"Kinanti?" Dari sisi lainnya terdengar suara seseorang menyebutkan namanya, Kinanti pun menghentikan langkah kakinya dan menoleh kearah suara.Kinanti tersenyum melihat wajah orang tersebut, tentu tidak asing lagi di matanya."Mas Ilham, apa kabar?" Sapa Kinanti dengan ramahnya.Masa lalu biarlah berlalu, mari menata masa depan yang jauh lebih baik.Ilham pun berjalan mendekati Kinanti, dan mengulurkan tangannya dan langsung dibalas oleh Kinanti."Aku baik Mas, kalau Mas?" "Aku juga baik," Iham beralih menatap dua anak kecil yang berdiri di samping Kinanti, "ini anak-anak kamu?""Iya," Kinanti tersenyum melihat kedua anaknya, "Fikri, Kenan, ayo salim sama Om Ilham," titah Kinanti, mengajarkan kedua anaknya untuk sopan pada orang tua.Kenan dan Fikri pun menurut, mencium punggung tangan Ilham."Sekarang, duluan ke mobil ya. Ada Pak supir yang menunggu.""Iya Bunda," seru keduanya dan langsung berlari menuju mobil sesuai dengan perintah Kinanti."Anak kamu udah besar ya?" Ilham bisa m
"Ada apa ini ribut-ribut? Sampai kedengaran ke dapur, ada apa?" Tanya Ajeng setelah berjalan tergopoh-gopoh untuk melihat keadaan Zahra yang terdengar menangis.Ajeng tidak tahu entah bagaimana, tetapi suara tangisan Zahra semakin mengundang pertanyaan.Melupakan usia yang rentan, hanya untuk melihat keadaan menyatunya yang menangis dari arah ruang tamu."Kenapa menangis?" Ajeng beralih menatap Ferdian yang hanya diam di tempatnya, sebab Zahra tidak menjawab pertanyaan nya, "Ferdian, apa kalian bertengkar?" Kini Ajeng pun bertanya pada Ferdian.Mungkin saja anaknya itu sudah berbuat salah, sehingga istrinya menangis tersedu-sedu."Zahra hamil Ma," jawab Ferdian dengan jelas."Hamil?" Mata Ajeng seketika berbinar, mendengar kehamilan Zahra sungguh sangat mengharukan.Seketika itu juga Ajeng memeluk Zahra penuh haru. Kehamilan Zahra saat ini tentunya meyakinkan Ajeng akan perkataan Ferdian, tidak akan terjadi perceraian pada rumah tangganya.Sepertinya itu benar adanya.Zahra tersentak
Ferdian pun melihat Zahra yang duduk di sofa, menangis tersedu-sedu tanpa hentinya.Ferdian hanya diam berdiri di depan daun pintu yang tertutup rapat."Aku mau mengugurkan anak ini, aku mau cerai!" Papar Zahra.Ferdian pun masih diam tanpa kata, melihat wajah Zahra yang basah terkena air mata.Zahra kesal karena Ferdian hanya diam saja, tidak ada kata yang keluar dari mulutnya sama sekali.Entah apa yang dipikirkan oleh suaminya tersebut."Minggir!" Zahra pun mendorong Ferdian untuk berpindah dari daun pintu, dirinya ingin keluar.Ferdian masih diam tanpa berpindah dari tempatnya, tubuhnya tidak bergeser sama sekali karena kekuatan Zahra tidak ada artinya bagi Ferdian.Sekalipun Zahra terus saja mencoba tidak sedikitpun Ferdian bergerak."Menyingkir! Aku mau keluar!" Seru Zahra dikamar kedap suara tersebut.Ferdian pun menyingkir dari sana.Tangan Zahra menggapai gagang pintu, mencoba membuka tetapi ternyata pintunya terkunci dan Ferdian yang mengambilnya."Mau mu apa?" Tanya Zahra p
Hampir tengah malam Zahra pun terbangun, perutnya terasa lapar. Wajar saja dari pagi tadi tidak ada sebutir nasi pun yang masuk ke dalam perutnya, sedangkan ada nyawa lain yang juga membutuhkan asupan nutrisi selain dirinya.Kepala nya semakin terasa berat, sesaat kemudian mencoba untuk mendudukkan tubuhnya.Memijat kepala yang terasa pusing."Makan dulu."Tiba-tiba terdengar suara Ferdian, membuat Zahra kesal seketika.Ternyata Ferdian sudah berdiri di dekat ranjang dan perlahan mendudukkan tubuhnya di sisi ranjang."Ayo makan, kamu tidak kasihan pada anak kita?" Tanya Ferdian berharap Zahra bisa diluluhkan."Anak mu saja, aku tidak mau!" Ketus Zahra sambil terus memijat kepalanya.Ferdian pun terdiam sambil berpikir bagaimana caranya agar Zahra mau menelan walaupun hanya sebutir nasi."Baiklah, kamu maunya apa?" Ferdian mencoba bertanya, mungkin setelah itu bisa membuat Zahra makan.Zahra menatap Ferdian dengan tajam."Aku maunya cerai!" Ujar Zahra.Ferdian terdiam sejenak dan meni
Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah Zahra hanya diam.Diam tanpa kata.Apa yang dilihat dan diketahuinya barusan sungguh luar biasa, begitu mengejutkan di saat perasaan sedang tidak menentu.Entahlah, semua berjalan begitu saja, tidak tahu apakah cinta atau hanya sebuah pelampiasan karena kesal pada Ferdian yang memaksanya untuk menjadi istri.Jujur saja, saat ini perasaan Zahra bukan sakit. Hanya saja sedikit kecewa.Kecewa dan malu pada Ferdian yang ternyata Galang tidak lebih baik.Lantas siapa yang lebih baik?Ferdian?Tidak mungkin juga, mengingat menikah saja dengan cara memaksanya.Zahra menarik napas panjang, semua terasa begitu berat. Bahkan sangat mengejutkan bagaikan sebuah hadiah yang disiapkan."Apa kamu tidak ingin turun?"Zahra pun beralih menatap Ferdian, tersadar ternyata sudah sampai di rumah.Rumah siapa?Rumah keluarga Adam.Dengan rasa malas Zahra pun turun dari mobil, kakinya berjalan pelan menuju kamar."Zahra," panggil Ajeng datang dari arah dapur.Zahra
"Kamu kedinginan?"Zahra menggigil dengan keringat dingin mulai membasahi tubuh, demamnya semakin tinggi membuatnya tidak dapat memejamkan mata.Dengan sabar Ferdian mengompres air hangat, sekalipun sudah hampir subuh.Semalam Ferdian tidak tidur sama sekali, menjaga Zahra hingga akhirnya terlelap setelah merasa lebih baik.Pagi harinya Zahra pun terbangun, Ferdian pun terlelap dengan asal di samping Zahra.Rasa kantung tidak dapat terbendung lagi setelah subuh tadi.Sedangkan dari arah lainya terdengar suara ketukan pintu, sesaat kemudian gagang pintu pun bergerak.Ajeng masuk dengan senyuman merah merekah membawa sarapan pagi, sedangkan Kinanti berjalan di belakang Ajeng dengan membawa buah yang sudah dipotong-potong olehnya."Ternyata kamu sudah bangun," Ajeng pun meletakkan nampan ditangannya pada meja nakas."Bagaimana hari ini?" Tanya Kinanti ikut meletakan buah ditangannya pada meja nakas juga."Aku tidak kuat bau bubur ini," dengan cepat Zahra menuruni ranjang segera menuju ka
"Fer........ Ferdian!" Ajeng menggerak-gerakkan lengan anaknya hingga berulangkali, berusaha untuk membanggakan dari lelapnya.Akhirnya mata Ferdian pun terbuka, dan melihat Ajeng dengan jelas."Kamu susul Zahra, Mama khawatir sama keadaannya," pinta Ajeng dengan perasaan was-was.Ferdian pun melihat ke samping, ternyata Zahra tidak ada. Kemudian menatap ke arah jendela, ternyata hari sudah mulai siang.Teriknya matahari pagi sudah menerangi bumi kembali, Ferdian baru sadar ternyata dirinya tertidur."Zahra, kemana Ma?" Ferdian bergegas bangun sambil merenggangkan otot-otot yang terasa kaku, tidak tidur semalaman sungguh membuat tubuh tidak nyaman."Sekarang kamu bersihkan diri ke kamar mandi dulu, agar lebih segar."Ferdian pun menurut, kemudian kembali menemui Ajeng dengan tubuh lebih segar."Zahra ke mana Ma?" Sejak tadi Ferdian belum menemukan jawaban atas pertanyaan, hingga kembali bertanya.Sebab belum melihat Zahra kembali ke kamar sampai saat ini."Katanya ke rumah sakit, meli
Dengan segera Ferdian menuju rumah sakit, setelah seorang temannya menghubungi membuat perasaan Ferdian lebih baik.Akan tetapi, ada juga perasaan gundah yang kian terasa.Sampai di rumah sakit Buah Hati segera Ferdian menuju UGD, dimana Nando mengatakan istrinya kini berada.Akhirnya Ferdian menemukan Zahra yang tengah berbaring di atas brankar, ada selang infus yang sudah terpasang."Apa kamu baik-baik saja?" Wajah panik Ferdian tidak bisa di tutupi, melihat Zahra yang terbaring membuatnya semakin khawatir."Dokter Ferdian," Dokter Nando pun menyapa Ferdian yang tidak menyadari dirinya, padahal berada di dekat brankar rumah sakit yang di tempati Zahra."Terima kasih Dok, sudah memberitahu keadaan istri saya.""Tidak masalah, usia kandungan istri anda masih sangat rentan. Cobalah untuk setia mendampinginya dan jangan biarkan terlalu stress," jelas Dokter Nando, "selebihnya tidak ada yang serius."Ferdian pun mengangguk lemah sambil beralih melihat wajah pucat Zahra.Ada rasa kesal me
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada