa apa? Harusnya sabar, aku bisa membuat pintu itu terbuka tapi kamu malah melompat macam tupai!"Gadis itu sontak berteriak saat pria didepannya membantunya untuk bangun."Aw ... Sakit! Pelan pelan dong Om!""Om? Enak saja kamu bicara, kamu fikir aku setua apa sampai kamu bilang aku ini Om! Luruskan kakimu ke atas." Pria didepannya itu mengikat lututnya dengan kain yang berasal dari lengan panjang miliknya yang dia sobekkan sedikit."Aw ... Sialan, Om sengaja kan! Jangan kenceng kenceng dong! Sakit tahu!""Ini juga pelan, tahan sedikit, ini sudah hampir selesai." Pria itu lantas berdecak, "Sekali lagi kamu panggil aku seperti itu, aku kunci lagi di dalam sana!" liriknya pada pintu toilet yang kini sudah terbuka."Selesai selesai ... Dari tadi jawabnya sedikit lagi sedikit lagi, ini udah sakit banget ... Perih tahu gak! Usapnya yang lembut dong! Malah ngancam lagi! Emang gak ikhlas nih nolong aku!" ucap Air memegangi satu lututnya sementara roknya sedikit tersibak.Bara Aldair Wijaya. Pria 27 tahun tanpa sengaja melewati jalan diperkampungan itu karena menghindari kemacetan jalanan justru terlibat hal seperti ini. Ia berdecak berkali kali seraya mengikatkan kain batik pada lutut Air dengan sedikit kencang, lalu bergegas masuk ke dalam mobil untuk mengambil obat obatan ala kadarnya."Aku juga melakukannya dengan lembut, tahanlah sedikit lagi! Sudah untung aku menolongmu, sudah di tolong masih saja bertingkah! Kau bisa jalan kan ... dimana rumahmu? Apa kau tidak ada kerjaan sampai harus bermain seperti ini?"Kedua mata Air terbelalak ke arah pria yang memberondongnya dengan banyak pertanyaan tidak jelas, pria yang tanpa sengaja lewat dan menolongnya keluar dari drama macetnya kunci toilet. Dengan mulut terkatup dan sedikit mencebik kesal ia berusaha bangkit namun otot otot kakinya seakan tidak berdaya dan limbung.Beruntung Bara dengan sigap menangkapnya hingga Air tidak sempat terjatuh, ia memapahnya sampai masuk ke dalam mobil."Kalau tidak bisa itu ngomong! Menyusahkan saja...!" ucapnya seraya menutup pintu mobil, kemudian ia bergegas masuk ke pintu kemudi.Mendengarnya saja sudah pasti membuat Air semakin kesal, tidak ada yang memperlalukannya seburuk itu selama ini, gadis yang tidak pernah sedikitpun dibentak dan selalu dimanja itu mendelik ke arahnya."Kalau tahu Om ...!" Air menjeda ucapannya setelah memanggilnya dengan panggilan yang sama, karena dia juga sedikit takut jika pria itu benar benar melakukan ancamannya tadi. "Kalau bukan kamu yang lewat, aku gak mau minta bantuanmu!" ucapnya kesal, dia melemparkan sobekan kain yang di pakai menutupi luka di lututnya. "Kamu pikir aku gak bisa keluar sendiri tadi?""Hey ... Kau!" sentak Bara, melihat pakaian yang dia korbankan kini dibuang keluar mobil."Apa... Mana ada hari gini pake begituan! Emangnya manusia purba!"Tanpa mereka tahu, beberapa orang yang tinggal di perkampungan itu melihat ke arah mereka yang tengah ribut di dalam mobil, dan melihat kain dengan bercak darah kini teronggok ditanah.Brak!Seorang pria langsung bergegas membuka pintu mobil yang memang tidak tertutup rapat itu hingga membuat Air yang tengah mengangkat satu lututnya terperangah, sedangkan seorang pria yang tengah memegangi lutut sang gadis juga menoleh ke arah belakang dan melihat kearah yang sama. Dua orang pria berdiri di depannya dengan dua manik tajam dan menyeramkan."Hey ... Kalian sedang apa di kampung kami ini?""Perbuatan tidak senonoh! Kita bawa mereka ke kantor kepala desa!""Kami tidak melakukan apa apa, aku hanya menolongnya saja. Dia ... Dia