Pakaian putih masih terpakai, selendang yang menutupi kepalanya pun masih ada. Renata duduk di sisi ranjang.Ranjang milik mendiang sang Mama, sungguh rindu yang terberat adalah merindukan seseorang yang sudah tiada.Di kamar ini, kamar yang cukup luas dengan desain modern.Semua masih seperti dulu, semua letak barang-barangnya pun masih saja sama. Irma sendiri yang menatapnya.Kenangan.Semua tinggal kenangan, sisa-sisa bayangan pun kini menjadi sebuah penghibur dalam luka yang begitu dalam.Bukan.Bukan meratapi keadaan, hanya saja butuh waktu untuk berdamai dengan keadaan.Mata Renata menatap bingkai foto yang terpajang pada dinding kamar, dimana ada dirinya, sang Kakak dan kedua orang tuanya.Semua sudah terbungkai rapi dengan penuh kenangan suka mau pun duka."Kamu kuat," Kinanti duduk di samping Renata, menepuk pundak wanita yang kini dilanda kerapuhan.Entahlah.Renata bahkan tidak menyadari kehadiran Kinanti di sekitarnya."Terima kasih," Renata tersenyum, merasa bersyukur kar
Sesampainya di rumah sakit Zidan pun segera melakukan observasi.Setelah itu Zidan pun menghubungi Mala yang masih berada di kediaman mendiang mertuanya.Mala belum mengetahui apa-apa, saat Serena di larikan ke rumah sakit.Zidan memilih melalui pintu belakang agar tidak mengundang kegundahan para keluarga yang masih berdua cita.Setelah mengetahui kabar Serena, segera Mala menuju rumah sakit dengan paniknya."Apa yang terjadi pada adik mu, kenapa bisa dia begini?" Mala sungguh panik melihat putri bungsunya yang berada di atas brankar rumah sakit.Serena yang periang dan juga selalu bersemangat mendadak lemah membuat hati sang Mama panik bukan main.Bukan hanya Mala yang panik, yang lainnya juga tidak kalah panik melihat keadaan Serena."Usia kandungannya sudah 2 Bulan, artinya saat kami berlibur di desa dia sedang hamil," kata Zidan menyampaikan keadaannya Serena."Hamil, dua Bulan?" Tanya Kinanti terkejut.Karena Serena terlihat baik-baik saja tanpa ada yang berubah, hingga kini tib
"Bayu sudah selesai di perban Mbak, bicara langsung dengannya saja," Alif memberikan ponsel pada pemiliknya.Bayu melihat nama Serena, tetapi suara Kinanti yang terdengar membuatnya menjadi bertanya-tanya."Kamu baik-baik saja 'kan?" Tanya Kinanti secepat mungkin dengan tidak sabaran."Iya, hanya sedikit yang luka," jelas Bayu.Huuuufff.Perasaan Kinanti lebih baik setelah mendengar suara Bayu.Dengan demikian artinya tidak terlalu parah."Syukurlah," Kinanti benar-benar bernapas lega saat ini.Kinanti pun beralih menatap Serena, "Ini Bayu yang bicara, kamu mau bicara padanya?" Kinanti pun memberikan ponsel pada Serena.Serena menggeleng tidak ingin berbicara sama sekali.Akhirnya Kinanti kembali mendekatkan ponsel pada telinganya."Serena, di mana?" Tanya Bayu bingung, mengapa Kinanti yang menegang ponsel istrinya."Serena, di rumah sakit. Semalam dia di larikan ke sini," Kinanti berbicara pada Bayu, tetapi matanya melihat Serena yang juga melihat dirinya.Bayu di sebrang tentu terke
Bayu pun masuk dengan perlahan, berdiri di samping brankar. Melihat tangan Serena yang terpasang selang infus, kemudian menatap wajah istrinya."Kamu sakit apa?" Bayu pun bertanya untuk memecahkan keheningan diantara keduanya."Demam," jawab Serena dengan cuek."O," Bayu pun duduk di kursi, kemudian ia diam sambil melihat wajah Serena.Ada rasa sedih menyadari dirinya sebagai seorang suami tetapi, malah mengetahui keadaan istrinya paling akhir.Sedangkan Serena memilih menutup matanya, kesal pada Bayu yang tidak memeluknya sama sekali.Dirinya juga tidak mengerjakan, tetapi dekapan hangat dan aroma tubuh Bayu sangat dirindukannya semenjak Bayu tugas dan meninggalkan dirinya di rumah sendirian.Andai saja Bayu tau setiap malam Serena tidur dengan memeluk foto Bayu, demi mengobati sedikit kerinduan yang mendalam.Atau mungkin saja Bayu sudah memiliki wanita lain di luar sana.Pikiran Serena semakin bercabang saja.Perlahan Serena pun bergerak dan memunggungi Bayu, tidak ingin berdekatan
