"Bella, apa-apaan kamu?!" Chandra terlihat marah melihat sikap Bella yang sama sekali tidak menunjukkan sopan santun kepada kakak iparnya. Kepalanya tiba-tiba terasa sangat sakit karena Bella ternyata tidak lebih baik dari ibunya dalam memperlakukan Jelita. "Jelita itu kakak iparmu, jaga sopan santun mu padanya!" seru Chandra kembali Namun gadis yang terkenal dengan sikap buruknya itu sama sekali tidak menggubris nasehat dari ayahnya. Bella memutar bola matanya bosan dan berkata, "Aku tidak peduli! Aku tidak pernah dan tidak akan menganggap dia bagian dari keluarga kita!" "Bella!" pekik Chandra. Seakan sengaja untuk berpura-pura tak mendengar. Gadis itu terus saja berjalan menunggu ruang makan tanpa memperdulikan teriakan dari ayahnya. Keributan itu sontak membuat Jelita merasa tidak enak hati, karena sudah mengacaukan makan malam keluarga setelah sekian lama mereka tidak berkumpul. Kepergian Bella membuat Chandra menghela napasnya yang terasa berat, lalu memijat kening
"Apa-apaan sih kamu?" Zeya terkejut karena tiba-tiba saja Nicky berlutut di hadapannya. Hal tersebut semakin membuat malam semakin panas, orang-orang yang berada di lobby pun turut mengamati mereka seakan menantikan yang akan terjadi selanjutnya. Dengan wajah yang menunjukkan kesungguhan, Nicky perlahan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. "Zeya aku sadar jika yang aku lakukan memang salah, dan aku tau jika perilaku aku dulu sangatlah buruk," ucap Nicky. "Tetapi sudi kah kamu untuk memaafkan aku dan menjadi temanku lagi?" lanjutnya dengan sebatang coklat yang baru saja ia keluarkan. Zeya yang tak nyaman menjadi sorotan orang-orang. Langsung mengambil coklat yang Nicky sodorkan padanya, gadis itu pun berkata sebelum pergi meninggalkan Nicky. "Terserah!" "Te-terserah?" Nicky terlihat terkejut dan bingung dengan jawaban Zeya yang terkesan ambigu. Pria itu mematung, dengan perasaannya yang sama sekali tak lega karena Zeya belum memberikan kepastian padanya. Zeya
"Argh!!!" Teriakan kesakitan menggelegar memenuhi ruang rawat inap dengan fasilitas paling mewah itu. Sedangkan Jelita yang menyadari ada sesuatu yang tidak beres pada suaminya seketika memencet tombol bantuan, sambil mendekap erat Mark yang masih kesakitan. "Sabar ya, aku sudah memanggil dokter!" seru Jelita berusaha menenangkan diri Mark. Tak berselang lama seorang dokter dan perawat yang tengah berjaga pun datang. Jelita terduduk di atas sofa dengan khawatir. Benar seperti yang pernah diceritakan oleh Dokter Veshal, walaupun mereka adalah dokter yang akan bergelut dengan berbagai kondisi pasien, tetapi sungguh sulit untuk menangani seseorang yang dikenal. Butuh mental dan pikiran yang tenang, dan Jelita sadar jika belum memilikinya. "Arghhh, kepala ku sakit!" Suara teriakan masih memenuhi sudut ruangan dan terasa makin mencekam. Mark masih terus mengamuk, bahkan menarik-narik rambut di kepalanya yang terasa sangat sakit bak terhantam ribuan batu. "Sus, tolong pegang