terkunci di toilet sana!" Jawab Bara yang tergagap gagap sementara gadis didepannya tidak mampu menjawab apa apa saking kagetnya."Halah ... Alasan saja, jelas jelas toilet itu tidak bisa di gunakan. Itu toilet rusak ... Untuk apa kalian di sana kalau bukan melakukan hal kotor!" pungkas pria paruh baya yang terlihat marah.Obat antiseptik yang baru saja dipegang jatuh begitu saja saat pria itu diseret keluar dari mobil dengan paksa. Bara shock bukan main."Aku bisa jelaskan ... Aku bisa jelaskan!"Seorang pria menarik kerah baju Bara, mendudukkannya dengan kedua lutut yang bertumpu, dan kedua tangan yang dia angkat keatas bak seorang penjahat begitu juga pria yang lain yang menarik Air dari dalam mobil."Ahh ... Sakit!" ringis Air menahan sakit di kedua lututnya."Apa yang dia lakukan padamu Nona? Apa dia memaksamu, apa dia melakukan hal itu padamu?" tuduh pria paruh baya dengan telunjuk menunjuk Bara dengan pandangan tajam."Dia ... Dia....!" Air sendiri kebingungan, dia tidak bisa berfikir dengan jernih saking kaget dan bingungnya. Suasana mencekam hanya dengan melihat kemarahan beberapa orang yang semakin berdatangan."Ada apa ... Ada apa?"Orang orang mulai berdatangan."Hey ... Jelaskan pada mereka aku tidak melakukan apa apa padamu! Aku hanya menolongmu tadi bukan?" Bara berteriak pada Air yang tengah shock.Sampai keduanya di bawa kesebuah tempat dan langsung diserbu dengan segala banyak pertanyaan. Bukan hanya itu saja, terdengar cercaan dari mulut mulut orang orang yang semakin banyak bermunculan dengan cepat.'Kita telanjangi dan arak mereka!''Ini sebuah petaka buat kampung ini, mereka melakukannya di sini!'Bara tentu saja mengelak dengan sekuat tenaga dan menjelaskan apa yang terjadi. Namun tidak ada yang mendengarkan penjelasan mereka satu pun, orang orang itu sibuk dengan pemikirannya masing-masing dan tidak memberikan waktu bagi keduanya untuk menjelaskan apa yang terjadi.'Kita panggil kepala desa dan kita harus menikahkan mereka sekarang juga! Aku tidak mau kampung kita ini terkena sial karena ulah mereka!"Bara tentu saja terperanjat kaget saat mendengar suara riuh orang orang yang bersikap tegas terhadap sesuatu tanpa kejelasan yang pasti."Apa ... Menikah!!!"Bruk!Tiba tiba Air tersungkur tidak sadarkan diri, dia mungkin shock setengah mati atas apa yang terjadi, kejadian yang tidak dapat dia duga sebelumnya dan mendengar suara suara sumbang yang tidak tahu kejadian yang sebenarnya. Namun dia sendiri tidak mampu menjelaskan apa apa, bahkan hanya untuk mengeluarkan suaranya saja.Lima belas menit berlalu, Air pun sadarkan diri. Tempat yang terlihat seperti sebuah aula itu kini semakin penuh saja. Wajah orang orang yang marah dan yang tidak dia kenal satu pun."Kak Biru? Kak....? Aku mau kakakku kesini!""Penghulu dan petugas keamanan sudah datang, kita akan menikahkan mereka malam ini juga!" terang seorang pria yang terlihat seperti ketua desa pada warganya. Terdengar riuh sorak dan tepuk tangan puas dari mereka."Tidak!" Bara yang sejak tadi duduk kini bangkit, menatap pada Air yang menangis tersedu sedu di pelukan seorang ibu ibu yang terus berusaha menenangkannya. "Kami tidak melakukan apa yang kalian tuduhkan, tidak ada bukti aku melakukan hal yang senonoh padanya!" sambungnya dengan kembali menceritakan hal yang sebenarnya.Namun panjang lebar kejadian ia ceritakan, tidak ada satupun yang dipercayainya. Ia mengguncang bahu Air yang masih shock dengan kedua mata sembabnya. "Heh ... Bicaralah, jangan hanya diam saja! Katakan kalau aku tidak melakukan apa yang