"Aduh!" Tangan Qeera memegang perutnya yang tiba-tiba terasa nyeri. Ia terus merintih, Axzel yang berada tak jauh dari tempat Qeera hanya menoleh tanpa menghiraukannya. Dia terlalu disibukkan dengan pekerjaannya “Kenapa?” tanyanya dengan mata masih terfokus ke laptop yang ada di hadapannya. “Tidak tahu, tapi perutku sakit sekali.” Qeera mengusap perutnya mencoba meredakan rasa sakitnya. Namun, rasa perih di perutnya tak kunjung hilang. Sejak Axzel tak jadi menemaninya, Qeera tak lagi mau meminta apapun pada Axzel. Hatinya masih sakit karena perbuatan suaminya yang selalu memilih sepupunya. Tapi, kali ini ada yang berbeda. Insting Qeera terasa tidak enak, dia takut akan terjadi sesuatu dengan janin yang ada di kandungannya itu.
“Kak, bisakah hari ini kakak mengantarkanku ke dokter kandungan? Rasa sakit di perutku tak kunjung hilang. Aku khawatir.” Mohonnya dengan bibir meringis menahan rasa nyeri. "Jangan manja, hari saya ada meeting penting. Jangan berusaha menarik perhatian saya dengan pura-pura sakit!" Qeera merasa sedih karena sang suami yang terus menolaknya. Wajahnya semakin pucat menahan sakit, tetapi Axzel tetap tak mempercayainya. "Kak, tolong, kali ini saja, bawa aku ke Dokter. Aku tidak berpura-pura, aku tidak akan meminta bantuan darimu kalau aku tidak merasa sakit." Qeera hanya bisa memohon sambil menarik lengan suaminya. Axzel yang merasa kesal langsung mendorong Qeera hingga dia hampir terhuyung. Meskipun tidak sampai terjatuh, tenaga Axzel yang kuat tetap mengejutkannya dan membuat perutnya semakin nyeri. "Tidak bisa! Berapa kali saya katakan sama kamu, hari ini ada meeting penting," ucapnya tajam sambil menatap mata Qeera. Axzel mengancingkan pakaiannya lalu mengambil ponsel dan melangkah meninggalkan Qeera menuju pintu. Hari ini ada pertemuan penting dari investor luar negeri. Carl Dominic, pengusaha mobil terbesar di dunia. Sejak lama Axzel menjadikan pria itu target untuk menjadi penanam modal perusahaan yang mulai dirinya rintis. Jika gagal, sangat disayangkan. Untuk sebuah janji temu saja sangat sulit, ini karena kebetulan pria itu berlibur dan tertarik dengan bisnisnya sehingga mau menerima proposal yang Axzel ajukan. "Setiap hari pasti ada saja meeting penting! Apakah Kakak tidak merasa peduli sama sekali terhadap bayi ini? Ini anakmu juga, Kak!” teriaknya histeris. Axzel menggeram marah. Matanya mendelik tajam lalu melangkah tegas mendekati Qeera yang masih duduk di tempat tidur. Tangannya terangkat siap menampar membuat Qeera menutup kepalanya dengan kedua lengannya. "Banyak wanita hamil di luar sana, tapi tidak ada yang semanja kamu!" Qeera dikagetkan dengan kalimat menyakitkan yang keluar dari mulut suaminya. "Gila kamu! Sebetulnya, meeting itu hanya kamu jadikan alasan, kan? Kakak hanya ingin menghabiskan waktu dengan sekretaris dan sepupu Kakak itu, kan?!" Brak! Lemparan gawai yang ada di tangan Axzel mengagetkan Qeera. Di saat itu, tatapan mata Axzel terlihat menyeramkan. Qeera takut sang suami akan melakukan sesuatu yang buruk kepadanya. "Kamu yang gila! Saya tidak pernah selingkuh jika itu yang kamu takutkan!" "Bohong!" teriak Qeera. "Kalau kamu tidak percaya, terserah!" Axzel lalu bergegas pergi meninggalkan istrinya sambal membanting pintu.
