Biarpun sifat suami masih galak, tetap saja Anggun tak mungkin menolak perintahnya. Seperti apa sifat sang suami, Anggun tetap wajib mematuhi dan menghormatinya.“Kenapa Nona ada di sini?” tanya Bibi Rani terkejut. “Inikan masih pagi.”Anggun tersenyum. “Aku mau bantu bibi memasak.”“Apa?” pekik Bibi Rani. “Tidak usah, Nona. Ini sudah menjadi tugas bibi dan pelayan lain.”Anggun menoleh mencari dua pelayan lain yang sedang memegang tugas masing-masing. Ada satu yang sedang mengepel di ruang tengah, satu lagi mungkin sedang mencuci.Dan sepertinya ada satu pelayan pria. Sepertinya dia penjaga rumah sekaligus supir kalau sedang dibutuhkan.“Ini perintah dari Tuan Ares, Bibi,” ucap Anggun.Kalau sudah dikatakan karena di Tuan muda, Bibi Rani tak mungkin membantah.“Apa benar begitu?” tanya Bibi Rani.“Iya, Bibi.”Anggun mendekat dan membuka pintu kulkas. “Biasanya makanan seperti apa yang disukai tuan Ares?” tanya Anggun. “Hampir semua makanan, pasti Tuan Ares suka,” jawab Bibi Rani.“M
Sampai di parkiran mobil, Ares tak langsung mengijinkan Anggun untuk turun.“Kenapa?” tanya Anggun saat Ares menarik lengannya.“Jangan keluar sebelum kau kepang rambutmu!” pinta Ares.Anggun diam dan tak mengerti. Sikap Ares pagi ini sungguh membuat Anggun bingung.“Kepang rambutmu, cepat!”Anggun gelagapan dan segera melepas kuncir rambutnya. Kedua tangannya gemetaran saat membagi rambut menjadi dua bagian karena Ares terus menatapnya.“Ambilan karet di dalam tas,” pinta Anggun pelan.Berdecak, Ares menjambret tas di atas pangkuan Anggun. “Di mana?” tanya Ares saat resleting tas terbuka.“Ada di dalam.” Anggun hanya menunjuk dengan tatapan mata karena dua tangannya sedang memegang ujung rambutnya yang sudah ia kepang.“Ini!” kata Ares ketika karet kecil berwarna pink sudah dalam genggaman dua jarinya.“Terimakasih,” ucap Anggun.Saat Anggun masih sibuk dengan rambutnya, Ares meraih ponsel di dalam dasbor.“Keluar sekarang!” perintah Ares saat ponsel sudah terhubung. “Bawakan seragam
Masuk ke ruang para pelayan, Anggun buru-buru meletakkan tas dan membenahi tampilannya.“Astaga! Otakku masih jalan-jalan tidak jelas!” Anggun penepuk-tepuk pipinya sendiri saat pintu loker sudah tertutup.“Anggun, kau kenapa?” tegur Nita.Anggun terpekik sambil berjinjit. “Nita, kau mengagetkanku!”Kening Nita berkerut. “Kau melamun?”Anggun meringis hingga terlihat cekungan pada dua pipinya. “Tidak, aku hanya sedang sedikit ada masalah.”“Masalah?” tanya Nita. “Masalah apa?”Anggun tersenyum. “Bukan apa-apa.”“Kau masih ragu untuk cerita padaku kan? Tak apa.” Nita menepuk pundak Anggun. “Kita baru kenal, akan lancang kalau aku ikut campur.”“Hei, kalian berdua!” teriak seorang senior.Anggun dan Nita sepakat menoleh bersamaan.“Cepat bereskan bagian depan!” perintahnya lantang. “Enak-enakkan ngobrol!”Anggun dan Nita saling pandang lalu terkekeh.“Ayo cepat!” umpat Anggun sambil menarik lengan Nita. “Aku baru dua hari bekerja di sini. Jangan sampai aku dipecat!”Nita justru terkekeh
