Aku menggigit bibir. Melihat Asmi kembali lesu aku jadi ikutan lesu. Emang gak mudah ada di posisi Asmi sekarang.Pasalnya kita juga gak bisa seenak udel ninggalin apa yang sedang kita jalani sekarang, karena semua ini merupakan amanah dari papa mertua, belum lagi kita juga punya bisnis kontrakan dan bisnis warnas yang baru saja dirintis, itu artinya bisnis kami ini masih harus selalu diawasi sampai bener-bener berjalan.Itulah sebabnya mungkin Asmi bingung. Tapi semoga aja someday, eaa someday, ada jalan keluarnya. Ya semoga, supaya cita-cita Asmi kembali kr desa terkabul. Aaamiin."Neng tenang aja, suatu hari nanti cita-cita Neng pasti tercapai, tapi mungkin agak lama dari sekarang karena kita harus menuntaskan tanggung jawab yang papa berikan dulu sama kita," ucapku yakin.Asmi mengangguk.***Waktu berputar cepat. Gak peduli yang kami lewati adalah kesedihan atau kebahagiaan, kami tetap harus menjalani takdir Tuhan dengan ikhlas seikhlas ikhlasnya.Hari itu akhirnya Mas Fatih pula
"Emmm gimana kalau uangnya entar kita beliin sawah aja di desa? Atau kambing? Atau apa gitu, yang penting jadi aset di desa, soalnya nanti 'kan katanya kita mau balik ke desa, mau menghabiskan masa tua di sana, alangkah baiknya aset Neng juga sebagian dipindah ke sana juga, biar gampang ngontrolnya, gimana?" usulku panjang lebar.Wajah Asmi juga mendadak berseri, sambil menjentikan jarinya dia ngomong, "nah bener tuh, Neng setuju, setujuu banget A, biarlah nanti uang itu kita belikan sawah aja, supaya lebih banyak juga warga desa yang bisa menyewa dengan harga murah, kasihan, kadang pas penghabisan tahun itu adaaa aja yang gak kebagian sewa sawah karena beberapa orang kadang sudah Dp duluan untuk 2 sampe 3 petak sawah," ujarnya panjang lebar."Nah 'kan bener.""Iya bener A, dan kalau misal teh di desa gak ada sawah yang mau dijual, ya di luar yang gak jauh dari desa kita pun gak apa-apa, nanti kita teh sewakan seperti biasa atau kita olah saja untuk kita jual hasil panennya, gimana?"
"Hasan, ada apa? Ngapain teriak-teriak gitu?" tanya Mas Fatih, ia datang dari belakang."Loh Mas, kirain di dalem," ucapku sambil berbalik menghadapnya."Mas nginep di mesjid San, semalem habis ada kajian sampe malem, kenapa Bapak?" "Gak nyahut-nyahut Mas, tidur kali ya.""Ah masa? Udah siang ini, masa masih tidur aja, tumben." Mas Fatih mengambil tempatku ke dekat pintu, lalu mengetuknya berkali-kali."Pak! Pak!""Ya Allah kok Bapak teh gak nyahut-nyahut atuh ya? Takutnya Bapak kenapa-kenapa atuh A, didobrak aja," ucap Asmi, mulai panik."Gimana, Mas?" Aku minta pendapat Mas Fatih."Iya San dobrak aja, soalnya aneh, tumben-tumbenan Bapak gak buka pintu padahal kita udah ketok-ketok dari tadi loh."Susah payah aku dan Mas Fatih pun terpaksa akhirnya mendobrak pintu kontrakan. Dan setelah didobrak bener aja, bapak lagi ada di kamar dalam keadaan terlentang di atas kasur dengan wajah pucat dan matanya terpejam tentu saja."Ya Allah Bapak, Bapak kenapa ini?" Asmi cepat hampiri Bapak da