Sejak bangun tidur perasaan Qeera gelisah. Hatinya tidak tenang dengan perut yang terasa tidak nyaman. Qeera tidak berharap banyak dari suaminya. Dia hanya ingin sang suami menemani dirinya untuk memeriksa keadaan anak mereka berdua. Sayangnya, lagi-lagi eera harus menerima penolakan dari suaminya. Panggilan dari ART yang menyebutkan makan siang telah siap menyadarkan Qeera jika dirinya telah melamun begitu lama. Dengan langkah perlahan, Qeera melangkah menuruni tangga. Sebenarnya sejak mulai mengandung, Qeera meminta pindah kamar di depan. Namun, Axzel menolak, jika dirinya pindah ke bawah, Qeera akan tidur sendiri. Hal itu membuat Qeera mau tak mau tetap naik turun tangga saat kehamilannya semakin mengganggu langkahnya. Hingga beberapa Langkah sebelum tangga terakhir, kaki Qeera salah menapak sehingga membuatnya terjatuh cukup keras. Suara tubuhnya bertemu lantai membuat beberapa ART berlari mendekatinya. "Telpon suami saya, Bi," seru Qeera saat melihat darah mengalir di lantai. Teriakan panik Bibi adalah hal terakhir yang Qeera dengar sebelum dia kehilangan kesadaran.
***** "Maaf Nyonya, kondisi kandungan Anda sangat mengkhawatirkan sehingga perlu tindakan medis secepatnya. Adakah yang bisa kami hubungi untuk memintai persetujuan tindakan?" Qeera menoleh ke kepala ART yang hanya menggeleng. "Tuan Axzel tidak mengangkat teleponnya, Nyonya." Perutnya yang terasa semakin sakit membuat Qeera tak sabar hingga merebut ponselnya dari tangan ART. Dia mencoba menghubunginya sendiri, namun hasilnya tetap nihil. "Biarkan saya sendiri yang menandatangani berkasnya, Dok," ucapnya di tengah rasa sakit yang kembali menyerang. Dokter menjelaskan, jika benturan tangga sebelumnya menyebabkan pendarahan hebat dan butuh secepatnya di tangani sebelum membahayakan janin dan juga sang ibu. Mereka mencoba menghentikan pendarahan, tetapi darah masih terus mengalir dari bagian intim Qeera. Qeera pun segera menandatangani berkas rumah sakit dengan tangan bergetar. "Selamatkan anak saya, Dok," bisiknya sebelum obat bius menyebabkan dirinya kehilangan kesadaran.
***** Qeera terbangun di ruangan yang berbeda dengan sebelumnya. Ketika dia menoleh ke sekeliling, dia menemukan Axzel yang menatapnya dingin bersama sepupunya yang tersenyum puas di sampingnya. Tidak hanya itu, kakek dan nenek Axzel juga hadir sambil menatap Qeera seolah dia tersangka. "Pembunuh! Kamu sudah membunuh anak kita, Qeera!" Tak sempat Qeera mengeluarkan sepatah kata, Axzel sudah menuduhnya. "Apa maksudmu?!” “Anak kita tidak bisa terselamatkan dan itu semua karena ulahmu!” Mendengar perkataan itu, Qeera hanya bisa menangis. Dia tidak mengetahui bahwa anaknya sudah tiada. Selain itu, bukan simpati yang dirinya dapatkan, melainkan caci dan maki dari sang suami. “Cicit Mahardika sudah tiada, Qeera. Mengapa kamu tidak bisa sedikit lebih berhati-hati?!” Qeera semakin merasa bersalah karena kini kakek dan nenek Axzel pun ikut menyalahkannya. “Ini juga salah kamu, Kak! Kamu lebih mementingkan meeting, kamu juga tidak peduli dengan kehamilanku!” "Hentikan itu, Qeera! Kamu itu harusnya mengerti kalau Axzel juga bekerja demi kamu dan anakmu! Seharusnya kamu yang bisa lebih peduli terhadap kehamilanmu sendiri!” Qeera tak menyangka kalimat menyakitkan itu keluar dari mulut kakek dan nenek Axzel. Selama ini Qeera selalu menyangka kedua manusia tersebut menyayanginya. Brak! Suara pintu terbanting mengangetkan Qeera. Suaminya pergi diikuti dengan kakek dan nenek, meninggalkan Qeera dalam keadaan hati terluka. Ketika dia menyangka semua orang telah pergi, Qeera tersadar bahwa Bella masih berada di dalam ruang rawat inap bersamanya.