"Jadi, kamu pergi ke sana bersama dokter ini?!" "Ya, masing-masing ada perwakilan dari tiap-tiap spesialis, dan kebetulan Dokter Veshal yang mewakili spesialis Obgyn," jawab Jelita dengan jujur kepada Mark yang bertanya padanya. Mark terdiam dan menatap Veshal dengan aura permusuhan yang begitu kuat. Wajah Veshal yang hanya tersenyum ramah padanya, semakin membuat Mark muak dan jengkel. "Memangnya kenapa? Apakah saya tidak boleh pergi?" tanya Jelita. 'Iya, gak boleh! Kau, kan harus menjagaku! Begitu saja gak paham!' "Ehem ... terserah. Lakukan saja sesukamu," jawab Mark yang sungguh berbeda dengan jawabannya dari dalam hati. Jelita tertawa kecil lalu kembali melanjutkan perbincangan akan rencana esok hari pada Veshal. Wajah seriusnya saat itu memberikan aura dewasa dan semakin memikat. "Baiklah, kalau begitu saya pamit undur diri," ucap Veshal setelah menyelesaikan segala urusannya dengan Jelita. Veshal menoleh ke arah Mark dan menyunggingkan senyuman yang semakin m
"Happy Birthday to you, happy Birthday to you!" Sang Dewi Fortuna akan tengah memihaknya. Lagi-lagi Jelita terselamatkan dari pertanyaan tersebut berkat Chanda, Catherine, Bella, Yesi, dan juga Nicky yang datang untuk memberikan kejutan. Dengan sebuah kue black forest kesukaan Mark, mereka perlahan masuk sambil menyanyikan lagu ulang tahun. "Selamat ulang tahun, Nak!" ucap Catherine dengan kedua matanya yang berkaca-kaca menahan emosi yang ada di dalam hatinya. Perlahan-lahan Jelita mulai berjalan mundur, memberikan ruang antara anggota keluarga di natal untuk saling berinteraksi dan kembali menjalin ikatan yang sempat terurai. Karena ruangan cukup ramai, Jelita puan memutuskan untuk keluar. Terutama karena adanya Bella. Jelita tak ingin ada keributan hanya karena Bella melihat ia turut berada di sana. Dibantu oleh Nicky dan Chandra, Catherine pun berdiri dari kursi rodanya. Wanita tua itu perlahan melangkah mendekati putranya lalu memeluk Mark dengan erat. "Maafkan Momm
"Mark! Mark!" seru Catherine yang masih berada di samping putranya. "Nak, kamu kenapa, Sayang? Mark tolong jangan buat Mommy takut!" Semua orang yang berada di dalam ruangan itu pun terkejut, mendapati Mark yang berteriak kesakitan sambil memukul-mukul kepalanya. "Nicky, cepat panggil dokter!" titah Chandra yang mulai panik. Kondisinya terlihat lebih buruk dari semalam, karena kini tetesan darah perlahan keluar dari lubang hidungnya. Mark berteriak histeris, tak sanggup menahan rasa sakit di kepalanya yang amat menyiksa. Tak lama, dokter dan perawat pun langsung datang. Lalu segera menangani Mark yang mengerang kesakitan. Kekhawatiran Chandra bukan hanya tertuju pada putranya, tetapi Jelita pun masih terus bergeming hingga akhirnya teriakan Mark yang meninggi membuat Jelita yang sedari tadi mematung tiba-tiba saja jatuh pingsan dalam rangkulan Yesi. *** "Heh, kau itu harus sadar diri! Gak usah banyak tingkah." Seorang anak yang baru memasuki usia remaja itu hanya
Ting! Sebuah notifikasi pesan singkat masuk pun berbunyi. Nicky meraih ponselnya dan membaca pesan singkat tersebut. 'Aku akan menunggumu di depan lift! Kalau sampai kamu tidak datang, bukan hanya nomer ponselmu saja yang aku blokir, tapi kamu juga!' Nicky menelan salivanya dengan sudah payah, lalu melihat sosok yang baru saja mengancamnya lewat pesan singkat. "Kalau begitu saya permisi dulu ya, Om, Tante. Kalau butuh bantuan jangan segan hubungi saya, kebetulan saya sedang jaga IGD." Zeya tersenyum hingga membuat Nicky merinding. Senyuman wanita itu penuh arti terutama tatapannya pada Nicky yang terasa begitu mengancam. "Pak, saya izin keluar dulu. Kebetulan ada yang mau saya beli di minimarket. Kalau misalkan butuh sesuatu bisa langsung hubungi saya saja," ucap Nicky beralasan. Nicky pun mulai keluar dari ruang rawat inap dan berjalan menuju lift. Ia melambatkan langkahnya, mengikuti Zeya yang berjalan di depannya. Ketika mereka sampai di depan lift, Zeya sontak saja b
