(Gareesa Resto)
“Jadi ... kau dijodohkan lagi?” tanya seorang wanita cantik yang sedang makan buah.Ares mengangguk. “Aku tidak tahu kenapa ayahku melakukan hal itu,” desah Ares.Wanita bernama Rena itu tertawa geli. “Kenapa kau tidak cari pacar, lalu kau kenalkan pada ayahmu? Bukankah itu mudah?”“Apanya yang mudah?” sembur Ares. “Kau pikir gampang cari wanita di luar sana?”Sambil mengacungkan sendok garpu, Rena berkata, “Kau tampan, mapan, kurang apalagi? Banyak wanita yang akan mengantre.”“Kau pikir aku mencari wanita yang memandangku hanya karena dua hal itu?” Ares mendelik. “Bukannya hidup bahagia, yang ada aku malah menderita.”Rena mangut-mangut. Garpu yang semula ia acungkan ke arah Ares sudah menancap di potongan buah melon.“Kalau begitu, kenapa kau tak coba menerima gadis itu?”Ares langsung terenyak. “Apa kau bergurau?”Masih mengunyah buah, Rena menggeleng. “Tentu saja tidak. Aku sangat serius malah.”“Jadi, kau setuju kalau aku menikah dengan wanita lusuh itu?” Ares sudah membelalak. “Jangan gila kau!”“Tidak ada salahnya kau coba dulu kan?” Rena menaik turunkan alisnya. “Apa dia cantik?”Ares mendelik sambil menarik dagu ke dalam. “Kau gila ya?”“Gila kenapa?” tepis Rena. “Apa perkataanku ada yang salah?”Ares berdecak lalu menyandarkan punggung pada dinding kursi. “Sudah kubilang, dia itu lusuh. Mana mungkin cantik?”Ares sebenarnya tidak terlalu jelas saat mengamati raut wajah gadis itu kemarin sore. Selain karena malas, gadis itu juga lebih banyak menunduk. Jelas-jelas bukan tipe Ares.“Aku pergi.” tiba-tiba Ares berdiri.“Kau mau ke mana?” Rena ikut berdiri. “Jangan bilang kau mau menemui gadis itu?” Rena terkekeh menahan tawa.“Sialan!” sembur Ares. “Aku mau pulang. Hari ini aku malas mau ngapa-ngapain.”Ares sudah berjalan ke luar restoran. Ya, sebuah restoran mewah dengan nama Gareesa Resto. Tentunya sang pemiliknya adalah Ares sendiri.Benar kata Rena, selain Ares tampan, dia juga pria matang dan mapan. Cabang restoran ada di setiap kota. Ares mempercayakan semuanya pada para bawahan, sementara Ares lebih sering duduk sambil menerima laporan masuk.“Di mana Nando?” tanya Rena. “Dia tidak ikut?”Ares menggeleng. “Dia ada di rumahku. Dia sedang mengecek laporan bulanan di ruang kerjaku.”Raut wajah Rena terlihat merengut. Sebagai sepupu yang sudah sangat dekat sedari kecil, Ares sangat tahu apa yang sedang Rena rasakan saat ini.“Kalau kau suka, kenapa tak kau lamar saja dia,” celetuk Ares saat sudah bersandar di pintu mobil.“Enak saja! Aku kan wanita. Aku tak mau melamar duluan,” jawab Rena.“Kau coba dekati dia lagi. Dia masih menjomlo, kau akan lebih mudah mendapatkannya.” Ares menaikkan satu alisnya lalu membuka pintu mobil.“Aku pergi dulu,” ucap Ares saat jendela kaca mobil terbuka.Sambil merengut, Rena hanya mengangguk.Entah di mana pun, yang namanya soal perasaan pasti sangatlah rumit. Cinta, cinta dan cinta, hal itu selalu menjadi alasan setiap hubungan. Namun, bagaimana dengan Ares?Pria itu selalu gagal dalam percintaan. Ares tak pernah berhasil saat menjalani hubungan dengan setiap wanita. Entah apa yang membuat para wanita itu mendadak pamit pergi dari kehidupan Ares. Mereka tak pernah memberi sebuah alasan. Yang mereka katakan hanyalah: tak ada wanita yang betah bersamamu selama sifatmu masih sama.Sifat apa? Yang seperti apa? Ares sama sekali tidak tahu.“Tak ada wanita yang tulus!” sergah Ares. Dua tangannya mencengkeram bundaran setir dengan kuat.“Mereka pasti hanya ingin mengincar kekayaanku saja! Itu sebabnya mereka pergi dariku. Selama bersamaku, bahkan aku memang berniat tidak membelikan barang mahal untuk mereka.”Ares bergumam dalam mobil tanpa ada siapa pun yang mendengarkannya.“Itu kenapa, pada akhirnya mereka meninggalkanku. Itu pasti alasannya.” Seringaian tampak jelas di wajah Ares.Saat Ares masih meracau tanpa arah, pandangan matanya tak sengaja menangkap seorang wanita yang sedang berdiri di halte bus. Dia tidak sendirian, melainkan bersama seorang pria, dan tak lama kemudian keduanya menghilang masuk ke dalam mobil.“Mareta?” celetuk Ares tanpa mengalihkan pandangan. “Sejak kapan dia ada di kota ini?”Karena penasaran, Ares melajukan mobilnya lagi mengikuti laju mobil di hadapannya. Ares ingin memastikan apakah itu benar Mareta atau bukan.Setengah perjalanan, Ares mulai terlihat bingung dan gelisah.“Inikan ...” Ares menengok ke sekitar sambil memperlambat laju mobilnya. “Mereka datang ke rumahku?” tanya Ares bingung.Ares melajukan mobilnya lagi, hingga menyusul satu mobil berwarna hitam yang sudah terparkir di halaman rumah.Karena penasaran, Ares buru-buru mematikan mesin mobil lalu segera melompat turun dari mobil.“Dia Mareta atau bukan?” Ares semakin penasaran. Dan untuk menghilangkan rasa penasaran itu, maka Ares harus masuk dan melihatnya.Setelah kedua kakinya menapak di lantai ruang tamu, mata Ares langsung membulat sempurna. Ares mematung sambil memandangi ketiga orang yang sudah duduk di sofa ruang tamu.“Ka-kau?” Ares bergantian menatap Mareta dan satu pria yang sedang menggenggam erat tangan Mareta.Pria itu tersenyum. Melepas genggaman tangan kemudian berdiri. “Halo, Ares. Apa kabar?” pria itu memeluk Ares.Hanya sesaat. Tanpa berkata, Ares langsung mendorong tubuh pria itu hingga lepas dari pelukan.“Jangan menyentuhku!” gertak Ares.“Rangga pulang, kau malah membentaknya.” Wanita paruh baya yang disebut ibu tiri oleh Ares ikut bicara.“Apa aku harus menyambutnya?” tanya Ares bernada sinis. “Pulang atau tidaknya dia, aku tidak peduli.”“Ares!” gertak suara berat dari arah lain. Ayah muncul dengan raut sengit menatap Ares.“Kenapa ayah membentakku?” tanya Ares sedikit memiringkan kepala.“Saudaramu pulang, kau bersikaplah lebih sopan padanya,” pinta Ayah.“Dia bukan saudaraku!” sergah Ares lantang.Plak! Satu tamparan melayang di pipi Ares. Semua nampak terkejut. Termasuk Nando yang sedang menuruni anak tangga. Mungkin dia baru selesai dengan tugasnya di ruangan Ares.Wajah memerah dab dengan napas berderu, Ares memutar bola mata ke arah ayahnya. “Ayah menamparku?” pekik Ares.“Maaf, Ayah tidak--” Ayah nampak gugup dan bingung. “Ayah tidak bermaksud.”Ares menyeringai setengah tertawa. Setiap orang yang berada di ruangan ini Ares tatap satu persatu. Setelah puas menatap mereka semua, Ares menghela napas panjang.“Kau memang hebat Rangga. Kau bisa membuat semua orang menyayangimu. Kau berhasil karena sudah merebut semua milikku.” Terakhir, Ares melirik ke arah Mareta yang berdiri seperti patung.Tak mau melanjutkan perdebatan lagi, Ares melengos lalu berlari menaiki anak tangga.“Tunggu, Tuan!” panggil Nando.“Kau pulang saja. Kita bahas pekerjaan besok.” Ares berkata tanpa menoleh maupun menghentikan langkahnya.Nando menunduk lalu menuruni anak tangga dengan tenang.“Saya permisi, Tuan.” Nando langsung pamit pergi.***Hidup sebagai anak hasil dari perselingkuhan memang terlihat buruk. Setelah ibu meninggal sekitar 10 tahun yang lalu, Ares terpaksa tinggal bersama ayahnya bersama istri tertua dengan satu anak laki-laki. Di hitung dari umur Ares yang sudah menginjak umur 30 tahun, itu berarti Ares mulai tinggal di sini sejak umur 20 tahun.Jika bukan karena ayah menjual rumah lamanya secara diam-diam, mungkin Ares tak akan pernah tinggal di rumah ini. Rumah yang menurut Ares penuh dengan sandiwara.“Aku memang bukan pria kantoran seperti Rangga. Tapi aku bisa membuktikan bahwa dengan waktu tiga tahun saja aku bisa memiliki usaha sendiri.” Ares tengah menggerutu di dalam kamarnya.“Memiliki usaha sesudah para wanita meninggalkanku dengan kejam.” Ares tertawa getir. “Mungkin karena ini mereka meninggalkanku dulu.”Ares meraup wajahnya kemudian menjambret handuk di gantungan. Dengan langkah malas, Ares masuk ke dalam kamar mandi.Jam dinding masih menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh. Namun, jika di
“Jadi, Tuan sungguh mau menikah dengan Nona Anggun?” tanya Nando saat dalam perjalanan menuju rumah AnggunAres yang duduk di jok belakang sambil bersandar pada kaca, mengangguk. “Mau bagaimana lagi, Aku tidak punya pilihan lain.”Nando diam sejenak. Ia seperti hendak mengatakan sesuatu tapi tersangkut di tenggorokan karena ragu.“Katakan saja, Aku akan dengarkan pendapatmu.”Nando sempat meringis sebelum melirik ke arah spion yang menggantung di atas. “I-iya, Tuan.”“Setidaknya beri aku solusi sebelum aku benar-benar menjalani pernikahan dengan orang yang tidak aku kenal,” desah Ares masih sambil menatapi jalanan yang ramai.Nando menelan saliva. Kedua bibirnya mulai bergerak untuk berbicara.“Menurutku Nona Anggun gadis yang baik. Dia juga cantik dan manis.”“Cantik kau bilang?” Ares membelalak. “Cantik dari mananya?”“Aku tidak tahu, aku hanya merasa gadis itu tidaklah buruk. Sepertinya dia gadis yang mandiri,” ujar Nando.Ares mengusap-usap dagu sambil bersandar pada dinding sofa.
Masuk ke dalam kamar tersebut, Ares sedikit tercengang dengan kondisinya. Bukan karena kamar ini jelek, tapi hanya terlalu sempit menurut Ares.Hanya ada satu kamar yang muat untuk satu orang saja, lalu ada satu lemari berukuran sekitar setengah meter. Dan ada meja rias komplit dengan kaca bulat di sudut ruangan. Jika di lihat, kamar ini berukuran sekitar 3 x 3 meter saja.Berbalik badan, Ares mendapati sebuah pintu di samping lemari. Itu pasti kamar mandi.“Bagaimana caranya dia tidur?” tanya Ares saat pandangannya kembali tertuju pada ranjang sempit itu.“Aku baru tahu, ternyata ada ranjang sekecil ini. Kamar pembantu saja tidak seperti ini di rumahku.” Ares masih berbicara sendiri.“Lho, kenapa pintu kamarku terbuka?” gumam Anggun. Dua kakinya berhenti tepat di depan pintu.Secara perlahan dan sebisa mungkin tak mengeluarkan suara, Anggun mengintip dari pintu yang sedikit terbuka itu.Mata Anggun langsung membelalak. Satu telapak tangannya membungkam mulut supaya tidak sampai berte
Setelah dari rumah Anggun, Ares pulang naik taksi. Tidak pulang ke rumah, melainkan Ares beralih jalur menuju sebuah kelab di pinggiran kota.Minum sedikit mungkin tidak ada masalah. Setidaknya untuk menghilangkan sedikit rasa stres karena sebentar lagi harus mengadakan pernikahan dengan seorang wanita yang sama sekali tidak dicintainya.“Beri aku wine, anggur, bir, Wisky atau semacamnya,” pinta Ares pada salah satu bar tender.Sambil menunggu minumannya datang, Ares memandangi sekumpulan orang-orang yang tengah berjoget ria di bawah sinar lampu kelap-kelip diiringi sebuah musik.“Kenapa mereka bisa berjoget ria seperti itu?” tanya Ares dalam hati. “Apa mereka sama sekali tidak ada beban hidup?”Ares memutar pandangan saat minumannya datang. Meneguknya hingga habis, kemudian matanya mengerjap-kerjap merasai lidahnya yang terasa seperti mengisap sesuatu.“Halo, Tampan.” Seorang wanita datang mendekat dan bergelayut manja. “Mau aku temani?”Ares terlihat menaikkan satu ujung bibirnya. W
Beruntung karena semua orang sudah tertidur. Namun, tetap saja Anggun meminta Nando untuk membawa Ares secara perlahan dan sebisa mungkin tanpa bersuara. Meskipun harus bersusah payah membawa Ares dengan setengah menyeret, akhirnya Ares jatuh bisa di atas ranjang Anggun.Nando terlihat sedang mengatur napasnya sambil membungkuk bersangga pada tangan menekan lututnya. Sementara Anggun, sedang menggigit bibir sambil memandangi Ares yang tergeletak dan masih terpejam.“Kalau sudah begini mau bagaimana, Tuan?” tanya Anggun sedikit panik.Ya ... meskipun katanya sebentar lagi akan menjadi sepasang suami istri, tapi melihat ada Ares di dalam kamarnya tentu membuat Anggun gugup dan takut.“Biarkan Tuan Ares menginap semalam di sini,” ucap Nando saat sudah berdiri tegak.Dari cara Nando berbicara, terlihat kalau dia masih tersengal-sengal.“Menginap di sini?” pekik Anggun. “Kenapa tadi Tuan Ares tidak dibawa pulang saja? Dan kenapa justru di bawa ke sini?” Anggun terus bertanya.Nando menghel
Pagi sudah datang. perlahan-lahan Ares membuka matanya sambil menggeliat dan menguap. Saat mendongak, Ares mendapati jam masih menunjukkan pukul lima pagi.Beralih menatap ke bawah, Ares mendapati Anggun masih meringkuk di atas lantai beralaskan selimut. Tanpa selimut lain dan hanya menggunakan satu bantal saja.Ares menggeser tubuhnya secara perlahan. Saat kedua matanya sudah menapak lantai, Ares kemudian berdiri. Berdiri sejenak karena setelah itu Ares berjongkok.“Aku tidak habis pikir, kenapa kau bisa tidur dengan nyaman di atas lantai?” gumam Ares sambil menelusuri wajah Anggun yang mulus dan persih tanpa cacat luka.“Kau lumayan,” gumam Ares lagi sambil menyibakkan helaian rambut yang menyelip di bagian leher.“Anggun! Bangun!” seseorang mengetuk pintu dengan keras diiringi teriakannya yang lantang.Ares yang sedang menikmati wajah Anggun yang sedang terpejam, seketika terenyak dan langsung berdiri. Untungnya Anggun tidur dengan sangat nyenyak.“Anggun! Cepat bangun! Aku tunggu
Sesuai janjinya semalam, Nando pagi ini datang ke rumah Anggun. Tepatnya sekitar pukul sembilan pagi.Sementara Nando dan Ares sedang berbincang di teras rumah, dari balik jendela ruang tamu Tika dan ibunya tengah mengintip alias menguping.“Benarkah Tuan Ares calon suami Anggun?” tanya Tika setengah berbisik.“Tentu saja,” jawab Maya.“Kenapa tidak dijodohkan denganku saja, Bu? Dia tampan dan kaya,” dengus Tika.Mata Tika masih mengintip—memantau wajah tampan milik Ares. “Ibu juga tidak tahu,” desis Maya. “Kapan-kapan ibu jelaskan padamu.”Tika berdecak sebal. Saat kedua kakinya memutar balik, sosok Anggun sudah berdiri di belang mereka berdua.“Kalian sedang apa?” tanya Anggun.Sambil mendengus, Tika menghampiri Anggun kemudian mencengkeram lengan Anggun. “Dengar ya, jangan mentang-mentang kau akan menikah dengan Tuan Ares, kau jadi berani padaku!” hardik Tika sambil melotot.“Apa maksudmu?” tanya Anggun.“Jangan berlagak bodoh kau!” Maya menoyor pelipis Anggun. “Kau jangan macam-m
