“Kenapa seharian ini beritanya tentang si gembel jalang brengsek Dania terus, hah?!” teriak Hizam tanpa mengindahkan tata krama di ruang publik.Menurutnya, karena ini kantor milik keluarganya, maka dia berhak berbicara apa saja sesuka hati.Asisten dan beberapa staf di sekitarnya berusaha menjauh, takut menjadi korban amukan bos mereka. Hizam mencengkeram remote televisi dengan marah, lalu melemparkannya ke dinding hingga hancur berkeping-keping.“Ngapain jalang brengsek itu dipuji?! Padahal tadinya semuanya berjalan sesuai rencanaku! Gimana dia bisa keluar dari situ sebagai pahlawan?!” geram Hizam, marah karena rencananya yang seharusnya membuat Dania dan Nexus terpuruk justru berbalik menjadi sorotan positif bagi Dania.Hizam menatap layar televisi lagi, melihat wajah Dania muncul di berbagai kanal berita, disorot sebagai pemimpin proyek yang cerdas, bertanggung jawab, dan berani. Rasanya seolah api amarah membakar seluruh tubuhnya.“Bangsat!” seru Hizam penuh emosi.Setiap pujian
“Dania, astaga!”Rivan muncul di depan pintu dengan wajah cemas. Pria itu tampak lelah, seperti baru saja menempuh perjalanan panjang.Dan memang, begitu mengetahui berita kecelakaan yang menimpa Dania, Rivan langsung meninggalkan urusannya di luar negeri dan terbang kembali ke Morenia.“Dania! Gimana kondisimu?” seru Rivan dengan suara khawatir, langkahnya cepat menghampiri tempat tidur Dania.Melody tahu diri dan membungkuk pamit ke Dania untuk keluar dari ruangan tersebut.Dania yang sedang duduk santai di ranjang rumah sakit terkejut melihat kedatangan Rivan yang tiba-tiba. "Rivan? Kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu lagi ada urusan di luar negeri?"Mereka tentunya sering berkirim pesan, makanya Dania mengetahui jadwal-jadwal dari pria itu.“Aku nggak bisa tinggal diam setelah dengar berita tentang kamu. Begitu tau kamu ada di rumah sakit, aku langsung kembali,” jawab Rivan, napasnya masih terengah setelah perjalanan panjang. Dia duduk di tepi ranjang, matanya menyiratkan kecem
Dania menatap mata Rivan yang dalam dan teduh, merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Aku baik-baik aja, Riv. Aku bukan orang yang mudah menyerah, apalagi soal tanggung jawabku.”“Aku tau kamu kuat,” jawab Rivan, nadanya lembut. “Tapi bukan berarti kamu harus selalu menghadapi semuanya sendirian.”Dania terdiam, merasakan ketulusan di balik kata-kata Rivan. Meski mereka tidak pernah mendefinisikan hubungan mereka, Rivan terus memberikan perhatian dan dukungan tanpa syarat. Itu membuat hatinya terasa lebih ringan, meski kadang dia terlalu keras kepala untuk mengakui bahwa dia membutuhkan orang lain di sisinya.Melihat ekspresi Dania yang berubah lembut, Rivan menggoda, “Tapi tetap aja, aku nggak bakal membiarkan kamu lolos dengan bilang ini cuma lecet-lecet. Kamu itu terlalu nekat.”Dania tertawa lagi, kali ini dengan lebih lepas. “Mungkin aja. Tapi kalau aku nggak nekat, aku nggak akan bisa melakukan apa yang harus aku lakukan.”Rivan tersenyum, kemudian berdiri dari kursinya, men
“Beneran kebakaran kah?” tanya Dania.Dia langsung duduk tegak di ranjangnya ketika suara alarm kebakaran menggema di seluruh rumah sakit. Wajahnya pucat, sementara Melody dan Sebastian segera bangkit, melihat ke arah pintu kamar."Gimana situasinya?!" Dania terkesiap, hatinya mulai berdetak kencang.Dia tidak mengira akan terjadi kebakaran di rumah sakit tempat dia sedang dirawat.Sebastian buru-buru membuka pintu. Asap tebal sudah mulai mengalir dari kamar di depan kamar Dania. "Ini buruk, Nona. Api berasal dari kamar depan dan sudah menjalar keluar, dan kelihatannya makin besar," lapor Sebastian dengan nada serius.Dania melongo. Kenapa bisa ada kejadian semacam itu? Kenapa bisa kebakaran bermula dari kamar di depan kamarnya? Bukankah itu terlalu dekat dan mengerikan?“Api menjalar cepat, Nona!” Melody menambahkan, matanya berkilat penuh kewaspadaan. “Kita harus keluar dari sini sekarang!”Maka, Dania bergegas turun dari ranjangnya, tanpa memedulikan kakinya yang terasa nyeri akiba