“Turut berduka cita ya, Qeera.” Bella mengucapkan kalimat itu bukan dengan ekspresi bela sungkawa, melainkan seringai yang mengganggu untuk Qeera.
Sejak hari itu hubungan Qeera dan Axzel semakin berjarak, apalagi kini mereka pisah kamar. Lebih tepatnya Axzel yang mengusir Qeera dari kamar mereka. “Kak,” panggil Qeera saat Axzel akan berangkat ke kantor. Ia telah lama menunggu Axzel supaya mereka bisa bertemu atau bicara. Qeera sedih bukan hanya kehilangan anak, tetapi juga semakin kehilangan suami. Bahkan sekarang setiap malam ia akan bisa terlelap setelah kelelahan menangis dan tidak ada suami yang menenangkannyan karena dia sibuk entah pekerjaan dan Bella, sahabatnya.“Saya sibuk!” “Kak! Mau sampai kapan kamu akan seperti ini?!” tanya Qeera emosi. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Bukannya saling menguatkan karena kehilangan anak mereka, Axzel malah semakin menjauhinya. Hatinya sakit dan kecewa, bukan hanya karena kehilangan anak, tetapi juga karena sikap kasar Axzel. Axzel berbalik. Sekian lama tenang tanpa gangguan Qeera hari ini sang istri menganggu saat emosinya sedang tak baik-baik saja. Semalam Axzel bermi
Pagi hari setelah memutuskan untuk bertahan dalam rumah tangga mereka, Qeera langsung menuju kamar mereka yang sekarang kembali menjadi kamar Axzel. Ia memutuskan untuk kembali bicara dengan Axzel tanpa melibatkan emosi. Semalam Qeera sempat menghubungi ayahnya, bukan mendapat dukungan tentang keinginannya untuk pulang, yang dirinya terima makian dari ibu tirinya. “Kamu sudah tidak diterima di rumah ini, sebaiknya berbaik-baik dengan suamimu. Jangan pernah datang ke sini, pintu rumah ini tertutup untukmu, Qeera!” Hal itu lah yang membuat Qeera berpikir untuk memberi kesempatan pada pernikahannya. Apalagi semalam bermimpi bertemu putrinya seolah menjadi petunjuk yang memintanya untuk tetap bertahan. “Huh!” Berbicara dengan suami saja Qeera merasa seperti akan bertemu Presiden. Dadanya berdebar takut kembali dimaki Axzel. Tok! Tok! Tok! Qeera terus mengulang sampai tiga kali, tetapi tak mendapat tanggapan dari dalam atau mendengar sahutan. Hal itu membuatnya memutuskan langsung ma
Axzel marah besar karena Qeera yang selama ini penurut kepadanya mulai berani melawan. Padahal malam sebelumnya saat Axzel akan pergi bersama Bella, istrinya itu masih memiliki kepedulian serta kemarahan karena dirinya memilih pergi bersama Bella bukan dengannya.Lalu kenapa pagi ini ada yang berubah?“Hal apa yanq membuatmu tiba-tiba berubah Qeera?” tanya Axzel pada bayangan istrinya sambil menatap sosok Qeera yang menghilang.Kenapa secepat itu Qeera berubah, apa hanya karena Axzel kembali menolak membawanya, Qeera berubah menjadi acuh dan tak peduli. Atau … Axzel tiba-tiba mengingat saat dirinya bangun dari tidurnya.‘Jangan-jangan Qeera mengetahui jika semalam dirinya sekamar dengan Bella,’ pikir Axzel dengan wajah pucat.Jantung Axzel berdegup kencang. Meski tak terjadi apa-apa antara dirinya dan Bella, tetapi karena membiarkan Bella tidur di kamar mereka membuat Axzel merasa telah menghianati Qeera.“Astaga!” makinya sambil meremas rambutnya marah.Semoga ini hanya pikirannya sa
"Axzel!" bentak kakeknya.Namun, Axzel sudah pada keputusanya tak akan menceraikan Qeera. Benar kata Sinan, jika saja dirinya lebih peduli dan lebih peka kepada istrinya, tak akan mungkin Qeera akan melawan."Apa kalian tahu, saat Qeera keguguran?” Axzel menatap kakek neneknya bergantian. Orang yang memaksakan pernikahan kepada mereka sekarang bahkan menginginkannya menceraikan gadis pilihannya. “Pagi hari sebelum aku berangkat, Qeera memintaku menemaninya ke Dokter karena perutnya sakit dan perasaannya tak enak. Tetapi, karena aku sudah ada janji meeting, aku lebih mementingkan meeting daripada istri dan anakku sendiri.”Axzel menatap kakek, nenek, dan Bella bergantian sambil menggeleng miris menyesali diri. Mereka tak mengerti perasaan kehilangan yang Axzel rasakan. Sejak kecil sudah kehilangan orang tua, beberapa bulan lalu anaknya, haruskah dirinya kembali meresakan kehilangan istri?“Sakit sekali saat mendengar anak kami tak terselamatkan. Demi melampiaskan kekecewaanku, aku mala
“Saya suami Qeera ….. Tak pantas seorang istri berpelukan dengan pria lain di depan suaminya!”“Hah istri?” Juan menatap Qeera terkejut.Qeera hanya diam menikmati wajah marah Axzel.“Qeera!” bentak Axzel dengan cengkeraman pada lengannya membuatnya meringis.Qeera mengangguk meski menggeram kesal mendengar pengakuan Axzel. Juan berdiri di tempatnya masih tak percaya mendengar pengakuan dari Axzel.“Astaga Tuan Axzel, kami tak menyangka akan dihadiri Anda?”Qeera menoleh dan berbalik. Juan juga melakukan hal yang sama. Napas keduanya tersentak melihat siapa yang menyapa Axzel.Dia adalah pemilik dan membuat acara ini berlangsung. Suaminya mengenal ternyata Nyonya Briela. Hal yang mengejutkan Axzel mendekati wanita yang sangat di segani di kalangan desainer muda seperti dirinya. Juan mencolek dengan sikunya.“Itu benar suamimu?” tanya Juan masih tak percaya. Qeera mendengus. “Dan mereka saling mengenal.“Nyonya Briela senang bertemu Anda di sini.”Nyonya Briela tersipu malu. Qeera samp
Cukup lama Axzel duduk bersandar pada pintu. Berapa kali teriakannya memanggil Qeera tak membuat istrinya mau membukakan pintu. Ia mengetuk sekali setelah menyerah memaksa Qeera karena tahu saat ini sedang marah.“Tidurlah, besok kita bicara. Maaf jika selama menjadi suamimu telah banyak menyakitimu.”Axzel melangkah menuju kamarnya meninggalkan kamar yang belakangan di tempati istrinya. Sampai kamar tatapannya memindai isi kamar, melihat tatapan jijik Qeera membuat Axzel tak yakin istrinya akan kembali ke kamar ini. Tangannya meremas rambutnya melampiaskan kemarahannya karena perlakuan bodohnya selama ini kepada sang istri.“Bangsat!”Prang.Ia menendang tempat sampah melampiakan kemarahannya hingga membentur dinding dan membuat keributan di sana. Axzel sungguh-sungguh menyesali diri, ia mengingat semua perlakuan buruk serta sikap dinginnya kepada sang istri. Pantas saja hubungan mereka tak bisa dekat, karena selama ini dirinya sendiri yang membatasi Qeera untuk bisa dekat dengannya
Sepanjang jalan tak ada yang berbicara. Axzel sepertinya sedang dalam kondisi marah. Qeera tak peduli Axzel marah kepadanya. Baginya sejak pagi itu saat Qeera menemukan Bella di kamar mereka, Axzel bukan siapa-siapanya lagi."Turunkan aku di halte bis, terima kasih."Axzel menatapnya tajam, hatinya bergemuruh marah dan juga kecewa atas permintaan Qeera. Namun, ia sadar jika sikap Qeera seperti ini akibat perlakuannya kepada istrinya selama ini."Kamu mau kemana?" Qeera tak menjawab dan hanya mengamati jalanan yang mereka lalui. "Qeera?!"Dengan terpaksa Qeera menyebutkan alamat tujuannya. Keduanya sama-sama diam selama di perjalanan. Axzel kecewa dengan sikap Qeera yang begitu dingin kepadanya, padahal Axzel mencoba mengubah sikap dan perlakuannya demi gadis itu. Apa sudah tak ada harapan hubungan mereka membaik."Qeera, maafkan sikap dan perkataan nenek tadi." Qeera tetap diam. "Bukan Kakak yang mengizinkan Bella datang ke rumah tetapi kakek nenekku. Bisakah kamu mengerti aku tak bi
