Anggun sempat ditawari Darius untuk pulang bersama, tapi Anggun memilih menolaknya. Bukan berniat begitu, hanya saja Anggun tak mau disangka macam-macam. Apalagi sekarang Anggun sudah bersuami, apa jadinya kalau diantar pulang oleh pria lain?“Dari mana kau?” tanya Mareta sinis.Wanita judes ini nampaknya hanya seorang pengangguran saja saat ini. Karena memang Anggun selalu saja menjumpai wajah menyebalkan itu di setiap sudut.“Apa urusannya denganmu?” Anggun balik bertanya.Mareta mendecih lalu menarik tas selempang Anggun hingga jatuh dari pundak. “Berani sekali kau padaku? Kau pikir, kau sudah punya tempat dirumah ini?”“Punya tempat atau tidak, aku sama sekali tidak peduli,” jawab Anggun.Mareta bergumam sambil memutari tubuh Anggun. “Sepertinya aku kenal dengan pakaianmu,” kata Mareta dengan jemari mengusap dagu.Anggun tetap acuh dan berniat tidak peduli.“Bukankah ini seragam pelayan restoran milik Ares?” tebak Mareta diikuti seringaian.Anggun masih acuh dan justru memilih ing
Biarpun sifat suami masih galak, tetap saja Anggun tak mungkin menolak perintahnya. Seperti apa sifat sang suami, Anggun tetap wajib mematuhi dan menghormatinya.“Kenapa Nona ada di sini?” tanya Bibi Rani terkejut. “Inikan masih pagi.”Anggun tersenyum. “Aku mau bantu bibi memasak.”“Apa?” pekik Bibi Rani. “Tidak usah, Nona. Ini sudah menjadi tugas bibi dan pelayan lain.”Anggun menoleh mencari dua pelayan lain yang sedang memegang tugas masing-masing. Ada satu yang sedang mengepel di ruang tengah, satu lagi mungkin sedang mencuci.Dan sepertinya ada satu pelayan pria. Sepertinya dia penjaga rumah sekaligus supir kalau sedang dibutuhkan.“Ini perintah dari Tuan Ares, Bibi,” ucap Anggun.Kalau sudah dikatakan karena di Tuan muda, Bibi Rani tak mungkin membantah.“Apa benar begitu?” tanya Bibi Rani.“Iya, Bibi.”Anggun mendekat dan membuka pintu kulkas. “Biasanya makanan seperti apa yang disukai tuan Ares?” tanya Anggun. “Hampir semua makanan, pasti Tuan Ares suka,” jawab Bibi Rani.“M
Sampai di parkiran mobil, Ares tak langsung mengijinkan Anggun untuk turun.“Kenapa?” tanya Anggun saat Ares menarik lengannya.“Jangan keluar sebelum kau kepang rambutmu!” pinta Ares.Anggun diam dan tak mengerti. Sikap Ares pagi ini sungguh membuat Anggun bingung.“Kepang rambutmu, cepat!”Anggun gelagapan dan segera melepas kuncir rambutnya. Kedua tangannya gemetaran saat membagi rambut menjadi dua bagian karena Ares terus menatapnya.“Ambilan karet di dalam tas,” pinta Anggun pelan.Berdecak, Ares menjambret tas di atas pangkuan Anggun. “Di mana?” tanya Ares saat resleting tas terbuka.“Ada di dalam.” Anggun hanya menunjuk dengan tatapan mata karena dua tangannya sedang memegang ujung rambutnya yang sudah ia kepang.“Ini!” kata Ares ketika karet kecil berwarna pink sudah dalam genggaman dua jarinya.“Terimakasih,” ucap Anggun.Saat Anggun masih sibuk dengan rambutnya, Ares meraih ponsel di dalam dasbor.“Keluar sekarang!” perintah Ares saat ponsel sudah terhubung. “Bawakan seragam
Masuk ke ruang para pelayan, Anggun buru-buru meletakkan tas dan membenahi tampilannya.“Astaga! Otakku masih jalan-jalan tidak jelas!” Anggun penepuk-tepuk pipinya sendiri saat pintu loker sudah tertutup.“Anggun, kau kenapa?” tegur Nita.Anggun terpekik sambil berjinjit. “Nita, kau mengagetkanku!”Kening Nita berkerut. “Kau melamun?”Anggun meringis hingga terlihat cekungan pada dua pipinya. “Tidak, aku hanya sedang sedikit ada masalah.”“Masalah?” tanya Nita. “Masalah apa?”Anggun tersenyum. “Bukan apa-apa.”“Kau masih ragu untuk cerita padaku kan? Tak apa.” Nita menepuk pundak Anggun. “Kita baru kenal, akan lancang kalau aku ikut campur.”“Hei, kalian berdua!” teriak seorang senior.Anggun dan Nita sepakat menoleh bersamaan.“Cepat bereskan bagian depan!” perintahnya lantang. “Enak-enakkan ngobrol!”Anggun dan Nita saling pandang lalu terkekeh.“Ayo cepat!” umpat Anggun sambil menarik lengan Nita. “Aku baru dua hari bekerja di sini. Jangan sampai aku dipecat!”Nita justru terkekeh
