"Pak Aldo?? Maksudnya apa?" tanya Santi."Nanti kamu akan tahu sendiri apa jawabannya.""Iihhhh, Pak Aldo ini bisa banget bikin penasaran!""Kalau aku malah nggak penasaran sama sekali. Udah pasti sesuai sama tebakanku tadi," kata perawat tersebut."Apa, sih?" kata Santi malu-malu.Aldo tak menyangka Santi masih bisa berpikir bahwa Bima hanya penasaran dengannya saja. Tapi sebagai orang yang tidak begitu mengenalnya, memang lebih baik berpikir begitu daripada berlebihan karena hanya akan menimbulkan sakit hati. Bima tak pernah sekalipun memakai hatinya pada seorang wanita.Dan untuk kali ini, dia yakin kalau Bima telah menjatuhkan pilihan hatinya pada sekretaris polosnya itu. Yang dia tidak tahu adalah apakah perasaan Bima itu akan bertahan lama, atau malah menjadi semakin mengikat hingga akhir nanti."Ini buburnya udah siap, mau dimakan kapan?" tanya perawat yang bernama Elly itu."Taruh situ aja, Mbak. Aku akan segera makan," jawab Santi."Baiklah, aku siapkan obatnya di sini ya, di
"Pilihanmu benar-benar bagus. Dia barang baru disini dan dijamin masih ori!!" kata Mak Oyo."Baguslah." kata Aldo tersenyum puas.Tapi berbeda dengan Bima yang justru tampak berpikir dua kali untuk melakukannya. Dia malah teringat dengan Santi yang pasti sedang menunggunya."Kamu kenapa malah diem aja? Bukankah kamu bilang ingin senang-senang dan membuktikan bahwa dia masih normal?" tanya Aldo seraya menunjuk pada arah junior Bima.Dengan langkah malas, akhirnya Bima menuju ke kamar yang sudah disediakan, dengan diikuti oleh gadis pilihannya. Suasana kamar yang dibuat sedemikian rupa, membuat Bima membayangkan bahwa itu adalah malam pertama sepasang pengantin yang saling mencintai.Sedangkan dirinya saat ini, seperti sedang menyerahkan diri pada seseorang yang bahkan dia tidak mengenalnya."Sial! Sejak kapan aku jadi berpikir yang tidak-tidak seperti ini! Bukankah selama ini aku biasa saja melakukan rutinitas itu?" gumam Bima sambil melihat-lihat kamar yang cukup luas tersebut."Ma-ma
Bima sampai dibuat terkejut dengan suara teriakan Santi. Dengan segera dia menghentikan aksinya dan melihat gadis itu tengah menangis sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.“San, kamu kenapa?” tanyanya khawatir.“Jangan!! Aku nggak mau!!”“Santii!! Heiii, lihat aku, San!! Ini aku!!” kata Bima berusaha membuka tangan gadis itu yang menutup wajahnya dengan rapat.Gadis itu hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan terisak. Dan hal itu membuat Bima teringat akan satu hal. Dia merutuki kebodohannya sendiri yang main seruduk pada Santi.“Apa laki-laki itu melakukan seperti itu?” tanya Bima lirih. Dia tetap berhati-hati saat berbicara.Gadis itu tetap tak mau bicara dan masih saja terisak. Akhirnya Bima pasrah dan menutupi tubuhnya dengan selimut.Bima berbaring di samping Santi dan membelai rambutnya perlahan. Setelah beberapa saat, suara isakan tangis gadis itu sudah tidak terdengar. Kedua tangannya pun sudah longgar dan itu digunakan oleh Bima untuk membuka wajah Santi yang sudah