dituduhkan!"Namun Air justru semakin menangis tersedu sedu."Halah ... Masih saja mengelak, sudah jelas jelas kalian melakukan hal yang bukan bukan dan lepas dari adanya paksaan dan tidak. Kau harus bertanggung jawab. Karena desa kami ini sangat keras dalam hal seperti itu!""Dengarkan aku Pak ... Sumpah demi apapun aku tidak melakukan apa-apa padanya. Aku hanya menolongnya saja!" Bara kembali menghampiri pria yang sejak tadi bicara.Bugh!Bugh!Dua pukulan mendarat di wajah Bara, hingga pria berperawakan tinggi itu tersungkur dan orang orang kembali mendudukkannya paksa. Kepala desa yang sejak tadi duduk kini beranjak bangkit dengan wajah merah padam."Tanggung jawabkan perbuatanmu malam ini Atau kami arak telanjang keliling kampung!"Malam itu juga, keduanya dinikahkan paksa oleh kepala desa dan aparat keamanan yang menjaga keamanan Desa tersebut. Air tidak bisa menghubungi kakaknya karena ponselnya rusak, sementara Bara sendiri tidak bisa berbuat banyak sebab semua barang barang miliknya mereka sita.Dengan penuh kebencian Bara menatap Air, gadis pembawa mala petaka bagi hidupnya. Bagaimana mungkin dia menikahi seseorang yang tidak dia kenal dengan cara seperti ini.Merasa puas dengan apa yang terjadi dan tanggung jawab Bara sudah terlaksana. Satu persatu warga mulai meninggalkan tempat itu, mereka kembali ke tempat masing masing dengan terus membicarakan hal tersebut tanpa henti pada orang orang yang mereka temui hingga berita itu menjadi ramai.Sampai pada akhirnya ditempat itu kini hanya ada kepala desa dan aparat keamanan desa, Air dan juga Bara. Keduanya tampak diam dan kecewa dengan sikap semua orang perkampungan itu."Cara kalian benar benar kampungan. Tidak mendengarkan sedikitpun penjelasanku!""Sudahlah,
"Kak Biru gak perlu ngurus aku lagi. Aku akan pergi dan aku gak akan pulang!" sentak Air marah, dengan tangan melingkar dilengan Bara."Oh ... Silahkan kalau kau bisa hidup sendirian Air, kau ini sudah sulit di atur. Pantas saja kau mau dengan pria macam dia!" tukas Biru kehilangan kendali.Air menatapnya nanar, wajahnya sendu menatap kakak satu satunya itu dengan ucapan tajamnya. Dia merasa bukan seperti kakaknya lagi.Sampai Biru akhirnya melangkahkan kedua kakinya keluar dari sana dengan penuh emosi, dia meninggalkan Air dan juga Dara sang istri yang merasa saatnya ia ikut terlibat langsung. Wanita pemilik mata teduh itu mendekati Air dan menenangkannya. Berharap dapat membujuk adik iparnya itu untuk ikut dengan mereka."Air ... gak usah dengarkan kakakmu. Dia hanya emosi sesaat saja. Kak Dara akan bicara nanti dan dia pasti akan mendengarkan penjelasanmu yang sebenarnya karena Kakak yakin kamu gak akan berbuat kayak gini."Air tidak bergeming, namun sorot matanya terlihat sedih da
"Sudah aku bilang jangan memanggilku dengan sebutan itu!""Ya itu karena umur kita udah pasti beda jauh, memangnya mau disebut apa?" Air memejamkan kedua matanya. Bara mendengus, menatapnya sekilas lalu membuang wajah kearah lain. Kesal, marah, dan sudah pasti kaget bercampur jadi satu. Tapi lagi lagi rasa iba yang mengungguli semuanya."Astaga ... Bagaimana kalau orang orang tahu, atau berita ini menjadi viral. Mau ku taruh dimana wajahku ini! Arrrghh ...! Ini semua gara gara Kamu!" Air sudah tidak peduli lagi dengan semua perkataan Bara yang menyudutkan dan menyalahkan dirinya atas semua yang telah terjadi. Dia hanya diam saja memperhatikan ruas jalan dengan fikiran yang melanglang buana kemana mana. Sementara Bara harus memutar otaknya, kemana ia akan membawa Air. Sampai akhirnya ia memutuskan membawanya ketempat yang dirasa paling aman untuk sementara waktu.Mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah yang terlihat asri, nuansa warna putih mendominasi dinding dan tamanan yang hij
