Mentari dan Fikri hanya diam.Hening tanpa ada yang berbicara, sesekali Fikri melihat Mentari.Ingin memulai pembicaraan, tetapi tidak memiliki keberanian.Tetapi semua tidak akan selesai jika hanya diam, akhirnya Fikri pun mencoba duduk di samping Mentari.Kemudian diam dan kebingungan ingin memulainya dari mana."Aku nggak mau nikah sama kamu!" Kata Mentari dengan suara lantangnya.Fikri hanya diam dan membiarkan apa yang ingin dikatakan oleh Mentari.Fikri sadar dirinya adalah seorang pria bajingan dan sangat bersalah, hanya saja semua itu terjadi begitu saja.Karena perasaan cemburu yang tak dapat membuat kepalanya berpikir jernih.Lagi pula jika pun mengatakan tidak di bibir Mentari, tidak akan berpengaruh apa-apa.Sebab, Renata sendiri yang sudah memutuskan mereka harus menikah.Fikri sangat tahu seperti apa Mentari, pasti akan menuruti apapun yang dikatakan oleh Mommy nya itu."Kamu dengar aku nggak?" Mentari kesal saat melihat Fikri hanya diam saja seakan tidak mendengar.Pad
"Kalau kamu tidak mau, tidak masalah! Tidak usah menikah dengan aku! Biar aku cari laki-laki lain saja, yang benar-benar tulus pada ku. Aku tidak perduli mau dari kalangan bawah sekalipun asalkan bisa mencintai ku dengan tulus!"Perduli setan dengan cinta yang ada, saat ini Mentari hanya ingin menguji seberapa besar cinta Fikri padanya.Sebab, Mentari ragu untuk menikah dengan Fikri karena perlakuan kasar yang diterimanya.Fikri pun terdiam tanpa kata, apa lagi saat Mentari mengatakan untuk mencari laki-laki lain.Seketika wajahnya menjadi panik.Lihat saja jika benar itu terjadi, Fikri tidak akan pernah diam saja.Selama masih bernapas maka tidak akan ada yang bisa memiliki Mentari selain dirinya."Baiklah, aku akan menuruti keinginan mu!" Jawab Fikri dengan cepat, tanpa ingin berpikir panjang.Mentari menatap Fikri dengan penuh intimidasi, meyakinkan dirinya apakah Fikri sedang serius ataupun sedang berpikir keras cara mengelabuinya.Mengingat Fikri adalah tuan Arogan yang licik dan
Setelah memutuskan menyetujui persyaratan yang diberikan oleh Mentari, Akhirnya Mentari pun setuju untuk menikah dengan Fikri.Namun, tiba-tiba saja terdengar suara perut Fikri yang bernyanyi.Mentari pun terkejut mendengarnya.Sedangkan Fikri pun menyadari belum makan sebutir nasi sejak pagi tadi.Itu karena memikirkan Mentari, belum lagi kebagian saat Adam dan Kinanti memintanya menemui Mentari padi tadi.Namun, saat ini Fikri sadar. Bahwa makan cinta tidak mengenyangkan perut."Kamu lapar?" "Iya, kita cari makan ya."Mentari pun mengangguk, "Aku mandi dulu, kamu juga mandi sana.""Nggak boleh, kita belum menikah," tolak Fikri dengan penuh percaya diri.Mentari mendengar jawaban Fikri yang seakan-akan menolak dan membuatnya tersudutkan.Pada dasarnya tidak pernah mengajarkan Fikri untuk mandi bersama."Apanya? Aku minta kamu mandi di kamar kamu! Bukan di sini!" Mentari kesal dan mencubit lengan Fikri, mungkin dengan begitu bisa menyadarkan otak Fikri yang konslet."O, begitu? Kirai
Keesokan harinya Fikri pun siap menjalani peran barunya sebagai mana yang diinginkan oleh Mentari.Menjadi orang biasa.Fikri pun mencari Ujang, tukan kebun yang bekerja dikediamannya."Bunda, lihat Ujang?""Kalau tidak salah di kebun belakang, kenapa? Tumben sekali mencari Ujang?" Kinanti menatap pakaian Fikri.Biasanya jika pagi begini begitu rapi dan bersiap-siap untuk berangkat bekerja, malah pagi ini masih menggunakan baju santai."Fikri mau pinjam pakaian Ujang.""Pinjam?" Sarah yang tidak sengaja mendengar pun langsung ikut menimpali pembicaraan antara Kinanti dan Fikri."Iya, Oma. Tari, mau menikah dengan Fikri, syaratnya harus membeli cincin nikah dengan bekerja menjadi orang biasa, katanya yang benar-benar dari keringat Fikri sendiri.""Begitu," Sarah pun mangguk-mangguk merasa mengerti."Terus harus pakai pakaian Ujang, gitu?" Tanya Kinanti.Tampaknya cinta Fikri pada Mentari begitu besar, hingga siap melakukan apa saja."Fikri sekalian mau tanya, cari kerja jadi orang bias