Gadis itu langsung terdiam begitu merasakan sebuah sensasi hangat di ujung benda padat miliknya. Perlahan suara rengekannya tadi berubah menjadi desahan halus yang membuat laki-laki semakin bersemangat mengulum milik Santi.Satu tangannya tak pernah berhenti memilin bagian yang lain sehingga Dinda merasa sangat nikmat."Paakkkk … kalau yang melakukannya bapak, rasanya aku rela memberikan semuanya!!" Bima menghentikan aksinya dan menatap wajah gadis itu yang memerah karena merasakan nikmat."Apa maksudmu?""Untukmu aku rela memberikan apapun!""Termasuk ini?" tanya Bima seraya memasukkan jarinya di sela kain tipis yang ada di bawah sana."Yaaahhhh …." Santi mendongakkan kepalanya keatas menikmati gerakan lembut di bagian inti miliknya. Nafasnya mulai tersengal ketika ciuman Bima semakin turun.Perutnya yang rata itu terlihat kembang kempis saat Bima menjulurkan lidah di pusarnya. Dan dengan gerakan memutar, Bima memainkan lidahnya menuruni pusar tersebut.Tangannya digunakan untuk mem
“Kalau nggak mau aku macam-macam, bapak bilang dong! Kenapa itunya bapak udah keluar!!”“Shitttt!!!” umpat Bima makin kesal.“Ahhhh!! Jangan-jangan selama aku tidur tadi bapak udah berhasil memasukkannya, ya? Tapi kok nggak sakit? Bukannya kata orang-orang, punya si cewek bakal sakit saat segelnya dibuka?”“Segel segel. Tau apa kamu soal segel, hah?”“Pak ahhh hey ya Pak Bima! Gini-gini aku juga tau apa itu segel! Contohnya kayak aku gini kan masih segel, belum pernah disentuh sama laki-laki bagian itunya,” sahut Santi menjawab dengan polos.“Itunya apa?”“Ini!!” Jawab Santi sambil menunjuk miliknya yang tak tertutup apapun itu.Bima menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia berharap bisa pergi dari kamar terkutuk itu saat ini juga. Kalau saja dia tidak kelelahan setelah bekerja sendirian tadi, mungkin saja dia sudah membalikkan keadaan dan mengungkung gadis itu di bawahnya.“San!! Turun kamu! Aku mau tidur!” kata Bima.“Tapi jawab dulu, Pak! Aku kan penasaran!”“Apa untungnya aku kas
“Hmp!!” Santi tak bisa berkata apa-apa karena mendapatkan serangan mendadak dari Bima.Tangannya pun tak mampu mendorong tubuh si bos karena digenggam erat di depan dadanya. Satu-satunya hal yang bisa dilakukannya hanyalah menyambut ciuman Bima tanpa melakukan perlawanan apapun.Gadis itu mulai bisa mengimbangi ciuman bosnya yang begitu liar. Lidahnya menjulur dan membalas apa yang dilakukan oleh bosnya. Namun, kali ini Bima berbeda.Jika biasanya dia akan membiarkan gadis itu membalas sesuka hatinya, kali ini Bima menjadi lebih dominan. Dia tidak mengizinkan Santi bergerak sesukanya. Kedua tangannya kini dicekal di atas kepalanya dengan satu tangan dan tangan yang lain langsung membuka kancing semi jas yang dipakai gadis itu.Tangannya langsung masuk ke balik kaos putih polos yang dipakai oleh Santi. Diremasnya benda kenyal yang masih tertutup bra itu. Ciumannya beralih ke leher jenjang Santi yang terekspos luas karena gaya rambutnya yang dicepol ke atas.“Pak!” suara Santi sedikit t
"Kamu udah siap?" Bima menurunkan kain segitiga itu ke bawah melewati kaki Santi."Uhm," jawab Santi sambil mendongakkan kepalanya karena Bima malah membenamkan kepalanya di bagian sensitifnya.Kedua tangannya mencari bongkahan kenyal yang ada di atas dan meremasnya perlahan. Sesekali diputarnya dengan lembut sambil memilin ujungnya."Ahhh!!" Santi mengatupkan kakinya ketika merasakan lidah Bima yang menusuk-nusuk di gua kecil miliknya. Bima tidak keberatan ketika kepalanya harus dijepit oleh kaki Santi."Milikmu rasanya nikmat! Sepertinya aku akan sangat merindukannya jika terlalu lama tidak mencicipinya!" Bima semakin gencar menusuk-nusuk bagian goa kecil yang bersih dengan bulu itu.Santi memang memiliki sebuah keunikan pada tubuhnya. Jika banyak wanita yang mengeluh karena bulu rambutnya yang lebat entah itu pada bagian ketiak atau kepribadiannya, berbeda dengan Santi. Sejak masih remaja, dia memang terbebas dari bulu-bulu tersebut.Santi hanya memiliki bulu halus yang nyaris tida