Mobil sudah memasuki pekarangan rumah. Saat sudah terparkir dengan benar, para penghuninya pun segera beranjak keluar melalui pintu masing-masing.“Hei kau!” panggil Ares saat Anggun sedang berdiri sambil mengamati bangunan rumah mewah tersebut.Anggun menoleh dengan cepat, hingga kedua kepang rambutnya terkibas sampai di atas pundak.“Ada apa, Tuan?” tanya Anggun.“Jangan membuatku malu. Ingat!” Ares mengacungkan jari telunjuk dengan sorot mata tajam.“Memangnya aku membuat malu dalam hal apa?” tanya Anggun polos.“Hei!” Ares menarik ujung kepang Anggun lagi. “Kau itu calon istriku, jadi bersikaplah layaknya wanita papan atas. Lihatlah dirimu! Aku menyuruhmu berdandan rapi kau tetap saja mengepang rambutmu. Dan bajumu itu, sungguh norak!”Anggun merengut sambil mengamati tampilannya sendiri. “Sepertinya tidak ada yang salah kan?” gumam Anggun.Ares mencebik lalu memutar pandangan ke arah Nando. “Bawa dia ke kamarku. Nanti aku menyusul.”Nando mengangguk dan mempersilahkan Anggun untu
Sesuai saran Rena, pelan-pelan Ares mendekati Anggun yang saat ini sedang menangis di sudut ranjang. Anggun menyembunyikan wajahnya di balik lutut dan kedua tangannya yang terlipat.Dari jarak beberapa meter saja, Ares bisa mendengar dengan jelas kalau Anggun masih terus menangis hingga tubuhnya bergetar.“Anggun,” panggil Ares dengan sangat pelan.Anggun mendongak sekilas sebelum akhirnya menelungkup lagi. Ares hampir saja menjerit saat melihat wajah Anggun yang sembab, tapi kemudian memilih membisu dan mendekat.Ares tak peduli jika nanti Anggun marah atau berteriak, tapi Ares tetap maju dan ikut naik ke atas ranjang. Anggun tak bergerak selain tetap menelungkup.“Anggun ... maafkan aku,” kata Ares. Ares hampir meraih siku Anggun, sayangnya lolos karena Anggun menyingkir.“Maafkan aku, Anggun. Aku hanya cemburu.” Ares kian mendekat dan kali ini berhasil merengkuh tubuh Anggun.“Lepaskan aku!” Anggun berontak, tapi Ares tetap mendekapnya.“Tidak sebelum kau memaafkan aku,” Ares kian
Hampir setengah jam Ares mondar mandir di ruang tamu. Menunggu Anggun yang tak kunjung pulang, membuat Ares meradang. Ares marah, tapi juga khawatir. Nomor Anggun berulang kali ia hubungi juga tak kunjung tersambung.“Kau di mana?” gumam Ares masih dengan mondar-mandiri.Cekleeek ...Seketika Ares berbalik badan dan mendongak. Pintu terbuka dan seseorang menyembul dari baliknya.Melihat siapa yang datang, Ares seketika menggeram keras sambil mengepalkan kepalan di udara. Rena yang terkejut lantas masuk dengan perasaan bingung.“Kau kenapa?” tanya Rena saat sudah mendekat.Rena meraih pundak Ares dan bertanya lagi. “Heh, kau kenapa?”Ares meraup wajah lalu menghempas duduk di atas sofa. Rena yang masih belum mengerti, angkat bahu kemudian ikut duduk.“Ada apa?” Rena bertanya lagi. “Ada masalah?”“Anggun belum pulang,” jawab Ares.“Ha?” Anggun ternganga. “Belum pulang? Memangnya Anggun kemana?”Ares tidak menjawab dan hanya mendesah.Tak lama kemudian, pintu terbuka lagi. Keduanya mendo