Hari hari terus berlalu, Air terpaksa harus tinggal di rumah kedua orang tua Bara yang sangat sederhana, semua fasilitas yang dia miliki di rumah Biru kini tidak bisa dia dapatkan lagi, makanan sederhana yang kerap Air paksakan masuk ke dalam mulut hanya untuk mengganjal perutnya saja. Namun Air tidak lah kehilangan akal bulusnya, dia kerap membeli online makanan yang dia sukai sekalipun ibunya Bara bersikap baik dengan memasak setiap hari.Sementara Bara tidak pernah lagi terlihat batang hidungnya setelah hampir seminggu ia tinggal disana. Menurut keterangan sang Ibu, Bara memang memiliki apartemen sederhana yang letaknya lebih dekat dengan tempatnya bekerja. Dan hal itu bagus, Air jadi tidak perlu bersusah payah mencari cari alasan ataupun kembali berdebat dengan Bara. Ia bisa hidup dengan damai dan layaknya hidupnya sebelum kejadian ini terjadi, walaupun sulit baginya untuk beradaptasi dengan keadaan yang jauh berbeda dari sebelumnya.Tidak ada barang barang mewah seperti dirumahny
Dibalik senyumannya, ada sesuatu yang sulit dia rasakan apa itu. Detak jantungnya lebih cepat dari biasanya, aroma maskulin yang tiba tiba menyeruak masuk ke dalam indera pendengar miliknya, entah karena iris mata yang kini menyoroti dengan tajam ataukah jarak mereka yang terlampau dekat saat ini, yang pasti Air merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. "Bukan saatnya untuk bercanda Air!" Cicitan kecil namun penuh penekanan itu membuatnya tersadar, gadis berusia 16 tahun itu menepiskan tangan Bara yang mencapit lengannya."Iya ... iya ... aku tahu! Udah sana pergi, nanti malah ada yang lihat Om disini." tukasnya dengan melangkah maju, "Masa iya digrebek dua kali! Ih ... serem." cicitnya lagi seraya bergidik.Bara mendengus kasar, entah berapa kali Bara melarangnya menyebutnya Om, jelas dia bukan pria matang maupun tua sekali. "Ih ... Sakit tahu Om!" Pekik Air yang tersentak kaget saat Bara mencengkram lengannya kembali hingga tubuhnya kembali menghadap ke arahnya
Hari hari terus berlalu, tidak ada perubahan yang terjadi di hidup Air sebenarnya, sang kakak tidak juga menyusulnya sampai hari ini, kartu tanpa limit miliknya pun bisa digunakan dengan lancar, kemungkinan besar kedua orang tuanya masih belum tahu apa apa itu membuat Air tenang. Hanya Bara yang membuatnya merasa hidupnya terus terusik, bukan hanya di kelas tapi juga disegala kegiatan di luar sekolah yang menurutnya menyebalkan."Kenapa sih harus minta tugas kayak gini. Aku bolos tuh ada alesannya kali?" ketus Air saat lagi lagi harus memeriksakan tugas sekolah pada Bara dijam terakhir sebagai sangsi atas kebolosannya.Bara menyunggingkan bibir dengan tatapan yang tidak teralihkan pada semua jawaban di buku miliknya, tidak berniat menatap Air."Ayo cepatan. Bukannya gak mau ada orang yang curiga sama kita. Inget kan, jangan cari masalah?"Bara masih tidak menjawab, dia mencontreng satu persatu jawaban yang salah, entah sengaja dilakukan, yang pasti dia senang karena bisa membuat Air
