"Jangan banyak bicara! Cepat makan....""Depan aku aja galak banget, depan cewek sendiri aja cemen!" gumam Air pelan seraya menyendok menu ayam yang dipesannya.Bara sendiri hanya memesan minuman saja, melihat Air yang makan dengan lahap membuatnya kenyang."Kamu ini makan seperti bebek, Air!" tukasnya memberikan tissu padanya.Air mengernyit, mengambil tissu dari tangannya dan mengelap bibirnya sendiri dengan tatapan heran, kenapa sikap Bara saat ini berubah."Apa?" tanya Bara."Enggak, apa Om sakit?"Bara berdecih, melipat dua tangannya di dada. "Memangnya kenapa. Jangan salah faham ... aku hanya tidak suka dengan cara mu makan, berantakan seperti itu. Menjijikan!"Air tertawa, sampai hampir makanan dimulutnya keluar semua."Jijik? Yang bener aja Om ...! Apa Om gak pernah lihat orang lapar?" Nada Air bicara lebih keras dari sebelumnya, sebab orang-orang yang duduk paling dekat dengan meja mereka mulai meliriknya.Bara berdecak kesal, "Aku tidak pernah membiarkan kamu kelaparan. Kamu
Suasana kelaspun kembali tenang setelah Bara berdehem berkali-kali, pria itu juga harus mengendalikan diri agar tidak semakin kacau, ketidak sukaannya pada Haikal pun tidak cukup menjadi alasan ia menghentikan pembelajaran atau bahkan melakukan sesuatu."Kita kembali ke pembahasan! Dan kamu Haikal, tatap pacarmu nanti saja, sekarang gunakan matamu untuk hal yang lebih penting!" Serunya.Haikal mengulas senyuman lalu mengangguk pasti, dia kembali fokus pada pelajarannya. Sementara Air berdecih mendengar penuturan Bara. "Gila aja, dia bilang gue gak penting! Dasar orang tua, lihat aja ... lama-lama lo gue bikin suka!"cicitnya tanpa suara.Bara menatapnya lagi, melihat Air terus menggerutu tanpa suara dan dipastikan itu pasti untuknya. "Apa?" "Dih ... nyebelin!"Hanya mereka berdua yang mengerti bahasa dan tatapan penuh isyarat itu. Namun itu tidak berlangsung lama karena mereka pun harus pandai berpura-pura."Lo sibuk gak nanti siang? Gue pengen ngadem nih ...!" tukas Air pelan saat men
"Ya ... harusnya kau katakan padaku. Katakan semua yang ingin kau lakukan. Dan....!" Bara menghentikan ucapannya karena melihat raut wajah Air yang berubah.Gadis itu justru tersentak kaget karena jawaban Bara. Terlebih tatapannya saat ini. "Dan ... jangan coba-coba melakukannya lagi karena ... karena itu berbahaya!" ujar Bara dengan memalingkan pandangannya, pria itu langsung menyalakan mesin mobil miliknya dan menginjak pedal gas.Banyak yang ingin dibicarakan, terlebih isi kepalanya yang kini sama-sama dipenuhi pemikiran-pemikiran aneh. Tapi nyatanya bibir keduanya sama-sama terkatup rapat dan saling diam. Mobil melaju ke arah sebuah mall, walau kini keinginan Air untuk menonton bioskop sudah tidak ada, tapi ia membiarkan Bara membawanya kesana. Sampai mobil memasuki basement dan terparkir sempurna. Bara mengambil sebuah bungkusan yang diletakan di kursi penumpang, yang langsung ia berikan pada Air."Seharusnya ini cukup untukmu. Pakailah sampai kita menemukan pakaian yang coco
