Hidup bergelimpangan harta sudah menjadi pilihan para wanita di mana pun mereka berada. Harta, Tahta dan Pria, incaran ganas bagi siapa pun. Rupanya tampan, dia kaya, gagah nan memesona. Namun, siapa yang sangka, di balik ketampanan dan kekayaannya, menyimpan sejuta keganasan di dalamnya.
Gareesa Wicaksono, itulah namanya. Panggil saja Ares. Itu panggilan dari keluarga dan teman-temannya.Pria gagah itu kini sedang berdiri dengan kedua tangan terlipat menghadap orang-orang yang tengah duduk di tuang tamu. Ada ayah dan ibunya, ada tiga tamu lain yang sepertinya berasal dari kalangan rendah.“Apa ini perjodohan untukku lagi?” tanya Ares dengan nada sinis.Belum sempat ada yang menjawab, Ares sudah berdecak sambil membuang muka. “Dan lihatlah, kenapa yang datang keluarga kumuh begini?”“ARES! Jaga bicaramu!” gertak Bian (Ayah). “Mereka tamu kita, bersikaplah yang sopan!” Bian masih melotot.Mendengar hampir ada perdebatan, tiga orang yang duduk di depan kedua orang tua Ares, tampak gelisah dan gemetaran.“Ayah ....”Ares meraup wajah kemudian berdecak. “Lihatlah mereka, tampangnya saja lusuh begitu, bagaimana bisa disandingkan denganku?”“ARES!” gertak Bian lagi. Dan Ares tetap bersikap santai tanpa ada rasa bersalah. “Duduklah dan biarkan kami membicarakan ini baik-baik.”Ares menyeringai. Saat ia duduk, bola matanya sempat melirik ke arah seorang gadis berambut kepang dengan panjang di bawah pundak. Ares tidak bisa melihat dengan jelas rupanya seperti apa karena gadis itu sedari tadi menunduk.“Ck! Apa gadis itu yang akan menikah denganku?” tanya Ares saat Ayahnya hendak bicara.“Ares, diamlah dulu. Ayahmu mau bicara,” wanita di samping Bian melotot ke arah Ares.Dia Ana, ibu tiri dari Ares.“Hei! Anda bukan siapa-siapaku, jangan mengaturku!” sulut Ares sambil menuding.Bian berkedip pada sang istri, sambil mengusap lengan. Bian memberi kode supaya tidak usah ikut bicara. Ana sempat merengut, tapi ada baiknya juga berdiam diri dari pada ikut berdebat dengan pria seperti Ares.“Jawab ayah!”Bian terperanjat saat tiba-tiba Ares berteriak ke arahnya.“Apa gadis itu yang akan menjadi istriku?” tanya Ares mengulang pertanyaan yang tadi.Gadis itu terlihat semakin menciut ketakutan. Kedua tangannya gemetaran dan saling genggam. Ares sempat menyeringai melihat ketakutan gadis itu.“Mau bertahan sampai berapa detik dia bersamaku,” batin Ares masih dengan melirik tangan gemetaran itu.“Kau duduklah yang tenang, biar ayah menyelesaikan pembicaraan ini.” Bian menepuk pundak Ares saat sudah duduk di sampingnya.“Sepertinya menarik. Baiklah, aku akan ikuti drama ini,” gumam Ares dalam hati.“Perkenalkan, mereka dari keluarga Kakek Baskoro. Ini Paman Anton dan ini Bibi Maya. Kalau yang ini ....”“Gadis lusuh!” potong Ares sambil menyeringai jijik.Senyum yang sempat mengembang di bibir Anton dan Maya langsung lenyap.Bian menghela napas lalu berkata lagi tanpa memperdulikan perkataan Ares baru saja.“Namanya, Anggun. Anggun Lestari.”Mendengar nama gadis itu disebutkan, gelak tawa mencuat begitu sana dari mulut Ares. Ares tertawa sampai buliran bening muncul di ujung mata.“Aku tidak salah dengar?” Ares ternganga menatap ayahnya.“Apa maksudmu?” tanya Bian.“Anggun Lestari? Hm ... kenapa nama itu terdengar sangat aneh?” Ares tertawa lagi. Sementara yang lain hanya bisa mengusap dada.“Namanya kampungan sekali!” ceplos Ares lagi.