"Apa kamu tidak bisa menjaga dirimu sendiri dan membiarkan Haikal menyentuhmu seenaknya Air?" sentak Bara tiba tiba pada saat Air baru saja membuka pintu kantor.Baru juga melangkah masuk, ia dikagetkannya sampai tercengang. "Apa kamu tidak bisa menjaga kehormatanmu sendiri. Kamu itu masih kecil tapi sikapmu itu lebih buruk dari pada seorang pelacur Air!" sentaknya lagi.Gadis itu hampir tercekat salivanya sendiri, bagaimana bisa ada orang yang mengatainya seburuk itu. Bahkan hampir tidak percaya jika penilaian itu berasal dari Bara."Kenapa pak guru marah? Apa ada yang salah sama aku dan Haikal? Apa pelacur yang Bapak katakan itu sifatnya kayak aku? Apa aku tukang sosor? Apa aku ngelakuin hal senonoh di tempat umum?" Air berdecih, dengan cepat membuka pintu dan keluar.Namun dengan cepat Bara menahan pintu hingga dia tidak bisa keluar dari sana."Aku belum selesai bicara Air!""Bicara apa? Ini bukan pembicaraan, ini cuma penghinaan dan aku gak terima. Om fikir aku ini apa? Gak bisa n
Bara melajukan mobilnya dengan kencang, bahkan ia tidak menunggu Air memakai seatbelt. Sampai gadis remaja 16 tahun itu duduk ketakutan, melihat hal itu membuat Bara berdecih, ancaman seorang gadis kecil sepertinya tidak mempan untuknya, Air tidak mungkin melakukan salah satunya. Nyatanya Air seorang gadis kecil yang penakut. Gadis itu hanya menggertaknya saja. "Kenapa. Kamu tidak punya keberanian melakukannya? Mau aku bantu?" katanya menohok."Gila ... kamu gila Om! Berhenti, aku gak mau ikut, aku mau turun!""Oh jadi kamu mau bunuh diri dengan cara melompat dari mobil?" Bara menarik tuas persneling lalu menginjak pedal gas sampai kecepatannya berada di batas maksimal. Air dengan cepat memasang seat belt ditubuhnya, ia ketakutan luar biasa, beberapa kali merubah posisi duduknya karena merasa tidak nyaman. "Kenapa. Kamu takut?" Bara berseringai kecil, melihat Air beberapa kali memejamkan matanya dengan bibir yang dia katupkan."Sebenernya Om mau apa?" lirihnya dengan kedua tangan y
Tatapan Zian masih terus menelisik, gadis itu terus berceloteh ngalor ngidul tanpa menyadari jika itu semua hanya membuat sang ayah semakin curiga dengan tingkahnya.Zian merogoh ponsel dan mengetikkan sesuatu dan dikirimnya pada seseorang yang ia percayai, sesuatu yang ia yakini terlewatkan dari setiap laporan yang ia terima setiap hari. Apapun itu. Sikap dan tingkah Air begitu kentara dalam menyembunyikan suatu kebohongan. Mengetahui tingkah polah gadis seusianya bukanlah perkara sulit, dahulu kala ia pernah mengalami masa dimana seorang gadis dengan kenekatan dan tingkah yang sedang liar-liarnya.Masa pubertas yang dialami dan gejolak masa muda yang menjadi lika-liku perjalanan menuju kedewasaan. Ya, Agnia. Sang istri tercinta sekaligus ibu dari dua anaknya hanyalah gadis berusia 17 tahun saat ia nikahi, sosok pemberani dan juga nekat diantara gempuran pergaulan bebas teman sekaligus sahabatnya. Seseorang yang mengobati luka hatinya karena sebuah pengkhianatan yang dilakukan mant
"Bisa-bisanya tuh orang tua bersikap seenaknya, dia fikir dia siapa coba? Mentang-mentang orang dewasa, dia sendiri yang mutusin buat cerai, masih coba-coba kasih perhatiannya sama gue lagi! Dia fikir gue gak punya perasaan apa ya... walaupun gue bocil, gini-gini juga gue tahu! Dasar... yang labil itu gue apa dia sebenernya!"Air terus menggerutu sepanjang jalan menuju ke arah belakang, ada sebuah benteng yang selama ini menjadi jalan keluar masuk yang dia pakai untuk kabur dari sekolahan, benteng setinggi tiga meter yang dilengkapi kawat-kawat berduri di setiap incinya. Gadis itu melemparkan tas punggungnya melewati benteng tembok tanpa ragu, dan mengulas senyuman saat lemparan nya berhasil diiringi suara tas yang mendarat sempurna. "Dia lupa kalau nama gue adalah Air, gue milih tinggal di indo karena gue gak mau dikekang Momy and Daddy disana! Apalagi kalau harga diri gue di sepelein, sekelas abang gue aja gue hindarin apalagi cuma seorang Bara!" katanya lagi dengan menarik rok p