Sementara aku mulai merapihkan rumah untuk malam, berbenah dan memindahkan sofa ruang tamu ke teras.Saat kami sama-sama sedang sibuk Mas Fatih dan Kak Alfa pulang dari makam."Kesel banget, masa si Mia kagak bisa balik, gimana sih itu anak? Kakeknya meninggal masa bilangnya kagak diizinin balik sama lakinya, gila aja," dengus Kak Alfa seraya membanting bobot ke sofa dan memijit-mijit keningnya."Ada apa sih, Mas?" bisikku pada Mas Fatih."Kak Alfa, nelepon si Mia suruh balik dari tadi pagi tapi jawabannya malah bikin Kak Alfa gedeg, katanya si Mia itu gak bisa pulang karena suaminya gak izinin.""Loh kenapa gitu gak diizinin?"Mas Fatih mengangkat bahu, "kurang tahu, mungkin karena sibuk.""Ck ck ck." Aku menggeleng kepala. Pantesan aja Kak Alfa ngamuk-ngamuk gitu."Eh Hasan, coba nih kamu ngomong sama si Mia, suruh dia balik gitu," kata Kak Alfa lagi, dia menyuruhku mengambil ponselnya.Cepat kuhampiri."Udahlah Kak, gak apa-apa, kalau emang sibuk ngapain dipaksa balik? Bapak juga '
"Normal, semuanya normal, bayi Ibu juga sehat dan cantik," jawab Bidan itu sambil senyum lebar."Alhamdulillah." Kami semua mengucap syukur sedalam-dalamnya seraya mengusap wajah."Tapi bayi saya lahir kurang bulan Bu, apa gak perlu perawatan di rumah sakit atau klinik?" tanyaku pada Bidan yang kini tengah berkemas memasukan peralatan tempurnya ke dalam koper."Bayi Bapak sehat, berat badannya juga cukup, untuk saat ini dirawat di rumah saja asal pastikan kondisi ruangan tetap hangat ya, Pak.""Alhamdulillah, baik, Bu kalau gitu." Lagi, aku mengucap syukur untuk ke sekian kalinya."Karena semua sudah beres, kalau gitu saya permisi, besok pagi saya datang lagi ke sini untuk kontrol.""Oh ya ya baik, Bu."Kuantar bidan itu ke pintu depan."Aduh anak Uwa, cantik banget siih." Aku buru-buru kembali ke kamar saat mendengar Kak Alfa tengah ngomong sama si debay dengan hebohnya."Eh Hasan sini deh, ini anak kamu kok cakep amat.""Iya ih Poppy juga mau anak perempuan kaya gini," celetuk si P
"Iya Cep, sengaja Ibu kabarin saat semua nya teh sudah beres, takut kalian yang di sana pada kepikiran karena 'kan baru ditinggal Bapak juga, tapi kalian teh enggak usah kahwatir karena Ibu sama Papa di sini udah tanganin semuanya kok," jawab Ibu mertua panjang lebar."Alhamdulillah kalau gitu Bu, tapi sampe kaget aja Hasan dengernya, ya Allah semoga Nenek diterima amal kebaikan dan dilapangkan kuburnya ya, Bu.""Aamiin Aamiin Cep, do'ain terus dari sana ya, nanti tolong kabari si Neng soal Nenek tapi usahakan saat si Neng juga lagi gak banyak pikiran ya, kasihan." Ibu mertua mewanti-wanti."Oh ya Bu, nanti Hasan kabarin, Ibu tenang aja, di sana Ibu sama Papa juga jaga kesehatan.""Iya Cep, oh ya Cep, Ibu teh ada pesen dari Nenek, jadi sebelum Nenek meninggal teh Nenek bilang katanya kalau misal si Neng teh masih kebingungan cari nama buat bayinya kasih aja nama Kiranti, tapi kalau misal udah ada mah gak apa-apa gak usah dipake nama dari Nenek mah."Aku mendadak senyum lebar, pasalnya
"Beneran San, gila gak tuh? Biaya sewa naik 30% dari biaya sewa sekarang.""Kok bisa gitu, Mas? Ada-ada aja."Mas Fatih hanya mengangkat bahunya. Mendadak kepalaku pun pening. Gile aja, masa iya kita mesti keluarin biaya sewa segede itu? Terus untungnya gimana? Masalahnya gerai lab itu gak seramai kayak kita jualan minuman Boba, gile."Ya udah daripada bingung meningan kamu bicarakan sama mertua kamu dah San, baiknya gimana," kata Mas Fatih lagi.Aku mengangguk, setelah dia pergi aku buru-buru menghubungi papa mertua."Halo, kenapa San?""Pa, gimana ya? Gerai mau ada kenaikan biaya sewa, hampir 30 persen dari biaya sewa sekarang," jawabku tanpa basa-basi."Gerai yang mana?""Yang ada di Summarecon Mall.""Waduh, kok bisa?"Panjang lebar aku ngobrol nyari solusi baiknya gimana sama papa mertua, sampai akhirnya papa dapat keputusan."Oke, kalau gitu, kita jual lagi aja yang di sana San, profitnya bakal gak bagus, kita gak bisa buang-buang duit hanya untuk mempertahankan sesuatu yang bel