“Jaga bicara anda, Tuan!” Anggun tiba-tiba berdiri. Dua bola matanya menyala ke arah Ares. “Jangan pernah menghina namaku!”“Heh!” Ares ikut berdiri. “Apa bagusnya namamu? Terlalu kampungan, makanya pantas dihina!”“Ares, dudulah.” Bian menarik lengan Ares.“Kau juga duduk Anggun,” perintah Anton dan Maya.Ares dan Anggun sama-sama merengut. Keduanya pun duduk dengan rasa keterpaksaan. Dari lirikan Ares, Ares mendapati Anggun tengah terisak. Gadis itu menunduk dan terlihat meremas-remas jari.“Apa dia menangis?” batin Ares. “Cih! Dasar cengeng! Begitu saja sudah menangis!”“Sekarang apa?” tanya Ares pada semuanya. “Kalian sudah mengaturnya kan? Sekarang putuskan!” perintah Ares pada Ayah dan ibu tirinya.Bian terlihat menarik napas dalam-dalam. Menggenggam tangan sang istri, kemudian mulai bicara pagi.“Ayah akan menikahkan kau dan Anggun.”Tak ada yang kaget di ruangan ini. Ares maupun Anggun hanya diam. Kenapa harus kaget? Ares dan Anggun sudah bisa menebak apa yang akan terjadi di ruangan ini.“Baiklah, atur sesuka kalian.” Ares berdiri meninggalkan ruang tamu.“ARES! Tunggu Ares!” teriak Bian dengan lantang. Namun, Ares sudah berlalu dengan diikuti asistennya yang sedari tadi berdiri diam di belakang Ares yang duduk.“Maafkan anakku,” sesal Bian pada tamunya.Mereka hanya tersenyum getir, sementara Anggun, mencibir dengan rahang menguat.“Bagaimana mungkin ayah menikahkanku dengan wanita seperti itu?” tanya Ares saat sudah sampai di dalam kamar.Asistennya yang bernama Nando, hanya nyengir sambil garuk-garuk kepala.“Kenapa kau cuma diam saja di sana!” sembur Ares pada Nando. “Setidaknya bantu aku bicara!”“Maaf, Tuan.” Nando menangkup kedua tangan. “Aku tidak ada hak untuk ikut campur.”“Heh!” Ares melotot. “Kau kan bawahanku, aku yang membayarmu. Kenapa kau malah diam seperti patung tadi? Aku sampai berpikir kau tidak ada di sana tadi.”Nando nyengir lagi. “Maaf, Tuan. Suasana kan sedang genting, jadi aku cari aman.”“Kebiasaan!” Ares mendengus lalu melompat naik ke atas ranjang.Nando menarik kursi persegi kemudian ia duduki. “Tapi ya, Tuan ...” wajah Nando terlihat serius.“Apa?” salah Ares langsung. “Jangan bilang kau mendukung perjodohan ini!”Nando meringis sambil garuk-garuk kepala.“Jadi, kau setuju aku menikah dengan gadis tadi?” dua bola mata Ares sudah melotot.“Tenang dulu, Tuan.” Nando menekan udara dengan telapak tangan. “Aku hanya berpikir gadis itu sangat berbeda dari yang biasanya.”“Maksudmu?” Ares menaikkan kedua alisnya.“Dia lain dari yang biasanya Tuan dan Nyonya kenalkan padamu. Biasanya mereka membawa wanita dari kelas atas, tapi kali ini ... kenapa mereka membawa gadis yang, Em ... kuras masih di bawah umur.”Ares masih menatap wajah Nando dengan serius. Perkataan Nando memang ada benarnya. Biasanya ayah dan ibu akan menjodohkannya dengan orang terpandang. Teman bisnis misalnya. Namun, kali ini kenapa berbeda.Ares mengusap-usap dagu lalu kembali menatap Nando. “Menurutmu, aku harus bagaimana?”“Terima saja perjodohan ini.”“Kau gila ya!” Ares langsung membelalak. Ares bahkan sampai duduk tertegak dengan jari mengacung lurus ke arah Dion.“Tenang, Tuan.” Nando tersenyum supaya Ares tidak melotot lagi. “Dengarkan aku dulu.”“Apa?” sahut Ares malas.“Tuan pernah bilang padaku ingin memiliki wanita yang lain dari yang lain. Mungkin, ini jawaban dari keinginanmu, Tuan.”