Felix menemui Raisa menanyakan mengapa tidak jujur mengenai ayahnya yang ternyata bukan Ayah kandung. Bagi Raisa apa bedanya Ayah kandung ataupun bukan, pria itu menyayanginya sama seperti Ayah pada umumnya. Namun, tetap saja bagi Felix Raisa itu tidak jujur padanya padahal sebentar lagi mau menjadi istrinya. Sepulang dari pertemuan dengan kekasihnya, Raisa marah pada ayahnya karena ialah yang sudah memberitahukan masalah tersebut pada Felix. Pria itu berkata kalau ia tidak salah menyuruh Felix untuk menjauhi Raisa karena tidak cocok dengan Felix. "Apa maksud Papa? Apa saja yang sebenarnya Papa katakan pada Felix?" "Papa hanya mengatakan dua hal itu saja, Papa tidak memberitahukan apa tujuanmu datang ke kehidupan Felix, Papa masih menyayangimu gak mau kamu kenapa-kenapa. Papa minta kamu berhenti melakukan hal-hal seperti itu lagi, Raisa." "Gak bisa, aku akan tetap menjalankan rencanaku gak akan ada seorang pun yang bisa menghalanginya termasuk Papa." Pria itu tahu apa yang sudah
Felix duduk termenung memikirkan sikap ibunya yang selalu menganggapnya seperti anak kecil. Ia tahu kalau sampai kapanpun akan tetap dianggap sebagai anak oleh Vina, tetapi bukan berarti harus diperlakukan layaknya anak-anak. Felix sudah dewasa bahkan telah memiliki anak, ia juga ingin hidup bebas berkeluarga wanita pilihannya, tetapi selalu tidak bisa karena setiap kali menyukai wanita selalu dihalangi oleh Vina. Buktinya, sekarang saja Felix menikah dengan Revalina atas persetujuan ibunya, bahkan menganggap Revalina seperti anak kandungnya sendiri. Namun, tatap saja Vina menghakimi gadis itu seenaknya. Felix yakin siapapun yang akan menjadi istrinya di masa depan akan diperlukan sama oleh Vina. Felix tahu kalau Vina takut kehilangannya, tetapi bukan berarti menghalangi apa yang diinginkan Felix. Memang pada awalnya pernikahan Felix hancur karena sejak awal ibunya juga tidak setuju kalau Felix menikah dengan ibunya Felicia, pada akhirnya apa yang dikatakan Vina itu menjadi kenyata
Raisa melihat keadaan Heri dan anak buahnya yang sudah mulai membaik. Raisa ingin mereka bekerja kembali untuknya, ia bisa membayar berapapun yang mereka inginkan jika apa yang diinginkannya bisa diwujudkan. "Kita udah babak belur, harusnya Bu Raisa ngasih dulu uang buat biaya berobat kita-kita." "Nah itu benar saya juga setuju," timpal anak buah Heri yang lainnya. Seharusnya jika belum kelihatan hasilnya tidak perlu minta uang karena sama saja dengan buang-buang uang tanpa adanya hasil. Mereka tidak mau bekerja lagi untuknya jika terus-menerus tidak diberikan upah sama sekali. Ya walaupun usahanya gagal, tetapi tetap saja harus ada imbalan. Wanita itu rasa mereka adalah orang-orang sebelum apa-apa sudah ingin uang. Raisa memberikan beberapa lembar uang pada mereka, tetapi ia ingin mereka melanjutkan tugasnya yang sempat tertunda karena masalah kemarin. "Gimana nih bos? Kita harus menyusun rencana lagi," tanya salah satu anak buahnya pada Heri setelah Raisa pergi. "Siska co
Raisa datang ke kantor polisi untuk melihat dua anak buah Heri yang ditahan. Mereka menghungi Raisa mengabari karena ditangkap polisi. Terpaksa, Raisa pun datang mengakui sebagai saudara mereka. Ia berkata pada dua pria itu untuk tidak menyeretnya ke dalam kasus penculikan tersebut. Mereka bisa melakukan itu, tetapi janji Raisa harus ditepati membiayai semua kebutuhan keluarga mereka berdua. Daripada kehilangan apa yang diinginkannya selama ini, lebih baik menyetujui apa yang mereka minta. Sepulang dari tempat tersebut, Raisa menghungi Andi meminta uang padanya. Andi memberikan uang itu secara cuma-cuma pada Raisa. Andi segar menutup teleponnya karena mendengar suara langkah kaki istrinya dari belakang. "Pa, Papa lagi ngobrol sama siapa? Pas Mama samperin teleponnya malah dimatikan.""Bukan apa-apa, Ma. Ini biasa rekan kerja bahasa masalah di kantor, gak penting kok makanya Papa matiin." Wanita itu tidak tahu sama sekali kalau suaminya selingkuh. Selingkuhannya mulai senang setela