Mobil hitam bergerak lambat mengikuti kemana gadis itu pergi dengan tas dibelakang punggungnya juga koper kecil yang dia geret setelah memutuskan keluar dari apartemen milik Bara. Bukan ia tidak tahu jika mobil dibelakangnya itu adalah orang suruhan sang kakak, Biru.Tapi ia memang sengaja dan tidak ingin ikut pulang walaupun suruhan kakaknya itu memaksa. "Non... ayo ikut pulang sebelum tuan besar tahu kalau Nona tidak tinggal dirumah.""Bodo amat!" jawab Air saat berjalan keluar tadi. Sampai pria itu memilih terus mengikuti Air hingga ke ujung jalan. "Ngikutin sampe ujung dunia pun gue gak bakal ikut, apalagi pulang ke rumahnya!" dengusnya seraya terus berjalan dengan nafas yang mulai ngos-ngosan. Air memang lelah karena terus berjalanEntah atas perintah Biru atau bukan, mobil itu kini melaju begitu saja dan melewatinya setelah membunyikan klakson dua kali, supir yang melaju juga melongo dari jendela dan mengangguk padanya. "Hati-hati ya Nona Air," katanya. Air Berdecih masa b
"Kenapa kamu tidak ingin melihatku Bara? Kamu tidak senang dengan kehadiran anak ini ...?" Seila berdecak kasar, "Semua pria sama aja," ketusnya. Bara diam, ia tidak ingin meladeninya, apapun perkataan Seila hanya akan memancing kemarahannya saja. Lelah karena terus berargumen, Bara memilih masuk kedalam kamar.Wanita tinggi semampai itu merasa tidak puas, karenanya ia menyusul Bara masuk ke dalam kamar, ditatapnya pria atletis itu kemanapun ia bergerak. Dari arah ranjang, hingga kini membuka lemari pakaian dan mengambil pakaian ganti miliknya."Bara. Aku kan lagi bicara sama Kamu! Kok pergi gitu aja sih,""Sudah aku katakan Seila, lebih baik kau pulang dulu. Aku malas ribut!" katanya dengan membuka satu persatu kancing kemeja yang dikenakannya, melepaskannya lalu menggantinya dengan pakaian santai.Seila menatapnya seraya mengerutkan dahi, setelah Bara melewatinya untuk ke kamar mandi, ia baru saja sadar wajah Bara penuh memar."Wajahmu kenapa lagi?" tanyanya saat Bara keluar dari k
Bara meninggalkan gedung hotel setelah selesai mengatakan semuanya dan niatnya untuk menceraikan Air pada Biru yang baru diketahui asal usul nya. Benar kata Alan, masa depan Air masih panjang ditambah kenyataan jika keluarganya berasal dari keluarga terpandang yang sudah pasti bisa melakukan apapun yang terbaik. Langkah Bara gontai saat keluar dari pintu lobby, sampai seseorang merentangkan tangan dan menyuruhnya melipir. Beberapa pria berjas hitam terlihat keluar dari mobil, tepat di belakangnya satu mobil yang lebih mewah berhenti. Seorang pria keluar dengan wajahnya yang datar, pria paruh baya yang masih terlihat gagah diusia tuanya melewati Bara begitu saja. Bara sedikit tersentak, pria itu adalah pria yang ia lihat di mesin pencarian. Pria yang memiliki kekayaan yang luar biasa. Ziandra Maheswara. Bara menoleh hanya untuk melihatnya berlalu, sepertinya pria itu memang tidak mengenal Bara. Siapa Bara hingga harus dikenal oleh pria hebat dengan segala kekuasaannya. Bara menghe