Jika tahu kemana arah pergi Mareta setelah angkat kaki dari restoran, mungkin Anggun akan menyimpan amarah. Namun, kenyataannya Anggun tak mungkin bisa tahu kecuali ada yang memberitahunya.Saat ini Mareta tengah berdiri di depan sebuah gedung apartemen. Mareta mungkin ragu untuk datang ke tempat ini, tapi karena penasaran jadi mendorong raga untuk datang.Sudah lama Anggun tak datang berkunjung, bisa saja orang yang akan ditemuinya sudah tidak pernah datang atau mungkin sudah menjual salah satu apartemen di gedung ini.Tok! Tok! Tok!Mareta mengetuk pintu dengan perasaan gugup. Mareta hanya takut di balik pintu ini sudah berganti pemilik.“Mareta?” pekik seorang saat pintu terbuka.Senyum Mareta seketika mengembang saat sosok Ares yang membukakan pintu. Itu berarti Ares masih sering berada di sini.“Ada apa?” tanya Ares sinis.“Jangan begitu padaku,” sahut Mareta sendu. “Ijinkan aku masuk.”Ares bergeser untuk memberi jalan pada Mareta.Saat pintu sudah tertutup, Ares berjalan masuk
Sepertinya Anggun harus puas dan tetap bertahan walaupun setiap hari harus diganggu oleh Mareta. Wanita itu saat ini sepertinya menjadikan Anggun sebagai target bahan hinaan.“Istri anak orang kaya, tapi harus bekerja di restoran. Duh, memalukan!” cela Mareta saat Anggun memasuki ruang tamu.Anggun acuh dan memilih berlalu. Menurut Anggun, meladeni Mareta bukanlah kegiatan yang harus dilakukan. Namun, bukan Mareta namanya kalau membiarkan Anggun lepas begitu saja.“Sepertinya Ares malu mengakuimu sebagai istri. Kau harus sadar tentang hal itu,” seloroh Mareta.Mareta berdiri dengan melipat kedua tangan di hadapan Anggun. Niatnya memang untuk menghalangi langkah Anggun.“Aku tidak mau berdebat denganmu. Jadi menyingkirlah!” pinta Anggun dengan suara lemas.Pekerjaan di restoran hari ini lebih banyak dari pada hari kemarin. Dan Anggun tidak mau membuang waktu hanya untuk mengurusi ocehan wanita seperti Mareta.“Kami pulang!”Suara dari arah ruang tamu membuat Anggun dan Mareta menoleh b
Bangun dari tidurnya, Anggun merasakan ada sesuatu yang mendarat di pinggannya. Sementara di bagian belakang, ada tubuh yang menempel erat. Untuk memastikan ada apa sebenarnya, Anggun perlahan menunduk ke arah bagian perut.Seketika itu Anggun membelalak dan langsung menutup mulutnya yang terbuka dengan tangan.“Kenapa aku bisa tidur disini?” tanya Anggun dalam hati.“Eh!” pekik Anggun tiba-tiba.Pelukan itu semakin erat dan Anggun bisa merasakan ada embusan napas dari arah belakang. Tepatnya di bagian tengkuk. Saat Anggun menoleh, bagian rambut Ares terlihat. Dan bisa dipastikan sapuan angin lirih itu berasal dari hidung Ares.Anggun yang merasakan napasnya sesak, bergeser sedikit sambil mencoba mengangkat lengan kekar yang masih mendarat di tubuhnya.Saat sudah terangkat dan Anggun ingin menyingkir, tangan itu kembali jatuh dan menarik lebih dalam tubuh Anggun hingga pelukan justru semakin erat.Anggun mengerjapkan mata dengan wajah berkerut. “Bagaimana ini? Kalau dia bangun, bisa g
“Padahal rencananya kita mau menyusul ke bali, tapi kalian sudah kembali,” kata Rangga saat di ruang makan.Di samping Rangga, Mareta mengimbuhi. “Iya, Ibu. Aku dan Rangga berencana bulan madu ke sana.”Ana mendesah. “Ibu juga sebenarnya masih ingin di sana, tapi karena pekerjaan ayah sudah selesai jadi terpaksa harus pulang. Nia juga sudah ribut untuk segera pulang ke jakarta.”Merasa disindir, Nia hanya mendengus dengan mulut penuh makanan. Mereka bertiga sontak tertawa.“Kenapa kalian sudah makan lebih dulu?” tanya Bian yang baru bergabung. “Di mana Ares dan Anggun?”“Belum bangun mungkin,” jawab Ana acuh.Bian duduk usai menoleh ke belakang lebih dulu.“Bibi!” panggil Bian setelah itu.Dari arah dapur, Bibi Rani lari tergopoh-gopoh. “Iya, Tuan. Ada apa?”“Panggilkan Ares dan Anggun,” kata Bian.Bibi Rani mengangguk kemudian bergegas menuju lantai dua.“Tuan!” panggil Bibi Rani sesampainya di depan pintu kamar Ares. Kelima jemarinya tertekuk ke dalam lalu mengetuk pintu beberapa