Bima meminta Aldo dan juga Santi untuk keluar dari ruangannya. Pikirannya benar-benar terasa sangat kacau sekarang. Berkali-kali dia sudah dipenuhi oleh hasrat kuat untuk memiliki Santi seutuhnya, tapi selalu saja gagal.Sekarang malah ada orang lain yang mengincar Santi untuk dijadikan wanitanya. Mana mungkin Bima merelakan gadis polos itu begitu saja. Susah payah dia memastikan hatinya akan berlabuh pada siapa, dan kini setelah dia yakin malah ada orang yang hendak bersaing dengannya.“Aku nggak akan berikan celah sedikitpun pada Rizwan si penjahat kelamin itu. Santi hanya akan menjadi milikku!” tekad Bima.Baru beberapa saat sendiri memikirkan apa yang harus dia lakukan, Santi kembali masuk ke ruangannya dengan wajah polosnya. Bima sudah berniat untuk menyuruhnya keluar, tapi Santi lebih dulu mengutarakan tujuannya.“Pak, aku udah pikirkan semuanya baik-baik. Soal proyek kerja sama dengan PT ION itu.”“Sudah ku bilang kalau aku nggak akan izinkan kamu pergi, San.”“Kenapa Pak Bima
Santi memijit pelipisnya saking kesalnya dengan tingkah dua lelaki hebat di sampingnya. Ada rasa senang tapi juga sedih, karena kebebasannya terenggut secara tidak masuk akal.***Bulan demi bulan terlewati dengan berbagai macam aturan yang diberikan oleh Adam dan juga Bima. Namun ketika kehamilan Santi sudah memasuki bulan ketujuh, Santi mulai mengutarakan keresahan dalam hatinya."Pa, Mas … Aku ingin pergi ke mall untuk membeli keperluan bayi ini, ya. Udah lama aku nggak jalan-jalan keluar," pinta Santi di sela sarapan pagi mereka."Emangnya kamu mau beli apa? Biar aku aja yang beli kamu tinggal sebutin aja mau apa," jawab Bima."Iya, bener!" timpal Adam. Santi memasang wajah memelas sambil mengelus perut buncitnya. "Kalau nanti kamu lahirnya ileran, salahin aja Opa dan juga papa kamu ya, Nak!"Adam dan Bima langsung bergidik ngeri. Mereka tak menyangka Santi akan berkata demikian. Biasanya Santi akan menurut saja pada apa yang dikatakan oleh mereka."Kamu jangan kayak gitu dong, S
"Kamu kenapa sih, Sayang?" keluh Bima.Santi malah sibuk menutup hidungnya dengan selimut dan mengibaskan tangannya agar Bima menjauh darinya. Mencium aroma sabun di tubuh Bima membuat Santi merasa mual."Jangan deket-deket, Mas! Aku nggak suka bau sabunnya!" kata Santi."Bukannya ini bau sabun favorit kamu, ya? Kenapa mendadak jadi nggak suka?" tanya Bima.Santi ingin menjawab tapi perutnya seperti diaduk-aduk. Dia bergegas menuju ke kamar mandi berusaha mengeluarkan isi perutnya namun tak ada yang keluar sama sekali.Matanya sampai berair karena mencoba memuntahkan isi perutnya. Kepalanya terasa sedikit berat dan matanya berkunang-kunang."Kamu ikut aku sekarang!" kata Bima seraya menarik tangan Santi keluar dari kamar mandi."Mau kemana, Mas? Aku belum mandi!" Santi mencoba menolak namun tenaga Bima tentu saja lebih kuat."Udah, ikut aja!" seru Bima. Dia memberikan syal pada istrinya untuk menutup hidungnya agar tak mencium aroma sabun di tubuhnya.Adam yang baru saja selesai lari
