Bima mendengus kesal karena Adam ikut masuk ke dalam mobilnya."Papa ngapain ikut naik mobil pengantin sih, aahhhhh!!!" Bima mengacak rambutnya kasar."Kamu ngapain sih marah-marah terus dari tadi? Papa kan hanya ingin mengantar kalian sampai rumah dengan selamat!" Adam tak mau kalah."Jalan, Pak!!" imbuhnya kemudian."Papa mau nginep di apartemen?" Santi bertanya tanpa tahu kalau pertanyaannya itu telah membongkar sebuah rahasia yang selama ini disembunyikan Bima.Adam yang duduk di kursi depan langsung menoleh dengan senyum khasnya. "Apa? Apartemen?" Bima yang merasa sedang ditatap oleh Adam pura-pura tidak tahu dengan melihat ke arah luar."Iya, apartemen Pak Bima yang ada di dekat kantor itu." Santi menyebutkan secara spesifik."Owhhh, deket kantor?" Adam menekankan kata dekat kantor sambil memperhatikan Bima yang mengusap wajahnya gusar."Santi Iiiiiiiii. Kamu ini bener-bener nggak bisa bicara seperlunya aja apa?" batin Bima berteriak dengan kepolosan istrinya yang ketulungan.Su
“Papa nggak lihat apa-apa, kok!” ucap Adam masih dengan wajah ditutup.Sebuah bantal melayang mengenai tubuh Adam, namun tak berarti apa-apa bagi lelaki paruh baya yang masih bugar itu. “Papa ngapain, sih? Makanya cari istri aja sana biar nggak gangguin aku sama Santi,” omel Bima.“Emangnya Papa gangguin kamu ya, San?” tanya Adam sambil menundukkan kepala, memasang wajah memelas.Santi yang sudah membenarkan gaunnya segera menghampiri Adam dan menarik tangannya agar masuk ke kamar. “Nggak kok, Pa. Sini duduk dulu, Papa mau apa emangnya kesini?” tanya Santi dengan senyum tulus.Adam melirik Bima yang semakin kesal melihat Santi. Adam membentuk dua jarinya seperti pistol dan mengarahkannya ke Bima. Kemudian digerakkan seolah menembakkannya ke arah dada Bima.Melihat papanya seperti itu, Bima menggenggam jari Adam dan melakukan hal sama. Adam menjatuhkan diri seolah benar-benar tertembak dan terluka parah.“Kalian ngapain, sih? Hahahahha …” tawa Santi memenuhi seisi kamar saking gelinya
“Santi, kamu tau maksudku bukan seperti itu!” Bima malah bingung sendiri bagaimana menjelaskan pada Santi.“Aku nggak ada bedanya sama mereka kan, Pak? Hanya sebagai seseorang yang membantumu menuntaskan keinginanmu saja!” Bima tergelak, bagaimana seorang Santi yang selama ini dikenal sebagai seorang yang polos bisa berpikir seperti itu?“Bagaimana bisa kamu punya pikiran seperti itu?” Bima duduk dan menarik Santi agar duduk pula. “Kita harus bicara serius.” Ditatapnya mata istrinya dengan lekat. Kedua tangannya menangkup wajah Santi yang sendu.“Aku tau selama ini sikapku memang urakan, judes dan mungkin asal bicara. Tapi tanpa kamu sadari, kamu udah merubah banyak hal dalam diriku. Tanpa kamu minta sekalipun, aku berhenti memanggil wanita bayaran dan seharusnya kamu tahu itu,” terang Bima.Santi sendiri memang mengetahui bahwa belakangan ini Bima tak pernah menerima tamu wanita lagi, bahkan keluar malam pun jarang kalau bukan karena urusan kerja. Tapi dia pikir itu memang karena sed