Fikri pun menjelma menjadi tukang sayur dadakan.Demi apa?Demi cincin nikah.Perduli setan dengan gengsi, panas-panasan tak menggentarkan semangat yang telah menyala."Sayur!" Teriak Ujang, "bos yang teriak!" "Sayur!" Teriak Fikri namun suaranya begitu pelan."Lebih kencang Bos!" Kata Ujang."Ck," Fikri pun berdecak kesal, sesaat kemudian ada mobil yang berhenti di dekatnya.Mentari pun turun dan menghampiri Fikri.Semangat Fikri semakin berkibar dengan semangat yang tiada duanya."Beli sayurnya, Aa," goda Mentari."Berapa Neng?" Tanya Fikri ikut dalam godaan Mentari."Kangkung dua ikat," lanjut Mentari."Ini Neng, 5000 aja.""Yakin 5000? Nggak dibayar tunai aja?" Celetuk Mentari diiringi tawa yang menggoda Fikri."Kau sekarang semakin pintar ya!" Fikri pun mengetuk kepala Mentari, merasa gemas dengan tingkah laku wanita kesayangannya tersebut.Itulah cara Fikri meluapkannya, sebab kali ini dirinya ingin menuruti keinginan Mentari : Tidak menyentuh sebelum menikah, syarat menikah ad
Bukannya hasil yang di dapatkan setelah bekerja hari ini, yang ada hanya kerugian untuk membayar biaya kerugian pada penjual sayur.Bukan hanya sayurnya yang rusak, namun gerobaknya juga.Kini Fikri, Mentari dan Ujang duduk di sisi jalanan. Persis seperti seorang yang biasa hidup sederhana.Tapi jujur saja, Mentari begitu bahagia dengan apa yang dilakukan oleh Fikri.Selama hidupnya terbiasa hidup bebas dengan bergelimang harta kini malah bersedia memenuhi sebuah persyaratan yang diajukannya.Menurut Mentari persyaratan tersebut tentulah tidak mudah untuk Fikri.Tapi di sini Mentari hanya ingin menguji cintanya seorang Fikri padanya."Kamu kok liatin aku begitu? Aku memang tampan," goda Fikri saat melihat Mentari terus saja menatapnya.Mantri pun kini beralih menatap ke depan, di mana banyak sepeda motor yang berlalu lalang."Memangnya nggak boleh ngeliatin wajah calon suami sendiri?" Tanya Mentari.Fikri pun tersenyum dan mengangguk, kemudian menyenggol lengan Mentari."Kalau begitu a
Setelah Nenek Fatimah pergi, Fikri pun menghampiri Mentari.Duduk di samping Mentari."Kok kayaknya cemberut banget?" Fikri tentu saja bingung melihat perubahan wajah Mentari yang mendadak murung."Mas, minta nomer ponselnya dong. Besok mau tau jam berapa datang bawa pecel nya," kata wanita tersebut dengan alasan yang mungkin tidak masuk akal."Kasih aja tu!" Mentari pun bangkit dari duduknya, kemudian berjalan pergi.Fikri tidak tahu ada apa dengan Mentari, hingga ia pun memilih untuk menyusul Mentari.Tampaknya sampai di sini kaki Mentari mulai lelah, hingga duduk di kursi taman.Fikri pun tersenyum dan kembali duduk.Namun, karena masih kesal Mentari pun berpindah duduk agar lebih jauh dari Fikri.Fikri pun tidak mau kalah, setiap kali Mentari berpindah maka ia pun akan berpindah untuk duduk lebih dekat.Sampai akhirnya Mentari terjatuh karena tidak ada lagi tempat duduk untuknya."Ish!" Mentari kesal dan merasa malu.Sedangkan Fikri tersenyum melihat Mentari, seketika itu mengulurk
Ketika cinta sudah bersemi, maka wajah pun terus saya berseri-seri.Begitulah yang terjadi pada Mentari.Wanita yang berusia cukup matang untuk menikah tersebut baru kali ini merasakan jatuh cinta.Aneh bukan? Tetapi inilah nyatanya. Malam ini Mentari tidur begitu lelap, bukan hanya karena terlalu lelah, melainkan juga Karena rasa bahagia yang tidak terkira.Sehingga akhirnya pagi hari pun menjelma, pagi yang cerah dengan matahari yang bersinar dengan teriknya.Bibir Mentari masih saja tersenyum, membayangkan hari kemarin begitu bahagia bersama dengan orang yang dicintainya.Banyak yang mereka lewati bersama, dari hal yang menyenangkan, kekonyolan dan juga keanehan yang terjadi.hingga akhirnya Renata pun masuk menemui anaknya.Renata ingin bertanya perihal hubungan Mentari dan Fikri saat ini.Tidak ingin putrinya terus lebih dekat dengan Fikri namun tanpa ikatan pernikahan mengingat hubungan mereka sudah begitu jauh."Mentari Apa kamu masih berusaha untuk menunda pernikahanmu dengan F
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada