Malam ini seorang penjaga kediaman keluarga Evander Yudho yang tengah tertidur pulas di pos ronda merasa terganggu saat telinganya mendengar suara tangisan bayi.
"Owek.. Owek.. Owek..""Uuuh! Suara apaan sih?! Berisik sekali."Penjaga itu bernama Diman. Dalam posisi tidur sambil duduk di kursi Diman enggan untuk membuka matanya, walaupun telinganya mendengar suara tangisan itu."Owek.. Owek.. Owek.."Sekali lagi suara tangisan itu terdengar ditelinganya. Mau tidak mau Diman akhirnya membuka perlahan pelupuk matanya."Hooaaamm!"Diman menguap lebar lalu mengarahkan pandangannya ke sekeliling arah, berusaha mencari dimanakah sumber suara tangisan bayi itu berasal.Tapi saat Diman sudah benar-benar sadar, justru suara tangisan itu sudah tidak terdengar lagi.Diman beranjak dari duduknya sambil melingkarkan kain sarung yang ia pakai ke pinggangnya."Aduh..! Apa aku tadi bermimpi ya? Ah, tapi perasaan suaranya kayak nyata. Apa jangan-jangan yang tadi itu_ Iiiii."Tiba-tiba bulu halus di sekujur tubuh Diman merinding saat dia menggumam sendirian sambil membayangkan sesuatu hal yang ghaib, di tambah lagi saat dia mengarahkan pandangan matanya kearah jam yang menempel di dinding, kebetulan sekali jarum jam sudah menunjukkan pukul 12.15, itu berarti hari sudah tengah malam.Astaga! Saking takutnya Diman kembali melepaskan lilitan kain sarung yang melingkar di pinggangnya, lalu digunakannya untuk menutupi tubuh bagian atas hingga kepalanya.Diman kembali duduk dan meringkuk di atas kursi panjang yang tadi dia duduki."Owek.. Owek.. Owek.."Suara tangisan itu terdengar kembali bahkan kali ini suaranya terus terdengar ditelinga Diman."Loh, itu sepertinya beneran suara bayi. Tapi bayi siapa malam-malam begini? Apa jangan-jangan_"Ucapannya terhenti saat dia menimbang-nimbang akan sesuatu hal, lalu segera dia membuka sarungnya yang masih menutupi kepalanya.Diman kembali berdiri lalu melingkarkan sarungnya tersebut ke pinggang. Setelah itu dia keluar dari pos ronda dan berjalan menuju pintu gerbang yang masih tertutup rapat.Diman mengikuti arah sumber suara tangisan bayi itu, dan saat pintu gerbang di buka."Astaga..!"Diman terkejut bukan kepalang saat mendapati sebuah keranjang bayi yang tergeletak di tanah. Segera dia berlari menghampiri, lalu berjongkok melihat isi di dalam keranjang tersebut."Ya ampun! Bayi siapa ini?! Tega bener buang bayi lucu seperti ini?! Benar-benar biadap. Anak siapa sih?"Diman menjadi sangat kesal, dia menggerutu sendirian saat melihat bayi mungil yang sepertinya sedang kelaparan.Dia pun mengambilnya lalu menggendong bayi tersebut dan bergegas membawanya masuk kedalam pos ronda, tak lupa juga membawa serta keranjang bayi nya."Owek.. Owek.. Owek..""Aduh! Kenapa nangis terus sih?! Kamu lapar ya, iya?!"Diman berdiri sambil mengenjut-enjutkan tubuhnya, berusaha untuk mendiamkan bayi yang masih terus saja menangis."Owek.. Owek.. Owek..""Sepertinya aku harus membawanya ke Mbak Sum. Aku nggak ngerti gimana caranya mendiamkan bayi ini."Diman menyerah kalau harus mengurusi bayi yang sedang rewel, dia tidak tau bagaimana caranya agar bayi itu bisa diam.Mungkin menyerahkannya pada asisten rumah tangga yang bernama Sumi akan lebih baik, daripada bayi itu terus-terusan menangis didalam gendongannya. Pikir Diman.Dia pun membawa bayi beserta keranjangnya keluar dari pos ronda dan membawanya berjalan hingga masuk kedalam rumah mewah majikannya.Didalam, Diman melanjutkan langkahnya hingga ke dapur. Sebab di sana terdapat ruangan kecil, sebuah kamar yang di tempati oleh Sumi atau yang biasa di panggil Mbak Sum.Di depan kamar Sumi, Diman meletakkan keranjang bayi di lantai. Setelah itu dia menggedor pintu kamar Sumi.Tok tok tok "Mbak!! Mbak Sum!! Buka pintunya Mbak..!! Ini aku, Diman."Setelah berteriak sedikit keras dan menunggu, Diman tak mendapati sahutan dari dalam. Mungkin Sumi memang sedang berada di alam mimpi. Pikir Diman.Dia pun kembali menggedor pintu dan kembali berteriak.Tok tok tok "Mbak..!! Mbak Sumi..!!"Di dalam sana Sumi yang sedang tertidur pulas pun akhirnya terbangun mendengar suara teriakan Diman yang cukup keras.Sumi merenggangkan otot-otot tubuhnya terlebih dahulu sebelum dia beranjak bangun."Owek.."Bayi itu kembali menangis dan bersamaan dengan itu Diman kembali mengetuk pintu. Tentu saja Sumi bergegas bangun saat mendengar suara tangisan bayi yang berada di luar."Sebentar Man!!"Sumi mengikat dan menyepol rambutnya terlebih dahulu, setelah itu ia beranjak turun dari tempat tidur minimalisnya lalu bergegas membukakan pintu.CEKLEK"Diman, anak siapa toh Man?! Kok kamu yang gendong? Orang tuanya mana?!"Sumi melihat bayi tersebut di dalam gendongan Diman, raut wajahnya tampak bingung sekaligus penasaran."Aku juga nggak tau Mbak. Orang tadi aku nemu bayi ini di luar gerbang,""Nemu? Nemu gimana maksudmu, Man?! Kamu itu kalo ngomong yang bener..! Bayi kok nemu, kayak barang aja pakai nemu-nemu segala,""Ya elah..! Pake' nggak percaya segala. Aku serius Mbak..! Mungkin bayi ini sengaja dibuang sama orang tuanya di depan rumah.""Oalah.. Dibuang Man?! Tega sekali ada orang tua buang anaknya sendiri. Sini, biar aku yang gendong."Akhirnya Sumi paham juga maksud Diman, dengan cepat Sumi mengambil alih bayi tersebut dari dalam gendongan Diman."Owek.. Owek..""Dari tadi dia nangis terus Mbak, mungkin dia lapar.""Sudah pasti, kalau rewel begini biasanya minta susu."Sumi membawanya masuk kedalam kamarnya, lalu memangku bayi tersebut duduk di tepian ranjangnya.Diman pun ikut masuk sambil membawa keranjang bayi lalu meletakkannya di samping ranjang Sumi."Jadi bagaimana Mbak? Nggak mungkin kan kita membiarkan bayi itu terus-terusan menangis, kasian juga."Diman sudah tidak tahan lagi mendengar tangisan bayi itu yang semakin menjadi. Dia berjongkok di hadapan Sumi dengan menatap iba pada bayi mungil tersebut."Kamu bener Man, tapi di dapur mana ada persediaan susu formula untuk bayi yang baru lahir. Kira-kira bayi ini umurnya baru tiga atau empat harian."Sumi dan Diman mengamati bayi tersebut, hingga memprediksikan berapa usianya."Kamu ambilkan air mineral sama sendok kecil ya Man, siapa tau dia bisa diam. Aku mau tengok alat vitalnya dulu, dia perempuan atau laki-laki.""Iya Mbak."Diman pun bergegas keluar dari kamar Sumi, sementara itu Sumi segera membaringkan bayi itu keatas kasur lalu membuka kain yang membungkus tubuh bayi tersebut.Saat Diman kembali, sudah tampak Sumi yang baru saja menutup kembali kain yang membungkus tubuh bayi mungil itu."Eh Man, ternyata bayi ini perempuan. Pantesan cantik ya Man."Sumi dengan senang memberitahukannya kepada Diman yang baru saja kembali masuk dengan membawa segelas air mineral."Iya Mbak. Aku lihatnya juga gitu, anak ini cantik banget. Tapi sayang, kenapa orang tuanya tega meninggalkannya di pinggir jalan."Masih dengan rasa iba nya Diman menatap bayi mungil itu yang sedang di tutupi tubuhnya dengan kain oleh Sumi.Sumi menghela nafas berat. "Entahlah Man, kita kan nggak