“Kita harus gimana, Kak Mel? Seba?” tanya Dania sambil menoleh ke dua orang di dekatnya.Tak mungkin mereka berusaha turun lagi melalui balkon lain dan mencari kamar dengan balkon yang tidak terkunci, bukan?Melody tak berpikir panjang. Dia menatap pintu kaca balkon dengan mata tajam. “Saya akan memecahnya, Nona.”Sebelum itu, Melody melepas blazer yang dia pakai untuk dililitkan ke tangan kanannya.Dhaarr! Praang!Dengan sekali pukulan keras, kaca tebal itu pun pecah berantakan. Melody mendorong pintu yang kini terbuka, memberi akses bagi mereka untuk masuk.“Kak Mel luar biasa kuat,” bisik Dania saat melihat aksi Melody.Dia takjub dengan kekuatan Melody. Padahal tubuh Melody tergolong kecil seperti dirinya, bukan tubuh berotot.Mendengar pujian Dania, Melody hanya membalas, “Hanya sebuah hasil dari latihan bertahun-tahun, Nona. Tak ada yang istimewa.”Jawaban merendah Melody semakin terdengar meroket di telinga Dania. Di dalam hatinya, Dania berharap dia bisa berlatih agar sekuat M
“Hizam! Dia lagi!” geram Dania.Sudah berapa kali mantan suaminya selalu ingin mencelakai dirinya. Dan sudah berapa kali pula dia masih memberikan pengampunan dengan hanya memberikan ‘pukulan’ balasan yang hanya ringan dan tidak membahayakan nyawa pria itu?“Kayaknya aku terlalu baik ama dia!” Dania meremas erat kepalan tangannya sampai buku jarinya memutih.Dania menggenggam lengan kursinya dengan tegang. "Jadi, ini beneran bukan kebetulan. Dia terlibat!""Sepertinya begitu, Nona," jawab Melody dengan tegas.Dania menarik napas dalam-dalam.Lalu, dia berkata, “Kak Mel, kamu dan Seba cobalah untuk terus mengumpulkan lebih banyak bukti mengenai itu.”“Baik, Nona.” Melody mengangguk patuh.Dia bisa memahami rasa amarah Dania terhadap Hizam.“Perkuat bukti finansial, Kak Mel. Pastikan transaksi antara Hizam dan pasien yang menyebabkan kebakaran bisa diusut ampe tuntas. Kita bisa pakai penyelidik profesional untuk membantu memperkuat bukti.” Dania membeberkan langkah-langkahnya.Di sampin
“Kita hajar mereka yang bermental dan berjiwa jahat!” imbuh Dania yang direspon anggukan tegas dari Melody dan Sebastian.---Di sore yang mulai sepi karena banyak karyawan yang pulang, Dania masih duduk di ruang pertemuan Nexus, hanya ditemani oleh Sebastian dan Melody.Sebuah layar besar menampilkan headline berita dari kanal bisnis Morenia yang tengah menyorot Nexus. Setiap kata positif yang diberikan media untuknya bak pukulan bagi Hizam, dan Dania tahu itu.“Seba,” Dania membuka percakapan dengan nada tenang namun tajam, “mulai besok, buat pertemuan dengan semua mitra proyek kita. Aku ingin mereka tau apa yang sedang kita lakukan untuk meningkatkan keamanan di proyek-proyek Nexus.”Sebastian mengangguk. "Baik, Nona. Saya akan pastikan semua berjalan rapi. Ada yang perlu disampaikan secara khusus?"Dania tersenyum tipis. “Sampaikan pada mereka, meski ada pihak-pihak yang berusaha menghambat, Nexus tetap berkomitmen sepenuhnya pada keselamatan kerja. Mungkin tanpa menyebutkan nama,
“Ayo ke tempatku, Kak Mel, Seba.”Malam itu, setelah pertemuan yang sukses dengan para mitra dan konferensi pers yang memancing perhatian media, Dania, Melody, dan Sebastian berkumpul di apartemen Dania.Aura kemenangan memenuhi ruangan, tapi mereka tahu ini bukan waktunya untuk bersantai. Sebaliknya, setiap langkah mereka ke depan harus lebih cermat lagi, memastikan rencana ini akan memancing reaksi Hizam dan membuatnya melakukan kesalahan yang bisa mereka buktikan di hadapan semua pihak.“Ini momen krusial,” kata Dania sambil bersandar di kursinya. "Aku yakin, dengan keadaan yang semakin terjepit, Hizam mungkin akan mencoba sesuatu yang lebih nekat lagi."Melody menyilangkan tangannya, memikirkan kemungkinan-kemungkinan selanjutnya. “Benar, Nona. Jika dia berani menyabotase proyek Nexus dan bahkan melakukan percobaan pembakaran, itu artinya dia tak akan berhenti di sini. Mungkin kita bisa memancingnya dengan memberi informasi yang seolah bocor, sesuatu yang membuatnya berpikir Nexus
