Bayu pun masuk dengan perlahan, berdiri di samping brankar. Melihat tangan Serena yang terpasang selang infus, kemudian menatap wajah istrinya."Kamu sakit apa?" Bayu pun bertanya untuk memecahkan keheningan diantara keduanya."Demam," jawab Serena dengan cuek."O," Bayu pun duduk di kursi, kemudian ia diam sambil melihat wajah Serena.Ada rasa sedih menyadari dirinya sebagai seorang suami tetapi, malah mengetahui keadaan istrinya paling akhir.Sedangkan Serena memilih menutup matanya, kesal pada Bayu yang tidak memeluknya sama sekali.Dirinya juga tidak mengerjakan, tetapi dekapan hangat dan aroma tubuh Bayu sangat dirindukannya semenjak Bayu tugas dan meninggalkan dirinya di rumah sendirian.Andai saja Bayu tau setiap malam Serena tidur dengan memeluk foto Bayu, demi mengobati sedikit kerinduan yang mendalam.Atau mungkin saja Bayu sudah memiliki wanita lain di luar sana.Pikiran Serena semakin bercabang saja.Perlahan Serena pun bergerak dan memunggungi Bayu, tidak ingin berdekatan
"Salah!""Salahnya di mana?"Serena melipat kedua tangannya di dada, membuang pandangannya kearah lainya."Adek, istri Abang. Kok sekarang ngambek kan?" Bayu pun mencoba bertanya mengingat selama ini mereka tidak pernah tertutup, bahkan tanpa kode-kode.Jika ada yang membutuhkan salah satunya akan berbicara langsung.Tetapi ada apa dengan Serena saat ini? Serena sangat berbeda dengan sebelumnya."Makan ya, Abang suapin. Belum makan kan?""Nggak lapar?"Bayu pun menarik napas berat, kemudian memilih meneguk mineral milik Serena yang diletakkan di atas meja nakas demi meredam sedikit perasaan dan haus.Demi tetap tenang juga menghadapi tingkah baru Serena."Aku kan pengen di peluk, masa iya kamu nggak mau manjain istri kamu yang lagi hamil anak kamu," kesal Serena.Byur!Air di mulut Bayu tidak dapat di teguk, mendengar penjelasan Serena membuatnya menjadi terkejut."Bayu!" Seru Serena saat Bayu menyemburkan air pada wajahnya.Kesal sekali pada Bayu yang menjengkelkan, bukan perlakuan r
"Mommy!" Seru Mentari sambil memutar gagang pintu dan berlari masuk.Renata sejenak menghentikan tawanya, beralih menatap Mentari yang berlari kearahnya. Begitupun dengan Zidan."Mentari, ke sini sama siapa?" Tanya Renata sambil meminta Zidan untuk menurunkannya dari atas meja."Sama Oma, mau jenguk Tante Serena," jawab Mentari.Renata pun melihat ada Mala yang berdiri di ambang pintu."Daddy, Tari juga mau duduk di meja!" Mentari merasa cemburu karena Renata diangkat oleh Zidan, sedangkan dirinya tidak.Sehingga memilih untuk meminta Zidan melakukan hal yang sama."Nggak boleh duduk di meja," kata Zidan, "duduk itu di kursi.""Tadi Mommy bisa! Daddy jahat!" Mentari pun mengerucutkan bibirnya kesal pada Zidan yang tidak bisa menuruti keinginannya."Baiklah," Zidan pun mengangkat tubuh Mentari untuk duduk di atas meja, agar putri kecil kesayangannya itu tidak lagi cemberut."Mama ke ruangan Serena dulu, takut dia belum minum obat, Bayu juga sedang sakit," pamit Mala, "Tari, ikut Oma ata
Bertapa hati Kinanti begitu bahagia setelah mengetahui jenis kelamin cabang bayi yang baru berusia 16 Minggu itu.Dirinya terus saja tersenyum bahagia saat Adam mengatakan bahwa jenis kelamin calon anaknya perempuan."Mas, nanti kalau anaknya sudah lahir mau dikasih nama siapa?" Terlalu bahagia membuatnya benar-benar tidak sabaran."Sabar sayang, nanti kalau sudah lahir dulu. Baru kita buatkan nama yang paling indah dan paling baik," Adam mengusap perut Kinanti yang kini sudah jelas terlihat.Tidak lama berselang Fikri dan Kenan pun menyusul masuk, keduanya datang ke rumah sakit untuk menjenguk Serena bersama dengan Sarah.Apa lagi Fikri yang sangat dekat dengan Serena, mengingat mereka sudah memiliki kedekatan sejak Fikri baru saja dilahirkan."Anak Bunda, Oma di mana?" Kinanti tersenyum melihat kedatangan kedua anaknya."Oma, lagi cerita sama Oma Dara dan Oma Mala di ruangan Tante Serena, barusan Bunda," jawab Fikri."Terus, kenapa ke sini?" Adam ikut bertanya, melihat tidak baik ke