"Kenapa gitu, San? Bentar lagi juga mateng kok!" kata Bima masih sambil mengaduk telur dalam wajan.Santi menghela nafas panjang sambil menyalakan kompor. "Mau sampai besok pagi juga nggak bakal mateng kalau kompornya belum dinyalain, Mas!" Bima garuk-garuk kepala sambil cengar cengir tak jelas. Dia mengalihkan pandangannya ke dalam wajan dan bertanya pada San, "Apa caraku memasak juga salah?""Nggak kok, Mas. Cuma mungkin ada cara yang lebih bagus lagi dari pada buang-buang minyak goreng," kata Santi seraya mengambil alih alat masak yang dipegang oleh Bima."Biar aku aja, Santi. Kamu kan lagi sakit juga," kata Bima."Nggak usah, biar aku aja. Kamu sama papa tunggu aja sambil nonton televisi," ucap Santi sambil mengurangi minyak goreng di wajan.Adam menarik Bima agar segera menjauh dari sana. Bagaimanapun juga memang lebih baik jika Bima menjauh dari dapur sebelum meledakkan dapur di rumah itu.Keduanya pun menuju ke ruang tengah sambil menonton televisi. Sesekali mereka bercengkrama
"Ada apa dengannya?" tanya Adam tak kalah panik."Aku juga nggak tahu, Pa. Tadi dia masih baik-baik aja!" ujar Bima sambil menggendong tubuh istrinya masuk ke kamarnya."Kamu juga, sih! Kenapa kurang memperhatikan kondisi istrimu! Dia pasti kelelahan karena belakangan ini selalu sibuk mengurus kita berdua!" cecar Adam sambil berjalan mengikuti anaknya di belakang."Papa nggak usah bawel, deh! Mendingan sekarang bantuin aku buat nelpon dokter agar segera kesini buat memeriksa kondisi istriku!" kata Bima.Beberapa kali mendapati Santi dalam kondisi yang buruk membuat Bima merasa benar-benar gagal menjadi suami yang baik. Apalagi Santi juga yang berapa kali malah melindunginya dari serangan musuh.Dalam hati Bima merutuki kebodohannya yang tidak bisa menjaga istrinya dengan baik. Kalau boleh memilih tentu saja Bima tidak ingin berada di posisi seperti kemarin.Bima pun ingin mempunyai keluarga yang harmonis dan bahagia seperti orang kebanyakan. Bukan malah penuh dengan darah dan juga den
"Sepertinya aku kedatangan tamu istimewa! Selamat datang!" Ucap Rizwan berusaha tetap tenang. Dia tak mau terlibat gugup di depan semuanya."Aku nggak mau basa-basi di sini. Yang aku tahu kamu udah menyuruh orang untuk melenyapkan Septa!" kata Santi."Hahahaha … sayang! Bukankah kamu sudah menyetujui permintaan Papa untuk menikah denganku? Kenapa sekarang kamu malah menuduhku melakukan hal itu?" tanya Rizwan. "Lagi pula kalau bukan karena Septa berkhianat, pasti papa aku juga nggak akan pergi meninggalkanku sendiri!" imbuh Rizwan."Aku tahu kamu sedih kehilangan papamu, tapi percayalah itu sudah kemauannya. Dia sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya," kata Santi mencoba berdamai dengan Rizwan."Sayangnya aku nggak bisa percaya begitu saja," Rizwan berjalan mendekat secara perlahan.Santi tetap waspada dengan segala gerak gerik Rizwan. Dia melihat ada senjata di saku samping Rizwan dan bisa diperkirakan itu adalah pistol."Kami mempunyai rekaman CCTV yang membuktikan bahwa p
"Apa sudah ada informasi siapa dalang dibalik semua ini?" tanya Bima."Semuanya tersusun rapi seperti sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Bahkan mereka tahu seluk-beluk perusahaan ini sampai bisa melumpuhkan Septa begitu saja." Aldo merasa dirinya sudah gagal."Pasti ada kerjasama dengan orang dalam. Kamu pastikan untuk mencari Siapa yang terlibat dengan semua ini!" kata Bima kemudian.Aldo mengangguk setuju. Dia pun mengirim pesan pada orang kepercayaannya untuk mencari tahu siapa yang berani berkhianat pada Bima."Sekarang kita ikuti kemana perginya mereka," kata Bima.Dalam mobil Bima sudah terpasang GPS sehingga bisa melacak keberadaan istrinya. Namun, Bima punya pikiran lain. Lawannya bukan orang yang sembarang bergerak. Terbukti dia menyusun rencana tersebut dengan rapi.Orang itu tidak mungkin dengan sengaja membawa mobil pribadi miliknya untuk menculik Santi pergi jika tanpa satu alasan. Orang itu pasti mempunyai rencana tersendiri untuk menjebaknya."Siapkan orang-orang