tau apa yang terjadi dengan ibunya."Setelah selesai membungkus tubuh bayi tersebut, Sumi pun kembali memangkunya lalu menyendokkan sedikit demi sedikit air mineral ke mulut bayi itu.Walaupun bayi itu kesulitan untuk menelannya, namun air mineral itu berhasil masuk sedikit demi sedikit pula. Paling tidak, sekedar untuk mengganjal rasa haus dan laparnya saja."Kita beritahu Nyonya sama Tuan aja Mbak. Kita nggak punya pilihan lain, terserah mereka mau bagaimana dengan bayi ini.""Ya sudah, kalau begitu kamu tunggu disini dulu sebentar ya Man. Kalau masih rewel kasi lagi airnya, aku ke kamar Nyonya sama Tuan dulu.""Iya Mbak."Sumi memberikan gelas yang berisi air mineral itu kepada Diman, dan Diman pun mengambil alih untuk duduk memangku bayi tersebut setelah Sumi beranjak turun dari ranjangnya.Sumi bergegas keluar dari kamar, lalu berjalan menuju lantai dua, tempat dimana kamar tidur sang majikan berada.Setelah Sumi sudah berada di depan pintu kamar majikannya, dia segera mengetuk pintu kamar.Tok tok tok "Permisi, Nyonya! Maaf mengganggu!!"Setelah berteriak sedikit keras Sumi terdiam sejenak, menunggu sahutan dari dalam kamar. Namun sampai beberapa detik dia menunggu, tak ada sahutan sama sekali dari dalam. Sehingga mau tidak mau Sumi kembali mengetuk pintu kamar.Tok tok tok "Nyonya!! Ini saya 'Nya!! Sumi!!"Tak berapa lama, detik kemudian pintu kamar pun terbuka hingga tampak lah sang majikan perempuannya berdiri di ambang pintu."Hoaaam! Ada apa sih Mbak?"Stevani Joan, dia adalah sang Nyonya rumah tempat Sumi dan Diman bekerja. Wanita cantik yang berusia diatas dua puluh tahun itu menatap heran kearah Sumi sambil menguap lebar."Anu Nyonya! Maaf mengganggu istirahatnya. Saya cuma mau kasi tau 'Nya!""Kasi tau apa? Ngomong aja.""Begini 'Nya! Anu! Anu Nyonya! Itu!"Sang Nyonya yang akrab disapa dengan panggilan Stevie itupun mengerutkan keningnya menunggu Sumi melanjutkan kata-katanya yang tidak jelas."Anu apa sih Mbak?! Ngomong yang bener!!"Stevie sedikit kesal karena Sumi tampak ragu untuk menjelaskan sesuatu yang tidak dia ketahui."Aduh, gimana ya 'Nya ngomong nya. Anu 'Nya! Itu! Si Diman.""Dari tadi kamu tuh bilangannya anu, itu, anu, itu. Ngomong yang bener dong Mbak! Diman kenapa?!"Stevie menjadi semakin kesal dengan sikap Sumi yang gelagapan. Tentu saja hal itu membuatnya menjadi penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.Sumi pun menghela nafas pelan, setelah itu dia kembali berucap. "Maaf 'Nya, begini. Tadi Diman nemu bayi 'Nya! Bayi perempuan yang di buang di depan rumah.""Apa?! Bayi?! Kamu nggak asal bicara kan Mbak?!"Stevie sangat terkejut mendengarnya, namun sedikit kurang yakin dengan apa yang dikatakan oleh Sumi, sebab baru kali ini ada bayi yang dibuang di depan rumahnya. Pikir Stevie."Benar Nyonya! Bayi itu perempuan. Saya lihat sendiri 'Nya!""Sekarang dimana bayi itu?""Ada di kamar saya Nyonya! Ditungguin sama Diman.""Ya sudah, kamu kembali dulu ke kamarmu, saya bangunin Papahnya anak-anak dulu.""Baik 'Nya!"Sumi pun bergegas meninggalkan Stevie, sementara Stevie kembali masuk kedalam kamar dan menghampiri sang suami yang masih tertidur nyenyak."Pah! Pah bangun Pah."Stevie menggoyang-goyangkan pelan lengan suaminya yaitu Evander Yudho, pria yang akrab disapa Evand. Namun Evand masih belum tersadar juga dari tidurnya, sehingga membuat Stevie yang sudah tidak sabaran itu kembali menggoyang-goyangkan lengan sesekali menepuk pelan pipi kanan Evand."Papah!! Bangun Pah!! Cepet