Hari hari terus berlalu, Air terpaksa harus tinggal di rumah kedua orang tua Bara yang sangat sederhana, semua fasilitas yang dia miliki di rumah Biru kini tidak bisa dia dapatkan lagi, makanan sederhana yang kerap Air paksakan masuk ke dalam mulut hanya untuk mengganjal perutnya saja. Namun Air tidak lah kehilangan akal bulusnya, dia kerap membeli online makanan yang dia sukai sekalipun ibunya Bara bersikap baik dengan memasak setiap hari.
Sementara Bara tidak pernah lagi terlihat batang hidungnya setelah hampir seminggu ia tinggal disana. Menurut keterangan sang Ibu, Bara memang memiliki apartemen sederhana yang letaknya lebih dekat dengan tempatnya bekerja. Dan hal itu bagus, Air jadi tidak perlu bersusah payah mencari cari alasan ataupun kembali berdebat dengan Bara. Ia bisa hidup dengan damai dan layaknya hidupnya sebelum kejadian ini terjadi, walaupun sulit baginya untuk beradaptasi dengan keadaan yang jauh berbeda dari sebelumnya.Tidak ada barang barang mewah seperti dirumahnya, alat alat canggih maupun para asisten rumah tangga yang bisa ia suruh suruh seenak jidatnya.Hampir seminggu pula ia tidak masuk kesekolah, bukan malu atau apapun itu, hati kecilnya masih berharap Biru sang kakak mencarinya disekolah. Tapi semua sia sia, grup sekolah tampak aman dan tentram. Itu artinya Biru mengabaikan penderitaannya. Dan ia pun hanya bisa menelepon supirnya untuk mengantarkan semua perlengkapan sekolahnya, dan tentu saja tidak menyuruhnya ketempat tinggalnya saat ini. Ia menyuruhnya meletakkan semua barang yang dibutuhkan di sebuah halte bus.Dan sekembalinya ke rumah, Air segera membereskan perlengkapannya di kamar yang ditinggalinya. Kamar yang terletak dipaling ujung adalah kamar milik Bara dahulu."Air ... Apa kamu besok pergi sekolah?" tanya ibu Bara yang bernama Mira itu saat memasuki kamarnya dan melihatnya bebenah."Iya Bu ... udah kelamaan cuti ...""Cuti? Bukankah cuti itu untuk sesuatu hal berbau pekerjaan?" Mira duduk di tepi ranjang, menatap pigura Air yang cantik bersama keluarganya. Sedikit heran juga penasaran saat melihatnya berbeda. "Ini Papa dan Mamamu?"Air mengangguk, mengambilnya lalu memasukkannya ke dalam tas. Tidak ingin membuat Mira bertanya lebih lanjut, bisa bisa semuanya terbongkar.Keluarga Maheswara memang bukan keluarg biasa, Ayahnya pemilik hotel dan termasuk trilioner dalam negeri bahkan masuk jajaran pebisnis asia. Meraka tinggal di luar negeri karena mengurusi bisnis internasional. Sejak kecil Air tinggal di luar, dan memutuskan tinggal di indonesia bersama sang kakak yang baru saja menikah hanya karena alasan yang tidak masuk akal. Yakni bosan dengan kehidupan luar negeri dan kekangan yang cukup ketat dari sang Ayah.Air t terkikik saat mendengar celotehan Mira tentang kata cuti yang tidaklah cocok untuk pelajar seperti dirinya."Maksud Air bolos Bu ... jadi besok aku pergi sekolah.""Apa Ommu memberi bekal uang cukup untuk bekal sekolah Nak? Ibu lihat Kamu terus membeli makanan tiap hari?" pertanyaan Ibu Bara yang heran karena Air kerap membeli makanan yang terbilang mahal."Gak apa apa Ibu. Biar ibu gak capek masak terus. Aku juga kan malu!" sahut Air. Padahal jelas jelas dia tidak terlalu suka dengan menu masakan yang terlanjur sederhana setiap hari.Jangan ditanya dia punya uang dari mana, jelas dia pemilik black Card tanpa batas limit. Kedua orang tua yang sukses dan memberikan segala keperluan pribadinya. Air lega kartunya