"Salah!""Salahnya di mana?"Serena melipat kedua tangannya di dada, membuang pandangannya kearah lainya."Adek, istri Abang. Kok sekarang ngambek kan?" Bayu pun mencoba bertanya mengingat selama ini mereka tidak pernah tertutup, bahkan tanpa kode-kode.Jika ada yang membutuhkan salah satunya akan berbicara langsung.Tetapi ada apa dengan Serena saat ini? Serena sangat berbeda dengan sebelumnya."Makan ya, Abang suapin. Belum makan kan?""Nggak lapar?"Bayu pun menarik napas berat, kemudian memilih meneguk mineral milik Serena yang diletakkan di atas meja nakas demi meredam sedikit perasaan dan haus.Demi tetap tenang juga menghadapi tingkah baru Serena."Aku kan pengen di peluk, masa iya kamu nggak mau manjain istri kamu yang lagi hamil anak kamu," kesal Serena.Byur!Air di mulut Bayu tidak dapat di teguk, mendengar penjelasan Serena membuatnya menjadi terkejut."Bayu!" Seru Serena saat Bayu menyemburkan air pada wajahnya.Kesal sekali pada Bayu yang menjengkelkan, bukan perlakuan r
"Mommy!" Seru Mentari sambil memutar gagang pintu dan berlari masuk.Renata sejenak menghentikan tawanya, beralih menatap Mentari yang berlari kearahnya. Begitupun dengan Zidan."Mentari, ke sini sama siapa?" Tanya Renata sambil meminta Zidan untuk menurunkannya dari atas meja."Sama Oma, mau jenguk Tante Serena," jawab Mentari.Renata pun melihat ada Mala yang berdiri di ambang pintu."Daddy, Tari juga mau duduk di meja!" Mentari merasa cemburu karena Renata diangkat oleh Zidan, sedangkan dirinya tidak.Sehingga memilih untuk meminta Zidan melakukan hal yang sama."Nggak boleh duduk di meja," kata Zidan, "duduk itu di kursi.""Tadi Mommy bisa! Daddy jahat!" Mentari pun mengerucutkan bibirnya kesal pada Zidan yang tidak bisa menuruti keinginannya."Baiklah," Zidan pun mengangkat tubuh Mentari untuk duduk di atas meja, agar putri kecil kesayangannya itu tidak lagi cemberut."Mama ke ruangan Serena dulu, takut dia belum minum obat, Bayu juga sedang sakit," pamit Mala, "Tari, ikut Oma ata
Bertapa hati Kinanti begitu bahagia setelah mengetahui jenis kelamin cabang bayi yang baru berusia 16 Minggu itu.Dirinya terus saja tersenyum bahagia saat Adam mengatakan bahwa jenis kelamin calon anaknya perempuan."Mas, nanti kalau anaknya sudah lahir mau dikasih nama siapa?" Terlalu bahagia membuatnya benar-benar tidak sabaran."Sabar sayang, nanti kalau sudah lahir dulu. Baru kita buatkan nama yang paling indah dan paling baik," Adam mengusap perut Kinanti yang kini sudah jelas terlihat.Tidak lama berselang Fikri dan Kenan pun menyusul masuk, keduanya datang ke rumah sakit untuk menjenguk Serena bersama dengan Sarah.Apa lagi Fikri yang sangat dekat dengan Serena, mengingat mereka sudah memiliki kedekatan sejak Fikri baru saja dilahirkan."Anak Bunda, Oma di mana?" Kinanti tersenyum melihat kedatangan kedua anaknya."Oma, lagi cerita sama Oma Dara dan Oma Mala di ruangan Tante Serena, barusan Bunda," jawab Fikri."Terus, kenapa ke sini?" Adam ikut bertanya, melihat tidak baik ke
"Kinanti?" Dari sisi lainnya terdengar suara seseorang menyebutkan namanya, Kinanti pun menghentikan langkah kakinya dan menoleh kearah suara.Kinanti tersenyum melihat wajah orang tersebut, tentu tidak asing lagi di matanya."Mas Ilham, apa kabar?" Sapa Kinanti dengan ramahnya.Masa lalu biarlah berlalu, mari menata masa depan yang jauh lebih baik.Ilham pun berjalan mendekati Kinanti, dan mengulurkan tangannya dan langsung dibalas oleh Kinanti."Aku baik Mas, kalau Mas?" "Aku juga baik," Iham beralih menatap dua anak kecil yang berdiri di samping Kinanti, "ini anak-anak kamu?""Iya," Kinanti tersenyum melihat kedua anaknya, "Fikri, Kenan, ayo salim sama Om Ilham," titah Kinanti, mengajarkan kedua anaknya untuk sopan pada orang tua.Kenan dan Fikri pun menurut, mencium punggung tangan Ilham."Sekarang, duluan ke mobil ya. Ada Pak supir yang menunggu.""Iya Bunda," seru keduanya dan langsung berlari menuju mobil sesuai dengan perintah Kinanti."Anak kamu udah besar ya?" Ilham bisa m