“Tetap saja bukan gadis lusuh seperti itu yang aku mau!” salak Ares. “Kau tidak lihat ya, dia bahkan masih mengepang dua rambutnya. Najis!”Nando meringis. “Tuan pikir-pikir dulu saja. Wanita glamor atau wanita yang biasa saja.”Degh! Ares mendadak terpaku dengan kalimat yang diucapkan Nando. Dua pilihan yang berbanding terbalik pada setiap gadis yang mendekati Ares.***(Gareesa Resto)“Jadi ... kau dijodohkan lagi?” tanya seorang wanita cantik yang sedang makan buah.Ares mengangguk. “Aku tidak tahu kenapa ayahku melakukan hal itu,” desah Ares.Wanita bernama Rena itu tertawa geli. “Kenapa kau tidak cari pacar, lalu kau kenalkan pada ayahmu? Bukankah itu mudah?”“Apanya yang mudah?” sembur Ares. “Kau pikir gampang cari wanita di luar sana?”Sambil mengacungkan sendok garpu, Rena berkata, “Kau tampan, mapan, kurang apalagi? Banyak wanita yang akan mengantre.”“Kau pikir aku mencari wanita yang memandangku hanya karena dua hal itu?” Ares mendelik. “Bukannya hidup bahagia, yang ada aku malah menderita.”Rena mangut-mangut. Garpu yang semula ia acungkan ke arah Ares sudah menancap di potongan buah melon.“Kalau begitu, kenapa kau tak coba menerima gadis itu?”Ares langsung terenyak. “Apa kau bergurau?”Masih mengunyah buah, Rena menggeleng. “Tentu saja tidak. Aku sangat serius malah.”“Jadi, kau setuju kalau aku menikah dengan wanita lusuh itu?” Ares s
Hidup sebagai anak hasil dari perselingkuhan memang terlihat buruk. Setelah ibu meninggal sekitar 10 tahun yang lalu, Ares terpaksa tinggal bersama ayahnya bersama istri tertua dengan satu anak laki-laki. Di hitung dari umur Ares yang sudah menginjak umur 30 tahun, itu berarti Ares mulai tinggal di sini sejak umur 20 tahun.Jika bukan karena ayah menjual rumah lamanya secara diam-diam, mungkin Ares tak akan pernah tinggal di rumah ini. Rumah yang menurut Ares penuh dengan sandiwara.“Aku memang bukan pria kantoran seperti Rangga. Tapi aku bisa membuktikan bahwa dengan waktu tiga tahun saja aku bisa memiliki usaha sendiri.” Ares tengah menggerutu di dalam kamarnya.“Memiliki usaha sesudah para wanita meninggalkanku dengan kejam.” Ares tertawa getir. “Mungkin karena ini mereka meninggalkanku dulu.”Ares meraup wajahnya kemudian menjambret handuk di gantungan. Dengan langkah malas, Ares masuk ke dalam kamar mandi.Jam dinding masih menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh. Namun, jika di
“Jadi, Tuan sungguh mau menikah dengan Nona Anggun?” tanya Nando saat dalam perjalanan menuju rumah AnggunAres yang duduk di jok belakang sambil bersandar pada kaca, mengangguk. “Mau bagaimana lagi, Aku tidak punya pilihan lain.”Nando diam sejenak. Ia seperti hendak mengatakan sesuatu tapi tersangkut di tenggorokan karena ragu.“Katakan saja, Aku akan dengarkan pendapatmu.”Nando sempat meringis sebelum melirik ke arah spion yang menggantung di atas. “I-iya, Tuan.”“Setidaknya beri aku solusi sebelum aku benar-benar menjalani pernikahan dengan orang yang tidak aku kenal,” desah Ares masih sambil menatapi jalanan yang ramai.Nando menelan saliva. Kedua bibirnya mulai bergerak untuk berbicara.“Menurutku Nona Anggun gadis yang baik. Dia juga cantik dan manis.”“Cantik kau bilang?” Ares membelalak. “Cantik dari mananya?”“Aku tidak tahu, aku hanya merasa gadis itu tidaklah buruk. Sepertinya dia gadis yang mandiri,” ujar Nando.Ares mengusap-usap dagu sambil bersandar pada dinding sofa.