Felix baru saja keluar dari kamar mandi melihat Revalina yang sedang duduk di sofa. Wanita itu bangkit dari duduknya, Felix bertanya ada perlu apa sampai harus mengganggunya? "Tadi Mbak Raisa menelepon Bapak," jawab RevalinaPria itu memeriksa ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Felix terkejut ketika melihat banyak sekali panggilan tidak terjawab, bukan hanya itu ia juga membuka pesan yang dikirimkan oleh kekasihnya. Felix melotot karena Raisa marah padanya melalui pesan dengan mengirimkan foto-foto Felix dan Revalina. "Apakah kamu menjawab panggilan telepon dari Raisa?" tanya Felix setelah melihat panggilan yang dijawab oleh Revalina. "Iya, Pak." Felix menunjukkan foto-foto itu sambil menuduhe Revalina yang mengirimkannya pada Raisa. Revalina tidak mengakui karena tidak melakukannya, bagaimana mungkin bisa mengirimkan itu sedangkan Revalina tidak tahu sandi ponsel tersebut. "Kamu jangan bohong, ya. Siapa lagi yang mengirimkan foto ini kalau bukan kamu, karena kamu yang udah
Revalina mengambil kotak obat mengobati luka di wajah Felix. Sesekali pria itu meringis merasakan perih pada lukanya. Revalina berbicara sambil mengobatinya, seharusnya Felix tidak melakukan kekerasan pada Vino akibatnya ketahuan Vina. "Masalahnya Vino keterlaluan!" tegas Felix yang akhirnya meringis lagi karena bibirnya sakit. Istrinya minta Felix untuk tidak banyak gerak terlebih dahulu sebelum sembuh. Ia menjadi sangat kesal, bagaimana bisa keluar bertemu dengan Raisa kalau keadaannya saat ini saja sudah babak belur. Ya walaupun tidak memar-memar, tetapi bibirnya cukup sakit. "Sudah selesai, sekarang Bapak istirahat saja." "Makasih," ucapnya ketika Revalina beranjak pergi keluar kamar. Sedangkan, di tempat lain Vino sedang diobati oleh Vina. Ia juga sama seperti Felix yang meringis-ringis. Vina menegur pria itu agar ketika punya kesalahan jangan sampai menunggu Felix marah karena jika putranya itu sudah marah amarahnya tidak bisa dibendung lagi. Lagian, aneh saja hanya karena
Felix merenung di kamarnya, Revalina masuk ke sana. Ia memberikan saran agar Felix dan Vino segera berbaikan sebelum kejadian fatal terjadi karena jika satu tim ada yang tidak akur bisa mengakibatkan rencana gagal total. Seharusnya, Felix bisa lebih menahan emosi apalagi menyangkut Raisa karena itu akan sangat membahayakan. Felix menemui Vino yang tengah duduk sambil menikmati secangkir teh manis hangat. Vino tidak menyapanya bahkan hanya sekedar meliriknya pun tidak sama sekali. Felix minta maaf dengan posisinya yang masih berdiri di samping pria itu. "Anggap aja kita udah baikan," jawab Vino sambil kembali meneguk teh itu, lalu pergi meninggalkan Felix. Felix berjalan cepat menghadangnya berdiri di depan Vino membuat langkahnya terhenti. Ia kembali minta maaf apa yang sudah dilakukannya sangat kelewatan. Kata Vino, Felix sudah minta maaf sebaiknya tidak perlu mengulangnya beberapa kali. "Kamu masih marah?" tanya Felix. "Kalau kamu tahu gak usah nanya, kamu pikir apa yang kamu l
Raisa marah pada Heri karena tugasnya selalu saja tidak pernah berhasil. Malah Raisa yang kerugian karena harus menanggung biaya hidup dia keluarga anak buah Heri yang ditahan. Heri membela dirinya yang sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi memang sudah hasilnya selalu gagal karena ada Vino. "Kenapa kalian takut sama dia?" Vino adalah orang yang sangat ditakuti oleh mereka karena terkenal jagoannya. Raisa minta Heri mempunyai anak buah yang jago beladiri melebihi Vino. Heri tidak sanggup karena ia tidak mempunyai kenalan orang yang bisa mengalahkan Vino. Mungkin jika tidak dengan mengalahkannya menggunakan cara bertengkar setidaknya bisa dengan cara halus. "Maksudmu membunuhnya?" "Ya terserah kamu yang penting bisa menjauhkan Vino dari Revalina."Kali ini Heri tidak ingin gegabah, tetapi perintah dari Raisa telah membuatnya menjadi ceroboh. Tiga pria suruhan Heri menungggu Vino lewat, kebetulan pagi ini ia sedang olahraga. Satu-persatu orang turun dari mobil, tanpa Vino sadari