Klunting!Satu pesan singkat masuk ke ponsel Anggun yang berada di atas pangkuan. Anggun yang kala itu sedang duduk bersantai sambil menonton televisi, segera meraih ponselnya lalu membuka pesan masuk tersebut.“Nomor siapa ini?” batin Anggun. Karena penasaran, Anggun pun menggeser lagi layar ponselnya. Dan saat itu juga muncullah serentetan pesan bergambar.Anggun menutup mulutnya yang terbuka dengan satu telapak tangan. Matanya berkedut tanpa beralih pandangan pada layar ponselnya yang masih menyala. Anggun mulai bergetar ketika melihat tanggal yang tertera di gambar tersebut. Itu artinya, foto ini di ambil saat Ares meninggalkan Anggun di rumah ayah mertua.“Bukankah ini ... em?” Anggun nampak berpikir. “Ini ... ini wanita yang sempat datang ke apartemen beberapa bulan yang lalu. Aku lupa namanya.”Saat Anggun hendak melempar ponselnya di ruang kosong di samping ia duduk, ponsel tersebut tiba-tiba berdering. Nomor yang baru saja mengirim gambar tersebut menelpon.Anggun menelan lud
Pagi hari, Ares menyempatkan diri menengok ayahnya. Beliau sudah mendingan karena hari ini sudah bisa ikut sarapan bersama. Wajahnya pun terlihat sudah tidak terlalu pucat.“Ayah sudah sehat?” tanya Anggun.“Tentu saja sehat. Kau pikir suamiku akan sakit terus?!” Ana menyerobot menjawab. “Atau kau suka kalau mertuamu sakit?”Anggun terdiam sambil mencengkeram tangan Ares di bawah meja.“Istriku. Jangan membuat kegaduhan, Anggun hanya bertanya. Toh selama aku sakit, dia yang sering membantuku,” timpal Bian.“Apa maksudmu? Jadi kamu pikir Mareta juga tidak membantu?” Ana melirik tajam ke arah Anggun.Ares mungkin marah, tapi dia sedang menahannya dan menunggu reaksi apa yang akan terjadi selanjutnya.“Kau coba tanya saja pada Mareta. Aku tidak mau membeda-bedakan menantuku, tapi karena kau selalu memancingku, aku juga bisa marah.”Pagi di ruang makan mulai terlihat kacau. Bian baru saja sembuh dan sang istri justru memanggil kegaduhan.“Jangan memancing amarahku di ruang makan!” gertak
Sekitar pukul sepuluh malam Ares sampai di rumah lagi. Suasana rumah sudah sepi, lampu-lampu di lantai bawah pun sudah di matikan. Hanya terlihat satu sinar terang dari arah dapur. Karena haus, Ares pun berbelok ke arah dapur. Ia pikir Anggun ada disana, karena sering kali malam-malam Anggun merasa lapar.“Kau?” pekik Ares saat yang ia jumpai di dapur bukanlah Anggun melainkan Mareta.Mareta menoleh sambil memegang gelas berisi air mineral. “Hai, Ares. Kau baru pulang?”“Hem.” Ares memilih acuh.Meski Mareta berniat menghalangi jalan dengan berdiri di depan meja konter, tapi Ares terap maju untuk meraih sepoci air mineral yang ada di belakang Mareta.“Awas, aku mau ambil minum,” kata Ares.“Oh, maaf.” Mareta menyingkir, tapi mendadak kakinya terkilir.Ares yang belum sempat meraih gelas lebih dulu menangkap tubuh Mareta yang sudah miring dan hampir jatuh. Gelas yang Mareta pegang masih aman, tapi air di dalamnya sudah tumpah membasahi lantai.“Kalian sedang apa?” tanya Anggun yang tib
Sore harinya, Anggun dan Ares kembali ke rumah. Bukan untuk bermalam, tapi rencananya hanya untuk memberikan buah yang tadi sempat dibeli di pasar. Namun, karena mendadak Ares mendapat panggilan dari Nando, Ares terpaksa harus meninggalkan Anggun di rumah ini.“Aku tinggalkan kau sebentar tak apa kan?” tanya Ares. “Aku mau mengajakmu, tapi takutnya nanti sampai larut malam.”“Tidak apa-apa. Aku sudah biasa di rumah ini kan?”“Kalau Mareta mengganggumu, kau bisa telpon aku. Oh atau nanti aku akan suruh Mareta datang. Bagaimana?”Melihat ekspresi Ares yang terlihat begitu khawatir, Anggun jadi ingin tertawa. Namun, karena tak mau membuat Ares marah, Anggun mengumpat tawa dengan cara memeluk tubuh Ares.“Tidak usah, aku akan baik-baik saja di sini. Tidak ada yang akan menyakitiku.”Setelah obrolan singkat itu, pada akhirnya Ares benar-benar meninggalkan Anggun. Kalau saja tempat tujuannya searah dengan jalur ke apartemen, mungkin Ares akan mengantar Anggun pulang dulu. Namun, karena jar
