"Kamu nemenin Zidan?" Tanya Kinanti yang tidak sengaja berpapasan dengan Renata di lorong rumah sakit.Renata pun tersadar dan menatap Kinanti, menghentikan langkah kakinya."Nggak, Mama di rawat. Darah tinggi Mama kambuh, pagi tadi dibawa ke sini," jelas Renata.Kinanti pun mengangguk."Begitu? Ya udah, aku ke ruangan Mas Adam dulu. Abis itu aku jenguk Tante Irma," kata Kinanti."Iya, aku juga mau ke depan dulu. Mentari minta dibelikan buah," pamit Renata.Kinanti pun mengangguk dan segera menuju ruangan Adam.Setelah selesai menjalani pemeriksaan kandungan segera menuju ruang rawat Irma.Kinanti bisa melihat keadaan Irma yang begitu lemah, terbaring di atas brankar dengan Mentari yang duduk di kursi sambil bercerita panjang lebar.Tiba-tiba saja tubuh Irma kejang-kejang hingga segera di pindahkan ke ruang ICU untuk penanganan lebih baik.Sindi pun sampai, dengan membawa ketiga anaknya.Menangis tersedu-sedu berpelukan bersama Renata tidak kuasa melihat Irma yang tengah berjuang untu
"Permisi Dok," Zahra masuk ke ruangan Zidan dengan terburu-buru, bahkan dengan napas yang terengah-engah.Sekalipun tersadar apa yang dilakukannya tidaklah sopan, masuk tanpa ijin dari pemilik ruangan tentunya tidak baik."Maaf, saya langsung masuk, Tante Irma sudah sadar dan ingin bertemu dengan anda," kata Zahra dengan suara bergetar.Zidan merasa bersyukur karena artinya keadaan mertuanya lebih baik, akan tetapi untuk apa Irma ingin bertemu dengan dirinya."Iya, saya bangunkan istri saya dulu," jawab Zidan kemudahan Zahra pun keluar dari ruangan tersebut.Zidan melihat tidur Renata masih begitu lelap, ada rasa tidak tega untuk membangunkannya. Tetapi, ini juga kabar gembira yang harus di dengar istrinya."Renata, bangun," dengan perlahan dan hati-hati Zidan pun membangunkan Renata.Mata Renata pun perlahan terbuka, dan menatap Zidan.Bangkit dari tidurnya dan duduk di samping Zidan."Aku ketiduran ya," Renata tidak menyadarinya ternyata sudah terlelap dalam sekejap saja.Zidan meng
Pakaian putih masih terpakai, selendang yang menutupi kepalanya pun masih ada. Renata duduk di sisi ranjang.Ranjang milik mendiang sang Mama, sungguh rindu yang terberat adalah merindukan seseorang yang sudah tiada.Di kamar ini, kamar yang cukup luas dengan desain modern.Semua masih seperti dulu, semua letak barang-barangnya pun masih saja sama. Irma sendiri yang menatapnya.Kenangan.Semua tinggal kenangan, sisa-sisa bayangan pun kini menjadi sebuah penghibur dalam luka yang begitu dalam.Bukan.Bukan meratapi keadaan, hanya saja butuh waktu untuk berdamai dengan keadaan.Mata Renata menatap bingkai foto yang terpajang pada dinding kamar, dimana ada dirinya, sang Kakak dan kedua orang tuanya.Semua sudah terbungkai rapi dengan penuh kenangan suka mau pun duka."Kamu kuat," Kinanti duduk di samping Renata, menepuk pundak wanita yang kini dilanda kerapuhan.Entahlah.Renata bahkan tidak menyadari kehadiran Kinanti di sekitarnya."Terima kasih," Renata tersenyum, merasa bersyukur kar
Sesampainya di rumah sakit Zidan pun segera melakukan observasi.Setelah itu Zidan pun menghubungi Mala yang masih berada di kediaman mendiang mertuanya.Mala belum mengetahui apa-apa, saat Serena di larikan ke rumah sakit.Zidan memilih melalui pintu belakang agar tidak mengundang kegundahan para keluarga yang masih berdua cita.Setelah mengetahui kabar Serena, segera Mala menuju rumah sakit dengan paniknya."Apa yang terjadi pada adik mu, kenapa bisa dia begini?" Mala sungguh panik melihat putri bungsunya yang berada di atas brankar rumah sakit.Serena yang periang dan juga selalu bersemangat mendadak lemah membuat hati sang Mama panik bukan main.Bukan hanya Mala yang panik, yang lainnya juga tidak kalah panik melihat keadaan Serena."Usia kandungannya sudah 2 Bulan, artinya saat kami berlibur di desa dia sedang hamil," kata Zidan menyampaikan keadaannya Serena."Hamil, dua Bulan?" Tanya Kinanti terkejut.Karena Serena terlihat baik-baik saja tanpa ada yang berubah, hingga kini tib