tidak di blokir, itu artinya Biru sang kakak belum mengatakan apa apa pada kedua orang tuanya mengenai hal ini. "Uangku cukup kok ... kalau kurang nanti aku bisa minta sama Om Bara!" ucapnya lagi dengan tertawa.Mir mengangguk, hari harinya kini lebih berwarna semenjak ada Air, gadis itu periang juga manja. Keinginannya sejak dulu adalah memiliki anak perempuan. Tapi sayang, dua anaknya laki laki.Suara kendaraan berhenti tepat di depan pekarangan rumah, Air yang sedang melahap Pizza Doble cheese yang baru saja ia pesan saat bebenah, padahal barangnya saja sedikit tapi ia sudah kelelahan sendirian."Siapa itu Bu?" katanya seraya melongo ke luar jendela. "Itu Om Bara ya?"Ibu Mira mengangguk, "Pasti dia kemari karena besok harus bekerja ditempat baru.""Oh..." Air hanya beroh ria dengan mulut penuh dan tidak berhenti mengunyah. "Besok ya ... Besok juga aku sekolah. Apa aku minta Om Bara nganterin aku sekalian ya Bu?""Ide bagus ... itung itung hemat ongkos transport," Tukas Mira."Tapi ..." gumamnya saat melihat Bara yang kini berjalan masuk.Wajahnya segar dengan rambut setengah basahnya, pakaiannya rapi dan juga wangi. Membuat kedua matanya tidak berkedip untuk sekian detik. Tampan."Astaga ... Apa apaan ini?" Bara kaget saat melihat meja ruang tamu yang kini penuh setumpuk boks pizza."Kalau masuk itu salam Bar!"Air cengengesan mendengar Mira mengomeli Bara. Sekalipun Bara mungkin tidak peduli kehadirannya, dia hanya menatap sang ibu yang terlihat tersenyum."Maaf Ibu, aku lupa ... karena ada yang berbeda dirumahnya, biasanya Ibu tidak pernah seberantakan ini sebelumnya!" terangnya dengan mengecup pipi sang Ibu."Hey ... Om bilang apa? Nyindir aku?"Bara berdecih, menurunkan kaki Air yang berada diatas kursi, sudah pasti ia tahu jawabanya kenapa rumahnya sekarang berantakan. Tapi ia juga tidak bisa berbuat apa apa dengan kehadiran Air. Setidaknya rumah itu kini tidak lagi sepi.Bara berjalan menuju kamarnya, meninggalkan ruang tamu dengan hati yang was was. Melihat hal itu Ibunya bangkit dan menyusulnya."Kamu jadi bekerja besok?" tanya nya saat Bara mulai mengeluarkan satu persatu seragam miliknya dari lemari, tidak lupa melirik barang barang Air yang kini mendominasi kamarnya."Iya Bu ... Aku sudah lulus tes sertifikasi, besok sudah mulai.""Lalu Air? Apa temanmu sudah kembali?"Tangan Bara kini diam sendirinya di pintu lemari, entah apa yang akan dia katakan. "Be___belum Bu!""Gak apa apa Bar ... Biar Air di sini saja, Ibu senang ada Air yang nemenin Ibu."Bara terdiam, selama ini dia juga mencari tempat yang cocok untuk Air, tapi belum juga menemukannya, lebih tepatnya ia belum sempat mencari karena terlalu sibuk. Dia hanya akan membujuk Air pulang saja atau entahlah, itu akan di fikirkan nanti yang penting saat ini semua masih aman terkendali."Om ... Besok aku harus sekolah, tapi sekolahku lumayan jauh dari sini. Apa Om bisa sekalian anter jemput?!" tiba tiba Bara dikagetkan oleh bocah bernama Air yang kepala yang menyembul dibalik pintu."Apa kamu gak punya sopan santun hah? Nyelonong masuk begitu saja ke kamar."Air hanya tersenyum, menghampiri wanita paruh baya hanya untuk minta perlindungan."Sudah Bar ... Tidak apa! Ayo antar dia peralatan sekolah yang kurang untuk besok.""Yes!!" Air mengangguk, bersorak senang. Entah kenapa dia bisa sesenang itu. Sementara Bara menatap Air dengan wajah yang memendam kekesalan. Hidupnya kini tidak karuan, apalagi status yang tiba tiba