Satu minggu sudah berlalu sejak kepergian Ayah. Anggun pun sudah nampak tidak terlalu terpuruk seperti sebelumnya. Hanya saja, Anggun masih menyesali karena didetik terakhir Anggun tidak bisa menatap wajah ayahnya lebih lama.“Ayah sudah tiada, sebaiknya kau jangan pernah lagi kembali ke rumah ini!” satu kalimat yang secara terang-terangan telah mengusir Anggun.Anggun masih tidak percaya dengan kalimat ibu tirinya itu. Masih dalam suasana berkabung, tapi ibu tirinya justru tega mengusir Anggun.Duduk di atas ranjangnya yang sempit, Anggun sudah tak mau memikirkan kalimat-kalimat yang ia dengar beberapa hari yang lalu. Anggun anggap saja itu hanyalah sebuah angin yang sempat menusuk tubuhnya.“Aku hanya akan membawa seperlunya saja,” kata Anggun sambil memasukkan beberapa miliknya ke dalam kardus.Ada buku catatan, agenda harian dan beberapa foto kenangan bersama ayah dan ibu. Untuk baju-baju, Anggun biarkan saja di dalam lemari. Toh Anggun sudah memiliki banyak baju di lemarinya yang
Sesuai saran Rena, pelan-pelan Ares mendekati Anggun yang saat ini sedang menangis di sudut ranjang. Anggun menyembunyikan wajahnya di balik lutut dan kedua tangannya yang terlipat.Dari jarak beberapa meter saja, Ares bisa mendengar dengan jelas kalau Anggun masih terus menangis hingga tubuhnya bergetar.“Anggun,” panggil Ares dengan sangat pelan.Anggun mendongak sekilas sebelum akhirnya menelungkup lagi. Ares hampir saja menjerit saat melihat wajah Anggun yang sembab, tapi kemudian memilih membisu dan mendekat.Ares tak peduli jika nanti Anggun marah atau berteriak, tapi Ares tetap maju dan ikut naik ke atas ranjang. Anggun tak bergerak selain tetap menelungkup.“Anggun ... maafkan aku,” kata Ares. Ares hampir meraih siku Anggun, sayangnya lolos karena Anggun menyingkir.“Maafkan aku, Anggun. Aku hanya cemburu.” Ares kian mendekat dan kali ini berhasil merengkuh tubuh Anggun.“Lepaskan aku!” Anggun berontak, tapi Ares tetap mendekapnya.“Tidak sebelum kau memaafkan aku,” Ares kian
Hampir setengah jam Ares mondar mandir di ruang tamu. Menunggu Anggun yang tak kunjung pulang, membuat Ares meradang. Ares marah, tapi juga khawatir. Nomor Anggun berulang kali ia hubungi juga tak kunjung tersambung.“Kau di mana?” gumam Ares masih dengan mondar-mandiri.Cekleeek ...Seketika Ares berbalik badan dan mendongak. Pintu terbuka dan seseorang menyembul dari baliknya.Melihat siapa yang datang, Ares seketika menggeram keras sambil mengepalkan kepalan di udara. Rena yang terkejut lantas masuk dengan perasaan bingung.“Kau kenapa?” tanya Rena saat sudah mendekat.Rena meraih pundak Ares dan bertanya lagi. “Heh, kau kenapa?”Ares meraup wajah lalu menghempas duduk di atas sofa. Rena yang masih belum mengerti, angkat bahu kemudian ikut duduk.“Ada apa?” Rena bertanya lagi. “Ada masalah?”“Anggun belum pulang,” jawab Ares.“Ha?” Anggun ternganga. “Belum pulang? Memangnya Anggun kemana?”Ares tidak menjawab dan hanya mendesah.Tak lama kemudian, pintu terbuka lagi. Keduanya mendo