Sayangnya kepindahan mereka ke luar kota harus tertunda. Ayah mendadak sakit dan tidak mengijinkan Ares untuk pindah lebih dulu. Ares sempat jengkel karena semua rencana membawa Anggun pergi dari kota ini gagal. Namun, sebagai sang istri, Anggun tentunya mencoba membujuk supaya Ares mau bertahan di sini sampai ayah sembuh."Kita tunggu sampai ayah sembuh, Sayang." Kalau sudah dipanggil dengan sebutan sayang, mendadak perasaan Ares menjadi lumer."Tapi aku tak mau tinggal di rumah itu," kata Ares."Iya. Kan kita tinggal di sini." Anggun merangkul lengan, lantas mendaratkan kepala di pundak Ares. "Kita siap-siap."Ares menunduk mencari wajah Anggun. Memberi satu kecupan di bibir sembari mengelus kening Anggun. “Kau tidak boleh dekat-dekat dengan Mareta.”Anggun mengangguk. “Ya sudah aku ganti baju dulu.” Anggun lantas berdiri.Setelah semua sudah beres, Anggun dan Ares kemudian meninggalkan apartemen dan pergi menjenguk ayahnya di rumah.“Suamiku, harusnya kau tidak usah mencegah Ares u
“Sampai sini saja. Ini sudah malam juga,” kata Ares saat dua koper besar sudah di depan pintu apartemen. “Kau antar Rena pulang.” Ares berkata pada Nando.“Baik, Tuan.” Nando mengangguk.“Kabari aku kalau kau sudah beneran pindah ke rumah baru,” kata Rena.Ares tersenyum. “Pasti.”Setelah Nando dan Rena pergi, Ares segera masuk ke dalam. Menyeret koper bergantian, kemudian Ares meletakkannya di samping lemari besar di dekat rak TV. Setelah itu, Ares menghela napas sambil menyugar rambutnya ke belakang. “Melelahkan juga ternyata.”“Apa Anggun sudah tidur?” gumam Ares. Didapati jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.Perlahan-lahan, Ares membuka pintu kamar. Lampu masih menyala terang. Ares menutup pintu kemudian berbalik dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Berhenti di gazebo di dekat jendela, Ares mendapati sosok Anggun tengah meringkuk dengan kedua telapak tangan terhimpit di antara paha.Ares mendekat. Tak mau sampai Anggun terbangun, Ares mulai men
Sebelum kembali ke rumah, Ares mampir terlebih dulu ke restoran. Rencananya Ares akan menelpon Nando, tapi berhubung ponselnya tertinggal di apartemen, pada akhirnya Ares terpaksa menemui Nando di restoran.Sampai di sana—di ruang khusus menejer—Ares dikejutkan dengan adanya Rena di dalam sana. Rena tengah duduk tak jauh dari Nando di atas sofa.“Kau di sini?” tanya Ares pada Rena. Rena meringis. “Jangan bilang kalian?”Mereka berdua saling pandang sebelum akhirnya sama-sama meringis menatap Ares.Ares nampak menghela napas, lalu memutar bola malas. “Baguslah. Aku senang ada yang kau sama Rena.”“Apa!”“Pfff!”Jika Rena melotot, Nando justru sedang mengumpat tawa.“Kau menertawakanku, ha?” sembur Rena“Aduh!” jerit Nando saat telapak tangan mendarat di pundaknya. “Sakit tahu!”Saat mereka berdua hendak mulai adu mulut dan saling memukul, Ares sudah lebih dulu menyela. “Diamlah!”Sesaat keduanya langsung diam. Meski sempat saling mencebik dan lirik, tapi kemudian mereka berdua foku