"Jika aku tidak diadopsi, jika aku tidak membuat Chintya kesal, pasti semua tidak akan pernah seperti ini. C-chintya tidak akan pernah berpikir untuk mengusikku aku dengan cara merebut tunanganku. Dan pada akhirnya ia pasti akan menikah dengan Mark tanpa masalah seperti ini!" Suara Jelita gemetar, Jelita tak sanggup lagi menahan semua perasaannya yang kian mengusik. Mengingat semuanya saja sudah membuatnya terganggu, dan menceritakannya kembali seperti saat ini hanya membuat luka hatinya kembali terbuka dengan lebar. Yesi yang turut mendengarnya hanya terdiam tak bersuara. Kehidupan Jelita yang sudah begitu sulit seharusnya tidak semakin diperparah dengan sikap tak baik dari keluarga suaminya. Gadis itu berpikir, jika semua itu terjadi padanya mungkin ia tidak akan pernah bisa bertahan sejauh itu. Bagaikan seonggok batu besar yang terkikis karena tetesan air, begitulah keadaan yang paling pas untuk menggambarkan hati Catherine saat ini. Wanita yang terkenal angkuh dan
Mark terdiam, menatap wajah sang istri yang tertidur di bahunya. Saat itu, setelah mendapatkan telepon dari Zeya, ia pun terburu-buru pergi ke rumah sakit, diantar oleh supir pribadi keluarganya. Ia pun bahkan rela menunggu dengan sabar hingga jam kerja istrinya selesai, dan kini mereka dalam perjalanan menuju ke rumah. "Sepertinya dia sangat kelelahan," ucap Mark. Pak Supri tersenyum melihat kedamaian dari kedua majikannya. Tak pernah terbayangkan jika Mark yang begitu membenci istrinya, kini bisa berbalik dan sangat menaruh perhatian pada Jelita. "Namanya juga Dokter, Tuan. Pasti Nyonya capek sekali, apalagi kalau rumah sakitnya ramai," sahut Supri. "Tapi kenapa dia sangat menyukai pekerjaannya. Bahkan dia akan marah jika saya menyuruhnya untuk berhenti." Supri tertawa kecil menanggapi perkataan tuannya. Dengan mata uang masih fokus ke jalan pun ia berkata, "Ini adalah cita-cita beliau. Dan untuk menjadi dokter banyak sekali usaha yang Nyonya lakukan. Itulah yang membuat Nyon
"Kamu mau kemana?" tanya Jelita saat melihat Zeya yang sangat kelelahan dengan membawa selembar map di tangannya."Oh aku mau kasih ini ke ruang radiologi, tadi ketinggalan," ucap Zeya sambil tertawa kecil.Tanpa bertanya Jelita merebut map tersebut lalu berkata, "Biar aku saja! Kamu istirahat! Gak usah ngeyel, cukup dengerin aku!" seru Jelita yang sudah tidak tahan melihat Zeya yang terus menerus memforsir tenaganya hanya untuk membuang waktu."Tapi, Ta!" Belum juga Zeya melanjutkan perkataanya, ia pun langsung terdiam.karena Jelita yang melotot ke arahnya."Udah diem! Kalau kami gak nurut, aku akan paksa kamu besok untuk libur. Biar aja aku yang long shift untuk menggantikan kamu, paham!" ancamnya sungguh-sungguh.Dengan langkah kakinya yang cepat, Jelita pun berjalan menuju ruang Radiologi. Ia terdiam sejenak saat melewati ruangan poli kandungan seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya.Ada suatu rasa yang terbesit dihatinya, rasa rindu akan sesuatu yang samar bahkan nyaris tak