Mona tercengang mendengar pernyataan Santi. Dia sampai menganga tak percaya dan menatap Santi lekat."Kamu jangan bercanda, San. Bukannya kalian ini kerabat jauh?" Mona tak langsung percaya dan menepis tangan Santi."Itu hanya formalitas saja karena kemarin Mas Bima masih sangat takut aku kenapa-napa, dan sekarang kami nggak akan menutupi hubungan kami lagi," terang Santi dengan senyum manisnya."Ini nggak bener kan, Bim?" tanya Mona masih tak bisa percaya."Sepertinya kamu butuh pembersih telinga, Mona …" ucap Bima santai. Bima berdiri dan menghampiri istrinya. Dirangkulnya bahu Santi agar tubuh mereka menempel."Aku yang bersalah kemarin karena tak berani mengakui Santi sebagai istriku. Aku takut dia disakiti oleh orang lain, tapi sekarang aku sadar kalau ternyata dia tak selemah itu," imbuh Bima.Mata Mona berkaca-kaca ketika keduanya menunjukkan cincin pernikahan yang melingkar di jari masing-masing. Dia segera berjalan keluar dengan air mata yang sudah terlanjur menetes di pipin
Septa melajukan mobilnya dengan kecepatan stabil agar tidak mendapat teguran dari Bima. Dia sangat hafal dengan sikap Bima yang tidak mau diganggu ketika sedang bersama Santi, terutama untuk hal itu.Setelah beberapa menit, akhirnya mereka sampai di perusahaan dimana sebagian karyawan sudah mulai bekerja. Septa hanya mengetuk kaca mobil beberapa kali dan menunggu di tempat agak jauh, membiarkan atasannya yang sepertinya belum selesai dengan urusannya itu.Tak lama kemudian Santi turun lebih dulu dengan mulut komat kamit meluapkan kekesalannya. Rambutnya sedikit berantakan dan jangan lupakan bajunya yang tampak kusut."Nanti tolong ambilkan baju ganti di apartemen Mas Bima ya," kata Santi pada Septa."Baik!" jawab Septa singkat."San! Tunggu!" Bima bergegas menyusul Santi yang sudah masuk lebih dulu meninggalkannya.Namun begitu masuk ke area kantor, Bima langsung mengerem langkah kakinya. Bagaimanapun juga dia harus menjaga image sebagai seorang CEO di perusahaannya.Beberapa karyawan
"Dimana para penjaga di luar?" tanya Adam sambil turun dari ranjang dan bersembunyi di balik lemari agar tidak terkena lemparan batu.Tak berselang lama kemudian muncullah beberapa orang yang ingin mengecek kondisi atasan mereka."Maafkan kami! Tiba-tiba saja kami diserang secara beruntun dan tidak memperhatikan secara keseluruhan!" ucap salah satu dari mereka."Apa situasi di luar sudah terkendali?" tanya Bima."Sudah, Pak. Kebetulan Pak Aldo yang langsung turun tangan tadi," katanya lagi."Suruh Aldo kesini!" kata Adam.Orang itu mengangguk dan segera keluar untuk menjalankan perintah tersebut. Dia langsung menyampaikan pesan dari Ada pada Aldo.“Ada apa, Om?” tanya Aldo begitu sampai di ruangan Adam dan Bima dirawat.“Siapa mereka?” tanya Adam.“Masih belum bisa dipastikan siapa pelakunya, Om. Tapi besar kemungkinan itu adalah orangnya Rizwan,” kata Aldo.“Lalu gimana dengan Baron?” tanya Adam lagi.Aldo tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya. Dia enggan menjawab pertanyaan