Klunting!Satu pesan singkat masuk ke ponsel Anggun yang berada di atas pangkuan. Anggun yang kala itu sedang duduk bersantai sambil menonton televisi, segera meraih ponselnya lalu membuka pesan masuk tersebut.“Nomor siapa ini?” batin Anggun. Karena penasaran, Anggun pun menggeser lagi layar ponselnya. Dan saat itu juga muncullah serentetan pesan bergambar.Anggun menutup mulutnya yang terbuka dengan satu telapak tangan. Matanya berkedut tanpa beralih pandangan pada layar ponselnya yang masih menyala. Anggun mulai bergetar ketika melihat tanggal yang tertera di gambar tersebut. Itu artinya, foto ini di ambil saat Ares meninggalkan Anggun di rumah ayah mertua.“Bukankah ini ... em?” Anggun nampak berpikir. “Ini ... ini wanita yang sempat datang ke apartemen beberapa bulan yang lalu. Aku lupa namanya.”Saat Anggun hendak melempar ponselnya di ruang kosong di samping ia duduk, ponsel tersebut tiba-tiba berdering. Nomor yang baru saja mengirim gambar tersebut menelpon.Anggun menelan lud
Pagi hari, Ares menyempatkan diri menengok ayahnya. Beliau sudah mendingan karena hari ini sudah bisa ikut sarapan bersama. Wajahnya pun terlihat sudah tidak terlalu pucat.“Ayah sudah sehat?” tanya Anggun.“Tentu saja sehat. Kau pikir suamiku akan sakit terus?!” Ana menyerobot menjawab. “Atau kau suka kalau mertuamu sakit?”Anggun terdiam sambil mencengkeram tangan Ares di bawah meja.“Istriku. Jangan membuat kegaduhan, Anggun hanya bertanya. Toh selama aku sakit, dia yang sering membantuku,” timpal Bian.“Apa maksudmu? Jadi kamu pikir Mareta juga tidak membantu?” Ana melirik tajam ke arah Anggun.Ares mungkin marah, tapi dia sedang menahannya dan menunggu reaksi apa yang akan terjadi selanjutnya.“Kau coba tanya saja pada Mareta. Aku tidak mau membeda-bedakan menantuku, tapi karena kau selalu memancingku, aku juga bisa marah.”Pagi di ruang makan mulai terlihat kacau. Bian baru saja sembuh dan sang istri justru memanggil kegaduhan.“Jangan memancing amarahku di ruang makan!” gertak
Sekitar pukul sepuluh malam Ares sampai di rumah lagi. Suasana rumah sudah sepi, lampu-lampu di lantai bawah pun sudah di matikan. Hanya terlihat satu sinar terang dari arah dapur. Karena haus, Ares pun berbelok ke arah dapur. Ia pikir Anggun ada disana, karena sering kali malam-malam Anggun merasa lapar.“Kau?” pekik Ares saat yang ia jumpai di dapur bukanlah Anggun melainkan Mareta.Mareta menoleh sambil memegang gelas berisi air mineral. “Hai, Ares. Kau baru pulang?”“Hem.” Ares memilih acuh.Meski Mareta berniat menghalangi jalan dengan berdiri di depan meja konter, tapi Ares terap maju untuk meraih sepoci air mineral yang ada di belakang Mareta.“Awas, aku mau ambil minum,” kata Ares.“Oh, maaf.” Mareta menyingkir, tapi mendadak kakinya terkilir.Ares yang belum sempat meraih gelas lebih dulu menangkap tubuh Mareta yang sudah miring dan hampir jatuh. Gelas yang Mareta pegang masih aman, tapi air di dalamnya sudah tumpah membasahi lantai.“Kalian sedang apa?” tanya Anggun yang tib
Sore harinya, Anggun dan Ares kembali ke rumah. Bukan untuk bermalam, tapi rencananya hanya untuk memberikan buah yang tadi sempat dibeli di pasar. Namun, karena mendadak Ares mendapat panggilan dari Nando, Ares terpaksa harus meninggalkan Anggun di rumah ini.“Aku tinggalkan kau sebentar tak apa kan?” tanya Ares. “Aku mau mengajakmu, tapi takutnya nanti sampai larut malam.”“Tidak apa-apa. Aku sudah biasa di rumah ini kan?”“Kalau Mareta mengganggumu, kau bisa telpon aku. Oh atau nanti aku akan suruh Mareta datang. Bagaimana?”Melihat ekspresi Ares yang terlihat begitu khawatir, Anggun jadi ingin tertawa. Namun, karena tak mau membuat Ares marah, Anggun mengumpat tawa dengan cara memeluk tubuh Ares.“Tidak usah, aku akan baik-baik saja di sini. Tidak ada yang akan menyakitiku.”Setelah obrolan singkat itu, pada akhirnya Ares benar-benar meninggalkan Anggun. Kalau saja tempat tujuannya searah dengan jalur ke apartemen, mungkin Ares akan mengantar Anggun pulang dulu. Namun, karena jar