dia peroleh. seorang suami."Apa kamu gak punya teman? Siapa gitu yang bisa nganterin kamu? Aku sibuk dan tepatnya aku tidak mau!" Bara tidak ingin terlena, walau bagaimanapun mereka hanya menikah karena kesalah fahaman. "Cuma nganterin ke sakolah doang ko! Ya ... ya ... Ya....: Tanpa ingin menjawab, justru Bara melenggang keluar dari kamar, "Ibu ... aku pergi dulu ya!" pungkasnya lagi seraya mencium tangan sang ibu.Melihat hal itu, Air buru buru menyusul Bara keluar dari kamar dan menahan lengannya."Om ... Om tunggu dong!""Sekali lagi kamu bilang Om! Ku sumpal mulutmu!"Wajah Air mengerut, "Jadi aku harus panggil apa. Panggil suami? Sayang ... Honey atau..."Hhmmm!Bara membekap mulut kecil miliknya, menyuruhnya agar tidak keras keras bicara karena dia tidak ingin sang ibu mengetahui perihal dirinya."Kamu bisa diam tidak! Kalau sampai ibu tahu apa yang terjadi, aku tidak segan untuk membawamu dari sini dan menurunkanmu di jalan. Akan aku pastikan kamu menyesalinya!""Ih ... Jahat banget sama istrinya sendiri!" Air masih cengengesan, namun tidaklah lama karena raut wajah Bara sangat menakutkan dengan kedua mata tajamnya. "Iya ... Iya ... Aku gak akan ngomong lagi, silahkan pergi suamiku...." kali ini ucapannya sangat pelan.****"Air ... Kemana aja sih Lo! Bikin gue panik aja.""Iya nih ... Tiga hari Lo gak masuk dan gak ada yang tahu kabar Lo!"Janeta berjalan beriringan bersama Haikal, mereka berdua mengikuti Air dari belakang."Ponsel gue rusak, hidup gue berantakan dan gue gak tahu gimana nantinya!"Haikal berjalan lebih cepat menyusul Air, dia menahan langkah kaki Air. Gadis yang dia sukai itu. "What ... kenapa Lo? Apa yang terjadi? Lo gak apa apa kan?""Lo lihat gue ada di sinikan hari ini?"Haikal mengangguk,"Itu artinya gue baik baik aja, gue cuma kabur dari rumah dan gue tinggal di___"Ucapan Air terjeda begitu saja saat suara suara teriakan terdengar dari selasar gedung. Dia mendongakkan kepalanya dan melihat ke arah sana. Seorang pria berjas hitam dengan menenteng tas berjalan dengan tegap. Senyumannya kala itu sangat tipis namun sorak sorai beberapa siswa yang terlihat kagum padanya."Guru baru kita kan itu?" kata Jenita."Hmmm ... Gue gak tahu ada guru baru Jen!""Lah iya ... Lo gak masuk tiga hari, dan guru tampan itu baru masuk hari ini, pengumumannya udah dari kemarin kalau kita bakal punya guru baru lulusan luar negeri!"Entah apa yang ada di kepala Air saat ini, yang jelas penjelasan tentang guru baru dari sahabatnya itu hanya masuk lubang telinganya saja tanpa bisa dia cerna dengan baik."Heh ... Malah bengong Lo! Kesemsem juga kan sama tuh guru baru?" Jenika menyenggol lengannya. "Ayo buruan, entar ada yang marah kalo Lo sampe naksir tuh guru." ucapnya lagi seraya menarik tangan Air dan membawanya masuk kedalam kelas.Baru saja duduk, Air kembali bangkit dan bergegas keluar dari kelas. Dia ingin memastikan apa yang dia lihat sebelumnya."Gak mungkin ... Gak mungkin Dia jadi guru di sini!"Srekkk!Bruk!Dalam hitungan detik saja, Air ditarik kesebuah pintu yang kini tertutup. Dia kaget bukan main dan nyaris berteriak kalau saja tidak langsung sadar siapa gerangan yang menarik tangannya."Om? Jadi benar Om yang____""Jangan sampai semua orang tahu masalah kita Air, sembunyikan apa yang terjadi dan rahasiakan. Anggap saja kita tidak saling mengenal!""Hah ... Maksudnya. Jadi Om beneran guru baru di sini?""Ya. Itu benar, jadi anggap kamu tidak kenal denganku dan aku