“Tentu saja bukan. Ada masalah yang sebaiknya kamu nggak perlu tahu, tapi percayalah bahwa aku akan memberikan yang terbaik untukmu,” Bima yang tak mau membebani hari istrinya.Santi menatap dalam ke mata Bima, “Kalau kamu udah bicara begitu, aku bisa apa, Pak?” Buma bisa menangkap kesedihan yang tersirat dalam wajah istrinya. Sebisa mungkin Bima mencari cara untuk bisa memenangkan hati Santi agar percaya padanya.“Santi, kamu perlu ingat satu hal. Dalam satu kali dua puluh empat jam, kemungkinan kita akan terus bersama, apa kamu masih mau meragukan aku?” tanya Bima.“Ya, benar juga. Aku masih akan menjadi sekretarismu dan tahu apa saja yang kamu lakukan. Jika macam-macam, aku mungkin hanya akan menangis di sudut ruangan,” Santi yang tadinya semangat mendadak ingat siapa dirinya. Dengan status yang disembunyikan mana mungkin Santi bisa bertindak sebagai layaknya istri? Dia malah lebih tepat jika disebut sebagai simpanan yang tak punya hak apapun.Bima menarik nafas panjang dan meraih
Gadis itu memejamkan matanya merasakan deru nafas sang suami yang menerpa telinganya. Dengan posisi telungkup seperti itu, Santi tidak bisa melakukan pergerakan dengan leluasa.Dia hanya bisa pasrah saat Bima mengecup leher belakangnya sehingga membuat bulu kuduknya meremang. Satu tangannya masih berada di bagian dada, menyusup di balik baju dan meremas salah satu kebanggaannya."Aku suka aroma tubuhmu!" Bima menurunkan resleting yang ada di punggung Santi secara perlahan.Punggung mulus itu terpampang nyata dan dengan sentuhan lembut jarinya, Bima membuat Santi merasa tergelitik. Tubuhnya menggeliat seiring dengan gerakan jari Bima."Emmhhh, Pak! Geli!!" protes Santi."Hemmm?" Bima hanya berdehem sambil menurunkan baju Santi hingga terlihat seluruh punggungnya.Kecupan demi kecupan diterima Santi di setiap inchi kulitnya hingga tanpa terasa tali yang menyangga benda padat itu sudah tidak pada tempatnya. Kait belakangnya sudah terlepas sehingga kecupan Bima menyeluruh ke bagian pungg
Bima terkejut mendengar panggilan yang tertuju untuknya itu. Wajahnya mendadak merona dan tak bisa menggoda istrinya lagi.“Kenapa malah diam saja sih, Pak?” tanya Santi mulai kesal. Namun kemudian dia menangkap sinyal lain dari suaminya itu. “Ahhh, aku tahu kenapa kamu jadi seperti itu. Apa kamu merasa malu, Sayang?”Santi membalikkan posisi sehingga berada di atas Bima. Wajah merona itu makin terlihat jelas meskipun hanya dilihat sekilas saja. Seringaian Santi mulai muncul, ada niat untuk membalas perlakuan Bima yang tadi mempermainkannya.“Kamu terlihat tampan kalau sedang malu begitu, Sayang ..” bisiknya di telinga sang suami sambil memasukkan senjata suaminya ke dalam miliknya.“Aahhh, kamu!” Bima dibuat terkejut oleh kelakuan istrinya. “Kenapa jadi aku yang merasa jadi korban di sini?” racaunya seiring dengan gerakan Santi di atasnya.Desahan demi desahan terlontar dari bibir keduanya sampai terdengar ke luar kamar dimana ada Aldo sedang menonton televisi. Tadinya dia ingin meri