Sayangnya kepindahan mereka ke luar kota harus tertunda. Ayah mendadak sakit dan tidak mengijinkan Ares untuk pindah lebih dulu. Ares sempat jengkel karena semua rencana membawa Anggun pergi dari kota ini gagal. Namun, sebagai sang istri, Anggun tentunya mencoba membujuk supaya Ares mau bertahan di sini sampai ayah sembuh."Kita tunggu sampai ayah sembuh, Sayang." Kalau sudah dipanggil dengan sebutan sayang, mendadak perasaan Ares menjadi lumer."Tapi aku tak mau tinggal di rumah itu," kata Ares."Iya. Kan kita tinggal di sini." Anggun merangkul lengan, lantas mendaratkan kepala di pundak Ares. "Kita siap-siap."Ares menunduk mencari wajah Anggun. Memberi satu kecupan di bibir sembari mengelus kening Anggun. “Kau tidak boleh dekat-dekat dengan Mareta.”Anggun mengangguk. “Ya sudah aku ganti baju dulu.” Anggun lantas berdiri.Setelah semua sudah beres, Anggun dan Ares kemudian meninggalkan apartemen dan pergi menjenguk ayahnya di rumah.“Suamiku, harusnya kau tidak usah mencegah Ares u
“Sampai sini saja. Ini sudah malam juga,” kata Ares saat dua koper besar sudah di depan pintu apartemen. “Kau antar Rena pulang.” Ares berkata pada Nando.“Baik, Tuan.” Nando mengangguk.“Kabari aku kalau kau sudah beneran pindah ke rumah baru,” kata Rena.Ares tersenyum. “Pasti.”Setelah Nando dan Rena pergi, Ares segera masuk ke dalam. Menyeret koper bergantian, kemudian Ares meletakkannya di samping lemari besar di dekat rak TV. Setelah itu, Ares menghela napas sambil menyugar rambutnya ke belakang. “Melelahkan juga ternyata.”“Apa Anggun sudah tidur?” gumam Ares. Didapati jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.Perlahan-lahan, Ares membuka pintu kamar. Lampu masih menyala terang. Ares menutup pintu kemudian berbalik dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Berhenti di gazebo di dekat jendela, Ares mendapati sosok Anggun tengah meringkuk dengan kedua telapak tangan terhimpit di antara paha.Ares mendekat. Tak mau sampai Anggun terbangun, Ares mulai men
Sebelum kembali ke rumah, Ares mampir terlebih dulu ke restoran. Rencananya Ares akan menelpon Nando, tapi berhubung ponselnya tertinggal di apartemen, pada akhirnya Ares terpaksa menemui Nando di restoran.Sampai di sana—di ruang khusus menejer—Ares dikejutkan dengan adanya Rena di dalam sana. Rena tengah duduk tak jauh dari Nando di atas sofa.“Kau di sini?” tanya Ares pada Rena. Rena meringis. “Jangan bilang kalian?”Mereka berdua saling pandang sebelum akhirnya sama-sama meringis menatap Ares.Ares nampak menghela napas, lalu memutar bola malas. “Baguslah. Aku senang ada yang kau sama Rena.”“Apa!”“Pfff!”Jika Rena melotot, Nando justru sedang mengumpat tawa.“Kau menertawakanku, ha?” sembur Rena“Aduh!” jerit Nando saat telapak tangan mendarat di pundaknya. “Sakit tahu!”Saat mereka berdua hendak mulai adu mulut dan saling memukul, Ares sudah lebih dulu menyela. “Diamlah!”Sesaat keduanya langsung diam. Meski sempat saling mencebik dan lirik, tapi kemudian mereka berdua foku