Tapi rasa kantuk yang sejak awal mendera Air tiba-tiba saja menghilang, menguap bersama semilir angin malam yang menyisir masuk lewat celah jendela, pun denting jam seakan berhenti. Begitupun juga dengan Bara, pria yang pergi tergesa-gesa dari rumahnya itu tidak sabar untuk melihat Air dan memastikan semuanya baik-baik saja. Tatapan yang kini saling beradu pun hanya membuat keduanya canggung saja."Kau belum mengantuk?""Gak tahu ... tiba- tiba gak ngantuk lagi,""Mau kubuatkan cokelat hangat? Itu akan membuat tubuhmu relaks." kata Bara, mencoba membuat suasana kembali kembali normal.Air mengangguk kecil, entahlah apa yang dilakukannya, tapi kepalanya kadung bergerak naik turun. "Baiklah, tunggu disini!" Bara bangkit dan berjalan keluar dari kamarnya yang kini ditempati Air. Pria itu berjalan ke arah dapur dan menyalakan kompor, mengambil gelas dan mengisinya dengan Air. Tapi dia tidak dapat menemukan bubuk Cokelat yang telah ia janjikan itu. Didalam lemari penyimpanan, didalam top
Air hanya bisa diam, dia masih mencoba mencerna apa yang terjadi baru saja pada mereka berdua. Ditambah kejadian ini justru terjadi setelah ia mengetahui kalau Bara memiliki kekasih hati.Setelah Bara keluar dari kamarnya, gadis itu menenggelamkan kepalanya ke dalam bantal, ingin rasanya sembunyi karena apa yang dilakukannya tadi, ditambah pernyataan konyolnya. 'Ciuman artinya pacaran? Ahk ... bego juga gue,' Batinnya.Begitu pula dengan Bara, dia berjalan ke arah dapur dengan bayangan Air dibenaknya, ruangan dapur yang menjadi saksi atas apa yang dilakukannya dengan kesadaran penuh. Suara lenguhan, dan desahan Air seketika terdengar memenuhi fikirannya."Astaga ...!" gumamnya dengan sedikit senyum yang tiba-tiba muncul begitu saja di wajahnya. Pria itu lantas membasuh wajahnya diwastafel dan berpegangan di tepi wastafel dengan tetesan air turun dari wajahnya. "Aku harus membersihkan fikiranku ini!" ucapnya lagi.Setelah itu Bara memilih tidur disofa panjang yang berada di ruang tamu,
"Aaa---apa maksudnya?"Suara Air terdengar lirih, kedua tangannya melingkar ragu pada leher Bara.Pria itu tidak menjawabnya, dia justru kembali menyusupkan benda tanpa tulang dan terus mencecapnya lembut. Keduanya terus saling merasai hingga akhirnya Bara membawanya masuk ke dalam kamar dan membaringkannya di atas ranjang tanpa menghentikan aktifitasnya."Ada Ibu lho ..." bisik Air."Ibu sudah tidur, jadi jangan berisik. hm! Besok kau ikut pulang denganku," suara serak Bara menggema di telinga Air."Gak mau, enakan disini!""Aku tidak bisa terus mencari alasan pada Ibu, Air.""Ya terus gimana dong? Apa kita jujur aja sama Ibu? Tapi kalau jujur, aku gak siap ... aku takut Ibu kecewa dan marah, terus gak ngebolehin aku tinggal di sini. Terus aku nanti gimana?" seloroh Air terus bicara sedangkan Bara hanya menatapnya saja.Bara pun sebenarnya belum siap mengatakan hal yang sebenarnya pada sang Ibu, persis seperti apa yang dirasakan Air. Tidak mudah bagi seorang Ibu menerima keadaan yang
