"Apa? Ada yang mau bunuh, Papa?" Aku mengulang.Papa menganggukan kepalanya pelan, sementara dada nya kembang kempis tak karuan."Sem-alam ada yang mau cekik Pap-a." Papa mertua ngomong lagi.Aku menarik napas, papa mertua ngomongin yang semalam rupanya."Iya Pa iya Papa tenang ya, Papa gak usaha banyak pikiran dulu, mulai sekarang Hasan yang akan jagain Papa di sini."Papa mertua mengedip pelan, tampak sekali ketakutan di raut wajahnya. Andai papa mertua gak diberi obat-obatan mungkin papa mertua akan gelisah sepanjang malam."San, Pap-a mau minta tolong sam-a kamu." Papa mertua bicara lagi."Ya Pa, minta tolong apa?""Tol-ong telepon pengacara Pap-a, sur-uh dia dat-ang sekarang jug-a."Keningku mengerut, refleks kutengok juga jam dinding yang ada di ruangan itu, masih pukul 4 lebih sedikit, dan papa mertua minta pengacaranya datang ke sini? Apa gak salah?"Tapi Pa, ini masih pagi banget dah kayaknya, mau apa emang? Kalau ada perlu banget biar sama Hasan aja sini." "Eng-gak San, ka
"Eng-gak Neng, Pap-a juga kaget saat tahu Am-et tadi ak-an cekik Papa, tiba-tiba dia dat-ang dan mint-a Pap-a menandatangani surat yang dibuatnya, ent-ah isinya ap-pa tapi Pap-a ras-a isinya adalah soal harta warisan yang dia pinta semua." Papa mertua bicara panjang lebar. "Apa? Harta warisan yang dipinta semua? Maksudnya apa, Pak?" Ibu mertua bertanya lagi."Iy-a Bu, Am-et mint-a warisan seluruh gerai lab kita, rum-ah dan kendaraan kita saat Pap-a mening-gal nan-ti.""Astagfirullah Ameet, gak nyangka ternyata kamu teh tamak," gumam Ibu mertua sambil menggeleng-geleng tak percaya."Pap-a gak pern-ah nyangka bahwa Am-et akan sejah-at itu, Pap-a bikin surat wasiat pagi-pagi karen-a Papa pik-ir Pap-a gak akan lama lagi dipanggi-l Tuhan, murni dipang-gil Tuhan buk-an karen-a dibun-uh anak sendir-i," ujar Papa mertua lagi."Iya Pak iya Ibu juga gak nyangka Amet bisa sejahat dan sejauh itu pikirannya ya Allah, kemarin beneran Ibu gak berpikir bahwa orang yang akan mencekik Bapak itu adalah
Sementara aku mikir, wah bener juga apa kata papa mertua, kenapa aku gak kepikiran sama Mas Fatih ya? Dia itu 'kan sarjana pastinya dong lebih pinter soal kelola bisnis beginian, belum lagi dia punya pengalaman kerja kantoran juga."Tapi emang Papa yakin Pa mau percayakan bisnis ini sama Mas Fatih?" tanyaku memastikan."Yakin, Papa yakin banget Kakak kamu itu orangnya bisa dipercaya San." Papa mertua menjawab mantap.Aku manggut-manggut, "ya udah kalau gitu nanti Hasan kabari Mas Fatih, kali aja dia mau, Pa.""Oke Papa tunggu San."Pulang dari rumah papa mertua aku langsung menghubungi Mas Fatih dan mengatakan rencana papa mertua."Wah kalau itu sih Mas seneng banget San, tapi masalahnya Mas gak yakin, takutnya malah gerai bangkrut gara-gara dipegang sama Mas, gimana?""Loh kok bangkrut, Mas? Gerai itu 'kan udah berdiri sejak lama, otomatis udah banyak juga pelanggannya, nah Mas Fatih cuma tinggal terusin aja, jalanin sesuai prosedur biasanya, jadi Mas gak perlu urus ini itu lagi kare
Asmi mengembuskan napas berat."Ih Aa mah, Aa lupa ya soal Neng mau tinggal di desa?"Mulut ini spontan membola, "ooh iya lupa hehe.""Isssh dasar." Asmi ngambek, ia palingkan wajahnya ke samping."Hehe maaf Neng, Aa tuh terlalu mensyukuri dan menikmati masa-masa sekarang sampe lupa sama keinginan istri Aa untuk tinggal di desa, eh tapi Neng, ngomong-ngomong semuanya 'kan udah normal, sekarang Hasjun juga udah aman dan Neng udah gak terlalu cemas berlebihan lagi, kenapa Neng tetep mau pindah ke desa?" tanyaku serius.Asmi kembali duduk normal."Sebetulnya A, enggak tahu kenapa ya Neng teh ngerasa lebih tertarik tinggal di desa dan ingiiin banget menghabiskan masa tua itu di desa, membesarkan anak-anak kita di alam dan aktifitas seperti Neng dulu, ngurus sawah, ngurus kambing dan lainnya, di desa itu udaranya bersih, apalagi di sawah dan di kebon, emm plong rasanya, bikin pikiran juga lebih rileks dan tenang," jawabnya panjang lebar.Denger Asmi ngomongin suasana desa, aku jadi langsun