bangun..!!""Papah..!! Ada maling...!!"Stevie berteriak keras ke sisi telinga Evand. Tentu saja Evand terkejut hingga refleks duduk diatas kasur dengan cepat."Mana malingnya Mah?! Mana?!"Bersambung..."Ini malingnya Pah!"Stevie menunjuk kearah hidung mancung Evand dengan telunjuknya."Loh kok Papah sih Mah? Maksudmu apa?"Evand di buat kesal oleh Stevie istrinya, seketika dia mengerutkan kening dan memasang raut wajah cemberut."Makanya! Bangun dulu! Sadar dulu, baru dengerin baik-baik. Biar tau jelas apa yang Mamah omongin.""Ya sudah, cepat beritahu kenapa Mamah bangunin Papah pake' teriak maling segala. Untung Papah nggak jantungan, coba kalo punya penyakit jantung, siapa yang repot?"Evand menggerutui Stevie, dia masih merasa kesal dengan cara istrinya membangunkannya tadi.Siapapun pasti akan kesal jika ada yang membangunkan tidur dengan cara seperti itu, apa lagi yang di ucapkan itu cuma bohongan."Iya! Mamah minta maaf. Sekarang ayo kita kebawah, ke kamar Sumi."Daripada menjelaskan kepada suaminya, lebih baik langsung mengajaknya untuk pergi ke kamar asisten rumah tangga mereka saja, agar me
Saat Evand ingin membuka amplop surat itu tiba-tiba Stevie mencegahnya, hingga Evand refleks menghentikan gerakan tangannya dan menoleh."Memangnya kenapa?""Tidak apa-apa, buka nya nanti saja Pah, di kamar kita."Evand tidak jadi membukanya, dia kembali memasukkan amplop surat beserta kotak perhiasan itu ke tempat semula."Ya sudah, kita bawa saja bayi ini ke kamar." Ajaknya pada Stevie."Nanti kalau Diman pulang, langsung antarkan ke kamar ya Sum, dan jangan lupa cuci bersih dulu botol susunya," lanjutnya pada Sumi."Baik Tuan.""Ayo Mah."Evand mengajak sang istri lekas keluar dari kamar Sumi. Stevie pun mengikutinya dengan membawa bayi mungil itu di dalam gendongannya.Evand membawa keranjang bayi lalu merangkul pundak Stevie sambil berjalan bersama, menuju kamar mereka yang berada di lantai dua.Di dalam kamar, Evand sudah tidak sabar ingin mengetahui isi dari amplop surat tersebut beserta
Detak jantung Sumi seakan berhenti berdetak saat Isabella menanyakan jati dirinya. Empat belas tahun Sumi maupun Diman berusaha menutup mulut mereka, bahkan mereka sudah berjanji tidak akan memberitahukan siapa Bella sebenarnya kecuali Evand atau Stevie sendiri yang mengatakannya."Kenapa Non Bella bertanya seperti itu? Tentu saja Non adalah anak Mamah dan Papahnya Non,""Bibi udah janji gak akan bohong kan?"Sumi mengangguk cepat. "Tentu saja Bibi nggak bohong Non! Mana berani Bibi bohong sama Non Bella. Kalau Non Bella nggak percaya! Sebaiknya Non tanyakan sendiri saja sama Mamah dan Papahnya Non."Bella terdiam, dia menimbang-nimbang apa yang di ucapkan oleh Sumi. Sepertinya saran Sumi bagus juga, lebih baik bertanya langsung kepada kedua orang tuanya. Pikir Bella.Bella mengulas senyum tipis, setelah itu dia kembali bersuara. "Iya deh, nanti Bella tanya langsung sama Mamah dan Papah. Ya udah, Bella balik ke kamar dulu ya Bik,"
Setengah jam kemudian, suasana kediaman Evand sudah sangat ramai. Para tamu undangan masing-masing datang dengan membawa putra putri mereka.Malam ini cuaca sangat mendukung, bulan sangat terang bahkan bertabur bintang di langit. Evand baru saja keluar dari salah satu salon kecantikan yang cukup terkenal, milik teman sang istri."Pah, sebenarnya kita mau kemana sih? Kok Papah cuma ajak Bella?! Kenapa Papah nggak ajak Mamah juga?! Atau kak Clara sama kak Rissa," tanya Bella.Bella terheran-heran kenapa sejak sore hari Evand hanya membawa dirinya seorang untuk jalan-jalan, bahkan Evand membawanya ke sebuah salon mewah untuk merias dirinya hingga mengubahnya menjadi seperti seorang putri. Memakai gaun indah dan juga mengubah model rambutnya menjadi tertata rapi dan cantik.Evand membukakan pintu mobil untuk Bella, lalu lekas menjawab. "Kakak-kakak mu nggak bisa ikut karena mereka ada les privat di sekolahnya. Mamah juga nggak bisa, ada arisan sama te