Bima kembali tersenyum. Dia hanya diam sambil menatap istrinya lekat. Santi sudah hampir menyerah menanyakan apa yang ingin dia tahu karena suaminya tak juga menjawab. Wajahnya menunduk dengan lesu sampai sebuah sentuhan lembut membuatnya kembali menatap Bima."Aku juga akan selalu mencintaimu, Santi Kusuma Dewi," ucap Bima dalam satu tarikan nafas. Hening. Santi mengerjapkan kedua matanya berulang kali dengan bibir sedikit terbuka. Otaknya mendadak tidak bisa diajak berpikir."Apa harus seperti itu saat mendapatkan pengakuan cinta dariku? Berhenti mengedipkan matamu terus dan tutup bibirmu, San!" Bima kesal."Ulangi sekali lagi boleh?" Santi ingin memastikan kembali pendengarannya."Sudahlah, aku mau melanjutkan pekerjaanku dulu." Bima enggan mengulangi kalimat yang sejujurnya membuat dirinya merasa malu.Kadang dia merasa menyesal kenapa harus menjatuhkan hatinya pada seorang wanita seperti Santi. Namun di satu sisi, Bima merasa bahagia karena bisa mencintainya."Ini masih hari baha
"Emmm …" Santi menggigit bibirnya saat merasakan ada yang sobek di bagian tubuhnya.Perih dan juga panas menjadi satu di bawah sana. Santi bisa merasakan ada sebuah benda keras yang masuk ke dalam tubuhnya.Bima tak berani bergerak ketika melihat wajah istrinya yang tegang. Ekspresinya jelas sedang menahan sakit, meskipun dia sendiri juga merasa ujung senjatanya sedikit ngilu setelah berhasil menjebol pertahanan Santi."Apa itu sakit?" Bima mencium bibir Santi sekilas kemudian bermain di ceruk leher Santi sambil menunggu istrinya tersebut rileks."Ya, sedikit. Rasanya perih dan panas, tapi enak!" kata Santi sambil mengatur nafasnya. Bima bisa merasakan kaki Santi mulai rileks, dari yang awalnya menegang, kini sudah lemas lagi.Perlahan Bima mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur membuat Santi kembali menegang."Jangan hiraukan aku, Pak. Lakukan saja, aku nggak apa-apa!" Santi protes ketika Bima malah berhenti saat dirinya sedang menyesuaikan diri."Baiklah, aku akan pelan-pelan." B
"Kamu nggak usah takut, ada aku disini!" Bima yang menyadari ada sosok Rizwan di sana segera merangkul istrinya.Adam sendiri tak mengerti apa yang sedang dibicarakan anak dan menantunya itu. Dia hanya mengamati keduanya dalam diam.Namun Adam tak bodoh, dia bisa merasakan tatapan kebencian dari seorang lelaki yang hanya memiliki satu tangan itu."Ya udah kita pergi dari sini aja daripada bikin kamu nggak nyaman." Adam melihat wajah lesu Santi dan memilih mengajaknya pergi dari sana.Bima pun mengikuti saran Adam karena tak tega dengan istrinya. Dia ingat betul bagaimana dulu Santi pernah trauma akibat pemaksaan. Saat dengan Rizwan memang tidak sampai mengalami hal serupa, tapi demi antisipasi semua akan dilakukan oleh Bima."Siapa lelaki tua yang bersama mereka itu?" Rizwan bertanya pada Heni yang duduk dengannya."Aku juga kurang tahu siapa dia, Pak. Nanti akan aku cari tahu tentangnya," Heni mengamati sosok Adam yang berjalan bersama Santi dan Bima."Aku yakin kalau Bima ada di bal
"Jangan bertindak gegabah!" Adam melihat raut wajah Bima yang tampak sangat marah."Kenapa Papa baru bilang masalah ini sekarang?" Bima menatap Adam dengan lekat.Adam membenarkan posisi duduknya dan membuka ponsel miliknya. Dia menunjukkan sebuah foto pada Bima."Apa maksudnya ini?" Bima melihat foto seorang lelaki yang seumuran dengan Adam. Meskipun sudah tua, tapi wajah itu memang memiliki kemiripan identik dengan Rizwan, sehingga Bima bisa menyimpulkan bahwa itu adalah Hamdan, ayah dari Rizwan."Setelah mengetahui Sita bunuh diri akibat ulahnya, Hamdan mengalami gangguan mental. Dia berubah menjadi orang lain, kadang-kadang berteriak … memanggil nama Sita sambil menangis, kelakuannya sudah seperti orang gila. Itulah sebabnya dia dimasukkan ke rumah sakit jiwa." Adam menceritakan dengan serius tanpa kecuali. Masa lalu kelamnya."Rumah sakit jiwa?" Bima merasa ada yang aneh dengan hal tersebut."Lalu kenapa sekarang akhirnya Papa mau menceritakan hal ini?" tanya Bima lagi."Karena P
“Tentu saja bukan. Ada masalah yang sebaiknya kamu nggak perlu tahu, tapi percayalah bahwa aku akan memberikan yang terbaik untukmu,” Bima yang tak mau membebani hari istrinya.Santi menatap dalam ke mata Bima, “Kalau kamu udah bicara begitu, aku bisa apa, Pak?” Buma bisa menangkap kesedihan yang tersirat dalam wajah istrinya. Sebisa mungkin Bima mencari cara untuk bisa memenangkan hati Santi agar percaya padanya.“Santi, kamu perlu ingat satu hal. Dalam satu kali dua puluh empat jam, kemungkinan kita akan terus bersama, apa kamu masih mau meragukan aku?” tanya Bima.“Ya, benar juga. Aku masih akan menjadi sekretarismu dan tahu apa saja yang kamu lakukan. Jika macam-macam, aku mungkin hanya akan menangis di sudut ruangan,” Santi yang tadinya semangat mendadak ingat siapa dirinya. Dengan status yang disembunyikan mana mungkin Santi bisa bertindak sebagai layaknya istri? Dia malah lebih tepat jika disebut sebagai simpanan yang tak punya hak apapun.Bima menarik nafas panjang dan meraih
Santi memijit pelipisnya saking kesalnya dengan tingkah dua lelaki hebat di sampingnya. Ada rasa senang tapi juga sedih, karena kebebasannya terenggut secara tidak masuk akal.***Bulan demi bulan terlewati dengan berbagai macam aturan yang diberikan oleh Adam dan juga Bima. Namun ketika kehamilan Santi sudah memasuki bulan ketujuh, Santi mulai mengutarakan keresahan dalam hatinya."Pa, Mas … Aku ingin pergi ke mall untuk membeli keperluan bayi ini, ya. Udah lama aku nggak jalan-jalan keluar," pinta Santi di sela sarapan pagi mereka."Emangnya kamu mau beli apa? Biar aku aja yang beli kamu tinggal sebutin aja mau apa," jawab Bima."Iya, bener!" timpal Adam. Santi memasang wajah memelas sambil mengelus perut buncitnya. "Kalau nanti kamu lahirnya ileran, salahin aja Opa dan juga papa kamu ya, Nak!"Adam dan Bima langsung bergidik ngeri. Mereka tak menyangka Santi akan berkata demikian. Biasanya Santi akan menurut saja pada apa yang dikatakan oleh mereka."Kamu jangan kayak gitu dong, S
"Kamu kenapa sih, Sayang?" keluh Bima.Santi malah sibuk menutup hidungnya dengan selimut dan mengibaskan tangannya agar Bima menjauh darinya. Mencium aroma sabun di tubuh Bima membuat Santi merasa mual."Jangan deket-deket, Mas! Aku nggak suka bau sabunnya!" kata Santi."Bukannya ini bau sabun favorit kamu, ya? Kenapa mendadak jadi nggak suka?" tanya Bima.Santi ingin menjawab tapi perutnya seperti diaduk-aduk. Dia bergegas menuju ke kamar mandi berusaha mengeluarkan isi perutnya namun tak ada yang keluar sama sekali.Matanya sampai berair karena mencoba memuntahkan isi perutnya. Kepalanya terasa sedikit berat dan matanya berkunang-kunang."Kamu ikut aku sekarang!" kata Bima seraya menarik tangan Santi keluar dari kamar mandi."Mau kemana, Mas? Aku belum mandi!" Santi mencoba menolak namun tenaga Bima tentu saja lebih kuat."Udah, ikut aja!" seru Bima. Dia memberikan syal pada istrinya untuk menutup hidungnya agar tak mencium aroma sabun di tubuhnya.Adam yang baru saja selesai lari
"Kenapa gitu, San? Bentar lagi juga mateng kok!" kata Bima masih sambil mengaduk telur dalam wajan.Santi menghela nafas panjang sambil menyalakan kompor. "Mau sampai besok pagi juga nggak bakal mateng kalau kompornya belum dinyalain, Mas!" Bima garuk-garuk kepala sambil cengar cengir tak jelas. Dia mengalihkan pandangannya ke dalam wajan dan bertanya pada San, "Apa caraku memasak juga salah?""Nggak kok, Mas. Cuma mungkin ada cara yang lebih bagus lagi dari pada buang-buang minyak goreng," kata Santi seraya mengambil alih alat masak yang dipegang oleh Bima."Biar aku aja, Santi. Kamu kan lagi sakit juga," kata Bima."Nggak usah, biar aku aja. Kamu sama papa tunggu aja sambil nonton televisi," ucap Santi sambil mengurangi minyak goreng di wajan.Adam menarik Bima agar segera menjauh dari sana. Bagaimanapun juga memang lebih baik jika Bima menjauh dari dapur sebelum meledakkan dapur di rumah itu.Keduanya pun menuju ke ruang tengah sambil menonton televisi. Sesekali mereka bercengkrama
"Ada apa dengannya?" tanya Adam tak kalah panik."Aku juga nggak tahu, Pa. Tadi dia masih baik-baik aja!" ujar Bima sambil menggendong tubuh istrinya masuk ke kamarnya."Kamu juga, sih! Kenapa kurang memperhatikan kondisi istrimu! Dia pasti kelelahan karena belakangan ini selalu sibuk mengurus kita berdua!" cecar Adam sambil berjalan mengikuti anaknya di belakang."Papa nggak usah bawel, deh! Mendingan sekarang bantuin aku buat nelpon dokter agar segera kesini buat memeriksa kondisi istriku!" kata Bima.Beberapa kali mendapati Santi dalam kondisi yang buruk membuat Bima merasa benar-benar gagal menjadi suami yang baik. Apalagi Santi juga yang berapa kali malah melindunginya dari serangan musuh.Dalam hati Bima merutuki kebodohannya yang tidak bisa menjaga istrinya dengan baik. Kalau boleh memilih tentu saja Bima tidak ingin berada di posisi seperti kemarin.Bima pun ingin mempunyai keluarga yang harmonis dan bahagia seperti orang kebanyakan. Bukan malah penuh dengan darah dan juga den
"Sepertinya aku kedatangan tamu istimewa! Selamat datang!" Ucap Rizwan berusaha tetap tenang. Dia tak mau terlibat gugup di depan semuanya."Aku nggak mau basa-basi di sini. Yang aku tahu kamu udah menyuruh orang untuk melenyapkan Septa!" kata Santi."Hahahaha … sayang! Bukankah kamu sudah menyetujui permintaan Papa untuk menikah denganku? Kenapa sekarang kamu malah menuduhku melakukan hal itu?" tanya Rizwan. "Lagi pula kalau bukan karena Septa berkhianat, pasti papa aku juga nggak akan pergi meninggalkanku sendiri!" imbuh Rizwan."Aku tahu kamu sedih kehilangan papamu, tapi percayalah itu sudah kemauannya. Dia sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya," kata Santi mencoba berdamai dengan Rizwan."Sayangnya aku nggak bisa percaya begitu saja," Rizwan berjalan mendekat secara perlahan.Santi tetap waspada dengan segala gerak gerik Rizwan. Dia melihat ada senjata di saku samping Rizwan dan bisa diperkirakan itu adalah pistol."Kami mempunyai rekaman CCTV yang membuktikan bahwa p
"Apa sudah ada informasi siapa dalang dibalik semua ini?" tanya Bima."Semuanya tersusun rapi seperti sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Bahkan mereka tahu seluk-beluk perusahaan ini sampai bisa melumpuhkan Septa begitu saja." Aldo merasa dirinya sudah gagal."Pasti ada kerjasama dengan orang dalam. Kamu pastikan untuk mencari Siapa yang terlibat dengan semua ini!" kata Bima kemudian.Aldo mengangguk setuju. Dia pun mengirim pesan pada orang kepercayaannya untuk mencari tahu siapa yang berani berkhianat pada Bima."Sekarang kita ikuti kemana perginya mereka," kata Bima.Dalam mobil Bima sudah terpasang GPS sehingga bisa melacak keberadaan istrinya. Namun, Bima punya pikiran lain. Lawannya bukan orang yang sembarang bergerak. Terbukti dia menyusun rencana tersebut dengan rapi.Orang itu tidak mungkin dengan sengaja membawa mobil pribadi miliknya untuk menculik Santi pergi jika tanpa satu alasan. Orang itu pasti mempunyai rencana tersendiri untuk menjebaknya."Siapkan orang-orang