Masuk ke dalam kamar tersebut, Ares sedikit tercengang dengan kondisinya. Bukan karena kamar ini jelek, tapi hanya terlalu sempit menurut Ares.Hanya ada satu kamar yang muat untuk satu orang saja, lalu ada satu lemari berukuran sekitar setengah meter. Dan ada meja rias komplit dengan kaca bulat di sudut ruangan. Jika di lihat, kamar ini berukuran sekitar 3 x 3 meter saja.Berbalik badan, Ares mendapati sebuah pintu di samping lemari. Itu pasti kamar mandi.“Bagaimana caranya dia tidur?” tanya Ares saat pandangannya kembali tertuju pada ranjang sempit itu.“Aku baru tahu, ternyata ada ranjang sekecil ini. Kamar pembantu saja tidak seperti ini di rumahku.” Ares masih berbicara sendiri.“Lho, kenapa pintu kamarku terbuka?” gumam Anggun. Dua kakinya berhenti tepat di depan pintu.Secara perlahan dan sebisa mungkin tak mengeluarkan suara, Anggun mengintip dari pintu yang sedikit terbuka itu.Mata Anggun langsung membelalak. Satu telapak tangannya membungkam mulut supaya tidak sampai berte
Setelah dari rumah Anggun, Ares pulang naik taksi. Tidak pulang ke rumah, melainkan Ares beralih jalur menuju sebuah kelab di pinggiran kota.Minum sedikit mungkin tidak ada masalah. Setidaknya untuk menghilangkan sedikit rasa stres karena sebentar lagi harus mengadakan pernikahan dengan seorang wanita yang sama sekali tidak dicintainya.“Beri aku wine, anggur, bir, Wisky atau semacamnya,” pinta Ares pada salah satu bar tender.Sambil menunggu minumannya datang, Ares memandangi sekumpulan orang-orang yang tengah berjoget ria di bawah sinar lampu kelap-kelip diiringi sebuah musik.“Kenapa mereka bisa berjoget ria seperti itu?” tanya Ares dalam hati. “Apa mereka sama sekali tidak ada beban hidup?”Ares memutar pandangan saat minumannya datang. Meneguknya hingga habis, kemudian matanya mengerjap-kerjap merasai lidahnya yang terasa seperti mengisap sesuatu.“Halo, Tampan.” Seorang wanita datang mendekat dan bergelayut manja. “Mau aku temani?”Ares terlihat menaikkan satu ujung bibirnya. W
Beruntung karena semua orang sudah tertidur. Namun, tetap saja Anggun meminta Nando untuk membawa Ares secara perlahan dan sebisa mungkin tanpa bersuara. Meskipun harus bersusah payah membawa Ares dengan setengah menyeret, akhirnya Ares jatuh bisa di atas ranjang Anggun.Nando terlihat sedang mengatur napasnya sambil membungkuk bersangga pada tangan menekan lututnya. Sementara Anggun, sedang menggigit bibir sambil memandangi Ares yang tergeletak dan masih terpejam.“Kalau sudah begini mau bagaimana, Tuan?” tanya Anggun sedikit panik.Ya ... meskipun katanya sebentar lagi akan menjadi sepasang suami istri, tapi melihat ada Ares di dalam kamarnya tentu membuat Anggun gugup dan takut.“Biarkan Tuan Ares menginap semalam di sini,” ucap Nando saat sudah berdiri tegak.Dari cara Nando berbicara, terlihat kalau dia masih tersengal-sengal.“Menginap di sini?” pekik Anggun. “Kenapa tadi Tuan Ares tidak dibawa pulang saja? Dan kenapa justru di bawa ke sini?” Anggun terus bertanya.Nando menghel