Tangan Biru masih merangsek kerahnya, menekannya hingga tenggorokannya hampir tercekat, belum lagi belakang kepala serta punggungnya yang dibenturkan pada tembok. Biru menggeram, dengan rahang kuat dan juga urat urat yang menegang, terlihat berusaha menahan amarahnya sendiri."Kau fikir aku takut padamu? Kau bahkan tidak tahu apa yang terjadi antara aku dan juga adikmu! Kalau kau mengatakan kau mengawasi nya kau pasti tahu bagaimana hidupnya, bagaimana pendidikannya, dimana dia tinggal, bagaimana selama ini dia menjalani hidupnya, Hm?"Biru terdiam, rahangnya mengeras sedemikian rupa mendengar penuturan Bara. Dia memang menempatkan seseorang untuk mengawasi Air, tapi ia tidak pernah menerima laporan yang membuatnya harus khawatir sampai hari dimana Air bertanya tentang Seila padanya."Dan seperti yang kau katakan. Kenapa kau tidak melakukan apa-apa untuknya kalau kau tahu semuanya. Dimana kau dan keluargamu yang ku fikir kalian mampu melakukan sesuatu di malam itu. Bukan justru pergi
"Ya, aku benar-benar tidak mengenalmu!Kenapa kau melakukan ini pada orang yang tidak kau kenal!" ucap Bara, tidak sedikitpun terlihat ketakutan ataupun resah. Malah dia berusaha untuk melepaskan cekalan pria yang mengapitnya disebelah. "Tutup saja mulutmu dan ikut kami, kau akan tahu saat kita tiba nanti!" kata pria berkaca mata hitam itu. Bara memang tidak mengenalnya, sekeras apapun ia mengingat seseorang itu. "Katakan apa yang terjadi, kalau memang masuk akal. Aku akan ikut tanpa banyak lagi bertanya!" tegas Bara berhasil melepaskan cekalan pria tinggi dan mendorongnya hingga punggungnya membentur belakang jok mobil. "Sudah kubilang kau akan tahu nanti! Jangan bertindak seolah kau tidak memiliki masalah dengan siapapun. Nanti kau menyesal!"Dahi Bara mengkerut, mencoba menelaah apa yang pria itu katakan dan juga apa terjadi padanya saat ini, dia memang tidak punya musuh. Siapapun dan juga dimanapun terkecuali hari dimana ia menolong Air. Kejadian itu nyatanya menjadi masalah di
"Maksudnya? Om ingin kita bercerai. Begitu?"Tampak jelas keterkejutan diwajahnya, bagaimana tidak. Baru beberapa hari yang lalu hubungan keduanya membaik, mulus bagai jalan tol setelah ciuman malam itu hingga beberapa hari berlalu. Tapi sekarang, Bara mengatakan hal yang tidak terduga setelah kembali bertemu Seila. "Apa yang Om rencanakan? Om sengaja bikin kayak gini. Om mau manfaatin aku?" seru Air dengan tatapan nanar. "Tidak. Aku...!" Bara tampak bingung, wajahnya terlihat lesu dengan luka memar di sebagian titik. "Apa... Jelasin semuanya sama aku, jangan pernah bilang ini bukan urusan aku hanya karena aku masih kecil!" Air mulai kesal sendiri sebab Bara tidak menanggapinya dengan cepat.Bara menghela nafas, pria itu sibuk menatap jalanan karena tidak kuasa melihat kesedihan Air. Dikepalanya kini banyak penjelasan yang ingin dia ungkapkan pada istrinya itu, tapi dirinya saja tengah dilanda bimbang dan tidak tahu harus mengatakan apa padanya. "Cepet jelasin!""Aku harus menikah
Hubungan keduanya semakin dekat saja, walaupun Air ingin sekali menemui Seila untuk tahu apa yang terjadi di antara mereka, apa Bar benar benar menerima keputusan Seila yang meminta putus dengannya seperti yang terakhir dia dengar, atau hubungan keduanya juga rumit seperti hubungannya diawal-awal.Bara tetap tidak mengatakan apa-apa, saat ditanyapun dia hanya akan menjawab kalau itu bukan urusan anak kecil sepertinya. Dan kesempatan tiba-tiba datang saat Air melihat Seila di sekolah. "Bara, kita harus bicara!""Ya, tapi tidak disini. Seila, pulanglah. Kita bertemu setelah pekerjaanku selesai," Bara meninggalkan Seila begitu saja diruangan guru sementara dia hendak mengajar. "Bara! Kalau kau nekat pergi. Aku gak akan segan-segan untuk...."Bara menoleh ke arah belakang dimana Seila berteriak. Lagi dan lagi, ancaman Seila membuat nya berfikir dua kali dalam melangkah. Bara menghela nafas, dia kembali berjalan masuk ke arah ruangan guru. "Berhenti mengancamku Seila, aku ini manusia da