Aku menggigit bibir. Melihat Asmi kembali lesu aku jadi ikutan lesu. Emang gak mudah ada di posisi Asmi sekarang.Pasalnya kita juga gak bisa seenak udel ninggalin apa yang sedang kita jalani sekarang, karena semua ini merupakan amanah dari papa mertua, belum lagi kita juga punya bisnis kontrakan dan bisnis warnas yang baru saja dirintis, itu artinya bisnis kami ini masih harus selalu diawasi sampai bener-bener berjalan.Itulah sebabnya mungkin Asmi bingung. Tapi semoga aja someday, eaa someday, ada jalan keluarnya. Ya semoga, supaya cita-cita Asmi kembali kr desa terkabul. Aaamiin."Neng tenang aja, suatu hari nanti cita-cita Neng pasti tercapai, tapi mungkin agak lama dari sekarang karena kita harus menuntaskan tanggung jawab yang papa berikan dulu sama kita," ucapku yakin.Asmi mengangguk.***Waktu berputar cepat. Gak peduli yang kami lewati adalah kesedihan atau kebahagiaan, kami tetap harus menjalani takdir Tuhan dengan ikhlas seikhlas ikhlasnya.Hari itu akhirnya Mas Fatih pula
"Emmm gimana kalau uangnya entar kita beliin sawah aja di desa? Atau kambing? Atau apa gitu, yang penting jadi aset di desa, soalnya nanti 'kan katanya kita mau balik ke desa, mau menghabiskan masa tua di sana, alangkah baiknya aset Neng juga sebagian dipindah ke sana juga, biar gampang ngontrolnya, gimana?" usulku panjang lebar.Wajah Asmi juga mendadak berseri, sambil menjentikan jarinya dia ngomong, "nah bener tuh, Neng setuju, setujuu banget A, biarlah nanti uang itu kita belikan sawah aja, supaya lebih banyak juga warga desa yang bisa menyewa dengan harga murah, kasihan, kadang pas penghabisan tahun itu adaaa aja yang gak kebagian sewa sawah karena beberapa orang kadang sudah Dp duluan untuk 2 sampe 3 petak sawah," ujarnya panjang lebar."Nah 'kan bener.""Iya bener A, dan kalau misal teh di desa gak ada sawah yang mau dijual, ya di luar yang gak jauh dari desa kita pun gak apa-apa, nanti kita teh sewakan seperti biasa atau kita olah saja untuk kita jual hasil panennya, gimana?"
"Hasan, ada apa? Ngapain teriak-teriak gitu?" tanya Mas Fatih, ia datang dari belakang."Loh Mas, kirain di dalem," ucapku sambil berbalik menghadapnya."Mas nginep di mesjid San, semalem habis ada kajian sampe malem, kenapa Bapak?" "Gak nyahut-nyahut Mas, tidur kali ya.""Ah masa? Udah siang ini, masa masih tidur aja, tumben." Mas Fatih mengambil tempatku ke dekat pintu, lalu mengetuknya berkali-kali."Pak! Pak!""Ya Allah kok Bapak teh gak nyahut-nyahut atuh ya? Takutnya Bapak kenapa-kenapa atuh A, didobrak aja," ucap Asmi, mulai panik."Gimana, Mas?" Aku minta pendapat Mas Fatih."Iya San dobrak aja, soalnya aneh, tumben-tumbenan Bapak gak buka pintu padahal kita udah ketok-ketok dari tadi loh."Susah payah aku dan Mas Fatih pun terpaksa akhirnya mendobrak pintu kontrakan. Dan setelah didobrak bener aja, bapak lagi ada di kamar dalam keadaan terlentang di atas kasur dengan wajah pucat dan matanya terpejam tentu saja."Ya Allah Bapak, Bapak kenapa ini?" Asmi cepat hampiri Bapak da
Sementara aku mulai merapihkan rumah untuk malam, berbenah dan memindahkan sofa ruang tamu ke teras.Saat kami sama-sama sedang sibuk Mas Fatih dan Kak Alfa pulang dari makam."Kesel banget, masa si Mia kagak bisa balik, gimana sih itu anak? Kakeknya meninggal masa bilangnya kagak diizinin balik sama lakinya, gila aja," dengus Kak Alfa seraya membanting bobot ke sofa dan memijit-mijit keningnya."Ada apa sih, Mas?" bisikku pada Mas Fatih."Kak Alfa, nelepon si Mia suruh balik dari tadi pagi tapi jawabannya malah bikin Kak Alfa gedeg, katanya si Mia itu gak bisa pulang karena suaminya gak izinin.""Loh kenapa gitu gak diizinin?"Mas Fatih mengangkat bahu, "kurang tahu, mungkin karena sibuk.""Ck ck ck." Aku menggeleng kepala. Pantesan aja Kak Alfa ngamuk-ngamuk gitu."Eh Hasan, coba nih kamu ngomong sama si Mia, suruh dia balik gitu," kata Kak Alfa lagi, dia menyuruhku mengambil ponselnya.Cepat kuhampiri."Udahlah Kak, gak apa-apa, kalau emang sibuk ngapain dipaksa balik? Bapak juga '