Pagi sudah datang. perlahan-lahan Ares membuka matanya sambil menggeliat dan menguap. Saat mendongak, Ares mendapati jam masih menunjukkan pukul lima pagi.Beralih menatap ke bawah, Ares mendapati Anggun masih meringkuk di atas lantai beralaskan selimut. Tanpa selimut lain dan hanya menggunakan satu bantal saja.Ares menggeser tubuhnya secara perlahan. Saat kedua matanya sudah menapak lantai, Ares kemudian berdiri. Berdiri sejenak karena setelah itu Ares berjongkok.“Aku tidak habis pikir, kenapa kau bisa tidur dengan nyaman di atas lantai?” gumam Ares sambil menelusuri wajah Anggun yang mulus dan persih tanpa cacat luka.“Kau lumayan,” gumam Ares lagi sambil menyibakkan helaian rambut yang menyelip di bagian leher.“Anggun! Bangun!” seseorang mengetuk pintu dengan keras diiringi teriakannya yang lantang.Ares yang sedang menikmati wajah Anggun yang sedang terpejam, seketika terenyak dan langsung berdiri. Untungnya Anggun tidur dengan sangat nyenyak.“Anggun! Cepat bangun! Aku tunggu
Sesuai janjinya semalam, Nando pagi ini datang ke rumah Anggun. Tepatnya sekitar pukul sembilan pagi.Sementara Nando dan Ares sedang berbincang di teras rumah, dari balik jendela ruang tamu Tika dan ibunya tengah mengintip alias menguping.“Benarkah Tuan Ares calon suami Anggun?” tanya Tika setengah berbisik.“Tentu saja,” jawab Maya.“Kenapa tidak dijodohkan denganku saja, Bu? Dia tampan dan kaya,” dengus Tika.Mata Tika masih mengintip—memantau wajah tampan milik Ares. “Ibu juga tidak tahu,” desis Maya. “Kapan-kapan ibu jelaskan padamu.”Tika berdecak sebal. Saat kedua kakinya memutar balik, sosok Anggun sudah berdiri di belang mereka berdua.“Kalian sedang apa?” tanya Anggun.Sambil mendengus, Tika menghampiri Anggun kemudian mencengkeram lengan Anggun. “Dengar ya, jangan mentang-mentang kau akan menikah dengan Tuan Ares, kau jadi berani padaku!” hardik Tika sambil melotot.“Apa maksudmu?” tanya Anggun.“Jangan berlagak bodoh kau!” Maya menoyor pelipis Anggun. “Kau jangan macam-m
Sesuai saran Rena, pelan-pelan Ares mendekati Anggun yang saat ini sedang menangis di sudut ranjang. Anggun menyembunyikan wajahnya di balik lutut dan kedua tangannya yang terlipat.Dari jarak beberapa meter saja, Ares bisa mendengar dengan jelas kalau Anggun masih terus menangis hingga tubuhnya bergetar.“Anggun,” panggil Ares dengan sangat pelan.Anggun mendongak sekilas sebelum akhirnya menelungkup lagi. Ares hampir saja menjerit saat melihat wajah Anggun yang sembab, tapi kemudian memilih membisu dan mendekat.Ares tak peduli jika nanti Anggun marah atau berteriak, tapi Ares tetap maju dan ikut naik ke atas ranjang. Anggun tak bergerak selain tetap menelungkup.“Anggun ... maafkan aku,” kata Ares. Ares hampir meraih siku Anggun, sayangnya lolos karena Anggun menyingkir.“Maafkan aku, Anggun. Aku hanya cemburu.” Ares kian mendekat dan kali ini berhasil merengkuh tubuh Anggun.“Lepaskan aku!” Anggun berontak, tapi Ares tetap mendekapnya.“Tidak sebelum kau memaafkan aku,” Ares kian
Hampir setengah jam Ares mondar mandir di ruang tamu. Menunggu Anggun yang tak kunjung pulang, membuat Ares meradang. Ares marah, tapi juga khawatir. Nomor Anggun berulang kali ia hubungi juga tak kunjung tersambung.“Kau di mana?” gumam Ares masih dengan mondar-mandiri.Cekleeek ...Seketika Ares berbalik badan dan mendongak. Pintu terbuka dan seseorang menyembul dari baliknya.Melihat siapa yang datang, Ares seketika menggeram keras sambil mengepalkan kepalan di udara. Rena yang terkejut lantas masuk dengan perasaan bingung.“Kau kenapa?” tanya Rena saat sudah mendekat.Rena meraih pundak Ares dan bertanya lagi. “Heh, kau kenapa?”Ares meraup wajah lalu menghempas duduk di atas sofa. Rena yang masih belum mengerti, angkat bahu kemudian ikut duduk.“Ada apa?” Rena bertanya lagi. “Ada masalah?”“Anggun belum pulang,” jawab Ares.“Ha?” Anggun ternganga. “Belum pulang? Memangnya Anggun kemana?”Ares tidak menjawab dan hanya mendesah.Tak lama kemudian, pintu terbuka lagi. Keduanya mendo