"Bayu sudah selesai di perban Mbak, bicara langsung dengannya saja," Alif memberikan ponsel pada pemiliknya.Bayu melihat nama Serena, tetapi suara Kinanti yang terdengar membuatnya menjadi bertanya-tanya."Kamu baik-baik saja 'kan?" Tanya Kinanti secepat mungkin dengan tidak sabaran."Iya, hanya sedikit yang luka," jelas Bayu.Huuuufff.Perasaan Kinanti lebih baik setelah mendengar suara Bayu.Dengan demikian artinya tidak terlalu parah."Syukurlah," Kinanti benar-benar bernapas lega saat ini.Kinanti pun beralih menatap Serena, "Ini Bayu yang bicara, kamu mau bicara padanya?" Kinanti pun memberikan ponsel pada Serena.Serena menggeleng tidak ingin berbicara sama sekali.Akhirnya Kinanti kembali mendekatkan ponsel pada telinganya."Serena, di mana?" Tanya Bayu bingung, mengapa Kinanti yang menegang ponsel istrinya."Serena, di rumah sakit. Semalam dia di larikan ke sini," Kinanti berbicara pada Bayu, tetapi matanya melihat Serena yang juga melihat dirinya.Bayu di sebrang tentu terke
Bayu pun masuk dengan perlahan, berdiri di samping brankar. Melihat tangan Serena yang terpasang selang infus, kemudian menatap wajah istrinya."Kamu sakit apa?" Bayu pun bertanya untuk memecahkan keheningan diantara keduanya."Demam," jawab Serena dengan cuek."O," Bayu pun duduk di kursi, kemudian ia diam sambil melihat wajah Serena.Ada rasa sedih menyadari dirinya sebagai seorang suami tetapi, malah mengetahui keadaan istrinya paling akhir.Sedangkan Serena memilih menutup matanya, kesal pada Bayu yang tidak memeluknya sama sekali.Dirinya juga tidak mengerjakan, tetapi dekapan hangat dan aroma tubuh Bayu sangat dirindukannya semenjak Bayu tugas dan meninggalkan dirinya di rumah sendirian.Andai saja Bayu tau setiap malam Serena tidur dengan memeluk foto Bayu, demi mengobati sedikit kerinduan yang mendalam.Atau mungkin saja Bayu sudah memiliki wanita lain di luar sana.Pikiran Serena semakin bercabang saja.Perlahan Serena pun bergerak dan memunggungi Bayu, tidak ingin berdekatan
"Salah!""Salahnya di mana?"Serena melipat kedua tangannya di dada, membuang pandangannya kearah lainya."Adek, istri Abang. Kok sekarang ngambek kan?" Bayu pun mencoba bertanya mengingat selama ini mereka tidak pernah tertutup, bahkan tanpa kode-kode.Jika ada yang membutuhkan salah satunya akan berbicara langsung.Tetapi ada apa dengan Serena saat ini? Serena sangat berbeda dengan sebelumnya."Makan ya, Abang suapin. Belum makan kan?""Nggak lapar?"Bayu pun menarik napas berat, kemudian memilih meneguk mineral milik Serena yang diletakkan di atas meja nakas demi meredam sedikit perasaan dan haus.Demi tetap tenang juga menghadapi tingkah baru Serena."Aku kan pengen di peluk, masa iya kamu nggak mau manjain istri kamu yang lagi hamil anak kamu," kesal Serena.Byur!Air di mulut Bayu tidak dapat di teguk, mendengar penjelasan Serena membuatnya menjadi terkejut."Bayu!" Seru Serena saat Bayu menyemburkan air pada wajahnya.Kesal sekali pada Bayu yang menjengkelkan, bukan perlakuan r
"Mommy!" Seru Mentari sambil memutar gagang pintu dan berlari masuk.Renata sejenak menghentikan tawanya, beralih menatap Mentari yang berlari kearahnya. Begitupun dengan Zidan."Mentari, ke sini sama siapa?" Tanya Renata sambil meminta Zidan untuk menurunkannya dari atas meja."Sama Oma, mau jenguk Tante Serena," jawab Mentari.Renata pun melihat ada Mala yang berdiri di ambang pintu."Daddy, Tari juga mau duduk di meja!" Mentari merasa cemburu karena Renata diangkat oleh Zidan, sedangkan dirinya tidak.Sehingga memilih untuk meminta Zidan melakukan hal yang sama."Nggak boleh duduk di meja," kata Zidan, "duduk itu di kursi.""Tadi Mommy bisa! Daddy jahat!" Mentari pun mengerucutkan bibirnya kesal pada Zidan yang tidak bisa menuruti keinginannya."Baiklah," Zidan pun mengangkat tubuh Mentari untuk duduk di atas meja, agar putri kecil kesayangannya itu tidak lagi cemberut."Mama ke ruangan Serena dulu, takut dia belum minum obat, Bayu juga sedang sakit," pamit Mala, "Tari, ikut Oma ata
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada