"Kenapa wajah kalian tampak tegang gitu, sih?" tanya Bima heran."Mana ada!!" Santi langsung mengelak."Kelihatan, San!" sahut Aldo yang sedari tadi diam. Santi dan orang tuanya saling berpandangan kemudian tersenyum tipis."Coba kamu katakan yang ada di pikiran kamu lagi, San. Siapa tau akan jadi kenyataan kayak tadi," kata Bima.Santi memandang bapak ibunya lagi sambil menelan saliva bersusah payah. Mana mungkin dia mengatakan apa yang dia takutkan? Lebih baik Bima ambil nyawanya saja dari pada harus menanggung hutang begitu banyak. Dan lagi keluarganya pasti memilih hal sama."Aku pikir bapak bakal jadikan aku simpanan!" Akhirnya Santi menjawab asal, yang penting tidak terlalu beresiko.Setidaknya akan lebih mudah menjadi simpanan daripada menanggung hutang. Namun rupanya hal tersebut malah membuat Bima berbalik tegang."Dasar gadis bodoh. Bisa-bisanya mengatakan hal tersebut di depan orang tuanya? Apa dia nggak mikirin kehormatanku di mata keluarganya?" Bima mengumpat dalam hati.
"Kamu kenapa malah mandi lebih dulu? Bukannya tadi bilang siapin air hangat buatku?” Bima memeluk gadisnya dengan tangan yang bergerak liar kesana kemari."Aku pikir dari pada cuma diem aja nungguin, jadi ahhhh … aku putusin emhhhh …" gadis itu meracau tak karuan karena bosnya memilin ujung benda kenyalnya yang terkena busa shampoo."Milikmu ini benar-benar menggodaku," Bima menarik Santi agak ke belakang agar busa di rambutnya bersih oleh guyuran air shower.Begitu bersih dari busa, Bima mengajak Santi masuk ke dalam bathtub. Masih dari posisi belakang, Bima memeluk gadisnya sambil mencium leher belakangnya."Pak, apa nggak dilepas dulu celananya?""Nggak. Aku mau nunggu kita resmi jadi suami istri aja dulu. Setelah dipikir-pikir, kita punya banyak kesempatan untuk melakukannya tapi selalu gagal. Mungkin aku harus meresmikan status kita dulu," Bima memainkan lidahnya menjelajahi leher dan telinga Santi bagian belakang."Padahal aku nggak keberatan kasih semuanya termasuk keperawanan
"Kamu pikir itu baju apa kalau bukan baju pengantin?" Bima sedikit kesal karena Santi masih saja bertanya padahal sudah jelas ada di depan matanya."Aku benar-benar masih merasa seperti mimpi. Tapi kalau memang ini mimpi, jangan bangunin aku ya, Pak! Kalau mau bangunin nanti aja sekalian pas aku udah mau mati.”"Hussshhh!! Kamu ini ngomong apa sih?! Siapa yang bakal mati? Kamu bahkan belum menjadi ratu di hidupku. Itu artinya kamu belum boleh mati, paham?" Bima menatap tajam ke arah Santi yang kini malah berkaca-kaca."Pak … emangnya Bapak nggak bisa apa, merayu wanita dengan bahasa yang bagus? Aku sampai bingung mau terharu atau kesal mendengar ucapan Bapak tadi," keluh Santi malah merengek seperti anak kecamatan.Bima menggaruk-garuk kepalanya, bingung. Dia sama sekali tidak berpikir bahwa sedang merayu gadisnya."Siapa yang merayu? Aku hanya mengatakan apa yang ada di pikiranku, bukan merayu kamu Lagian buat apa aku merayu kamu yang jelas-jelas akan menjadi istriku nanti?""Bukann
Selly sudah bersiap menerima hukuman yang menurutnya tidak akan sulit karena Santi yang membuat. Tapi, ternyata dugaannya salah besar. Hukuman dari Santi ternyata sangat menyiksa dan mempermalukannya."Aku mau dia menampar pipinya sendiri di depan butik selama sepuluh menit sambil mengatakan maaf!!""Apa kamu nggak keterlaluan kalau kayak gitu?" Selly mengajukan protes, namun langsung mendapatkan tatapan tajam dari Bima."Kamu cukup diam dan lakukan apa yang dia suruh. Atau kamu mau aku tambahin hukumannya?" Bima tersenyum sinis pada Selly."Maaf. Aku akan segera lakukan apa yang disuruh." Selly menundukkan kepalanya dan berjalan keluar butik untuk mengerjakan hukumannya."Mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Kami sungguh sangat menyesal atas kejadian ini." Irma membungkukkan badannya sebagai permintaan maaf."Sudahlah, lupakan saja. Aku sudah kehilangan selera untuk membeli gaun di sini. Ayo, San." Bima menggandeng tangan Santi dan berjalan keluar diikuti oleh Irma. Tampak wajah kesal