Mata Santi membulat sempurna melihat sang suami dibawa oleh wanita lain di depan matanya. Secara efektif dia langsung berdiri dan memisahkan keduanya dengan satu tarikan."Ini di kantor, tolong jaga sikapnya!" Santi menatap mereka secara bergantian."Dia ini siapa sih, Bim? Berani banget melarang kamu di perusahaan sendiri!" sahut Maura.Bima terkekeh geli mendengarnya. "Dia itu bukan melarangku, tapi sedang mengingatkanmu!" katanya santai."Loh? Kok aku, sih?" Maura tampak tidak suka karena Bima tak membelanya."Maaf, silahkan isi ini terlebih dahulu!" kata Santi saraya menyodorkan buku tamu kepada Maura.Maura melirik ke arah buku tersebut dan mengambilnya secara paksa. Setelah itu dia mengambil pulpen dan dengan gaya sombongnya, Maura menulis namanya di buku tersebut dengan huruf yang besar."Ohh, pantes aja!" Santi berubah tidak sejutek tadi. Dilihatnya tulisan Maura yang begitu besar hingga keluar dari garis. Santi sampai geleng-geleng kepala melihatnya."Sepertinya kamu perlu me
"Iya, tunggu bentar! Kenapa cepet-cepet gitu sih?" keluh Santi karena harus berjalan cepat mengikuti langkah sang suami yang lebar."Jadi kamu maunya gimana? Atau kamu lebih suka berdekatan dengan Septa daripada suamimu ini?" Wajah kekesalan tampak begitu jelas di wajah Bima.Santi memperhatikan tingkah suaminya itu dengan tersenyum geli. "Oh, ternyata ada yang sedang cemburu?" goda Santi.Bima menatap Santi kesal karena malah menggodanya. Tapi muncul pertanyaan dalam benaknya, apakah seperti ini rasanya cemburu? Bima bergidik ngeri ketika menyadari sudah cemburu pada bodyguard yang disewanya. Apakah pantas dia cemburu pada Septa?Santi memeluk lengan Bima dengan manja. Dia menoleh ke arah wajah sang suami dengan bibir mengerucut."Tentu saja aku lebih suka deket-deket sama kamu, Sayang," ujar Santi. Bima ingin sekali tersenyum, tapi rasanya berat. Dia masih kesal pada istrinya."Aku mau nonton boleh?" tanya Santi mengalihkan pembicaraan. Bima hanya mengangguk tanda setuju dan men
"Sayang …." Santi memekik ketika merasakan sesuatu yang hangat sudah menghisap miliknya."Apa kamu tidak menginginkannya?" Tanya Bima sambil menjulurkan lidahnya di bagian tersebut untuk memberikan sensasi yang berbeda. Santi tidak menjawabnya. Sebisa mungkin dia menahan suaranya agar tidak sampai terdengar oleh Septa yang ada di depan.Meskipun terhalang oleh sekat, tetap saja Santi merasa malu jika hal seintim itu terdengar oleh orang lain. Melihat ekspresi wajah istrinya yang berusaha sekuat tenaga menahan dirinya, membuat Bima semakin bersemangat untuk menaklukkan istrinya tersebut."Mari kita lihat seberapa kuat kamu menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara desahan yang menggairahkan itu!" tantang Bima yang saat ini mulai senang berfantasi melakukan hal itu di berbagai tempat.Santi mulai tidak tahan ketika tangan Bima memilin salah satu ujungnya sementara lidahnya masih terus bekerja di bagian yang lain.Tak cukup sampai di situ, Bima juga mulai menjelajahi area jalanan yang
“Maura!!” Bima menatap tajam ke arahnya karena mengatai istrinya gila.“Belain aja dia terus!” Maura kesal dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.“Apa aku salah bicara? Maafin aku kalau gitu, aku benar-benar nggak bermaksud buat bikin kamu marah,” ucap Santi tulus. Dia mengulurkan tangannya pada Maura untuk meminta maaf.Tentu saja Maura tidak menerima uluran tangan tersebut karena merasa tidak selevel dengan orang yang diketahuinya hanya sekretaris Bima. Dia hanya melirik sinis dan mulutnya komat kamit tidak jelas.Santi menarik kembali tangannya dan melihat telapak tangannya sekilas. Kemudian dilihatnya mulut Maura yang masih komat kamit itu.“Ahhh, ini air putihnya!” Santi menyodorkan segelas air putih sambil tersenyum. “Biasanya kalau udah baca mantra kayak gitu, butuh air putih untuk disemburkan,” imbuh Santi yang dulu sempat pergi ke orang pintar.“Hahahaha ….” Adam yang sedari tadi diam untuk menjaga imagenya sampai tak kuasa menahan tawanya mendengar ucapan Santi.Ber
