"Pak! Jangan macam-macam! Atasanku sedang mengawasi dari jarak jauh. Kalau mau aman, lebih baik biarkan aku pergi saja." Santi mencoba bernegosiasi dengan Rizwan.Tangan Rizwan yang meraba kulitnya terasa sangat berbeda ketika Bima yang melakukannya. Rizwan menyentuhnya dengan sangat lembut, sedangkan Bima terkadang kasar."Kamu menikmatinya bukan?" Rizwan berbisik di dekat telinga Santi. Satu tangannya yang digunakan untuk memeluk pinggang Santi mulai merayap naik dan meremas kembali benda padat yang menempel di dadanya.Gadis itu diam bukan merasakan nikmat, tapi dia lebih ke penasaran kenapa sentuhan Rizwan yang lembut tidak membuatnya merasa nyaman, tapi malah jijik.Dengan cepat, diinjaknya kaki Rizwan begitu sadar bahwa tak seharusnya dia pasrah begitu. Kalau sampai Bima tau dia diam diperlakukan begitu hanya karena penasaran apa yang akan dirasakannya selanjutnya, bisa-bisa gajinya dipotong bulan depan.Masih mending hanya dipotong, kalau sampai di pecat? Santi tak berani memba
Bima terkesiap menerima ciuman Santi. Tubuh Santi yang hanya tinggal memakai kain segitiga itu terlihat sangat menggoda."Aku nggak mau kamu ambil resiko semacam ini lagi. Hanya aku yang boleh menyentuh tubuhmu, mengerti?" Bima menatap lekat Santi."Aku tahu, Pak!" Santi beringsut menjauh dan masuk ke dalam bathup untuk berendam sesuai perintah Bima.Bima tersenyum karena Santi sudah menjadi gadis yang baik dan penurut. Dia segera keluar dari kamar mandi dan membiarkan Santi menghilangkan virus Rizwan dari tubuhnya.Bima sendiri hanya berdiri diam di depan jendela kamar sambil menunggu Santi selesai. Pikirannya tertuju pada sebuah rencana, menikah. Hal gila dan tidak masuk akal yang sedang Bima pikirkan sekarang."Hah? Sepertinya aku harus periksa ke dokter agar nggak masuk ke rumah sakit jiwa!! Otakku sepertinya bermasalah!" Bima menutup matanya dengan satu telapak tangan."Bapak mikirin apa?" Suara Santi mengagetkan lamunan Bima."Sudah kamu pastikan virus si brengsek itu hilang bel
Santi memijat pelan senjata Bima dengan satu tangannya. Sementara yang lain dipakai untuk memporak porandakan telur yang kenyal dan menggoda.“Jangan permainkan aku, Sann!” Nafas Bima makin tak beraturan saat lidah Santi bermain di lubang kecil yang telah mengeluarkan pelumas senjatanya tersebut. Bima mengerang ketika merasakan sesuatu yang akan meledak dari tubuhnya.Mendapatkan sesuatu yang terasa asin masuk ke dalam mulutnya membuat Santi tersenyum puas. Dia membantu Bima untuk menuntaskan apa yang ingin dikeluarkannya.“Banyak banget, Pak!” gadis itu mengambil tisu untuk mengelap tangannya yang lengket terkena semburan Bima.“Kamu ini benar-benar bukan gadis polos lagi!” gumam Bima sambil mengatur nafasnya. Bima masih merasakan engap saat Santi memposisikan dirinya di atasnya. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu saat ini.Dia mencoba memasukkan senjata Bima ke dalam miliknya. Beberapa kali mencoba tapi tetap saja gagal. Santi sampai dibuat kesal karenanya.“Kok punya bapak ud
"Perlu aku antar keluar?" Seorang lelaki bertubuh tegap dengan baju serba hitam datang."Kamu?" Heni memeluk kedua lengannya sambil diusap-usap. Bulu kuduknya merinding merasakan aura gelap orang itu."Aku rasa Anda tau bahasa manusia!" Bima langsung menghampiri Heni saat mendengar suara orang lain dari dalam ruangannya.Dengan segera Heni pergi dari sana karena sadar tempatnya bukan di sana. Rasa kesal terasa memuncak karena tidak mendapatkan apa yang dia mau.Rizwan mengalami kecelakaan mobil sepulang dari menandatangani kesepakatan dengan Bima. Heni yakin betul bahwa kecelakaan Rizwan sudah ada yang mengaturnya.Siapa lagi kalau bukan Bima? Tapi sayangnya Heni tidak punya bukti bahwa Bima adalah seseorang yang mampu melakukan hal itu. Namanya di dunia bisnis begitu bersih, yang dikenal orang hanyalah kemampuannya yang hebat. Tentu saja kebiasaan buruknya bermain wanita dianggap hal wajar karena laki-laki yang di atas angin memang pada dasarnya tidak cukup dengan satu wanita."Kamu
"Kenapa wajah kalian tampak tegang gitu, sih?" tanya Bima heran."Mana ada!!" Santi langsung mengelak."Kelihatan, San!" sahut Aldo yang sedari tadi diam. Santi dan orang tuanya saling berpandangan kemudian tersenyum tipis."Coba kamu katakan yang ada di pikiran kamu lagi, San. Siapa tau akan jadi kenyataan kayak tadi," kata Bima.Santi memandang bapak ibunya lagi sambil menelan saliva bersusah payah. Mana mungkin dia mengatakan apa yang dia takutkan? Lebih baik Bima ambil nyawanya saja dari pada harus menanggung hutang begitu banyak. Dan lagi keluarganya pasti memilih hal sama."Aku pikir bapak bakal jadikan aku simpanan!" Akhirnya Santi menjawab asal, yang penting tidak terlalu beresiko.Setidaknya akan lebih mudah menjadi simpanan daripada menanggung hutang. Namun rupanya hal tersebut malah membuat Bima berbalik tegang."Dasar gadis bodoh. Bisa-bisanya mengatakan hal tersebut di depan orang tuanya? Apa dia nggak mikirin kehormatanku di mata keluarganya?" Bima mengumpat dalam hati.
"Kamu kenapa malah mandi lebih dulu? Bukannya tadi bilang siapin air hangat buatku?” Bima memeluk gadisnya dengan tangan yang bergerak liar kesana kemari."Aku pikir dari pada cuma diem aja nungguin, jadi ahhhh … aku putusin emhhhh …" gadis itu meracau tak karuan karena bosnya memilin ujung benda kenyalnya yang terkena busa shampoo."Milikmu ini benar-benar menggodaku," Bima menarik Santi agak ke belakang agar busa di rambutnya bersih oleh guyuran air shower.Begitu bersih dari busa, Bima mengajak Santi masuk ke dalam bathtub. Masih dari posisi belakang, Bima memeluk gadisnya sambil mencium leher belakangnya."Pak, apa nggak dilepas dulu celananya?""Nggak. Aku mau nunggu kita resmi jadi suami istri aja dulu. Setelah dipikir-pikir, kita punya banyak kesempatan untuk melakukannya tapi selalu gagal. Mungkin aku harus meresmikan status kita dulu," Bima memainkan lidahnya menjelajahi leher dan telinga Santi bagian belakang."Padahal aku nggak keberatan kasih semuanya termasuk keperawanan
"Kamu pikir itu baju apa kalau bukan baju pengantin?" Bima sedikit kesal karena Santi masih saja bertanya padahal sudah jelas ada di depan matanya."Aku benar-benar masih merasa seperti mimpi. Tapi kalau memang ini mimpi, jangan bangunin aku ya, Pak! Kalau mau bangunin nanti aja sekalian pas aku udah mau mati.”"Hussshhh!! Kamu ini ngomong apa sih?! Siapa yang bakal mati? Kamu bahkan belum menjadi ratu di hidupku. Itu artinya kamu belum boleh mati, paham?" Bima menatap tajam ke arah Santi yang kini malah berkaca-kaca."Pak … emangnya Bapak nggak bisa apa, merayu wanita dengan bahasa yang bagus? Aku sampai bingung mau terharu atau kesal mendengar ucapan Bapak tadi," keluh Santi malah merengek seperti anak kecamatan.Bima menggaruk-garuk kepalanya, bingung. Dia sama sekali tidak berpikir bahwa sedang merayu gadisnya."Siapa yang merayu? Aku hanya mengatakan apa yang ada di pikiranku, bukan merayu kamu Lagian buat apa aku merayu kamu yang jelas-jelas akan menjadi istriku nanti?""Bukann
Selly sudah bersiap menerima hukuman yang menurutnya tidak akan sulit karena Santi yang membuat. Tapi, ternyata dugaannya salah besar. Hukuman dari Santi ternyata sangat menyiksa dan mempermalukannya."Aku mau dia menampar pipinya sendiri di depan butik selama sepuluh menit sambil mengatakan maaf!!""Apa kamu nggak keterlaluan kalau kayak gitu?" Selly mengajukan protes, namun langsung mendapatkan tatapan tajam dari Bima."Kamu cukup diam dan lakukan apa yang dia suruh. Atau kamu mau aku tambahin hukumannya?" Bima tersenyum sinis pada Selly."Maaf. Aku akan segera lakukan apa yang disuruh." Selly menundukkan kepalanya dan berjalan keluar butik untuk mengerjakan hukumannya."Mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Kami sungguh sangat menyesal atas kejadian ini." Irma membungkukkan badannya sebagai permintaan maaf."Sudahlah, lupakan saja. Aku sudah kehilangan selera untuk membeli gaun di sini. Ayo, San." Bima menggandeng tangan Santi dan berjalan keluar diikuti oleh Irma. Tampak wajah kesal