"Kinanti?" Dari sisi lainnya terdengar suara seseorang menyebutkan namanya, Kinanti pun menghentikan langkah kakinya dan menoleh kearah suara.Kinanti tersenyum melihat wajah orang tersebut, tentu tidak asing lagi di matanya."Mas Ilham, apa kabar?" Sapa Kinanti dengan ramahnya.Masa lalu biarlah berlalu, mari menata masa depan yang jauh lebih baik.Ilham pun berjalan mendekati Kinanti, dan mengulurkan tangannya dan langsung dibalas oleh Kinanti."Aku baik Mas, kalau Mas?" "Aku juga baik," Iham beralih menatap dua anak kecil yang berdiri di samping Kinanti, "ini anak-anak kamu?""Iya," Kinanti tersenyum melihat kedua anaknya, "Fikri, Kenan, ayo salim sama Om Ilham," titah Kinanti, mengajarkan kedua anaknya untuk sopan pada orang tua.Kenan dan Fikri pun menurut, mencium punggung tangan Ilham."Sekarang, duluan ke mobil ya. Ada Pak supir yang menunggu.""Iya Bunda," seru keduanya dan langsung berlari menuju mobil sesuai dengan perintah Kinanti."Anak kamu udah besar ya?" Ilham bisa m
"Ada apa ini ribut-ribut? Sampai kedengaran ke dapur, ada apa?" Tanya Ajeng setelah berjalan tergopoh-gopoh untuk melihat keadaan Zahra yang terdengar menangis.Ajeng tidak tahu entah bagaimana, tetapi suara tangisan Zahra semakin mengundang pertanyaan.Melupakan usia yang rentan, hanya untuk melihat keadaan menyatunya yang menangis dari arah ruang tamu."Kenapa menangis?" Ajeng beralih menatap Ferdian yang hanya diam di tempatnya, sebab Zahra tidak menjawab pertanyaan nya, "Ferdian, apa kalian bertengkar?" Kini Ajeng pun bertanya pada Ferdian.Mungkin saja anaknya itu sudah berbuat salah, sehingga istrinya menangis tersedu-sedu."Zahra hamil Ma," jawab Ferdian dengan jelas."Hamil?" Mata Ajeng seketika berbinar, mendengar kehamilan Zahra sungguh sangat mengharukan.Seketika itu juga Ajeng memeluk Zahra penuh haru. Kehamilan Zahra saat ini tentunya meyakinkan Ajeng akan perkataan Ferdian, tidak akan terjadi perceraian pada rumah tangganya.Sepertinya itu benar adanya.Zahra tersentak
Ferdian pun melihat Zahra yang duduk di sofa, menangis tersedu-sedu tanpa hentinya.Ferdian hanya diam berdiri di depan daun pintu yang tertutup rapat."Aku mau mengugurkan anak ini, aku mau cerai!" Papar Zahra.Ferdian pun masih diam tanpa kata, melihat wajah Zahra yang basah terkena air mata.Zahra kesal karena Ferdian hanya diam saja, tidak ada kata yang keluar dari mulutnya sama sekali.Entah apa yang dipikirkan oleh suaminya tersebut."Minggir!" Zahra pun mendorong Ferdian untuk berpindah dari daun pintu, dirinya ingin keluar.Ferdian masih diam tanpa berpindah dari tempatnya, tubuhnya tidak bergeser sama sekali karena kekuatan Zahra tidak ada artinya bagi Ferdian.Sekalipun Zahra terus saja mencoba tidak sedikitpun Ferdian bergerak."Menyingkir! Aku mau keluar!" Seru Zahra dikamar kedap suara tersebut.Ferdian pun menyingkir dari sana.Tangan Zahra menggapai gagang pintu, mencoba membuka tetapi ternyata pintunya terkunci dan Ferdian yang mengambilnya."Mau mu apa?" Tanya Zahra p
Hampir tengah malam Zahra pun terbangun, perutnya terasa lapar. Wajar saja dari pagi tadi tidak ada sebutir nasi pun yang masuk ke dalam perutnya, sedangkan ada nyawa lain yang juga membutuhkan asupan nutrisi selain dirinya.Kepala nya semakin terasa berat, sesaat kemudian mencoba untuk mendudukkan tubuhnya.Memijat kepala yang terasa pusing."Makan dulu."Tiba-tiba terdengar suara Ferdian, membuat Zahra kesal seketika.Ternyata Ferdian sudah berdiri di dekat ranjang dan perlahan mendudukkan tubuhnya di sisi ranjang."Ayo makan, kamu tidak kasihan pada anak kita?" Tanya Ferdian berharap Zahra bisa diluluhkan."Anak mu saja, aku tidak mau!" Ketus Zahra sambil terus memijat kepalanya.Ferdian pun terdiam sambil berpikir bagaimana caranya agar Zahra mau menelan walaupun hanya sebutir nasi."Baiklah, kamu maunya apa?" Ferdian mencoba bertanya, mungkin setelah itu bisa membuat Zahra makan.Zahra menatap Ferdian dengan tajam."Aku maunya cerai!" Ujar Zahra.Ferdian terdiam sejenak dan meni