Bara beralih menatap langit-langit kamar, mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu dimana dia bertemu dengan Air, bagaimana kagetnya saat disidang warga, akhirnya berakhir dengan pernikahan di hari yang sama. Setelah itu ia tahu bagaimana repotnya mengurusi Air yang keras kepala dan juga nakal di sekolah hingga akhirnya perasaanya tumbuh tanpa ia sadari.Bara menoleh pada Air, menatap wajahnya yang teduh dan juga bercahaya walau tanpa memakai skincare maupun perawatan. Bibir tipisnya yang menjadi candu baginya sekarang, suaranya, tingkah lakunya yang polos dan menggemaskan tapi juga bisa sangat dewasa dalam hal-hal tertentu.Contohnya saat ini, Air yang masih 16 tahun itu terlihat dewasa terlebih saat mereka berduaan, berciuman bahkan hampir saja melakukannya. Bara mengulas senyuman, mengelus kepala Air dengan lembut lalu mengangkatnya sedikit dan menaruhnya dilengannya. Bara menghirup udara sebanyak mungkin saat mencium aroma vanila dari kulit Air saat mendekapnya erat, aroma van
Panggilan sayang pada wanita yang memang dia sayang tidak ada salahnya, baik Seila yang memang menjadi pengisi hatinya, juga Air yang baru saja hadir dalam hidupnya dan mengisi hatinya saat ini.Tapi bagi Air, panggilan itu cukup penting. Layaknya seorang anak yang tidak ingin berbagi mainan, begitupun dia juga yang tidak ingin Bara memanggilnya dengan sebutan yang sama dengan panggilannya pada wanita lain. Semenjak Bara menciumnya, semenjak itu pula Bara adalah miliknya, bukan milik orang lain.Air memicingkan kedua matanya, protes kan tidak mengenal waktu yang tepat atau tidak, tidak penting bagi Bara tapi penting baginya. Fikirnya. Air tidak bergeming, ia masih enggan keluar dari mobil walaupun Bara sudah membuka kuncinya secara otomatis, duduk terdiam dan terus menatapnya, menunggu jawaban dari pria yang lebih dewasa itu."Iya, baiklah. Aku tidak akan memanggilmu sayang kalau kau tidak mau!""Bukannya tidak mau, tapi aku....""Aku akan menggantinya. Tapi nanti setelah urusan kita
Waktu semakin berputar, terangnya siang mulai berganti dengan warna jingga di langit sore. Awan hitam mulai menampakkan diri saat Air dan Bara tiba di rumah Ibu. Semilir angin malam terasa lebih menusuk kulit ari bahkan dari biasanya saat langkah kedua manusia berbeda generasi itu memasuki halaman depan.Sri yang tengah berada di halaman belakang pun bergegas masuk, menyiapkan diri untuk menerima semua alasan Bara maupun Air. Entah itu rasa kecewa maupun kesedihan yang akan dia terima nanti. Apapun alasannya, Sri yakin semua sudah digariskan Tuhan, baik buruk, sedih, kecewa bahkan bahagia sekalipun.Sri mencuci kedua tangannya, berkutat dengan kebun mini yang ia punya dihalaman belakang, mencari kesibukan sejak pagi hanya untuk pengalihan belaka saja. Nyatanya sampai kedua orang itu masuk, keresahan Sri semakin membahana."Ibu...." lirih Air,Sri hanya mengangguk kecil, kemudian berjalan ke arah ruang tamu dimana Bara sudah menunggu. Sementara Air memilih masuk kedalam kamarnya lebih d
Sri menghela nafas, dia tidak bisa berkata apa-apa saat mendengar ucapan Bara, terlihat Bara memang tengah bimbang dengan perasaannya sendiri. Tidak mudah memang melepaskan wanita yang amat ia cintai bernama Seila itu, bahkan mereka sudah merencanakan masa depan bersama."Ibu berharap kau bisa memantapkan hatimu, Bara. Semakin lama justru akan membuat keduanya tersakiti.""Iya, Ibu." ringkas Bara.Air pun keluar dengan ransel dipunggungnya, dia memang tidak banyak membawa barangnya dari rumah, kebanyakan hanya alat-alat sekolahnya saja."Udah selesai," Keduanya langsung terdiam kikuk saat Air menghampiri mereka. Membuat alis gadis itu mengkerut penuh curiga, tapi Bara lebih dulu bangkit dari duduknya. "Kita pulang sekarang saja, Hm? Kita harus mampir untuk membeli bahan makanan,"Air mengangguk, aktifitas yang jarang bisa ia lakukan. Biasanya ia hanya bisa pergi jika Mami mengajaknya."Sebaiknya kalian bawa beberapa bahan masakan yang sudah Ibu siapkan," Sri bangkit dan pergi menuju