juga akan seperti itu!"Air mengernyit namun bibirnya yang tipis melengkung sedikit, serta kedua alisnya yang bergerak naik turun."Oh .. Aku tahu, Om malu kan punya istri secantik dan semuda aku?"Dibalik senyumannya, ada sesuatu yang sulit dia rasakan apa itu. Detak jantungnya lebih cepat dari biasanya, aroma maskulin yang tiba tiba menyeruak masuk ke dalam indera pendengar miliknya, entah karena iris mata yang kini menyoroti dengan tajam ataukah jarak mereka yang terlampau dekat saat ini, yang pasti Air merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. "Bukan saatnya untuk bercanda Air!" Cicitan kecil namun penuh penekanan itu membuatnya tersadar, gadis berusia 16 tahun itu menepiskan tangan Bara yang mencapit lengannya."Iya ... iya ... aku tahu! Udah sana pergi, nanti malah ada yang lihat Om disini." tukasnya dengan melangkah maju, "Masa iya digrebek dua kali! Ih ... serem." cicitnya lagi seraya bergidik.Bara mendengus kasar, entah berapa kali Bara melarangnya menyebutnya Om, jelas dia bukan pria matang maupun tua sekali. "Ih ... Sakit tahu Om!" Pekik Air yang tersentak kaget saat Bara mencengkram lengannya kembali hingga tubuhnya kembali menghadap ke arahnya
Hari hari terus berlalu, tidak ada perubahan yang terjadi di hidup Air sebenarnya, sang kakak tidak juga menyusulnya sampai hari ini, kartu tanpa limit miliknya pun bisa digunakan dengan lancar, kemungkinan besar kedua orang tuanya masih belum tahu apa apa itu membuat Air tenang. Hanya Bara yang membuatnya merasa hidupnya terus terusik, bukan hanya di kelas tapi juga disegala kegiatan di luar sekolah yang menurutnya menyebalkan."Kenapa sih harus minta tugas kayak gini. Aku bolos tuh ada alesannya kali?" ketus Air saat lagi lagi harus memeriksakan tugas sekolah pada Bara dijam terakhir sebagai sangsi atas kebolosannya.Bara menyunggingkan bibir dengan tatapan yang tidak teralihkan pada semua jawaban di buku miliknya, tidak berniat menatap Air."Ayo cepatan. Bukannya gak mau ada orang yang curiga sama kita. Inget kan, jangan cari masalah?"Bara masih tidak menjawab, dia mencontreng satu persatu jawaban yang salah, entah sengaja dilakukan, yang pasti dia senang karena bisa membuat Air
"Apa kamu tidak bisa menjaga dirimu sendiri dan membiarkan Haikal menyentuhmu seenaknya Air?" sentak Bara tiba tiba pada saat Air baru saja membuka pintu kantor.Baru juga melangkah masuk, ia dikagetkannya sampai tercengang. "Apa kamu tidak bisa menjaga kehormatanmu sendiri. Kamu itu masih kecil tapi sikapmu itu lebih buruk dari pada seorang pelacur Air!" sentaknya lagi.Gadis itu hampir tercekat salivanya sendiri, bagaimana bisa ada orang yang mengatainya seburuk itu. Bahkan hampir tidak percaya jika penilaian itu berasal dari Bara."Kenapa pak guru marah? Apa ada yang salah sama aku dan Haikal? Apa pelacur yang Bapak katakan itu sifatnya kayak aku? Apa aku tukang sosor? Apa aku ngelakuin hal senonoh di tempat umum?" Air berdecih, dengan cepat membuka pintu dan keluar.Namun dengan cepat Bara menahan pintu hingga dia tidak bisa keluar dari sana."Aku belum selesai bicara Air!""Bicara apa? Ini bukan pembicaraan, ini cuma penghinaan dan aku gak terima. Om fikir aku ini apa? Gak bisa n