Sejak malam itu, Bella lebih banyak murung. Dia merenungi hidupnya yang begitu menyakitkan. Pantas saja selama ini kakak-kakaknya bersikap dingin dan kasar padanya, ternyata yang menjadi penyebabnya adalah karena dirinya hanyalah seorang anak angkat. Pikir Bella.Tapi Evand dan Stevie sudah meyakinkan dirinya, bahwa sampai kapanpun Bella akan tetap menjadi putri mereka.__________________________________Hingga kini, enam tahun kemudian.Usia Bella sudah menginjak dua puluh tahun, dia bahkan sudah menjadi gadis dewasa yang sangat cantik dan mempesona.Pagi ini, Bella akan melakukan interview di salah satu perusahaan terbesar di kotanya. Dia bersikeras tidak ingin bekerja di perusahaan Evander, padahal Evand maupun Stevie sudah memintanya untuk bekerja di perusahaan mereka, tapi Isabella menolak karena tidak ingin membuat kakak-kakaknya berpikiran negatif tentang dirinya.Bekerja di perusahaan Ayah mereka hanya membuat Clara
Sejak malam itu, Bella lebih banyak murung. Dia merenungi hidupnya yang begitu menyakitkan. Pantas saja selama ini kakak-kakaknya bersikap dingin dan kasar padanya, ternyata yang menjadi penyebabnya adalah karena dirinya hanyalah seorang anak angkat. Pikir Bella.Tapi Evand dan Stevie sudah meyakinkan dirinya, bahwa sampai kapanpun Bella akan tetap menjadi putri mereka.__________________________________Hingga kini, enam tahun kemudian.Usia Bella sudah menginjak dua puluh tahun, dia bahkan sudah menjadi gadis dewasa yang sangat cantik dan mempesona.Pagi ini, Bella akan melakukan interview di salah satu perusahaan terbesar di kotanya. Dia bersikeras tidak ingin bekerja di perusahaan Evander, padahal Evand maupun Stevie sudah memintanya untuk bekerja di perusahaan mereka, tapi Isabella menolak karena tidak ingin membuat kakak-kakaknya berpikiran negatif tentang dirinya.Bekerja di perusahaan Ayah mereka hanya membuat Clara
Setengah jam kemudian, suasana kediaman Evand sudah sangat ramai. Para tamu undangan masing-masing datang dengan membawa putra putri mereka.Malam ini cuaca sangat mendukung, bulan sangat terang bahkan bertabur bintang di langit. Evand baru saja keluar dari salah satu salon kecantikan yang cukup terkenal, milik teman sang istri."Pah, sebenarnya kita mau kemana sih? Kok Papah cuma ajak Bella?! Kenapa Papah nggak ajak Mamah juga?! Atau kak Clara sama kak Rissa," tanya Bella.Bella terheran-heran kenapa sejak sore hari Evand hanya membawa dirinya seorang untuk jalan-jalan, bahkan Evand membawanya ke sebuah salon mewah untuk merias dirinya hingga mengubahnya menjadi seperti seorang putri. Memakai gaun indah dan juga mengubah model rambutnya menjadi tertata rapi dan cantik.Evand membukakan pintu mobil untuk Bella, lalu lekas menjawab. "Kakak-kakak mu nggak bisa ikut karena mereka ada les privat di sekolahnya. Mamah juga nggak bisa, ada arisan sama te