"Jangan membantah, Qeera."Dengan geraman kesal Qeera mengikuti langkah Axzel, apalagi suaminya itu sudah menarik tangannya, meski dengan lembut. "Itu---"Axzel tak peduli dengan protes Qeera. Sesungguhnya Qeera tak nyaman saat telah memutuskan menjauh dari suaminya. Apalagi sikap Axzel saat ini sangat berbeda dengan sikap pria itu selama ini.Mereka berkendera dalam diam, baik Axzel maupun Qeera tak ada yang bicara. Qeera memilih abai dan menatap kendaraan yang sama-sama melewati jalanan padat ibu kota. "Kakak tak suka kamu terlalu dekat pria itu."Qeera mendengus dan memutar matanya kesal. Apa Axzel ingin Qeera menjadi gila setelah kehilangan anaknya? Apa karena itu Axzel tiba-tiba berubah?"Abaikan saja, seperti aku mengabaikan kedekatan-MU dengan Bella."Axzel kalah. Jika Qeera mengungkit hubungannya dengan Bella, serta pengabaian keberatan-keberatan istrinya atas kedekatan mereka, Axzel tak berkutik."Jadi kamu sudah yakin dengan membuat brand sendiri?" tanya Axzel mencari aman
"Maaf untuk semuanya." Qeera diam tak menjawab ataupun membalas pelukan Axzel. Lama mereka dalam posisi tersebut sampai pintu ada yang mengetuk membuat Axzel mengurai pelukannya."Tuan, maaf, kita ada jadwal meeting setengah jam lagi.""Hm." Axzel tak langsung pergi. Pria itu masih diam dan tetap mengamati wajahnya. "Kamu masih di sini? Pulang meeting Kakak jemput kamu."Tanpa bisa di tahan kepala Qeera mengangguk dan hal itu membuat Axzel tersenyum dan menepuk kepala Qeera pelan."Kakak pergi dulu, jam tujuh Kakak datang."***Brak!Bella melempar gelas penuh dengan anggur merah yang langsung menodai karpet. Bella marah mendengar laporan dari orang kepercayaannya, jika Axzel menemani istrinya belanja di sebuah pusat pembelanjaan bahan kain, bahkan dengan sengaja makan bersama di tempat umum.Bahkan beberapa hari lalu Axzel dengan sengaja datang ke acara pameran desainer muda dan pendatang baru untuk memamerkan karya mereka. Berita kedatangan Axzel mendukung acara tersebut demi mend
"Jangan membantah, Qeera."Dengan geraman kesal Qeera mengikuti langkah Axzel, apalagi suaminya itu sudah menarik tangannya, meski dengan lembut. "Itu---"Axzel tak peduli dengan protes Qeera. Sesungguhnya Qeera tak nyaman saat telah memutuskan menjauh dari suaminya. Apalagi sikap Axzel saat ini sangat berbeda dengan sikap pria itu selama ini.Mereka berkendera dalam diam, baik Axzel maupun Qeera tak ada yang bicara. Qeera memilih abai dan menatap kendaraan yang sama-sama melewati jalanan padat ibu kota. "Kakak tak suka kamu terlalu dekat pria itu."Qeera mendengus dan memutar matanya kesal. Apa Axzel ingin Qeera menjadi gila setelah kehilangan anaknya? Apa karena itu Axzel tiba-tiba berubah?"Abaikan saja, seperti aku mengabaikan kedekatan-MU dengan Bella."Axzel kalah. Jika Qeera mengungkit hubungannya dengan Bella, serta pengabaian keberatan-keberatan istrinya atas kedekatan mereka, Axzel tak berkutik."Jadi kamu sudah yakin dengan membuat brand sendiri?" tanya Axzel mencari aman
