"Kamu pikir itu baju apa kalau bukan baju pengantin?" Bima sedikit kesal karena Santi masih saja bertanya padahal sudah jelas ada di depan matanya."Aku benar-benar masih merasa seperti mimpi. Tapi kalau memang ini mimpi, jangan bangunin aku ya, Pak! Kalau mau bangunin nanti aja sekalian pas aku udah mau mati.”"Hussshhh!! Kamu ini ngomong apa sih?! Siapa yang bakal mati? Kamu bahkan belum menjadi ratu di hidupku. Itu artinya kamu belum boleh mati, paham?" Bima menatap tajam ke arah Santi yang kini malah berkaca-kaca."Pak … emangnya Bapak nggak bisa apa, merayu wanita dengan bahasa yang bagus? Aku sampai bingung mau terharu atau kesal mendengar ucapan Bapak tadi," keluh Santi malah merengek seperti anak kecamatan.Bima menggaruk-garuk kepalanya, bingung. Dia sama sekali tidak berpikir bahwa sedang merayu gadisnya."Siapa yang merayu? Aku hanya mengatakan apa yang ada di pikiranku, bukan merayu kamu Lagian buat apa aku merayu kamu yang jelas-jelas akan menjadi istriku nanti?""Bukann
Selly sudah bersiap menerima hukuman yang menurutnya tidak akan sulit karena Santi yang membuat. Tapi, ternyata dugaannya salah besar. Hukuman dari Santi ternyata sangat menyiksa dan mempermalukannya."Aku mau dia menampar pipinya sendiri di depan butik selama sepuluh menit sambil mengatakan maaf!!""Apa kamu nggak keterlaluan kalau kayak gitu?" Selly mengajukan protes, namun langsung mendapatkan tatapan tajam dari Bima."Kamu cukup diam dan lakukan apa yang dia suruh. Atau kamu mau aku tambahin hukumannya?" Bima tersenyum sinis pada Selly."Maaf. Aku akan segera lakukan apa yang disuruh." Selly menundukkan kepalanya dan berjalan keluar butik untuk mengerjakan hukumannya."Mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Kami sungguh sangat menyesal atas kejadian ini." Irma membungkukkan badannya sebagai permintaan maaf."Sudahlah, lupakan saja. Aku sudah kehilangan selera untuk membeli gaun di sini. Ayo, San." Bima menggandeng tangan Santi dan berjalan keluar diikuti oleh Irma. Tampak wajah kesal
"Ada apa ini?" Adam yang datang belakangan ikut-ikutan panik."Santi nggak ada, Om! Tapi aku menemukan sebelah sepatunya berada di bawah kursi itu." Aldo menunjuk ke tempat di mana dia menemukan sepatu Santi.Bima segera menelpon bagian keamanan untuk mengecek apakah ada yang mencurigakan keluar masuk tempat tersebut. Aldo sendiri berusaha menelpon ponsel Santi namun nomornya tidak aktif."Apa mungkin dia ikut pulang keluarganya ke kampung?" Bima mencoba mengambil kemungkinan yang paling mudah dan tanpa resiko. Bayangan Santi disakiti oleh orang lain membuatnya lemas."Mana mungkin dia melakukan itu. Sepolos-polosnya Santi, dia tidak mungkin pergi tanpa pamit," Aldo menimpali perkataan Bima."Apakah bagian CCTV sudah kamu cek?" tanya Bima lagi.Aldo menghela nafas panjang karena menyesali keteledorannya yang melupakan hal tersebut. Pernikahan yang dilakukan di outdoor tersebut tidak dilengkapi dengan CCTV dan itu merupakan kesalahan Aldo."Maafkan aku karena melupakan memasang CCTV, B
Bima mendengus kesal karena Adam ikut masuk ke dalam mobilnya."Papa ngapain ikut naik mobil pengantin sih, aahhhhh!!!" Bima mengacak rambutnya kasar."Kamu ngapain sih marah-marah terus dari tadi? Papa kan hanya ingin mengantar kalian sampai rumah dengan selamat!" Adam tak mau kalah."Jalan, Pak!!" imbuhnya kemudian."Papa mau nginep di apartemen?" Santi bertanya tanpa tahu kalau pertanyaannya itu telah membongkar sebuah rahasia yang selama ini disembunyikan Bima.Adam yang duduk di kursi depan langsung menoleh dengan senyum khasnya. "Apa? Apartemen?" Bima yang merasa sedang ditatap oleh Adam pura-pura tidak tahu dengan melihat ke arah luar."Iya, apartemen Pak Bima yang ada di dekat kantor itu." Santi menyebutkan secara spesifik."Owhhh, deket kantor?" Adam menekankan kata dekat kantor sambil memperhatikan Bima yang mengusap wajahnya gusar."Santi Iiiiiiiii. Kamu ini bener-bener nggak bisa bicara seperlunya aja apa?" batin Bima berteriak dengan kepolosan istrinya yang ketulungan.Su