"Lancar Mas, alhamdulillah semuanya lancar."Mas Fatih manggut-manggut, "syukur kalau semuanya lancar, Mas harap nanti kamu punya bisnis baru yang lebih baik lagi San.""Iya Aamiin, makasih, Mas."***Sebulan berlalu sejak gerai kami terjual lagi, kami belum juga dapat pencerahan soal bisnis baru kami, tapi kami tetap bersyukur karena pemasukan tetap ada ada dari yang sewa kontrakan, dari gerai yang dipegang Mas Fatih dan dari warung nasi juga.Karena warung nasi juga udah langsung buka setelah sebulan Asmi lahiran, jadi hanya kurang lebih sebulan Bi Mae dan sodaranya itu bantu urus Kiranti di rumah, selebihnya Asmi urus berdua denganku, kadang juga dibantu sama Poppy sepulang sekolah.Kebetulan juga 'kan sejak gerai di jual otomatis aku udah gak ada kerjaan lagi, jadinya aku hanya full bantu Asmi di rumah. Tapi meski begitu aku lebih bahagia karena bisa 24 jam nemenin istri dan anak-anakku.Kadang aku sampe mikir, mungkin ini hikmahnya gerai mendadak harus dijual, agar aku bisa selal
"Ya kalau ada." Aku nyengir."Ada. Tenang aja. tar aku bukain deallernya khusus buat kalian. Eh tapi apa kalian mau beli mobil aku aja? Kebetulan nih istriku kemarin beliin mobil buat si bujang eeh tapi malah gak ditolak karena cocok katanya. Mobilnya padahal bagus tapi dia mau yang boddynya lebih macco.""Wah yang bener? Emang mobil apa Yon?""Itu di garasi, ayo lihat aja."Aku dan Ranti pun digiring ke garasinya. Buset emang dasar orkay, di sana mobilnya berjejer sampe 6 biji."Gila banyak amat mobil kamu Yon, udah sukses ya kamu sekarang.""Ah biasa aja. Ini buat kujual juga kalau ada yang nanyain. Nah ini mobilnya." Yono menepuk satu mobil berwarna putih mengkilat yang kelihatannya emang masih mulus banget itu."Pajero San. Bagus," katanya lagi.Aku melirik ke arah Ranti. Dia langsung mengangguk yakin."Beneran Ran mau yang ini?" "Beneran Yah, Ranti suka banget."Akhirnya setelah bernego dan membayar setengahnya langsung bawa mobil itu pulang. Sisa harganya nanti kubayar setelah
Esok harinya. Hari raya dan Asmi udah sibuk sejak sebelum subuh buta. Masak opor, masak ketupat, masak sambel goreng kentang dan pastinya ada sop iga sapi.Suasana lebaran di desa ini emang paling aku nantikan banget. Karena bertahun-tahun melewati suasana di kota saat aku kecil sampe dewasa, rasanya lebaran tak seberkesan seperti di desa.Beneran dah sumpah, aku baru ngerasa lebaran itu berkesan dan seru banget saat aku lebaran di desa Asmi ini. Di sini itu antara tetangga satu dan lainnya saling berkunjung, saling meminta maaf dan yang jelas aku bersyukur karena di sekitar rumah kami gak ada yang namanya tetangga julid. Mereka semua pada baik, pada ramah, pada saling mendukung dan menjunjung namanya tali persaudaan dengan gotong royong.Bahkan saat lebaran, biasanya mereka ada yang saling memberi makanan khas lebaran, walau sebenernya di setiap rumah juga ada. Ya 'kan namanya lebaran haha.Hari ini Asmi juga gitu, dia sengaja masak banyak karena mau ngasih ke ibu dan ke rumah tetang