"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri gitu?" Santi terheran karena suaminya seperti sedang merencanakan sesuatu."Nggak apa-apa, kok! Aku hanya seneng aja menemukan sesuatu yang baru," jawab Bima santai."Apa?""Nanti kamu lihat aja kalau sudah waktunya!" jawab Bima dengan seringaiannya."Apa sih? Nggak usah bikin penasaran gitu, deh!" Santi mengerucutkan bibirnya.Bima meraih bahu istrinya dan membiarkannya bersandar di bahu.Setelah membicarakan lebih dulu mau pulang kemana, akhirnya pilihan tetap kembali ke apartemen dan esok harinya baru ke rumah Bima.Mereka sengaja begitu agar Maura tidak mengganggu. Meskipun Maura terlihat sudah malas berhubungan dengan Santi, tetap saja wanita itu pasti tidak akan menyerah mengganggu mereka.***"Kenapa kamu malah mabuk-mabukan seperti ini, Ra?" Aldo menyingkirkan gelas kecil yang ada di depan Maura."Mana Krisna?! Bukannya dia sering ke sini?" tanya Maura dengan matanya yang sudah merah."Sadarlah, Ra!! Lebih baik kamu segera pulang, aku anterin
Santi memijit pelipisnya saking kesalnya dengan tingkah dua lelaki hebat di sampingnya. Ada rasa senang tapi juga sedih, karena kebebasannya terenggut secara tidak masuk akal.***Bulan demi bulan terlewati dengan berbagai macam aturan yang diberikan oleh Adam dan juga Bima. Namun ketika kehamilan Santi sudah memasuki bulan ketujuh, Santi mulai mengutarakan keresahan dalam hatinya."Pa, Mas … Aku ingin pergi ke mall untuk membeli keperluan bayi ini, ya. Udah lama aku nggak jalan-jalan keluar," pinta Santi di sela sarapan pagi mereka."Emangnya kamu mau beli apa? Biar aku aja yang beli kamu tinggal sebutin aja mau apa," jawab Bima."Iya, bener!" timpal Adam. Santi memasang wajah memelas sambil mengelus perut buncitnya. "Kalau nanti kamu lahirnya ileran, salahin aja Opa dan juga papa kamu ya, Nak!"Adam dan Bima langsung bergidik ngeri. Mereka tak menyangka Santi akan berkata demikian. Biasanya Santi akan menurut saja pada apa yang dikatakan oleh mereka."Kamu jangan kayak gitu dong, S
"Kamu kenapa sih, Sayang?" keluh Bima.Santi malah sibuk menutup hidungnya dengan selimut dan mengibaskan tangannya agar Bima menjauh darinya. Mencium aroma sabun di tubuh Bima membuat Santi merasa mual."Jangan deket-deket, Mas! Aku nggak suka bau sabunnya!" kata Santi."Bukannya ini bau sabun favorit kamu, ya? Kenapa mendadak jadi nggak suka?" tanya Bima.Santi ingin menjawab tapi perutnya seperti diaduk-aduk. Dia bergegas menuju ke kamar mandi berusaha mengeluarkan isi perutnya namun tak ada yang keluar sama sekali.Matanya sampai berair karena mencoba memuntahkan isi perutnya. Kepalanya terasa sedikit berat dan matanya berkunang-kunang."Kamu ikut aku sekarang!" kata Bima seraya menarik tangan Santi keluar dari kamar mandi."Mau kemana, Mas? Aku belum mandi!" Santi mencoba menolak namun tenaga Bima tentu saja lebih kuat."Udah, ikut aja!" seru Bima. Dia memberikan syal pada istrinya untuk menutup hidungnya agar tak mencium aroma sabun di tubuhnya.Adam yang baru saja selesai lari