Bara melajukan mobilnya dengan kencang, bahkan ia tidak menunggu Air memakai seatbelt. Sampai gadis remaja 16 tahun itu duduk ketakutan, melihat hal itu membuat Bara berdecih, ancaman seorang gadis kecil sepertinya tidak mempan untuknya, Air tidak mungkin melakukan salah satunya. Nyatanya Air seorang gadis kecil yang penakut. Gadis itu hanya menggertaknya saja. "Kenapa. Kamu tidak punya keberanian melakukannya? Mau aku bantu?" katanya menohok."Gila ... kamu gila Om! Berhenti, aku gak mau ikut, aku mau turun!""Oh jadi kamu mau bunuh diri dengan cara melompat dari mobil?" Bara menarik tuas persneling lalu menginjak pedal gas sampai kecepatannya berada di batas maksimal. Air dengan cepat memasang seat belt ditubuhnya, ia ketakutan luar biasa, beberapa kali merubah posisi duduknya karena merasa tidak nyaman. "Kenapa. Kamu takut?" Bara berseringai kecil, melihat Air beberapa kali memejamkan matanya dengan bibir yang dia katupkan."Sebenernya Om mau apa?" lirihnya dengan kedua tangan y
"Jangan lakukan itu Om...!" lirihnya dengan terus mendorong tubuh Bara sekuat tenaga.Namun Bara tidak mau mendengarkan, pria itu sibuk meneliti wajah Air yang semakin diperhatikan semakin cantik. Dadanya bergemuruh hebat, mengingat gadis kecil yang kembali ketakutan itu adalah istrinya yang sah. Jadi, harusnya tidak akan ada masalah jika dia melakukan sesuatu dengannya bukan?"Om!" Panggil Air dengan takut. "Jangan Om, aku ... aku minta maaf!" Bara tersenyum kecil, menatap bibir ranum tanpa pewarna itu, sangat natural tapi begitu terlihat manis. Sebagai seorang pria dewasa hal itu membuat hasratnya menyeruak tiba-tiba."Please, Om!" ucapnya dengan menggelengkan kepalanya. "Jangan ...!"Air memejamkan kedua maniknya, saat wajah Bara semakin mendekat. Saking dekatnya, hembusan nafasnya terasa begitu panas menerpa wajahnya. Gadis itu semakin ketakutan kalau kalau Bara kehilangan akalnya dan melakukan sesuatu yang buruk padanya. "Aku ... aku gak siap! Om gak bisa perlakuin istri Om kay
Keduanya kembali masuk ke dalam gedung apartemen, walaupun Air berjalan dengan ragu- ragu tapi ia tidak punya pilihan lain. Gadis itu terus mengikuti dari belakang seraya mencari cara agar Bara tidak memiliki kesempatan menciumnya seperti tadi. Bayangan Bara dengan gadis bernama Seila terus menari nari di benaknya."Hiih. Enak banget jadi dia, dua bibir di sosornya dalam sehari ini," gumamnya bergidik dengan terus memukul udara tepat dibelakang kepala Bara.Sementara pria tinggi didepannya berjalan dengan begitu santai, bahkan kedua tangannya ia masukkan kedalam saku celana, dan sesekali melirik ke arah belakang guna memastikan Air tetap ada, sudut bibirnya terangkat tipis saat melihat gadis itu akhirnya menurutinya sekarang, ya walaupun harus dengan sedikit drama."Baiklah. Hm ... kamarmu....?" kata Bara saat mereka masuk, pria itu hampir lupa jika apartemennya hanya memiliki satu kamar saja."Terus ini apa?" Air melangkah menuju sebuah pintu dan langsung membuka pintu berwarna coklat
Seila mencebikan bibir saat Bara melepaskan tangannya begitu saja, sebagai gantinya wanita berambut panjang itu menarik tangan Bara ke arah lorong."Jangan pernah melarangku menemuimu dimanapun aku mau, sayang." ucapnya dengan mengalungkan kedua tangan dilehernya."Seila!" Bara tersentak, dia langsung melepaskannya dengan melihat ke berbagai arah karena takut ada yang melihatnya."Kenapa sih?""Lebih baik kau pulang, kita bertemu nanti malam!" Bara melangkah pergi, meninggalkan Seila begitu saja. "Bar ... Bara ...!" Teriak Seila, namun Bara tidak menggubrisnya. Pria itu terus berjalan menjauh.Namun langkahnya terhenti saat mendengarsuara cekikikan yang berasal dari salah satu kelas yang seharusnya sudah kosong itu. Kedua matanya terbeliak saat melihat Air ada didalam sana. Pintu kelas tiba-tiba dia buka, gadis itu tengah asyik bercanda bersama Haikal."Apa yang kalian lakukan di sini?" Kedua murid kelas 8 itu serentak menoleh, tawa Air yang renyah pun tiba-tiba berhenti."Kami hany