Ranti DatangKarena penasaran aku pun bangkit menguping dekat pintu dapur."Iya iya kamu tenang aja, pokoknya Mas secepetnya kirim, Mas 'kan harus minta dulu sama istri Mas, uangnya baru cair tadi," kata si Broto lagi.Waduh parah. Ini sih bau-bau perselingkuhan kayaknya. Kasihan si Ratu ular, dia dikadalin sama lakinya."Wah aku harus buru-buru bawa si Ratu ke sini. Biar seru nih lanjutannya."Gegas aku ke depan.Tok! Tok! Tok! Kuketuk pintu kamar si Ratu cepat-cepat."Raaat, Raaat, buka!"Pintupun dibuka walau agak lama."Apaan sih? A Hasan? Ada apa? Ngetok pintu kayak mau nagih hutang aja," ketusnya, kesal."Rat, ayo buruan ke belakang. Kamu harus denger juga apa yang tadi Aa denger," ajakku tanpa basa-basi.Si Ratu mengernyit, "apaan sih, ogah," ketusnya sambil membanting pintu.Tok tok tok!"Rat Rat, buka Rat bukaa!""Berisik. Sana pergi! Ganggu orang istirahat aja!" teriaknya dari dalam.Aku mendengus kesal sambil kukeplak daun pintu kamar itu sedikit, "huh dasar, ya udah kalau
"Nah itu baru bagus," timpalku sambil kujentikan jari telunjuk dan jempolku.Si Ratu menoleh, "Apaan sih, ikutan aja," ketusnya.Aku menjebik, lah sok cantik amat, tuh bibir pake digaling-galingin gitu segala. Kesel banget dah."Loh Dewi, Putri, ada apa ini teh? Kenapa kalian mendadak enggak mau ambil uangnya?" tanya Ibu mertua, beliau kelihatan bingung."Gak ah Bu, gak usah, biar bagian Putri dikasih ke orang lain aja, buat Ibu juga gak apa-apa." Si Putri menjawab. Wanita berkulit putih itu nyengir kuda sambil lirak-lirik pada kakaknya, si Dewi.Aku sih paham, mereka pasti beneran takut sama omonganku tadi, takut mereka dijadiin tumbal haha."Dewi juga, biar duitnya buat Ibu aja, atau ... buat Bapak sekalian." Si Dewi melirik ke arah Papa mertua dengan tatapan sinis."Wah wah. Tumben-tumbenan nih pada baik," timpalku lagi sambil nyengir puas."Enggak!" sembur si Ratu kemudian. Dia spontan berdiri dari kursinya."Apaan sih kok jadi pada gak kompak gini? Dewi! Putri! Pokoknya kalian ak
"Ck dibilangin gak percaya," tandasku, gegas aku bangkit dan mabur ke depan. Di depan rumah aku cekikikan sendiri sambil geleng-geleng kepala, si Dewi itu bener-bener banget dah, obsesi banget dia sampe abis sahur pun masih nanyain soal kesalahpahaman semalem yang dia lihat haha.***Malam takbiran tiba.Alhamdulillah karena uang penjualan saham Asmi udah cair, malam itu juga Asmi langsung ajak aku lagi ke rumah ibu mertua."Ratu, Dewi, Putri, ini uang buat Teteh bayarin rumah teh udah ada, mau ditransfer sekarang apa gimana?" tanya Asmi pada ketiga adiknya.Mereka saling melirik sebentar sebelum akhirnya si Ratu menyahut."Ya sekarang dong Teh, kalau udah ada duitnya ngapain disimpen terus, si Putri juga 'kan mau pake buat lunasin sewa pelaminan.""Oh ya udah atuh, Teteh transfer ke rekening kamu aja semua dulu ya, nanti baru kamu bagi-bagi ke adik-adikmu.""Ya buruan, bawel ah," ketus si Ratu.Tau dah, kenapa orang satu itu makin ketus aja sama Asmi sekarang."Udah, tuh udah Teteh
"K-kami ...." Si Dewi dan Si Putri gelagapan, wajahnya terlihat tegang dan panik."Nguping ya kalian?" desakku."Enggak, kata siapa?" jawab si Dewi cepat."Dewi, Putri, jadi kalian teh lagi ngapain di sini?" tanya Asmi."Kami ... emm ... Teteh ngapain di dalam? Kok ada lilin sama baskom isi daun di dalam kamar? Dan ...." Si Dewi melirik ke arahku dengan tatapan aneh."Kenapa?" tanyaku risih."A Hasan pake apa itu? Kalian beneran ....""Beneran apa?" desakku."Kalian beneran ... ngepet?""Hah?" Aku dan Asmi saling melirik dengan mata melongo."Ngepet?" Asmi mengulang."Ya ngepet, kalian ngepet biar bisa dapat duit banyak 'kan?" "Astagfirullah Dewi, apa-apaan kamu teh? Omongannya kenapa ngaco begitu atuh ah.""Tapi bener 'kan Teteh sama A Hasan ngepet? Buktinya itu di dalam ada lilin sama baskom isi daun terus A Hasan pake jubah hitam begini," timpal si Putri sambil terus menerus lirik-lirik ke dalam kamar."Astagfirullah." Asmi elus dada sambil geleng-geleng kepala. Sementara aku cek