"Kenapa gitu, San? Bentar lagi juga mateng kok!" kata Bima masih sambil mengaduk telur dalam wajan.Santi menghela nafas panjang sambil menyalakan kompor. "Mau sampai besok pagi juga nggak bakal mateng kalau kompornya belum dinyalain, Mas!" Bima garuk-garuk kepala sambil cengar cengir tak jelas. Dia mengalihkan pandangannya ke dalam wajan dan bertanya pada San, "Apa caraku memasak juga salah?""Nggak kok, Mas. Cuma mungkin ada cara yang lebih bagus lagi dari pada buang-buang minyak goreng," kata Santi seraya mengambil alih alat masak yang dipegang oleh Bima."Biar aku aja, Santi. Kamu kan lagi sakit juga," kata Bima."Nggak usah, biar aku aja. Kamu sama papa tunggu aja sambil nonton televisi," ucap Santi sambil mengurangi minyak goreng di wajan.Adam menarik Bima agar segera menjauh dari sana. Bagaimanapun juga memang lebih baik jika Bima menjauh dari dapur sebelum meledakkan dapur di rumah itu.Keduanya pun menuju ke ruang tengah sambil menonton televisi. Sesekali mereka bercengkrama
"Ada apa dengannya?" tanya Adam tak kalah panik."Aku juga nggak tahu, Pa. Tadi dia masih baik-baik aja!" ujar Bima sambil menggendong tubuh istrinya masuk ke kamarnya."Kamu juga, sih! Kenapa kurang memperhatikan kondisi istrimu! Dia pasti kelelahan karena belakangan ini selalu sibuk mengurus kita berdua!" cecar Adam sambil berjalan mengikuti anaknya di belakang."Papa nggak usah bawel, deh! Mendingan sekarang bantuin aku buat nelpon dokter agar segera kesini buat memeriksa kondisi istriku!" kata Bima.Beberapa kali mendapati Santi dalam kondisi yang buruk membuat Bima merasa benar-benar gagal menjadi suami yang baik. Apalagi Santi juga yang berapa kali malah melindunginya dari serangan musuh.Dalam hati Bima merutuki kebodohannya yang tidak bisa menjaga istrinya dengan baik. Kalau boleh memilih tentu saja Bima tidak ingin berada di posisi seperti kemarin.Bima pun ingin mempunyai keluarga yang harmonis dan bahagia seperti orang kebanyakan. Bukan malah penuh dengan darah dan juga den
"Sepertinya aku kedatangan tamu istimewa! Selamat datang!" Ucap Rizwan berusaha tetap tenang. Dia tak mau terlibat gugup di depan semuanya."Aku nggak mau basa-basi di sini. Yang aku tahu kamu udah menyuruh orang untuk melenyapkan Septa!" kata Santi."Hahahaha … sayang! Bukankah kamu sudah menyetujui permintaan Papa untuk menikah denganku? Kenapa sekarang kamu malah menuduhku melakukan hal itu?" tanya Rizwan. "Lagi pula kalau bukan karena Septa berkhianat, pasti papa aku juga nggak akan pergi meninggalkanku sendiri!" imbuh Rizwan."Aku tahu kamu sedih kehilangan papamu, tapi percayalah itu sudah kemauannya. Dia sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya," kata Santi mencoba berdamai dengan Rizwan."Sayangnya aku nggak bisa percaya begitu saja," Rizwan berjalan mendekat secara perlahan.Santi tetap waspada dengan segala gerak gerik Rizwan. Dia melihat ada senjata di saku samping Rizwan dan bisa diperkirakan itu adalah pistol."Kami mempunyai rekaman CCTV yang membuktikan bahwa p
"Apa sudah ada informasi siapa dalang dibalik semua ini?" tanya Bima."Semuanya tersusun rapi seperti sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Bahkan mereka tahu seluk-beluk perusahaan ini sampai bisa melumpuhkan Septa begitu saja." Aldo merasa dirinya sudah gagal."Pasti ada kerjasama dengan orang dalam. Kamu pastikan untuk mencari Siapa yang terlibat dengan semua ini!" kata Bima kemudian.Aldo mengangguk setuju. Dia pun mengirim pesan pada orang kepercayaannya untuk mencari tahu siapa yang berani berkhianat pada Bima."Sekarang kita ikuti kemana perginya mereka," kata Bima.Dalam mobil Bima sudah terpasang GPS sehingga bisa melacak keberadaan istrinya. Namun, Bima punya pikiran lain. Lawannya bukan orang yang sembarang bergerak. Terbukti dia menyusun rencana tersebut dengan rapi.Orang itu tidak mungkin dengan sengaja membawa mobil pribadi miliknya untuk menculik Santi pergi jika tanpa satu alasan. Orang itu pasti mempunyai rencana tersendiri untuk menjebaknya."Siapkan orang-orang