"Jangan banyak bicara! Cepat makan....""Depan aku aja galak banget, depan cewek sendiri aja cemen!" gumam Air pelan seraya menyendok menu ayam yang dipesannya.Bara sendiri hanya memesan minuman saja, melihat Air yang makan dengan lahap membuatnya kenyang."Kamu ini makan seperti bebek, Air!" tukasnya memberikan tissu padanya.Air mengernyit, mengambil tissu dari tangannya dan mengelap bibirnya sendiri dengan tatapan heran, kenapa sikap Bara saat ini berubah."Apa?" tanya Bara."Enggak, apa Om sakit?"Bara berdecih, melipat dua tangannya di dada. "Memangnya kenapa. Jangan salah faham ... aku hanya tidak suka dengan cara mu makan, berantakan seperti itu. Menjijikan!"Air tertawa, sampai hampir makanan dimulutnya keluar semua."Jijik? Yang bener aja Om ...! Apa Om gak pernah lihat orang lapar?" Nada Air bicara lebih keras dari sebelumnya, sebab orang-orang yang duduk paling dekat dengan meja mereka mulai meliriknya.Bara berdecak kesal, "Aku tidak pernah membiarkan kamu kelaparan. Kamu
Tatapan Zian masih terus menelisik, gadis itu terus berceloteh ngalor ngidul tanpa menyadari jika itu semua hanya membuat sang ayah semakin curiga dengan tingkahnya.Zian merogoh ponsel dan mengetikkan sesuatu dan dikirimnya pada seseorang yang ia percayai, sesuatu yang ia yakini terlewatkan dari setiap laporan yang ia terima setiap hari. Apapun itu. Sikap dan tingkah Air begitu kentara dalam menyembunyikan suatu kebohongan. Mengetahui tingkah polah gadis seusianya bukanlah perkara sulit, dahulu kala ia pernah mengalami masa dimana seorang gadis dengan kenekatan dan tingkah yang sedang liar-liarnya.Masa pubertas yang dialami dan gejolak masa muda yang menjadi lika-liku perjalanan menuju kedewasaan. Ya, Agnia. Sang istri tercinta sekaligus ibu dari dua anaknya hanyalah gadis berusia 17 tahun saat ia nikahi, sosok pemberani dan juga nekat diantara gempuran pergaulan bebas teman sekaligus sahabatnya. Seseorang yang mengobati luka hatinya karena sebuah pengkhianatan yang dilakukan mant
"Bisa-bisanya tuh orang tua bersikap seenaknya, dia fikir dia siapa coba? Mentang-mentang orang dewasa, dia sendiri yang mutusin buat cerai, masih coba-coba kasih perhatiannya sama gue lagi! Dia fikir gue gak punya perasaan apa ya... walaupun gue bocil, gini-gini juga gue tahu! Dasar... yang labil itu gue apa dia sebenernya!"Air terus menggerutu sepanjang jalan menuju ke arah belakang, ada sebuah benteng yang selama ini menjadi jalan keluar masuk yang dia pakai untuk kabur dari sekolahan, benteng setinggi tiga meter yang dilengkapi kawat-kawat berduri di setiap incinya. Gadis itu melemparkan tas punggungnya melewati benteng tembok tanpa ragu, dan mengulas senyuman saat lemparan nya berhasil diiringi suara tas yang mendarat sempurna. "Dia lupa kalau nama gue adalah Air, gue milih tinggal di indo karena gue gak mau dikekang Momy and Daddy disana! Apalagi kalau harga diri gue di sepelein, sekelas abang gue aja gue hindarin apalagi cuma seorang Bara!" katanya lagi dengan menarik rok p
Mobil hitam bergerak lambat mengikuti kemana gadis itu pergi dengan tas dibelakang punggungnya juga koper kecil yang dia geret setelah memutuskan keluar dari apartemen milik Bara. Bukan ia tidak tahu jika mobil dibelakangnya itu adalah orang suruhan sang kakak, Biru.Tapi ia memang sengaja dan tidak ingin ikut pulang walaupun suruhan kakaknya itu memaksa. "Non... ayo ikut pulang sebelum tuan besar tahu kalau Nona tidak tinggal dirumah.""Bodo amat!" jawab Air saat berjalan keluar tadi. Sampai pria itu memilih terus mengikuti Air hingga ke ujung jalan. "Ngikutin sampe ujung dunia pun gue gak bakal ikut, apalagi pulang ke rumahnya!" dengusnya seraya terus berjalan dengan nafas yang mulai ngos-ngosan. Air memang lelah karena terus berjalanEntah atas perintah Biru atau bukan, mobil itu kini melaju begitu saja dan melewatinya setelah membunyikan klakson dua kali, supir yang melaju juga melongo dari jendela dan mengangguk padanya. "Hati-hati ya Nona Air," katanya. Air Berdecih masa b
"Kenapa kamu tidak ingin melihatku Bara? Kamu tidak senang dengan kehadiran anak ini ...?" Seila berdecak kasar, "Semua pria sama aja," ketusnya. Bara diam, ia tidak ingin meladeninya, apapun perkataan Seila hanya akan memancing kemarahannya saja. Lelah karena terus berargumen, Bara memilih masuk kedalam kamar.Wanita tinggi semampai itu merasa tidak puas, karenanya ia menyusul Bara masuk ke dalam kamar, ditatapnya pria atletis itu kemanapun ia bergerak. Dari arah ranjang, hingga kini membuka lemari pakaian dan mengambil pakaian ganti miliknya."Bara. Aku kan lagi bicara sama Kamu! Kok pergi gitu aja sih,""Sudah aku katakan Seila, lebih baik kau pulang dulu. Aku malas ribut!" katanya dengan membuka satu persatu kancing kemeja yang dikenakannya, melepaskannya lalu menggantinya dengan pakaian santai.Seila menatapnya seraya mengerutkan dahi, setelah Bara melewatinya untuk ke kamar mandi, ia baru saja sadar wajah Bara penuh memar."Wajahmu kenapa lagi?" tanyanya saat Bara keluar dari k
Bara meninggalkan gedung hotel setelah selesai mengatakan semuanya dan niatnya untuk menceraikan Air pada Biru yang baru diketahui asal usul nya. Benar kata Alan, masa depan Air masih panjang ditambah kenyataan jika keluarganya berasal dari keluarga terpandang yang sudah pasti bisa melakukan apapun yang terbaik. Langkah Bara gontai saat keluar dari pintu lobby, sampai seseorang merentangkan tangan dan menyuruhnya melipir. Beberapa pria berjas hitam terlihat keluar dari mobil, tepat di belakangnya satu mobil yang lebih mewah berhenti. Seorang pria keluar dengan wajahnya yang datar, pria paruh baya yang masih terlihat gagah diusia tuanya melewati Bara begitu saja. Bara sedikit tersentak, pria itu adalah pria yang ia lihat di mesin pencarian. Pria yang memiliki kekayaan yang luar biasa. Ziandra Maheswara. Bara menoleh hanya untuk melihatnya berlalu, sepertinya pria itu memang tidak mengenal Bara. Siapa Bara hingga harus dikenal oleh pria hebat dengan segala kekuasaannya. Bara menghe
Tangan Biru masih merangsek kerahnya, menekannya hingga tenggorokannya hampir tercekat, belum lagi belakang kepala serta punggungnya yang dibenturkan pada tembok. Biru menggeram, dengan rahang kuat dan juga urat urat yang menegang, terlihat berusaha menahan amarahnya sendiri."Kau fikir aku takut padamu? Kau bahkan tidak tahu apa yang terjadi antara aku dan juga adikmu! Kalau kau mengatakan kau mengawasi nya kau pasti tahu bagaimana hidupnya, bagaimana pendidikannya, dimana dia tinggal, bagaimana selama ini dia menjalani hidupnya, Hm?"Biru terdiam, rahangnya mengeras sedemikian rupa mendengar penuturan Bara. Dia memang menempatkan seseorang untuk mengawasi Air, tapi ia tidak pernah menerima laporan yang membuatnya harus khawatir sampai hari dimana Air bertanya tentang Seila padanya."Dan seperti yang kau katakan. Kenapa kau tidak melakukan apa-apa untuknya kalau kau tahu semuanya. Dimana kau dan keluargamu yang ku fikir kalian mampu melakukan sesuatu di malam itu. Bukan justru pergi
"Ya, aku benar-benar tidak mengenalmu!Kenapa kau melakukan ini pada orang yang tidak kau kenal!" ucap Bara, tidak sedikitpun terlihat ketakutan ataupun resah. Malah dia berusaha untuk melepaskan cekalan pria yang mengapitnya disebelah. "Tutup saja mulutmu dan ikut kami, kau akan tahu saat kita tiba nanti!" kata pria berkaca mata hitam itu. Bara memang tidak mengenalnya, sekeras apapun ia mengingat seseorang itu. "Katakan apa yang terjadi, kalau memang masuk akal. Aku akan ikut tanpa banyak lagi bertanya!" tegas Bara berhasil melepaskan cekalan pria tinggi dan mendorongnya hingga punggungnya membentur belakang jok mobil. "Sudah kubilang kau akan tahu nanti! Jangan bertindak seolah kau tidak memiliki masalah dengan siapapun. Nanti kau menyesal!"Dahi Bara mengkerut, mencoba menelaah apa yang pria itu katakan dan juga apa terjadi padanya saat ini, dia memang tidak punya musuh. Siapapun dan juga dimanapun terkecuali hari dimana ia menolong Air. Kejadian itu nyatanya menjadi masalah di
"Maksudnya? Om ingin kita bercerai. Begitu?"Tampak jelas keterkejutan diwajahnya, bagaimana tidak. Baru beberapa hari yang lalu hubungan keduanya membaik, mulus bagai jalan tol setelah ciuman malam itu hingga beberapa hari berlalu. Tapi sekarang, Bara mengatakan hal yang tidak terduga setelah kembali bertemu Seila. "Apa yang Om rencanakan? Om sengaja bikin kayak gini. Om mau manfaatin aku?" seru Air dengan tatapan nanar. "Tidak. Aku...!" Bara tampak bingung, wajahnya terlihat lesu dengan luka memar di sebagian titik. "Apa... Jelasin semuanya sama aku, jangan pernah bilang ini bukan urusan aku hanya karena aku masih kecil!" Air mulai kesal sendiri sebab Bara tidak menanggapinya dengan cepat.Bara menghela nafas, pria itu sibuk menatap jalanan karena tidak kuasa melihat kesedihan Air. Dikepalanya kini banyak penjelasan yang ingin dia ungkapkan pada istrinya itu, tapi dirinya saja tengah dilanda bimbang dan tidak tahu harus mengatakan apa padanya. "Cepet jelasin!""Aku harus menikah
Hubungan keduanya semakin dekat saja, walaupun Air ingin sekali menemui Seila untuk tahu apa yang terjadi di antara mereka, apa Bar benar benar menerima keputusan Seila yang meminta putus dengannya seperti yang terakhir dia dengar, atau hubungan keduanya juga rumit seperti hubungannya diawal-awal.Bara tetap tidak mengatakan apa-apa, saat ditanyapun dia hanya akan menjawab kalau itu bukan urusan anak kecil sepertinya. Dan kesempatan tiba-tiba datang saat Air melihat Seila di sekolah. "Bara, kita harus bicara!""Ya, tapi tidak disini. Seila, pulanglah. Kita bertemu setelah pekerjaanku selesai," Bara meninggalkan Seila begitu saja diruangan guru sementara dia hendak mengajar. "Bara! Kalau kau nekat pergi. Aku gak akan segan-segan untuk...."Bara menoleh ke arah belakang dimana Seila berteriak. Lagi dan lagi, ancaman Seila membuat nya berfikir dua kali dalam melangkah. Bara menghela nafas, dia kembali berjalan masuk ke arah ruangan guru. "Berhenti mengancamku Seila, aku ini manusia da