Mona tercengang mendengar pernyataan Santi. Dia sampai menganga tak percaya dan menatap Santi lekat."Kamu jangan bercanda, San. Bukannya kalian ini kerabat jauh?" Mona tak langsung percaya dan menepis tangan Santi."Itu hanya formalitas saja karena kemarin Mas Bima masih sangat takut aku kenapa-napa, dan sekarang kami nggak akan menutupi hubungan kami lagi," terang Santi dengan senyum manisnya."Ini nggak bener kan, Bim?" tanya Mona masih tak bisa percaya."Sepertinya kamu butuh pembersih telinga, Mona …" ucap Bima santai. Bima berdiri dan menghampiri istrinya. Dirangkulnya bahu Santi agar tubuh mereka menempel."Aku yang bersalah kemarin karena tak berani mengakui Santi sebagai istriku. Aku takut dia disakiti oleh orang lain, tapi sekarang aku sadar kalau ternyata dia tak selemah itu," imbuh Bima.Mata Mona berkaca-kaca ketika keduanya menunjukkan cincin pernikahan yang melingkar di jari masing-masing. Dia segera berjalan keluar dengan air mata yang sudah terlanjur menetes di pipin
Septa melajukan mobilnya dengan kecepatan stabil agar tidak mendapat teguran dari Bima. Dia sangat hafal dengan sikap Bima yang tidak mau diganggu ketika sedang bersama Santi, terutama untuk hal itu.Setelah beberapa menit, akhirnya mereka sampai di perusahaan dimana sebagian karyawan sudah mulai bekerja. Septa hanya mengetuk kaca mobil beberapa kali dan menunggu di tempat agak jauh, membiarkan atasannya yang sepertinya belum selesai dengan urusannya itu.Tak lama kemudian Santi turun lebih dulu dengan mulut komat kamit meluapkan kekesalannya. Rambutnya sedikit berantakan dan jangan lupakan bajunya yang tampak kusut."Nanti tolong ambilkan baju ganti di apartemen Mas Bima ya," kata Santi pada Septa."Baik!" jawab Septa singkat."San! Tunggu!" Bima bergegas menyusul Santi yang sudah masuk lebih dulu meninggalkannya.Namun begitu masuk ke area kantor, Bima langsung mengerem langkah kakinya. Bagaimanapun juga dia harus menjaga image sebagai seorang CEO di perusahaannya.Beberapa karyawan
"Dimana para penjaga di luar?" tanya Adam sambil turun dari ranjang dan bersembunyi di balik lemari agar tidak terkena lemparan batu.Tak berselang lama kemudian muncullah beberapa orang yang ingin mengecek kondisi atasan mereka."Maafkan kami! Tiba-tiba saja kami diserang secara beruntun dan tidak memperhatikan secara keseluruhan!" ucap salah satu dari mereka."Apa situasi di luar sudah terkendali?" tanya Bima."Sudah, Pak. Kebetulan Pak Aldo yang langsung turun tangan tadi," katanya lagi."Suruh Aldo kesini!" kata Adam.Orang itu mengangguk dan segera keluar untuk menjalankan perintah tersebut. Dia langsung menyampaikan pesan dari Ada pada Aldo.“Ada apa, Om?” tanya Aldo begitu sampai di ruangan Adam dan Bima dirawat.“Siapa mereka?” tanya Adam.“Masih belum bisa dipastikan siapa pelakunya, Om. Tapi besar kemungkinan itu adalah orangnya Rizwan,” kata Aldo.“Lalu gimana dengan Baron?” tanya Adam lagi.Aldo tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya. Dia enggan menjawab pertanyaan