Sepanjang jalan tak ada yang berbicara. Axzel sepertinya sedang dalam kondisi marah. Qeera tak peduli Axzel marah kepadanya. Baginya sejak pagi itu saat Qeera menemukan Bella di kamar mereka, Axzel bukan siapa-siapanya lagi."Turunkan aku di halte bis, terima kasih."Axzel menatapnya tajam, hatinya bergemuruh marah dan juga kecewa atas permintaan Qeera. Namun, ia sadar jika sikap Qeera seperti ini akibat perlakuannya kepada istrinya selama ini."Kamu mau kemana?" Qeera tak menjawab dan hanya mengamati jalanan yang mereka lalui. "Qeera?!"Dengan terpaksa Qeera menyebutkan alamat tujuannya. Keduanya sama-sama diam selama di perjalanan. Axzel kecewa dengan sikap Qeera yang begitu dingin kepadanya, padahal Axzel mencoba mengubah sikap dan perlakuannya demi gadis itu. Apa sudah tak ada harapan hubungan mereka membaik."Qeera, maafkan sikap dan perkataan nenek tadi." Qeera tetap diam. "Bukan Kakak yang mengizinkan Bella datang ke rumah tetapi kakek nenekku. Bisakah kamu mengerti aku tak bi
Cukup lama Axzel duduk bersandar pada pintu. Berapa kali teriakannya memanggil Qeera tak membuat istrinya mau membukakan pintu. Ia mengetuk sekali setelah menyerah memaksa Qeera karena tahu saat ini sedang marah.“Tidurlah, besok kita bicara. Maaf jika selama menjadi suamimu telah banyak menyakitimu.”Axzel melangkah menuju kamarnya meninggalkan kamar yang belakangan di tempati istrinya. Sampai kamar tatapannya memindai isi kamar, melihat tatapan jijik Qeera membuat Axzel tak yakin istrinya akan kembali ke kamar ini. Tangannya meremas rambutnya melampiaskan kemarahannya karena perlakuan bodohnya selama ini kepada sang istri.“Bangsat!”Prang.Ia menendang tempat sampah melampiakan kemarahannya hingga membentur dinding dan membuat keributan di sana. Axzel sungguh-sungguh menyesali diri, ia mengingat semua perlakuan buruk serta sikap dinginnya kepada sang istri. Pantas saja hubungan mereka tak bisa dekat, karena selama ini dirinya sendiri yang membatasi Qeera untuk bisa dekat dengannya
“Saya suami Qeera ….. Tak pantas seorang istri berpelukan dengan pria lain di depan suaminya!”“Hah istri?” Juan menatap Qeera terkejut.Qeera hanya diam menikmati wajah marah Axzel.“Qeera!” bentak Axzel dengan cengkeraman pada lengannya membuatnya meringis.Qeera mengangguk meski menggeram kesal mendengar pengakuan Axzel. Juan berdiri di tempatnya masih tak percaya mendengar pengakuan dari Axzel.“Astaga Tuan Axzel, kami tak menyangka akan dihadiri Anda?”Qeera menoleh dan berbalik. Juan juga melakukan hal yang sama. Napas keduanya tersentak melihat siapa yang menyapa Axzel.Dia adalah pemilik dan membuat acara ini berlangsung. Suaminya mengenal ternyata Nyonya Briela. Hal yang mengejutkan Axzel mendekati wanita yang sangat di segani di kalangan desainer muda seperti dirinya. Juan mencolek dengan sikunya.“Itu benar suamimu?” tanya Juan masih tak percaya. Qeera mendengus. “Dan mereka saling mengenal.“Nyonya Briela senang bertemu Anda di sini.”Nyonya Briela tersipu malu. Qeera samp
"Axzel!" bentak kakeknya.Namun, Axzel sudah pada keputusanya tak akan menceraikan Qeera. Benar kata Sinan, jika saja dirinya lebih peduli dan lebih peka kepada istrinya, tak akan mungkin Qeera akan melawan."Apa kalian tahu, saat Qeera keguguran?” Axzel menatap kakek neneknya bergantian. Orang yang memaksakan pernikahan kepada mereka sekarang bahkan menginginkannya menceraikan gadis pilihannya. “Pagi hari sebelum aku berangkat, Qeera memintaku menemaninya ke Dokter karena perutnya sakit dan perasaannya tak enak. Tetapi, karena aku sudah ada janji meeting, aku lebih mementingkan meeting daripada istri dan anakku sendiri.”Axzel menatap kakek, nenek, dan Bella bergantian sambil menggeleng miris menyesali diri. Mereka tak mengerti perasaan kehilangan yang Axzel rasakan. Sejak kecil sudah kehilangan orang tua, beberapa bulan lalu anaknya, haruskah dirinya kembali meresakan kehilangan istri?“Sakit sekali saat mendengar anak kami tak terselamatkan. Demi melampiaskan kekecewaanku, aku mala