Deg!"Nicky? A-aku gak salah lihat, kan?!" Zeya menggosok kedua matanya dengan punggung tangannya beberapa kali, memastikan. jika penglihatannya tidaklah salah.Namun semakin melakukan hal tersebut maka semakin Jelas pula rupa sosok Nicky yang kini dilihatnya. Nicky jelas terlihat di atas pelaminan dan tengah tersenyum dengan memakai busana pengantin. Pria itu terlihat bahagia bersanding dengan seorang wanita yang memiliki wajah buram, seolah tidak diizinkan tertangkap oleh penglihatannya. Zeya terdiam, hatinya sungguh terasa nyeri bak luka yang tersiram air garam. Dia dan Nicky memanglah tidak memiliki hubungan apapun, lantas mengapa ia merasakan sesuatu yang menyiksa seperti ini? Tiba-tiba saja kedua mata Nicky melirik padanya, mata mereka pun saling bertemu dan pria itu pun melambaikan tangannya hingga akhirnya.BRAK!Zeya terbangun saat tubuhnya menggelinding dan jatuh dari atas ranjang. Seketika gadis itu pun meringis lalu berusaha bangkit walaupun masih dalam keadaan semp
Perkataan Jelita sontak membuat suasana menjadi hening. Nicky terdiam, bibirnya kelu untuk sekedar menjawab. "Sayang," ucap Mark berusaha menenangkan hati istrinya. Tetapi Jelita yang sudah bertahan berbulan-bulan untuk tidak ikut campur pun pada akhirnya merasa muak. Zeya memang tidak banyak bicara tentang Nicky, tapi sikap gadis itu yang berubah menjadi lebih pemurung sangat mengusik Jelita. "Gak bisa, Mark! Harusnya kalau memang gak niat sungguh-sungguh, ya gak usah dekatin Zeya. Baru digertak saja sudah melempem!" ucap Jelita sewot. Mark menepuk keningnya. Nampaknya istrinya ini sudah tidak bisa ditenangkan lagi. Sedangkan Nicky hanya menerima setiap cacian dari Jelita, seakan sudah mempersiapkan semuanya jika hal ini pasti terjadi. "Sebenarnya, bukan tanpa alasan aku menghilang," ucap Nicky. Tatapan Mark dan Juga Jelita semakin fokus pada Nicky. Raut wajah Nicky yang memelas membuat mereka panasaran akan maksud perkataan yang baru saja ia lontarkan. Mark menghel
Kegaduhan sejak pagi sudah terlihat disebuah gedung pencakar langit. Para pekerja mulai dari cleaning service hingga para petinggi tampak sibuk untuk menyiapkan sesuatu. Jam sudah menunjukkan pukul 8 tepat, sebuah mobil merk eropa berwarna hitam pun berhenti tepat di lobby dan menurunkan sosok yang telah dinantikan. Suara langkah kaki dan hentakkan dari Kruk saling bersahutan dan menjadi pusat perhatian. Namun bukan hanya itu, kehadiran sosok wanita yang mendampingi Mark pun sontak membuat seluruh tatapan mata benar-benar tertuju pada mereka berdua. "Selamat datang kembali, Pak Mark Dinata." ucap seluruh karyawan serentak dengan Yesi yang membawa sebuket bunga dan diberikannya kepada Mark. "Selamat datang Pak Mark dan selamat datang juga di kantor kami Ibu Jelita," sapa Yesi dengan sopan. Terbalut dengan blouse dan rok selutut, Jelita tampak anggun mendampingi suaminya. Penampilan sungguh terlihat kontras dengan Chintya yang dulu selalu datang dengan pakaian yang terbuka d
"Dor!" Zeya tersentak kala seseorang tiba-tiba saja mengagetkannya dari arah belakang. Sontak ia pun menoleh dan melihat Jelita yang tersenyum lebar ke arahnya. "Kau ini pagi-pagi mau buat jantungku copot, hah?" protesnya yang malah membuat Jelita tertawa. Tak terasa sudah setengah tahun berlalu sejak kejadian malam itu. Kini banyak yang mulai berubah, dimulai dari Dokter Veshal yang tiba-tiba saja mengundurkan diri, Zeya yang dipaksa untuk kembali tinggal bersama kedua orang tuanya, serta sosok Nicky yang seolah menghilang tanpa jejak dari kehidupan gadis itu. Semua masih terasa begitu baru, sehingga membuat Zeya tak bisa terbiasa. "Udah ah jangan cemberut gitu. Nih aku punya sesuatu buat kamu," ucap Jelita seraya menyerahkan sekotak kue kesukaan sahabatnya itu. Wajah Zeya pun berubah, gadis itu mengembangkan senyumannya "Serius nih buat aku?" "Iya. Ya sudah aku mau temani Mark terapi dulu ya! Jangan lupa dimakan, oke!" Jelita pun meninggalkan sahabatnya. Sejenak