“Nih, udah datang.” Dania membuka kotak pizza pesanannya. “Jangan sungkan-sungkan dimakan, yuk!”Sebagai pemimpin proyek, tak mungkin Dania mengabaikan perut bawahannya.“Terima kasih, Nona.” Melody dan Sebastian hampir bersamaan menyahut.Karyawan lainnya mengangguk.Malam itu, Dania dan timnya bersiap mengawasi pergerakan terakhir Hizam. Mereka sudah mengatur agar pihak berwenang dapat segera menindaklanjuti rencana yang mereka susun matang-matang.Di gedung Nexus, layar monitor besar di ruang kontrol menampilkan akses kamera pengawasan di lokasi proyek tambang baru yang sengaja mereka umbar sebagai investasi besar. Momen ini sangat krusial — setiap langkah Hizam harus terpantau.Sedangkan di kantor Hizam, suasana tegang. Hizam sedang berbicara dengan beberapa orang kepercayaannya, wajahnya menunjukkan keseriusan dan kemarahan yang mendalam.“Kita nggak bisa mundur sekarang. Ini adalah kesempatan terakhir kita untuk menghancurkan Nexus sebelum mereka menguasai pasar ini sepenuhnya,”
Dania melongo. Hizam gagal diadili? Gagal dipenjara?“Kok bisa?!” Dania sampai memekik sambil menampar meja di depannya.Melody menundukkan kepalanya, merasa gagal menyenangkan Dania. Ini benar-benar di luar kemampuannya. Padahal mereka sudah bekerja sangat keras untuk mengumpulkan banyak bukti.Tapi… terkadang memang uang yang paling berkuasa atas apa pun di dunia ini. Mereka tidak memprediksi akan campur tangan Arvan Grimaldi.“Haaah~” Dania menatap keluar jendela, wajahnya tanpa ekspresi ketika dia akhirnya mulai tenang.Mau bagaimana lagi? Sudah begini. Hanya perlu berusaha lebih baik lagi ke depannya.“Maafkan ketidakbecusan saya, Nona.” Melody tampak menyesal dan merasa bersalah.Ini menimbulkan sedih dan penyesalan pada Dania atas responnya tadi yang menyebabkan Melody jadi terpuruk.“Jangan salahkan dirimu, Kak Mel.” Dania berusaha tetap menjaga ketenangannya. Walau begitu, ada kilatan dingin di matanya. “Aku tau ini nggak akan mudah. Hizam itu licin. licik, juga culas. Setida
“Siapa itu Levinston, Edenberg, dan Birmington?”“Sepertinya itu nama keluarga, bukan nama kecil.”“Kira-kira siapa pengirimnya? Apakah benar tiga orang yang namanya tertera?”“Apa hubungan ketiga orang itu dengan Leona dan Hizam, ya?”Para tamu saling berbisik, penasaran dengan tiga nama yang ditulis di bunga besar tersebut dan apa maksud dari ucapan itu?Hingga kemudian, satu jam berikutnya kedua mempelai datang dan memasuki ballroom dengan senyum lebar di masing-masing wajah. Hizam sibuk mengangguk ke para tamu, sedangkan Leona melambai penuh keanggunan. Mereka berjalan bergandengan bagaikan pasangan raja dan ratu semalam.“Terima kasih sudah datang!” Leona sibuk menyapa para tamu terdekat yang dia kenali.Namun, begitu mata Leona tiba di karangan bunga yang diletakkan sangat mencolok di dekat pintu masuk ballroom, wajahnya berubah tegang. Senyum yang tadi menghiasi wajahnya mulai memudar saat membaca papan ucapan itu. Tatapannya berubah gelap, dan kedua tangannya mengepal.“Bajing
“I-Ivella.” Hizam cukup gugup ketika Ivella mendekat ke arahnya untuk mengucapkan selamat.Namun, sikap Ivella tetap tenang dan wajar.“Selamat untuk Bos dan Nyonya Bos.” Ivella dengan pandai bertingkah normal layaknya bawahan memberi selamat ke atasannya.Dia menyalami tangan Hizam dan memberi ‘salam antar pipi’ ke Leona meski Leona heran, siapa Ivella ini? Tapi karena disorot banyak mata tamu undangan, Leona tak menolak kecupan antar pipi dari Ivella.“Semoga kalian selalu langgeng sampai kapan pun. Saya pamit dulu.” Ivella menyelipkan kode perpisahannya ke Hizam tanpa pria itu paham.Lalu, Ivella melenggang ringan turun dari panggung pelaminan dan berjalan keluar dari ballroom. Tugasnya sudah selesai.“Nona, semuanya sudah saya lakukan.” Ivella melaporkannya ke Dania.“Bagus, Kak! Langsung aja masuk ke mobil Seba yang udah nunggu di luar, yah!” Dania mengomando.Langkah kaki jenjang Ivella semakin mantap meninggalkan hotel tersebut dan masuk ke mobil hitam yang telah dipersiapkan u