“Kita harus gimana, Kak Mel? Seba?” tanya Dania sambil menoleh ke dua orang di dekatnya.Tak mungkin mereka berusaha turun lagi melalui balkon lain dan mencari kamar dengan balkon yang tidak terkunci, bukan?Melody tak berpikir panjang. Dia menatap pintu kaca balkon dengan mata tajam. “Saya akan memecahnya, Nona.”Sebelum itu, Melody melepas blazer yang dia pakai untuk dililitkan ke tangan kanannya.Dhaarr! Praang!Dengan sekali pukulan keras, kaca tebal itu pun pecah berantakan. Melody mendorong pintu yang kini terbuka, memberi akses bagi mereka untuk masuk.“Kak Mel luar biasa kuat,” bisik Dania saat melihat aksi Melody.Dia takjub dengan kekuatan Melody. Padahal tubuh Melody tergolong kecil seperti dirinya, bukan tubuh berotot.Mendengar pujian Dania, Melody hanya membalas, “Hanya sebuah hasil dari latihan bertahun-tahun, Nona. Tak ada yang istimewa.”Jawaban merendah Melody semakin terdengar meroket di telinga Dania. Di dalam hatinya, Dania berharap dia bisa berlatih agar sekuat M
“Hizam! Dia lagi!” geram Dania.Sudah berapa kali mantan suaminya selalu ingin mencelakai dirinya. Dan sudah berapa kali pula dia masih memberikan pengampunan dengan hanya memberikan ‘pukulan’ balasan yang hanya ringan dan tidak membahayakan nyawa pria itu?“Kayaknya aku terlalu baik ama dia!” Dania meremas erat kepalan tangannya sampai buku jarinya memutih.Dania menggenggam lengan kursinya dengan tegang. "Jadi, ini beneran bukan kebetulan. Dia terlibat!""Sepertinya begitu, Nona," jawab Melody dengan tegas.Dania menarik napas dalam-dalam.Lalu, dia berkata, “Kak Mel, kamu dan Seba cobalah untuk terus mengumpulkan lebih banyak bukti mengenai itu.”“Baik, Nona.” Melody mengangguk patuh.Dia bisa memahami rasa amarah Dania terhadap Hizam.“Perkuat bukti finansial, Kak Mel. Pastikan transaksi antara Hizam dan pasien yang menyebabkan kebakaran bisa diusut ampe tuntas. Kita bisa pakai penyelidik profesional untuk membantu memperkuat bukti.” Dania membeberkan langkah-langkahnya.Di sampin
“Kita hajar mereka yang bermental dan berjiwa jahat!” imbuh Dania yang direspon anggukan tegas dari Melody dan Sebastian.---Di sore yang mulai sepi karena banyak karyawan yang pulang, Dania masih duduk di ruang pertemuan Nexus, hanya ditemani oleh Sebastian dan Melody.Sebuah layar besar menampilkan headline berita dari kanal bisnis Morenia yang tengah menyorot Nexus. Setiap kata positif yang diberikan media untuknya bak pukulan bagi Hizam, dan Dania tahu itu.“Seba,” Dania membuka percakapan dengan nada tenang namun tajam, “mulai besok, buat pertemuan dengan semua mitra proyek kita. Aku ingin mereka tau apa yang sedang kita lakukan untuk meningkatkan keamanan di proyek-proyek Nexus.”Sebastian mengangguk. "Baik, Nona. Saya akan pastikan semua berjalan rapi. Ada yang perlu disampaikan secara khusus?"Dania tersenyum tipis. “Sampaikan pada mereka, meski ada pihak-pihak yang berusaha menghambat, Nexus tetap berkomitmen sepenuhnya pada keselamatan kerja. Mungkin tanpa menyebutkan nama,
“Ayo ke tempatku, Kak Mel, Seba.”Malam itu, setelah pertemuan yang sukses dengan para mitra dan konferensi pers yang memancing perhatian media, Dania, Melody, dan Sebastian berkumpul di apartemen Dania.Aura kemenangan memenuhi ruangan, tapi mereka tahu ini bukan waktunya untuk bersantai. Sebaliknya, setiap langkah mereka ke depan harus lebih cermat lagi, memastikan rencana ini akan memancing reaksi Hizam dan membuatnya melakukan kesalahan yang bisa mereka buktikan di hadapan semua pihak.“Ini momen krusial,” kata Dania sambil bersandar di kursinya. "Aku yakin, dengan keadaan yang semakin terjepit, Hizam mungkin akan mencoba sesuatu yang lebih nekat lagi."Melody menyilangkan tangannya, memikirkan kemungkinan-kemungkinan selanjutnya. “Benar, Nona. Jika dia berani menyabotase proyek Nexus dan bahkan melakukan percobaan pembakaran, itu artinya dia tak akan berhenti di sini. Mungkin kita bisa memancingnya dengan memberi informasi yang seolah bocor, sesuatu yang membuatnya berpikir Nexus