Jika tahu kemana arah pergi Mareta setelah angkat kaki dari restoran, mungkin Anggun akan menyimpan amarah. Namun, kenyataannya Anggun tak mungkin bisa tahu kecuali ada yang memberitahunya.Saat ini Mareta tengah berdiri di depan sebuah gedung apartemen. Mareta mungkin ragu untuk datang ke tempat ini, tapi karena penasaran jadi mendorong raga untuk datang.Sudah lama Anggun tak datang berkunjung, bisa saja orang yang akan ditemuinya sudah tidak pernah datang atau mungkin sudah menjual salah satu apartemen di gedung ini.Tok! Tok! Tok!Mareta mengetuk pintu dengan perasaan gugup. Mareta hanya takut di balik pintu ini sudah berganti pemilik.“Mareta?” pekik seorang saat pintu terbuka.Senyum Mareta seketika mengembang saat sosok Ares yang membukakan pintu. Itu berarti Ares masih sering berada di sini.“Ada apa?” tanya Ares sinis.“Jangan begitu padaku,” sahut Mareta sendu. “Ijinkan aku masuk.”Ares bergeser untuk memberi jalan pada Mareta.Saat pintu sudah tertutup, Ares berjalan masuk
Sepertinya Anggun harus puas dan tetap bertahan walaupun setiap hari harus diganggu oleh Mareta. Wanita itu saat ini sepertinya menjadikan Anggun sebagai target bahan hinaan.“Istri anak orang kaya, tapi harus bekerja di restoran. Duh, memalukan!” cela Mareta saat Anggun memasuki ruang tamu.Anggun acuh dan memilih berlalu. Menurut Anggun, meladeni Mareta bukanlah kegiatan yang harus dilakukan. Namun, bukan Mareta namanya kalau membiarkan Anggun lepas begitu saja.“Sepertinya Ares malu mengakuimu sebagai istri. Kau harus sadar tentang hal itu,” seloroh Mareta.Mareta berdiri dengan melipat kedua tangan di hadapan Anggun. Niatnya memang untuk menghalangi langkah Anggun.“Aku tidak mau berdebat denganmu. Jadi menyingkirlah!” pinta Anggun dengan suara lemas.Pekerjaan di restoran hari ini lebih banyak dari pada hari kemarin. Dan Anggun tidak mau membuang waktu hanya untuk mengurusi ocehan wanita seperti Mareta.“Kami pulang!”Suara dari arah ruang tamu membuat Anggun dan Mareta menoleh b
Bangun dari tidurnya, Anggun merasakan ada sesuatu yang mendarat di pinggannya. Sementara di bagian belakang, ada tubuh yang menempel erat. Untuk memastikan ada apa sebenarnya, Anggun perlahan menunduk ke arah bagian perut.Seketika itu Anggun membelalak dan langsung menutup mulutnya yang terbuka dengan tangan.“Kenapa aku bisa tidur disini?” tanya Anggun dalam hati.“Eh!” pekik Anggun tiba-tiba.Pelukan itu semakin erat dan Anggun bisa merasakan ada embusan napas dari arah belakang. Tepatnya di bagian tengkuk. Saat Anggun menoleh, bagian rambut Ares terlihat. Dan bisa dipastikan sapuan angin lirih itu berasal dari hidung Ares.Anggun yang merasakan napasnya sesak, bergeser sedikit sambil mencoba mengangkat lengan kekar yang masih mendarat di tubuhnya.Saat sudah terangkat dan Anggun ingin menyingkir, tangan itu kembali jatuh dan menarik lebih dalam tubuh Anggun hingga pelukan justru semakin erat.Anggun mengerjapkan mata dengan wajah berkerut. “Bagaimana ini? Kalau dia bangun, bisa g
“Padahal rencananya kita mau menyusul ke bali, tapi kalian sudah kembali,” kata Rangga saat di ruang makan.Di samping Rangga, Mareta mengimbuhi. “Iya, Ibu. Aku dan Rangga berencana bulan madu ke sana.”Ana mendesah. “Ibu juga sebenarnya masih ingin di sana, tapi karena pekerjaan ayah sudah selesai jadi terpaksa harus pulang. Nia juga sudah ribut untuk segera pulang ke jakarta.”Merasa disindir, Nia hanya mendengus dengan mulut penuh makanan. Mereka bertiga sontak tertawa.“Kenapa kalian sudah makan lebih dulu?” tanya Bian yang baru bergabung. “Di mana Ares dan Anggun?”“Belum bangun mungkin,” jawab Ana acuh.Bian duduk usai menoleh ke belakang lebih dulu.“Bibi!” panggil Bian setelah itu.Dari arah dapur, Bibi Rani lari tergopoh-gopoh. “Iya, Tuan. Ada apa?”“Panggilkan Ares dan Anggun,” kata Bian.Bibi Rani mengangguk kemudian bergegas menuju lantai dua.“Tuan!” panggil Bibi Rani sesampainya di depan pintu kamar Ares. Kelima jemarinya tertekuk ke dalam lalu mengetuk pintu beberapa