Axzel marah besar karena Qeera yang selama ini penurut kepadanya mulai berani melawan. Padahal malam sebelumnya saat Axzel akan pergi bersama Bella, istrinya itu masih memiliki kepedulian serta kemarahan karena dirinya memilih pergi bersama Bella bukan dengannya.Lalu kenapa pagi ini ada yang berubah?“Hal apa yanq membuatmu tiba-tiba berubah Qeera?” tanya Axzel pada bayangan istrinya sambil menatap sosok Qeera yang menghilang.Kenapa secepat itu Qeera berubah, apa hanya karena Axzel kembali menolak membawanya, Qeera berubah menjadi acuh dan tak peduli. Atau … Axzel tiba-tiba mengingat saat dirinya bangun dari tidurnya.‘Jangan-jangan Qeera mengetahui jika semalam dirinya sekamar dengan Bella,’ pikir Axzel dengan wajah pucat.Jantung Axzel berdegup kencang. Meski tak terjadi apa-apa antara dirinya dan Bella, tetapi karena membiarkan Bella tidur di kamar mereka membuat Axzel merasa telah menghianati Qeera.“Astaga!” makinya sambil meremas rambutnya marah.Semoga ini hanya pikirannya sa
Pagi hari setelah memutuskan untuk bertahan dalam rumah tangga mereka, Qeera langsung menuju kamar mereka yang sekarang kembali menjadi kamar Axzel. Ia memutuskan untuk kembali bicara dengan Axzel tanpa melibatkan emosi. Semalam Qeera sempat menghubungi ayahnya, bukan mendapat dukungan tentang keinginannya untuk pulang, yang dirinya terima makian dari ibu tirinya. “Kamu sudah tidak diterima di rumah ini, sebaiknya berbaik-baik dengan suamimu. Jangan pernah datang ke sini, pintu rumah ini tertutup untukmu, Qeera!” Hal itu lah yang membuat Qeera berpikir untuk memberi kesempatan pada pernikahannya. Apalagi semalam bermimpi bertemu putrinya seolah menjadi petunjuk yang memintanya untuk tetap bertahan. “Huh!” Berbicara dengan suami saja Qeera merasa seperti akan bertemu Presiden. Dadanya berdebar takut kembali dimaki Axzel. Tok! Tok! Tok! Qeera terus mengulang sampai tiga kali, tetapi tak mendapat tanggapan dari dalam atau mendengar sahutan. Hal itu membuatnya memutuskan langsung ma
Sejak hari itu hubungan Qeera dan Axzel semakin berjarak, apalagi kini mereka pisah kamar. Lebih tepatnya Axzel yang mengusir Qeera dari kamar mereka. “Kak,” panggil Qeera saat Axzel akan berangkat ke kantor. Ia telah lama menunggu Axzel supaya mereka bisa bertemu atau bicara. Qeera sedih bukan hanya kehilangan anak, tetapi juga semakin kehilangan suami. Bahkan sekarang setiap malam ia akan bisa terlelap setelah kelelahan menangis dan tidak ada suami yang menenangkannyan karena dia sibuk entah pekerjaan dan Bella, sahabatnya.“Saya sibuk!” “Kak! Mau sampai kapan kamu akan seperti ini?!” tanya Qeera emosi. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Bukannya saling menguatkan karena kehilangan anak mereka, Axzel malah semakin menjauhinya. Hatinya sakit dan kecewa, bukan hanya karena kehilangan anak, tetapi juga karena sikap kasar Axzel. Axzel berbalik. Sekian lama tenang tanpa gangguan Qeera hari ini sang istri menganggu saat emosinya sedang tak baik-baik saja. Semalam Axzel bermi