Hubungan keduanya semakin dekat saja, walaupun Air ingin sekali menemui Seila untuk tahu apa yang terjadi di antara mereka, apa Bar benar benar menerima keputusan Seila yang meminta putus dengannya seperti yang terakhir dia dengar, atau hubungan keduanya juga rumit seperti hubungannya diawal-awal.Bara tetap tidak mengatakan apa-apa, saat ditanyapun dia hanya akan menjawab kalau itu bukan urusan anak kecil sepertinya. Dan kesempatan tiba-tiba datang saat Air melihat Seila di sekolah. "Bara, kita harus bicara!""Ya, tapi tidak disini. Seila, pulanglah. Kita bertemu setelah pekerjaanku selesai," Bara meninggalkan Seila begitu saja diruangan guru sementara dia hendak mengajar. "Bara! Kalau kau nekat pergi. Aku gak akan segan-segan untuk...."Bara menoleh ke arah belakang dimana Seila berteriak. Lagi dan lagi, ancaman Seila membuat nya berfikir dua kali dalam melangkah. Bara menghela nafas, dia kembali berjalan masuk ke arah ruangan guru. "Berhenti mengancamku Seila, aku ini manusia da
Tatapan Zian masih terus menelisik, gadis itu terus berceloteh ngalor ngidul tanpa menyadari jika itu semua hanya membuat sang ayah semakin curiga dengan tingkahnya.Zian merogoh ponsel dan mengetikkan sesuatu dan dikirimnya pada seseorang yang ia percayai, sesuatu yang ia yakini terlewatkan dari setiap laporan yang ia terima setiap hari. Apapun itu. Sikap dan tingkah Air begitu kentara dalam menyembunyikan suatu kebohongan. Mengetahui tingkah polah gadis seusianya bukanlah perkara sulit, dahulu kala ia pernah mengalami masa dimana seorang gadis dengan kenekatan dan tingkah yang sedang liar-liarnya.Masa pubertas yang dialami dan gejolak masa muda yang menjadi lika-liku perjalanan menuju kedewasaan. Ya, Agnia. Sang istri tercinta sekaligus ibu dari dua anaknya hanyalah gadis berusia 17 tahun saat ia nikahi, sosok pemberani dan juga nekat diantara gempuran pergaulan bebas teman sekaligus sahabatnya. Seseorang yang mengobati luka hatinya karena sebuah pengkhianatan yang dilakukan mant
"Bisa-bisanya tuh orang tua bersikap seenaknya, dia fikir dia siapa coba? Mentang-mentang orang dewasa, dia sendiri yang mutusin buat cerai, masih coba-coba kasih perhatiannya sama gue lagi! Dia fikir gue gak punya perasaan apa ya... walaupun gue bocil, gini-gini juga gue tahu! Dasar... yang labil itu gue apa dia sebenernya!"Air terus menggerutu sepanjang jalan menuju ke arah belakang, ada sebuah benteng yang selama ini menjadi jalan keluar masuk yang dia pakai untuk kabur dari sekolahan, benteng setinggi tiga meter yang dilengkapi kawat-kawat berduri di setiap incinya. Gadis itu melemparkan tas punggungnya melewati benteng tembok tanpa ragu, dan mengulas senyuman saat lemparan nya berhasil diiringi suara tas yang mendarat sempurna. "Dia lupa kalau nama gue adalah Air, gue milih tinggal di indo karena gue gak mau dikekang Momy and Daddy disana! Apalagi kalau harga diri gue di sepelein, sekelas abang gue aja gue hindarin apalagi cuma seorang Bara!" katanya lagi dengan menarik rok p
Mobil hitam bergerak lambat mengikuti kemana gadis itu pergi dengan tas dibelakang punggungnya juga koper kecil yang dia geret setelah memutuskan keluar dari apartemen milik Bara. Bukan ia tidak tahu jika mobil dibelakangnya itu adalah orang suruhan sang kakak, Biru.Tapi ia memang sengaja dan tidak ingin ikut pulang walaupun suruhan kakaknya itu memaksa. "Non... ayo ikut pulang sebelum tuan besar tahu kalau Nona tidak tinggal dirumah.""Bodo amat!" jawab Air saat berjalan keluar tadi. Sampai pria itu memilih terus mengikuti Air hingga ke ujung jalan. "Ngikutin sampe ujung dunia pun gue gak bakal ikut, apalagi pulang ke rumahnya!" dengusnya seraya terus berjalan dengan nafas yang mulai ngos-ngosan. Air memang lelah karena terus berjalanEntah atas perintah Biru atau bukan, mobil itu kini melaju begitu saja dan melewatinya setelah membunyikan klakson dua kali, supir yang melaju juga melongo dari jendela dan mengangguk padanya. "Hati-hati ya Nona Air," katanya. Air Berdecih masa b
"Kenapa kamu tidak ingin melihatku Bara? Kamu tidak senang dengan kehadiran anak ini ...?" Seila berdecak kasar, "Semua pria sama aja," ketusnya. Bara diam, ia tidak ingin meladeninya, apapun perkataan Seila hanya akan memancing kemarahannya saja. Lelah karena terus berargumen, Bara memilih masuk kedalam kamar.Wanita tinggi semampai itu merasa tidak puas, karenanya ia menyusul Bara masuk ke dalam kamar, ditatapnya pria atletis itu kemanapun ia bergerak. Dari arah ranjang, hingga kini membuka lemari pakaian dan mengambil pakaian ganti miliknya."Bara. Aku kan lagi bicara sama Kamu! Kok pergi gitu aja sih,""Sudah aku katakan Seila, lebih baik kau pulang dulu. Aku malas ribut!" katanya dengan membuka satu persatu kancing kemeja yang dikenakannya, melepaskannya lalu menggantinya dengan pakaian santai.Seila menatapnya seraya mengerutkan dahi, setelah Bara melewatinya untuk ke kamar mandi, ia baru saja sadar wajah Bara penuh memar."Wajahmu kenapa lagi?" tanyanya saat Bara keluar dari k
Bara meninggalkan gedung hotel setelah selesai mengatakan semuanya dan niatnya untuk menceraikan Air pada Biru yang baru diketahui asal usul nya. Benar kata Alan, masa depan Air masih panjang ditambah kenyataan jika keluarganya berasal dari keluarga terpandang yang sudah pasti bisa melakukan apapun yang terbaik. Langkah Bara gontai saat keluar dari pintu lobby, sampai seseorang merentangkan tangan dan menyuruhnya melipir. Beberapa pria berjas hitam terlihat keluar dari mobil, tepat di belakangnya satu mobil yang lebih mewah berhenti. Seorang pria keluar dengan wajahnya yang datar, pria paruh baya yang masih terlihat gagah diusia tuanya melewati Bara begitu saja. Bara sedikit tersentak, pria itu adalah pria yang ia lihat di mesin pencarian. Pria yang memiliki kekayaan yang luar biasa. Ziandra Maheswara. Bara menoleh hanya untuk melihatnya berlalu, sepertinya pria itu memang tidak mengenal Bara. Siapa Bara hingga harus dikenal oleh pria hebat dengan segala kekuasaannya. Bara menghe
Tangan Biru masih merangsek kerahnya, menekannya hingga tenggorokannya hampir tercekat, belum lagi belakang kepala serta punggungnya yang dibenturkan pada tembok. Biru menggeram, dengan rahang kuat dan juga urat urat yang menegang, terlihat berusaha menahan amarahnya sendiri."Kau fikir aku takut padamu? Kau bahkan tidak tahu apa yang terjadi antara aku dan juga adikmu! Kalau kau mengatakan kau mengawasi nya kau pasti tahu bagaimana hidupnya, bagaimana pendidikannya, dimana dia tinggal, bagaimana selama ini dia menjalani hidupnya, Hm?"Biru terdiam, rahangnya mengeras sedemikian rupa mendengar penuturan Bara. Dia memang menempatkan seseorang untuk mengawasi Air, tapi ia tidak pernah menerima laporan yang membuatnya harus khawatir sampai hari dimana Air bertanya tentang Seila padanya."Dan seperti yang kau katakan. Kenapa kau tidak melakukan apa-apa untuknya kalau kau tahu semuanya. Dimana kau dan keluargamu yang ku fikir kalian mampu melakukan sesuatu di malam itu. Bukan justru pergi
"Ya, aku benar-benar tidak mengenalmu!Kenapa kau melakukan ini pada orang yang tidak kau kenal!" ucap Bara, tidak sedikitpun terlihat ketakutan ataupun resah. Malah dia berusaha untuk melepaskan cekalan pria yang mengapitnya disebelah. "Tutup saja mulutmu dan ikut kami, kau akan tahu saat kita tiba nanti!" kata pria berkaca mata hitam itu. Bara memang tidak mengenalnya, sekeras apapun ia mengingat seseorang itu. "Katakan apa yang terjadi, kalau memang masuk akal. Aku akan ikut tanpa banyak lagi bertanya!" tegas Bara berhasil melepaskan cekalan pria tinggi dan mendorongnya hingga punggungnya membentur belakang jok mobil. "Sudah kubilang kau akan tahu nanti! Jangan bertindak seolah kau tidak memiliki masalah dengan siapapun. Nanti kau menyesal!"Dahi Bara mengkerut, mencoba menelaah apa yang pria itu katakan dan juga apa terjadi padanya saat ini, dia memang tidak punya musuh. Siapapun dan juga dimanapun terkecuali hari dimana ia menolong Air. Kejadian itu nyatanya menjadi masalah di
"Maksudnya? Om ingin kita bercerai. Begitu?"Tampak jelas keterkejutan diwajahnya, bagaimana tidak. Baru beberapa hari yang lalu hubungan keduanya membaik, mulus bagai jalan tol setelah ciuman malam itu hingga beberapa hari berlalu. Tapi sekarang, Bara mengatakan hal yang tidak terduga setelah kembali bertemu Seila. "Apa yang Om rencanakan? Om sengaja bikin kayak gini. Om mau manfaatin aku?" seru Air dengan tatapan nanar. "Tidak. Aku...!" Bara tampak bingung, wajahnya terlihat lesu dengan luka memar di sebagian titik. "Apa... Jelasin semuanya sama aku, jangan pernah bilang ini bukan urusan aku hanya karena aku masih kecil!" Air mulai kesal sendiri sebab Bara tidak menanggapinya dengan cepat.Bara menghela nafas, pria itu sibuk menatap jalanan karena tidak kuasa melihat kesedihan Air. Dikepalanya kini banyak penjelasan yang ingin dia ungkapkan pada istrinya itu, tapi dirinya saja tengah dilanda bimbang dan tidak tahu harus mengatakan apa padanya. "Cepet jelasin!""Aku harus menikah
Hubungan keduanya semakin dekat saja, walaupun Air ingin sekali menemui Seila untuk tahu apa yang terjadi di antara mereka, apa Bar benar benar menerima keputusan Seila yang meminta putus dengannya seperti yang terakhir dia dengar, atau hubungan keduanya juga rumit seperti hubungannya diawal-awal.Bara tetap tidak mengatakan apa-apa, saat ditanyapun dia hanya akan menjawab kalau itu bukan urusan anak kecil sepertinya. Dan kesempatan tiba-tiba datang saat Air melihat Seila di sekolah. "Bara, kita harus bicara!""Ya, tapi tidak disini. Seila, pulanglah. Kita bertemu setelah pekerjaanku selesai," Bara meninggalkan Seila begitu saja diruangan guru sementara dia hendak mengajar. "Bara! Kalau kau nekat pergi. Aku gak akan segan-segan untuk...."Bara menoleh ke arah belakang dimana Seila berteriak. Lagi dan lagi, ancaman Seila membuat nya berfikir dua kali dalam melangkah. Bara menghela nafas, dia kembali berjalan masuk ke arah ruangan guru. "Berhenti mengancamku Seila, aku ini manusia da