Detak jantung Sumi seakan berhenti berdetak saat Isabella menanyakan jati dirinya. Empat belas tahun Sumi maupun Diman berusaha menutup mulut mereka, bahkan mereka sudah berjanji tidak akan memberitahukan siapa Bella sebenarnya kecuali Evand atau Stevie sendiri yang mengatakannya."Kenapa Non Bella bertanya seperti itu? Tentu saja Non adalah anak Mamah dan Papahnya Non,""Bibi udah janji gak akan bohong kan?"Sumi mengangguk cepat. "Tentu saja Bibi nggak bohong Non! Mana berani Bibi bohong sama Non Bella. Kalau Non Bella nggak percaya! Sebaiknya Non tanyakan sendiri saja sama Mamah dan Papahnya Non."Bella terdiam, dia menimbang-nimbang apa yang di ucapkan oleh Sumi. Sepertinya saran Sumi bagus juga, lebih baik bertanya langsung kepada kedua orang tuanya. Pikir Bella.Bella mengulas senyum tipis, setelah itu dia kembali bersuara. "Iya deh, nanti Bella tanya langsung sama Mamah dan Papah. Ya udah, Bella balik ke kamar dulu ya Bik,"
Saat Evand ingin membuka amplop surat itu tiba-tiba Stevie mencegahnya, hingga Evand refleks menghentikan gerakan tangannya dan menoleh."Memangnya kenapa?""Tidak apa-apa, buka nya nanti saja Pah, di kamar kita."Evand tidak jadi membukanya, dia kembali memasukkan amplop surat beserta kotak perhiasan itu ke tempat semula."Ya sudah, kita bawa saja bayi ini ke kamar." Ajaknya pada Stevie."Nanti kalau Diman pulang, langsung antarkan ke kamar ya Sum, dan jangan lupa cuci bersih dulu botol susunya," lanjutnya pada Sumi."Baik Tuan.""Ayo Mah."Evand mengajak sang istri lekas keluar dari kamar Sumi. Stevie pun mengikutinya dengan membawa bayi mungil itu di dalam gendongannya.Evand membawa keranjang bayi lalu merangkul pundak Stevie sambil berjalan bersama, menuju kamar mereka yang berada di lantai dua.Di dalam kamar, Evand sudah tidak sabar ingin mengetahui isi dari amplop surat tersebut beserta
"Ini malingnya Pah!"Stevie menunjuk kearah hidung mancung Evand dengan telunjuknya."Loh kok Papah sih Mah? Maksudmu apa?"Evand di buat kesal oleh Stevie istrinya, seketika dia mengerutkan kening dan memasang raut wajah cemberut."Makanya! Bangun dulu! Sadar dulu, baru dengerin baik-baik. Biar tau jelas apa yang Mamah omongin.""Ya sudah, cepat beritahu kenapa Mamah bangunin Papah pake' teriak maling segala. Untung Papah nggak jantungan, coba kalo punya penyakit jantung, siapa yang repot?"Evand menggerutui Stevie, dia masih merasa kesal dengan cara istrinya membangunkannya tadi.Siapapun pasti akan kesal jika ada yang membangunkan tidur dengan cara seperti itu, apa lagi yang di ucapkan itu cuma bohongan."Iya! Mamah minta maaf. Sekarang ayo kita kebawah, ke kamar Sumi."Daripada menjelaskan kepada suaminya, lebih baik langsung mengajaknya untuk pergi ke kamar asisten rumah tangga mereka saja, agar me
Malam ini seorang penjaga kediaman keluarga Evander Yudho yang tengah tertidur pulas di pos ronda merasa terganggu saat telinganya mendengar suara tangisan bayi."Owek.. Owek.. Owek..""Uuuh! Suara apaan sih?! Berisik sekali."Penjaga itu bernama Diman. Dalam posisi tidur sambil duduk di kursi Diman enggan untuk membuka matanya, walaupun telinganya mendengar suara tangisan itu."Owek.. Owek.. Owek.."Sekali lagi suara tangisan itu terdengar ditelinganya. Mau tidak mau Diman akhirnya membuka perlahan pelupuk matanya."Hooaaamm!"Diman menguap lebar lalu mengarahkan pandangannya ke sekeliling arah, berusaha mencari dimanakah sumber suara tangisan bayi itu berasal.Tapi saat Diman sudah benar-benar sadar, justru suara tangisan itu sudah tidak terdengar lagi.Diman beranjak dari duduknya sambil melingkarkan kain sarung yang ia pakai ke pinggangnya."Aduh..! Apa aku tadi bermimpi ya? Ah, tapi perasa