Entah kenapa suasana restoran saat itu mendadak tenang, diiringi musik yang mengalun lembut serta lampu-lampu hias yang menyala membuat atmosfir disana semakin hangat saja.Bara menatapnya tanpa jemu, memperhatikan gadis remaja yang kini makan perlahan, bibirnya tipis bergerak sesuai irama, mengunyah makanan dengan sesekali terlihat tersenyum.Bara ikut tersenyum melihat tingkah lucunya, gadis itu makan dengan lahap tapi justru terlihat lebih cantik. Terlebih saat ini wajahnya sangat dekat."Heh ....!" desisnya pelan seraya mengelap ujung bibirnya yang belepotan, dengan dada yang bergemuruh hebat.Air mendongak, menatap matanya, hingga keduanya beradu pandang. "Apa ... Apaan ...?" jawabnya dengan jari yang menyentuh tissu yang terulur di bibirnya, hingga tangannya tanpa sengaja justru menyentuh tangan Bara. Untuk beberapa detik mereka berada di gelombang yang sama dan waktu seakan berhenti berputar."Astaga! Bara...!" Keduanya tersentak kaget dan langsung menoleh ke arah suara wanit
Bara terus menjelaskan dan berharap Seila percaya padanya, sekalipun dia mulai sedikit khawatir karena meninggalkan Air sendirian di mall. Padahal beberapa saat sebelumnya, hubungan diantara mereka sedikit mencair, Bara bisa melihat senyuman dari wajah polos itu, dia juga bisa tertawa lepas walau hanya dengan lelucon yang konyol."Aku tidak percaya padamu Bara! Kau pasti bohong!"Bara menyandarkan punggungnya disandaran jok. Fikirannya kini terpecah menjadi dua, disisi lain dia tidak ingin kehilangan Seila karena dia sangat mencintainya. Tapi dia juga terus mengingat Air, gadis itu pasti terluka saat ini dengan semua tuduhan yang tidak benar."Aku tidak bohong Seila, aku tidak berselingkuh seperti yang kau tuduhkan, dan aku tidak mau kita putus, ada banyak rencana yang sudah aku rancang untuk masa depan kita Seila," lirihnya dengan fikiran yang semakin tidak menentu, 'Bagaimana Air disana sekarang? Apa dia bisa pulang sendiri? Dia pasti sedih,' Bara terus bermonolog dalam hati.Seila
"Bagaimana kalau kamu menginap dirumah Ibu, pamanmu tidak keberatan bukan?" "Hah ... aku? Emmpphh ...!" Air masih berfikir keras, apa itu hal bagus atau tidak, bagaimana kalau Bara tahu, 'Ahk udahlah, buat malem ini doang!' ucapnya dalam hati.Tak lama Sri langsung menyodorkan ponsel kepadanya, "Hubungi pamanmu, bilang kalau kamu tidak pulang malam ini."Air menelan saliva, sejak awal dia dan Bara sudah berbohong, dan harus terus menutupi kebohongan-kebohongannya sampai saat ini."Kenapa, oh Ibu tahu ...!" Sri menggiring Air sampai masuk kedalam mobil. "Ibu hubungi Bara, biar dia bicara dengan pamanmu ya," ujarnya lagi dan menyuruh supirnya langsung melanjutkan perjalanan.Gadis itu sudah tentu kaget, dia langsung menahan tangan Sri yang hendak menghubungi Bara, gawat jadinya kalau Bara tahu dia ada dirumah Ibu, bisa-bisa Bara berfikir dia mengadukannya. "Jangan. Biar Air sendiri yang ngomong sama Om Air nanti." cegahnya dengan cepat.Sri mengangguk saja, memasukkan kembali ponsel ke
Bara tidak punya pilihan selain membawa Seila ke apartemen miliknya, ia tidak ingin beranjak sedikitpun dari klub jika Bara tidak menurutinya. Meskipun Bara kesal dan meninggalkannya namun Seila justru mencari keributan."Kita ke tempatmu saja!""Tidak, aku tidak mau ... aku sudah bilang aku tidak akan pulang kalau tidak ke apartemenmu!" Seila melepaskan tangan Bara dan berjalan sempoyongan, namun Bara kembali memeganginya lagi.'Bagaimana ini, Air pasti sudah pulang! Aku harus mencari cara agar mereka tidak bertemu,' batin Bara bicara.Sepanjang perjalanan, Bara hanya diam saja, dia tidak menanggapi apapun ocehan dari Seila yang tengah mabuk itu, hingga mobil melesat menuju apartemen.Perasaan was-was semakin hinggap dibenak Bara, bagaimana ia tidak mampu menolak permintaan kekasihnya yang keras kepala. Lalu bagaimana dengan Air.Lampu-lampu di apartemen miliknya masih gelap, itu artinya belum ada orang yang menyalakannya, Bara memapah tubuh Seila yang masih dikuasai alkohol itu dan
Tapi rasa kantuk yang sejak awal mendera Air tiba-tiba saja menghilang, menguap bersama semilir angin malam yang menyisir masuk lewat celah jendela, pun denting jam seakan berhenti. Begitupun juga dengan Bara, pria yang pergi tergesa-gesa dari rumahnya itu tidak sabar untuk melihat Air dan memastikan semuanya baik-baik saja. Tatapan yang kini saling beradu pun hanya membuat keduanya canggung saja."Kau belum mengantuk?""Gak tahu ... tiba- tiba gak ngantuk lagi,""Mau kubuatkan cokelat hangat? Itu akan membuat tubuhmu relaks." kata Bara, mencoba membuat suasana kembali kembali normal.Air mengangguk kecil, entahlah apa yang dilakukannya, tapi kepalanya kadung bergerak naik turun. "Baiklah, tunggu disini!" Bara bangkit dan berjalan keluar dari kamarnya yang kini ditempati Air. Pria itu berjalan ke arah dapur dan menyalakan kompor, mengambil gelas dan mengisinya dengan Air. Tapi dia tidak dapat menemukan bubuk Cokelat yang telah ia janjikan itu. Didalam lemari penyimpanan, didalam top
Tatapan Zian masih terus menelisik, gadis itu terus berceloteh ngalor ngidul tanpa menyadari jika itu semua hanya membuat sang ayah semakin curiga dengan tingkahnya.Zian merogoh ponsel dan mengetikkan sesuatu dan dikirimnya pada seseorang yang ia percayai, sesuatu yang ia yakini terlewatkan dari setiap laporan yang ia terima setiap hari. Apapun itu. Sikap dan tingkah Air begitu kentara dalam menyembunyikan suatu kebohongan. Mengetahui tingkah polah gadis seusianya bukanlah perkara sulit, dahulu kala ia pernah mengalami masa dimana seorang gadis dengan kenekatan dan tingkah yang sedang liar-liarnya.Masa pubertas yang dialami dan gejolak masa muda yang menjadi lika-liku perjalanan menuju kedewasaan. Ya, Agnia. Sang istri tercinta sekaligus ibu dari dua anaknya hanyalah gadis berusia 17 tahun saat ia nikahi, sosok pemberani dan juga nekat diantara gempuran pergaulan bebas teman sekaligus sahabatnya. Seseorang yang mengobati luka hatinya karena sebuah pengkhianatan yang dilakukan mant
"Bisa-bisanya tuh orang tua bersikap seenaknya, dia fikir dia siapa coba? Mentang-mentang orang dewasa, dia sendiri yang mutusin buat cerai, masih coba-coba kasih perhatiannya sama gue lagi! Dia fikir gue gak punya perasaan apa ya... walaupun gue bocil, gini-gini juga gue tahu! Dasar... yang labil itu gue apa dia sebenernya!"Air terus menggerutu sepanjang jalan menuju ke arah belakang, ada sebuah benteng yang selama ini menjadi jalan keluar masuk yang dia pakai untuk kabur dari sekolahan, benteng setinggi tiga meter yang dilengkapi kawat-kawat berduri di setiap incinya. Gadis itu melemparkan tas punggungnya melewati benteng tembok tanpa ragu, dan mengulas senyuman saat lemparan nya berhasil diiringi suara tas yang mendarat sempurna. "Dia lupa kalau nama gue adalah Air, gue milih tinggal di indo karena gue gak mau dikekang Momy and Daddy disana! Apalagi kalau harga diri gue di sepelein, sekelas abang gue aja gue hindarin apalagi cuma seorang Bara!" katanya lagi dengan menarik rok p