"Ada apa ini?" Adam yang datang belakangan ikut-ikutan panik."Santi nggak ada, Om! Tapi aku menemukan sebelah sepatunya berada di bawah kursi itu." Aldo menunjuk ke tempat di mana dia menemukan sepatu Santi.Bima segera menelpon bagian keamanan untuk mengecek apakah ada yang mencurigakan keluar masuk tempat tersebut. Aldo sendiri berusaha menelpon ponsel Santi namun nomornya tidak aktif."Apa mungkin dia ikut pulang keluarganya ke kampung?" Bima mencoba mengambil kemungkinan yang paling mudah dan tanpa resiko. Bayangan Santi disakiti oleh orang lain membuatnya lemas."Mana mungkin dia melakukan itu. Sepolos-polosnya Santi, dia tidak mungkin pergi tanpa pamit," Aldo menimpali perkataan Bima."Apakah bagian CCTV sudah kamu cek?" tanya Bima lagi.Aldo menghela nafas panjang karena menyesali keteledorannya yang melupakan hal tersebut. Pernikahan yang dilakukan di outdoor tersebut tidak dilengkapi dengan CCTV dan itu merupakan kesalahan Aldo."Maafkan aku karena melupakan memasang CCTV, B
Bima mendengus kesal karena Adam ikut masuk ke dalam mobilnya."Papa ngapain ikut naik mobil pengantin sih, aahhhhh!!!" Bima mengacak rambutnya kasar."Kamu ngapain sih marah-marah terus dari tadi? Papa kan hanya ingin mengantar kalian sampai rumah dengan selamat!" Adam tak mau kalah."Jalan, Pak!!" imbuhnya kemudian."Papa mau nginep di apartemen?" Santi bertanya tanpa tahu kalau pertanyaannya itu telah membongkar sebuah rahasia yang selama ini disembunyikan Bima.Adam yang duduk di kursi depan langsung menoleh dengan senyum khasnya. "Apa? Apartemen?" Bima yang merasa sedang ditatap oleh Adam pura-pura tidak tahu dengan melihat ke arah luar."Iya, apartemen Pak Bima yang ada di dekat kantor itu." Santi menyebutkan secara spesifik."Owhhh, deket kantor?" Adam menekankan kata dekat kantor sambil memperhatikan Bima yang mengusap wajahnya gusar."Santi Iiiiiiiii. Kamu ini bener-bener nggak bisa bicara seperlunya aja apa?" batin Bima berteriak dengan kepolosan istrinya yang ketulungan.Su
“Papa nggak lihat apa-apa, kok!” ucap Adam masih dengan wajah ditutup.Sebuah bantal melayang mengenai tubuh Adam, namun tak berarti apa-apa bagi lelaki paruh baya yang masih bugar itu. “Papa ngapain, sih? Makanya cari istri aja sana biar nggak gangguin aku sama Santi,” omel Bima.“Emangnya Papa gangguin kamu ya, San?” tanya Adam sambil menundukkan kepala, memasang wajah memelas.Santi yang sudah membenarkan gaunnya segera menghampiri Adam dan menarik tangannya agar masuk ke kamar. “Nggak kok, Pa. Sini duduk dulu, Papa mau apa emangnya kesini?” tanya Santi dengan senyum tulus.Adam melirik Bima yang semakin kesal melihat Santi. Adam membentuk dua jarinya seperti pistol dan mengarahkannya ke Bima. Kemudian digerakkan seolah menembakkannya ke arah dada Bima.Melihat papanya seperti itu, Bima menggenggam jari Adam dan melakukan hal sama. Adam menjatuhkan diri seolah benar-benar tertembak dan terluka parah.“Kalian ngapain, sih? Hahahahha …” tawa Santi memenuhi seisi kamar saking gelinya
“Santi, kamu tau maksudku bukan seperti itu!” Bima malah bingung sendiri bagaimana menjelaskan pada Santi.“Aku nggak ada bedanya sama mereka kan, Pak? Hanya sebagai seseorang yang membantumu menuntaskan keinginanmu saja!” Bima tergelak, bagaimana seorang Santi yang selama ini dikenal sebagai seorang yang polos bisa berpikir seperti itu?“Bagaimana bisa kamu punya pikiran seperti itu?” Bima duduk dan menarik Santi agar duduk pula. “Kita harus bicara serius.” Ditatapnya mata istrinya dengan lekat. Kedua tangannya menangkup wajah Santi yang sendu.“Aku tau selama ini sikapku memang urakan, judes dan mungkin asal bicara. Tapi tanpa kamu sadari, kamu udah merubah banyak hal dalam diriku. Tanpa kamu minta sekalipun, aku berhenti memanggil wanita bayaran dan seharusnya kamu tahu itu,” terang Bima.Santi sendiri memang mengetahui bahwa belakangan ini Bima tak pernah menerima tamu wanita lagi, bahkan keluar malam pun jarang kalau bukan karena urusan kerja. Tapi dia pikir itu memang karena sed