Klunting!Satu pesan singkat masuk ke ponsel Anggun yang berada di atas pangkuan. Anggun yang kala itu sedang duduk bersantai sambil menonton televisi, segera meraih ponselnya lalu membuka pesan masuk tersebut.“Nomor siapa ini?” batin Anggun. Karena penasaran, Anggun pun menggeser lagi layar ponselnya. Dan saat itu juga muncullah serentetan pesan bergambar.Anggun menutup mulutnya yang terbuka dengan satu telapak tangan. Matanya berkedut tanpa beralih pandangan pada layar ponselnya yang masih menyala. Anggun mulai bergetar ketika melihat tanggal yang tertera di gambar tersebut. Itu artinya, foto ini di ambil saat Ares meninggalkan Anggun di rumah ayah mertua.“Bukankah ini ... em?” Anggun nampak berpikir. “Ini ... ini wanita yang sempat datang ke apartemen beberapa bulan yang lalu. Aku lupa namanya.”Saat Anggun hendak melempar ponselnya di ruang kosong di samping ia duduk, ponsel tersebut tiba-tiba berdering. Nomor yang baru saja mengirim gambar tersebut menelpon.Anggun menelan lud
Pagi hari, Ares menyempatkan diri menengok ayahnya. Beliau sudah mendingan karena hari ini sudah bisa ikut sarapan bersama. Wajahnya pun terlihat sudah tidak terlalu pucat.“Ayah sudah sehat?” tanya Anggun.“Tentu saja sehat. Kau pikir suamiku akan sakit terus?!” Ana menyerobot menjawab. “Atau kau suka kalau mertuamu sakit?”Anggun terdiam sambil mencengkeram tangan Ares di bawah meja.“Istriku. Jangan membuat kegaduhan, Anggun hanya bertanya. Toh selama aku sakit, dia yang sering membantuku,” timpal Bian.“Apa maksudmu? Jadi kamu pikir Mareta juga tidak membantu?” Ana melirik tajam ke arah Anggun.Ares mungkin marah, tapi dia sedang menahannya dan menunggu reaksi apa yang akan terjadi selanjutnya.“Kau coba tanya saja pada Mareta. Aku tidak mau membeda-bedakan menantuku, tapi karena kau selalu memancingku, aku juga bisa marah.”Pagi di ruang makan mulai terlihat kacau. Bian baru saja sembuh dan sang istri justru memanggil kegaduhan.“Jangan memancing amarahku di ruang makan!” gertak
Sekitar pukul sepuluh malam Ares sampai di rumah lagi. Suasana rumah sudah sepi, lampu-lampu di lantai bawah pun sudah di matikan. Hanya terlihat satu sinar terang dari arah dapur. Karena haus, Ares pun berbelok ke arah dapur. Ia pikir Anggun ada disana, karena sering kali malam-malam Anggun merasa lapar.“Kau?” pekik Ares saat yang ia jumpai di dapur bukanlah Anggun melainkan Mareta.Mareta menoleh sambil memegang gelas berisi air mineral. “Hai, Ares. Kau baru pulang?”“Hem.” Ares memilih acuh.Meski Mareta berniat menghalangi jalan dengan berdiri di depan meja konter, tapi Ares terap maju untuk meraih sepoci air mineral yang ada di belakang Mareta.“Awas, aku mau ambil minum,” kata Ares.“Oh, maaf.” Mareta menyingkir, tapi mendadak kakinya terkilir.Ares yang belum sempat meraih gelas lebih dulu menangkap tubuh Mareta yang sudah miring dan hampir jatuh. Gelas yang Mareta pegang masih aman, tapi air di dalamnya sudah tumpah membasahi lantai.“Kalian sedang apa?” tanya Anggun yang tib
Sore harinya, Anggun dan Ares kembali ke rumah. Bukan untuk bermalam, tapi rencananya hanya untuk memberikan buah yang tadi sempat dibeli di pasar. Namun, karena mendadak Ares mendapat panggilan dari Nando, Ares terpaksa harus meninggalkan Anggun di rumah ini.“Aku tinggalkan kau sebentar tak apa kan?” tanya Ares. “Aku mau mengajakmu, tapi takutnya nanti sampai larut malam.”“Tidak apa-apa. Aku sudah biasa di rumah ini kan?”“Kalau Mareta mengganggumu, kau bisa telpon aku. Oh atau nanti aku akan suruh Mareta datang. Bagaimana?”Melihat ekspresi Ares yang terlihat begitu khawatir, Anggun jadi ingin tertawa. Namun, karena tak mau membuat Ares marah, Anggun mengumpat tawa dengan cara memeluk tubuh Ares.“Tidak usah, aku akan baik-baik saja di sini. Tidak ada yang akan menyakitiku.”Setelah obrolan singkat itu, pada akhirnya Ares benar-benar meninggalkan Anggun. Kalau saja tempat tujuannya searah dengan jalur ke apartemen, mungkin Ares akan mengantar Anggun pulang dulu. Namun, karena jar
Sayangnya kepindahan mereka ke luar kota harus tertunda. Ayah mendadak sakit dan tidak mengijinkan Ares untuk pindah lebih dulu. Ares sempat jengkel karena semua rencana membawa Anggun pergi dari kota ini gagal. Namun, sebagai sang istri, Anggun tentunya mencoba membujuk supaya Ares mau bertahan di sini sampai ayah sembuh."Kita tunggu sampai ayah sembuh, Sayang." Kalau sudah dipanggil dengan sebutan sayang, mendadak perasaan Ares menjadi lumer."Tapi aku tak mau tinggal di rumah itu," kata Ares."Iya. Kan kita tinggal di sini." Anggun merangkul lengan, lantas mendaratkan kepala di pundak Ares. "Kita siap-siap."Ares menunduk mencari wajah Anggun. Memberi satu kecupan di bibir sembari mengelus kening Anggun. “Kau tidak boleh dekat-dekat dengan Mareta.”Anggun mengangguk. “Ya sudah aku ganti baju dulu.” Anggun lantas berdiri.Setelah semua sudah beres, Anggun dan Ares kemudian meninggalkan apartemen dan pergi menjenguk ayahnya di rumah.“Suamiku, harusnya kau tidak usah mencegah Ares u
“Sampai sini saja. Ini sudah malam juga,” kata Ares saat dua koper besar sudah di depan pintu apartemen. “Kau antar Rena pulang.” Ares berkata pada Nando.“Baik, Tuan.” Nando mengangguk.“Kabari aku kalau kau sudah beneran pindah ke rumah baru,” kata Rena.Ares tersenyum. “Pasti.”Setelah Nando dan Rena pergi, Ares segera masuk ke dalam. Menyeret koper bergantian, kemudian Ares meletakkannya di samping lemari besar di dekat rak TV. Setelah itu, Ares menghela napas sambil menyugar rambutnya ke belakang. “Melelahkan juga ternyata.”“Apa Anggun sudah tidur?” gumam Ares. Didapati jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.Perlahan-lahan, Ares membuka pintu kamar. Lampu masih menyala terang. Ares menutup pintu kemudian berbalik dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Berhenti di gazebo di dekat jendela, Ares mendapati sosok Anggun tengah meringkuk dengan kedua telapak tangan terhimpit di antara paha.Ares mendekat. Tak mau sampai Anggun terbangun, Ares mulai men
Sebelum kembali ke rumah, Ares mampir terlebih dulu ke restoran. Rencananya Ares akan menelpon Nando, tapi berhubung ponselnya tertinggal di apartemen, pada akhirnya Ares terpaksa menemui Nando di restoran.Sampai di sana—di ruang khusus menejer—Ares dikejutkan dengan adanya Rena di dalam sana. Rena tengah duduk tak jauh dari Nando di atas sofa.“Kau di sini?” tanya Ares pada Rena. Rena meringis. “Jangan bilang kalian?”Mereka berdua saling pandang sebelum akhirnya sama-sama meringis menatap Ares.Ares nampak menghela napas, lalu memutar bola malas. “Baguslah. Aku senang ada yang kau sama Rena.”“Apa!”“Pfff!”Jika Rena melotot, Nando justru sedang mengumpat tawa.“Kau menertawakanku, ha?” sembur Rena“Aduh!” jerit Nando saat telapak tangan mendarat di pundaknya. “Sakit tahu!”Saat mereka berdua hendak mulai adu mulut dan saling memukul, Ares sudah lebih dulu menyela. “Diamlah!”Sesaat keduanya langsung diam. Meski sempat saling mencebik dan lirik, tapi kemudian mereka berdua foku