"Sekarang coba jelaskan pada Ayah!" Pada akhirnya Nicky tertangkap basah setelah tergelincir, karena berusaha keluar dari dalam bak mandi tempat persembunyian keduanya. Kini Nicky dan Zeya pun tengah diintrogasi bak seorang terdakwa kasus kriminal. Keduanya duduk di atas karpet dengan kepala menunduk di hadapan Hana dan juga Hans yang menatap nanar mereka. "Ini semua gara-gara kau!" bisik Zeya kesal. "Aku, kan gak tau kalau bakal begini, Beb," jawab Nicky berbisik. "Ehem! Zeya Alisiana! Kamu mendengarkan Ayah tidak?!" Seketika keheningan melahap suasana malam itu. Zeya kembali terdiam, bahkan tak mampu untuk menatap wajah kedua orang tuanya. Hans menghela napasnya dan kembali berkata, "Kami tau jika usiamu sudah matang untuk menjalin hubungan dan menikah. Tetapi tidak seperti ini, Zeya. Kami selama ini melarangmu berpacaran, bukan hanya sekedar keinginan kami, tapi juga untuk menjaga martabat kamu sendiri dari hal-hal tak diinginkan." "Tapi, Ayah dan Bunda salah paham
Kriett! Bunyi pintu kamar yang terbuka seakan memecah keheningan di dalam ruangan tersebut. Perlahan-lahan Jelita berjalan ke arah ranjang, dimana sang suami telah berbaring dan berpura-pura tertidur. "Aku tau kamu belum tidur," tebaknya sambil duduk di tepian ranjang, bibirnya sedikit meringis merasakan sakit pada kakinya yang tak kunjung mereda. Namun, tak ada jawaban. Mark terus memejamkan matanya, seolah sudah terbuai ke alam mimpinya. "Jadi kamu mau ngambek lagi nih? Baiklah," lanjut Jelita. Jelita melirik ke arah Mark, menatap kelopak mata sang suami yang bergetar walaupun dalam keadaan tertutup. "Dasar," gumam Jelita seraya menggelengkan kepalanya. Jelita terdiam sejenak, memikirkan cara untuk bisa berbicara dengan suaminya yang sangat keras kepala. Hingga akhirnya ia perlahan menaikkan kedua kakinya ke atas ranjang lalu tiba-tiba berbaring dan memeluk Mark yang berada di sebelahnya. Sikap Jelita yang tiba-tiba, membuat Mark tersentak dan langsung membuka matany
"Gawat kenapa?" tanya Nicky yang bingung, apalagi melihat keadaan Zeya yang panik seperti itu. "Memangnya siapa yang datang malam-malam begini?" "Duh, kamu ini gak usah banyak tanya! Sekarang ayo sembunyi dulu!" seru Zeya dengan keringat dingin yang mulai mengalir dari keningnya. Zeya berpikir keras sambil menoleh ke kanan dan ke kiri mencari tempat yang pas untuk menyembunyikan Nicky. "Hah, ada apa sih?" tanya Nicky kembali yang semakin bingung dengan sikap Zeya. Bel terus berbunyi tanpa henti, selaras dengan rasa panik gadis itu yang kian semakin meningkat. Tanpa berpikir panjang Zeya menarik-narik lengan Nicky menuju kamarnya lalu membuka lemari pakaiannya. "Ngumpet, kamu ngumpet disini dulu sebentar aja!" seru Zeya melotot yang hanya dijawab anggukannya pasrah oleh Nicky. Tak lama Zeya mengambil sepatu Nicky yang berada dekat pintu dan juga jas hitam yang tersampir di atas sofa. Zeya turut menyembunyikannya di dalam lari.bersama dengan Nicky, seolah ia ingin menghapus