Mobil hitam bergerak lambat mengikuti kemana gadis itu pergi dengan tas dibelakang punggungnya juga koper kecil yang dia geret setelah memutuskan keluar dari apartemen milik Bara. Bukan ia tidak tahu jika mobil dibelakangnya itu adalah orang suruhan sang kakak, Biru.Tapi ia memang sengaja dan tidak ingin ikut pulang walaupun suruhan kakaknya itu memaksa. "Non... ayo ikut pulang sebelum tuan besar tahu kalau Nona tidak tinggal dirumah.""Bodo amat!" jawab Air saat berjalan keluar tadi. Sampai pria itu memilih terus mengikuti Air hingga ke ujung jalan. "Ngikutin sampe ujung dunia pun gue gak bakal ikut, apalagi pulang ke rumahnya!" dengusnya seraya terus berjalan dengan nafas yang mulai ngos-ngosan. Air memang lelah karena terus berjalanEntah atas perintah Biru atau bukan, mobil itu kini melaju begitu saja dan melewatinya setelah membunyikan klakson dua kali, supir yang melaju juga melongo dari jendela dan mengangguk padanya. "Hati-hati ya Nona Air," katanya. Air Berdecih masa b
"Kenapa kamu tidak ingin melihatku Bara? Kamu tidak senang dengan kehadiran anak ini ...?" Seila berdecak kasar, "Semua pria sama aja," ketusnya. Bara diam, ia tidak ingin meladeninya, apapun perkataan Seila hanya akan memancing kemarahannya saja. Lelah karena terus berargumen, Bara memilih masuk kedalam kamar.Wanita tinggi semampai itu merasa tidak puas, karenanya ia menyusul Bara masuk ke dalam kamar, ditatapnya pria atletis itu kemanapun ia bergerak. Dari arah ranjang, hingga kini membuka lemari pakaian dan mengambil pakaian ganti miliknya."Bara. Aku kan lagi bicara sama Kamu! Kok pergi gitu aja sih,""Sudah aku katakan Seila, lebih baik kau pulang dulu. Aku malas ribut!" katanya dengan membuka satu persatu kancing kemeja yang dikenakannya, melepaskannya lalu menggantinya dengan pakaian santai.Seila menatapnya seraya mengerutkan dahi, setelah Bara melewatinya untuk ke kamar mandi, ia baru saja sadar wajah Bara penuh memar."Wajahmu kenapa lagi?" tanyanya saat Bara keluar dari k
Bara meninggalkan gedung hotel setelah selesai mengatakan semuanya dan niatnya untuk menceraikan Air pada Biru yang baru diketahui asal usul nya. Benar kata Alan, masa depan Air masih panjang ditambah kenyataan jika keluarganya berasal dari keluarga terpandang yang sudah pasti bisa melakukan apapun yang terbaik. Langkah Bara gontai saat keluar dari pintu lobby, sampai seseorang merentangkan tangan dan menyuruhnya melipir. Beberapa pria berjas hitam terlihat keluar dari mobil, tepat di belakangnya satu mobil yang lebih mewah berhenti. Seorang pria keluar dengan wajahnya yang datar, pria paruh baya yang masih terlihat gagah diusia tuanya melewati Bara begitu saja. Bara sedikit tersentak, pria itu adalah pria yang ia lihat di mesin pencarian. Pria yang memiliki kekayaan yang luar biasa. Ziandra Maheswara. Bara menoleh hanya untuk melihatnya berlalu, sepertinya pria itu memang tidak mengenal Bara. Siapa Bara hingga harus dikenal oleh pria hebat dengan segala kekuasaannya. Bara menghe
Tangan Biru masih merangsek kerahnya, menekannya hingga tenggorokannya hampir tercekat, belum lagi belakang kepala serta punggungnya yang dibenturkan pada tembok. Biru menggeram, dengan rahang kuat dan juga urat urat yang menegang, terlihat berusaha menahan amarahnya sendiri."Kau fikir aku takut padamu? Kau bahkan tidak tahu apa yang terjadi antara aku dan juga adikmu! Kalau kau mengatakan kau mengawasi nya kau pasti tahu bagaimana hidupnya, bagaimana pendidikannya, dimana dia tinggal, bagaimana selama ini dia menjalani hidupnya, Hm?"Biru terdiam, rahangnya mengeras sedemikian rupa mendengar penuturan Bara. Dia memang menempatkan seseorang untuk mengawasi Air, tapi ia tidak pernah menerima laporan yang membuatnya harus khawatir sampai hari dimana Air bertanya tentang Seila padanya."Dan seperti yang kau katakan. Kenapa kau tidak melakukan apa-apa untuknya kalau kau tahu semuanya. Dimana kau dan keluargamu yang ku fikir kalian mampu melakukan sesuatu di malam itu. Bukan justru pergi
"Ya, aku benar-benar tidak mengenalmu!Kenapa kau melakukan ini pada orang yang tidak kau kenal!" ucap Bara, tidak sedikitpun terlihat ketakutan ataupun resah. Malah dia berusaha untuk melepaskan cekalan pria yang mengapitnya disebelah. "Tutup saja mulutmu dan ikut kami, kau akan tahu saat kita tiba nanti!" kata pria berkaca mata hitam itu. Bara memang tidak mengenalnya, sekeras apapun ia mengingat seseorang itu. "Katakan apa yang terjadi, kalau memang masuk akal. Aku akan ikut tanpa banyak lagi bertanya!" tegas Bara berhasil melepaskan cekalan pria tinggi dan mendorongnya hingga punggungnya membentur belakang jok mobil. "Sudah kubilang kau akan tahu nanti! Jangan bertindak seolah kau tidak memiliki masalah dengan siapapun. Nanti kau menyesal!"Dahi Bara mengkerut, mencoba menelaah apa yang pria itu katakan dan juga apa terjadi padanya saat ini, dia memang tidak punya musuh. Siapapun dan juga dimanapun terkecuali hari dimana ia menolong Air. Kejadian itu nyatanya menjadi masalah di
"Maksudnya? Om ingin kita bercerai. Begitu?"Tampak jelas keterkejutan diwajahnya, bagaimana tidak. Baru beberapa hari yang lalu hubungan keduanya membaik, mulus bagai jalan tol setelah ciuman malam itu hingga beberapa hari berlalu. Tapi sekarang, Bara mengatakan hal yang tidak terduga setelah kembali bertemu Seila. "Apa yang Om rencanakan? Om sengaja bikin kayak gini. Om mau manfaatin aku?" seru Air dengan tatapan nanar. "Tidak. Aku...!" Bara tampak bingung, wajahnya terlihat lesu dengan luka memar di sebagian titik. "Apa... Jelasin semuanya sama aku, jangan pernah bilang ini bukan urusan aku hanya karena aku masih kecil!" Air mulai kesal sendiri sebab Bara tidak menanggapinya dengan cepat.Bara menghela nafas, pria itu sibuk menatap jalanan karena tidak kuasa melihat kesedihan Air. Dikepalanya kini banyak penjelasan yang ingin dia ungkapkan pada istrinya itu, tapi dirinya saja tengah dilanda bimbang dan tidak tahu harus mengatakan apa padanya. "Cepet jelasin!""Aku harus menikah
Hubungan keduanya semakin dekat saja, walaupun Air ingin sekali menemui Seila untuk tahu apa yang terjadi di antara mereka, apa Bar benar benar menerima keputusan Seila yang meminta putus dengannya seperti yang terakhir dia dengar, atau hubungan keduanya juga rumit seperti hubungannya diawal-awal.Bara tetap tidak mengatakan apa-apa, saat ditanyapun dia hanya akan menjawab kalau itu bukan urusan anak kecil sepertinya. Dan kesempatan tiba-tiba datang saat Air melihat Seila di sekolah. "Bara, kita harus bicara!""Ya, tapi tidak disini. Seila, pulanglah. Kita bertemu setelah pekerjaanku selesai," Bara meninggalkan Seila begitu saja diruangan guru sementara dia hendak mengajar. "Bara! Kalau kau nekat pergi. Aku gak akan segan-segan untuk...."Bara menoleh ke arah belakang dimana Seila berteriak. Lagi dan lagi, ancaman Seila membuat nya berfikir dua kali dalam melangkah. Bara menghela nafas, dia kembali berjalan masuk ke arah ruangan guru. "Berhenti mengancamku Seila, aku ini manusia da