“Papa nggak lihat apa-apa, kok!” ucap Adam masih dengan wajah ditutup.Sebuah bantal melayang mengenai tubuh Adam, namun tak berarti apa-apa bagi lelaki paruh baya yang masih bugar itu. “Papa ngapain, sih? Makanya cari istri aja sana biar nggak gangguin aku sama Santi,” omel Bima.“Emangnya Papa gangguin kamu ya, San?” tanya Adam sambil menundukkan kepala, memasang wajah memelas.Santi yang sudah membenarkan gaunnya segera menghampiri Adam dan menarik tangannya agar masuk ke kamar. “Nggak kok, Pa. Sini duduk dulu, Papa mau apa emangnya kesini?” tanya Santi dengan senyum tulus.Adam melirik Bima yang semakin kesal melihat Santi. Adam membentuk dua jarinya seperti pistol dan mengarahkannya ke Bima. Kemudian digerakkan seolah menembakkannya ke arah dada Bima.Melihat papanya seperti itu, Bima menggenggam jari Adam dan melakukan hal sama. Adam menjatuhkan diri seolah benar-benar tertembak dan terluka parah.“Kalian ngapain, sih? Hahahahha …” tawa Santi memenuhi seisi kamar saking gelinya
“Santi, kamu tau maksudku bukan seperti itu!” Bima malah bingung sendiri bagaimana menjelaskan pada Santi.“Aku nggak ada bedanya sama mereka kan, Pak? Hanya sebagai seseorang yang membantumu menuntaskan keinginanmu saja!” Bima tergelak, bagaimana seorang Santi yang selama ini dikenal sebagai seorang yang polos bisa berpikir seperti itu?“Bagaimana bisa kamu punya pikiran seperti itu?” Bima duduk dan menarik Santi agar duduk pula. “Kita harus bicara serius.” Ditatapnya mata istrinya dengan lekat. Kedua tangannya menangkup wajah Santi yang sendu.“Aku tau selama ini sikapku memang urakan, judes dan mungkin asal bicara. Tapi tanpa kamu sadari, kamu udah merubah banyak hal dalam diriku. Tanpa kamu minta sekalipun, aku berhenti memanggil wanita bayaran dan seharusnya kamu tahu itu,” terang Bima.Santi sendiri memang mengetahui bahwa belakangan ini Bima tak pernah menerima tamu wanita lagi, bahkan keluar malam pun jarang kalau bukan karena urusan kerja. Tapi dia pikir itu memang karena sed
Bima kembali tersenyum. Dia hanya diam sambil menatap istrinya lekat. Santi sudah hampir menyerah menanyakan apa yang ingin dia tahu karena suaminya tak juga menjawab. Wajahnya menunduk dengan lesu sampai sebuah sentuhan lembut membuatnya kembali menatap Bima."Aku juga akan selalu mencintaimu, Santi Kusuma Dewi," ucap Bima dalam satu tarikan nafas. Hening. Santi mengerjapkan kedua matanya berulang kali dengan bibir sedikit terbuka. Otaknya mendadak tidak bisa diajak berpikir."Apa harus seperti itu saat mendapatkan pengakuan cinta dariku? Berhenti mengedipkan matamu terus dan tutup bibirmu, San!" Bima kesal."Ulangi sekali lagi boleh?" Santi ingin memastikan kembali pendengarannya."Sudahlah, aku mau melanjutkan pekerjaanku dulu." Bima enggan mengulangi kalimat yang sejujurnya membuat dirinya merasa malu.Kadang dia merasa menyesal kenapa harus menjatuhkan hatinya pada seorang wanita seperti Santi. Namun di satu sisi, Bima merasa bahagia karena bisa mencintainya."Ini masih hari baha
"Emmm …" Santi menggigit bibirnya saat merasakan ada yang sobek di bagian tubuhnya.Perih dan juga panas menjadi satu di bawah sana. Santi bisa merasakan ada sebuah benda keras yang masuk ke dalam tubuhnya.Bima tak berani bergerak ketika melihat wajah istrinya yang tegang. Ekspresinya jelas sedang menahan sakit, meskipun dia sendiri juga merasa ujung senjatanya sedikit ngilu setelah berhasil menjebol pertahanan Santi."Apa itu sakit?" Bima mencium bibir Santi sekilas kemudian bermain di ceruk leher Santi sambil menunggu istrinya tersebut rileks."Ya, sedikit. Rasanya perih dan panas, tapi enak!" kata Santi sambil mengatur nafasnya. Bima bisa merasakan kaki Santi mulai rileks, dari yang awalnya menegang, kini sudah lemas lagi.Perlahan Bima mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur membuat Santi kembali menegang."Jangan hiraukan aku, Pak. Lakukan saja, aku nggak apa-apa!" Santi protes ketika Bima malah berhenti saat dirinya sedang menyesuaikan diri."Baiklah, aku akan pelan-pelan." B