"Neng, kalau malam ini nginep di rumah Ibu lagi saja gimana?" tanya Ibu mertua saat aku sampai di dekat Asmi."Iya Bu, Ibu teh tenang aja, Neng pasti nginep lagi di sini, oh ya, kalau si Papa teh kemana? Kenapa enggak kelihatan lagi?""Tadi teh pamit katanya mau nyari rempah sama dedaunan buat penurun tekanan darah.""Ck ck ck ai ai Papa teh ada-ada aja, meski berasal dari kota ternyata masih percaya pengobatan tradisional begitu.""Ya bagus dong Neng, itu namanya melestarikan kebudayaan leluhur," timpalku cengengesan.Asmi menjebik saja.-Sore hari selepas aku balik sebentar ngabarin Hasjun kalau kami mau menginap lagi, di desa hujan gede.Bahkan saking gedenya sampe aliran listrik di desa mati dan signal hape pun jadi darurat.Gak aneh sih, emang di desa sering banget mati lampu dan darurat signal begini saat hujan gede, tapi lama-lama jengkel juga karena mati listrik dan mati signal itu gak nyaman banget rasanya.Aku pikir ini salah satu yang bikin gak enaknya tinggal di desa Asm
"Oh saya jadi sungkan," kata Pak Mantri lagi."Ah Pak Mantri ini kayak sama siapa saja atuh.""Ya sudah kalau begitu saya pamit dulu ya Teh Asmi, semoga ibunya cepat membaik.""Baik Pak, biar suami saya antar ke depan."Pak mantri mengangguk, gegas aku antar dia ke depan bareng si Ratu CS.Setelah mantri itu pergi, aku buru-buru kembali ke dalam, tapi belum sempat kaki ini melangkah ke kamar, kudengar si Ratu CS pada rumpi."Eh gak salah itu Teh Asmi ngasih lebihan duit ke mantri itu sampe 300 rebu?" bisik si Putri."Iya, kalau Teh Asmi gak punya duit harusnya duit 300 rebu gede loh, jangankan yang gak punya duit, kita aja yang duitnya banyak sayang banget rasanya kalau ngasih segitu banyak, gile aja, duit loh itu," balas si Dewi.Wah karena topiknya kayaknya seru, aku pun mundur lagi ke dekat jendela depan, kupasang telinga tegak-tegak, nguping kayaknya seru nih haha."Halah palingan pencitraan, biar dikata banyak duit, gak usah heran sama orang desa tuh, emang pada begitu kalau carm
Kudengar suara Asmi dan ibu mertua, ternyata mereka lagi ada di kamar ibu mertua."Ibu teh enggak apa-apa Neng, cuma sedikit pusing aja kepala Ibu, rebahan sebentar juga nanti sehat lagi."Kasihan, ibu mertua pasti pusing karena kelakuan anak-anaknya yang pada dableg itu."Ibu teh enggak usah banyak pikirian, udah biar acara hajatan Putri, Neng yang urus aja.""Iya Neng, Ibu teh percaya sama Neng, cuma Ibu teh pusing sama kelakuan adik-adikmu, udah pada dewasa kok bisa mereka teh sikapnya begitu sama kamu dan Papamu.""Gak apa-apa, mungkin mereka hanya belum paham aja bagaimana menerima, orang baru dalam kehidupan mereka Bu.""Semua ini salah Ibu, dulu Ibu terlalu memanjakan mereka dan selalu menanamkan rasa benci sama kamu di hati mereka.""Udah atuh Bu, yang dulu teh biarlah berlalu, enggak usah atuh dibahas lagi, mereka bersikap begitu mungkin karena mereka belum bisa menerima kenyataan aja.""Iya, Neng."Obrolan mereka terdengar makin lesu, aku sampe gak tega dengernya, karena saa