Mona tercengang mendengar pernyataan Santi. Dia sampai menganga tak percaya dan menatap Santi lekat."Kamu jangan bercanda, San. Bukannya kalian ini kerabat jauh?" Mona tak langsung percaya dan menepis tangan Santi."Itu hanya formalitas saja karena kemarin Mas Bima masih sangat takut aku kenapa-napa, dan sekarang kami nggak akan menutupi hubungan kami lagi," terang Santi dengan senyum manisnya."Ini nggak bener kan, Bim?" tanya Mona masih tak bisa percaya."Sepertinya kamu butuh pembersih telinga, Mona …" ucap Bima santai. Bima berdiri dan menghampiri istrinya. Dirangkulnya bahu Santi agar tubuh mereka menempel."Aku yang bersalah kemarin karena tak berani mengakui Santi sebagai istriku. Aku takut dia disakiti oleh orang lain, tapi sekarang aku sadar kalau ternyata dia tak selemah itu," imbuh Bima.Mata Mona berkaca-kaca ketika keduanya menunjukkan cincin pernikahan yang melingkar di jari masing-masing. Dia segera berjalan keluar dengan air mata yang sudah terlanjur menetes di pipin
Septa melajukan mobilnya dengan kecepatan stabil agar tidak mendapat teguran dari Bima. Dia sangat hafal dengan sikap Bima yang tidak mau diganggu ketika sedang bersama Santi, terutama untuk hal itu.Setelah beberapa menit, akhirnya mereka sampai di perusahaan dimana sebagian karyawan sudah mulai bekerja. Septa hanya mengetuk kaca mobil beberapa kali dan menunggu di tempat agak jauh, membiarkan atasannya yang sepertinya belum selesai dengan urusannya itu.Tak lama kemudian Santi turun lebih dulu dengan mulut komat kamit meluapkan kekesalannya. Rambutnya sedikit berantakan dan jangan lupakan bajunya yang tampak kusut."Nanti tolong ambilkan baju ganti di apartemen Mas Bima ya," kata Santi pada Septa."Baik!" jawab Septa singkat."San! Tunggu!" Bima bergegas menyusul Santi yang sudah masuk lebih dulu meninggalkannya.Namun begitu masuk ke area kantor, Bima langsung mengerem langkah kakinya. Bagaimanapun juga dia harus menjaga image sebagai seorang CEO di perusahaannya.Beberapa karyawan
"Dimana para penjaga di luar?" tanya Adam sambil turun dari ranjang dan bersembunyi di balik lemari agar tidak terkena lemparan batu.Tak berselang lama kemudian muncullah beberapa orang yang ingin mengecek kondisi atasan mereka."Maafkan kami! Tiba-tiba saja kami diserang secara beruntun dan tidak memperhatikan secara keseluruhan!" ucap salah satu dari mereka."Apa situasi di luar sudah terkendali?" tanya Bima."Sudah, Pak. Kebetulan Pak Aldo yang langsung turun tangan tadi," katanya lagi."Suruh Aldo kesini!" kata Adam.Orang itu mengangguk dan segera keluar untuk menjalankan perintah tersebut. Dia langsung menyampaikan pesan dari Ada pada Aldo.“Ada apa, Om?” tanya Aldo begitu sampai di ruangan Adam dan Bima dirawat.“Siapa mereka?” tanya Adam.“Masih belum bisa dipastikan siapa pelakunya, Om. Tapi besar kemungkinan itu adalah orangnya Rizwan,” kata Aldo.“Lalu gimana dengan Baron?” tanya Adam lagi.Aldo tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya. Dia enggan menjawab pertanyaan