Damian marah karena emang ngga ada hubungan dengan Emma selain kerja, atau marah karena Emma berani bertindak gegabah?
“Makan yang banyak ya, Sayang,” ucap Emma lembut menyuapi anaknya dengan bubur.Wajah kecil itu nampak pucat. Emma tak tau kenapa makin ke sini kesehatan Aiden makin menurun. Kadang anak ini nampak ceria dan bersemangat, tapi bisa saja tiba-tiba drop.“Mom, Aunty yang waktu itu suntik Aiden mana?” tanya pria kecil yang masih sedikit cadel dalam bicara.Emma jadi ingat Karissa, wanita itu pernah mengatakan kalau Aiden harus segera di bawa ke rumah sakit. Apa memang separang itu penyakit Aiden? Rasanya ragu, itu sebabnya Emma tidak langsung merespon perkataan Karissa.“Mooommm ....” panggil Aiden karena ibunya justru melamun.“Eh iya?”“Itu, Aiden pengin disuntik lagi. Soalnya suntikan Aunty cantik bikin badan Aiden jadi enak.”Emma tersenyum kaku. “Iya, nanti mommy telefon Aunty Karissa ya?”Dirasa bubur sudah habis, Karissa pun beranjak. Dia menyerahkan Aiden pada pengasuh untuk dibersihkan sedangkan dia harus bersiap berangkat ke kantor.Tak lama, kamar utama apartemen itu sudah terci
Karissa menggigit kuku-kuku jemari tangan kirinya sedangkan tangan kanannya sedang menggenggam ponsel yang dia tempelkan di daun telinga. Dia mondar mandir begitu resah di balkon kamar sambil menunggu panggilannya yang tak kunjung dijawab oleh Jacob Luther. Seseorang yang memberikan pinjaman dua milyar.“Astagaaa, kenapa dia tidak menjawab panggilanku?” Wanita itu sampai menghentakkan kakinya ke lantai saking kesalnya.Pesan yang dia kirim juga hanya dibaca tanpa dibalas. Padahal dia hanya ingin melakukan penukaran uang dengan cincin pernikahannya yang digadaikan.Sekali lagi dia akan mencoba, tapi ada panggilan yang lebih dulu masuk.“Tuan Jacob, saya –““Tuan Jacob?” Suara cempreng dari seberang telefon membuat Karissa jadi melihat ke layar ponselnya.Rupanya nama Shiena yang tertera di sana.“Tuan Jacob? Apa dia suamimu?” tanya Shiena yang mudah sekali penasaran dengan apapun tentang Karissa.Wanita itu menggaruk pelipisnya kemudian berjalan menuju kursi ukir untuk duduk di sana. “B
Lutut Emma rasanya lemas ketika mendengarkan penjelasan tentang diagnosa penyakit Aiden. Thalassemia Major, terdengar sangat asing di telinganya. Namun, sepertinya tidak dengan Damian. Pria itu diam, duduk di sofa sambil menatap anak yang terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang pasien. Dia tentu sudah bersahabat dari lama dengan istilah penyakit kelainan darah genetik tersebut. Damian hanya tak menyangka kalau Aiden juga menurunkan penyakit itu.“Jadi apa yang harus saya lakukan, Dok?” tanya Emma pada dokter yang ada di depannya."Pengobatan utama untuk Thalassemia Major adalah transfusi darah rutin untuk menjaga kadar hemoglobin tetap stabil. Namun, ada risiko komplikasi jangka panjang, seperti penumpukan zat besi dalam tubuh akibat transfusi yang berulang. Oleh karena itu, terapi kelasi besi juga diperlukan untuk mengeluarkan zat besi berlebih," jelas sang dokter dengan hati-hati.Emma terisak menatap Aiden, membayangkan penderitaan yang harus dialami anaknya."Sebenarnya ada sat
“Aku adalah nerakamu,” jawab Damian dengan ekspresi datarnya. Bahkan pria itu begitu santai memakan sarapannya tanpa menatap Karissa sedikitpun.Sang istri tentu hanya bisa menarik napasnya dalam-dalam. Ini sudah biasa. Rupanya jawaban Damian tetap sama, tak berubah sedikitpun. Sejenak ruang makan terasa hening karena keduanya sama-sama menyantap makanan tanpa membuka topik yang bisa membuat selera makan jadi hilang.“Berangkat ke rumah sakit bersamaku,” ucap Damian sesaat setelah dia menghabiskan teh herbak favoritnya.Karissa mengangkat satu alis. “Membiarkan orang-orang curiga?”“Jangan banyak bertanya. Aku tunggu di bawah.” Damian beranjak dari kursinya lalu pergi.Karissa memilih tak peduli. Dia tau suaminya pasti hendak menjenguk Aiden di rumah sakit.Hening menyelimuti kabin Rolls-Royce yang tengah berjalan keluar meninggalkan mansion mewah di pusat kota. Seperti biasa, selalu ada satu mobil di belakang sebagai pengawal.Sepanjang perjalanan mereka berdua diam. Damian sibuk deng
“Tugas kita adalah membawa wanita di dalam!” desis pria yang berada di kubu musuh ketika mereka kesulitan mendekati mobil.Sedangkan Karissa di dalam, dasi Damian yang menutup mata dan suara musik yang sengaja dikeraskan sama sekali tidak membuatnya tenang. Peluru yang menembak kaca di depan matanya beberapa waktu lalu membuat dia tak bisa baik-baik saja diam di sana.“Damian? Apa kamu sudah kembali?” panggilnya ketika ragu membuka matanya.Tak ada jawaban. Dia justru merasakan mobilnya sedikit berguncang dan suara hantaman di sisi kanannya.“Damian?” panggilnya lagi.Dengan napas menderu, Karissa terpaksa membuka dasi yang menutupi matanya. Hingga dia bisa melihat di depan sana Damian sedang melawan banyak musuh dengan tangan kosong. Rupanya mereka diserang puluhan orang tak dikenal.Belum sempat otaknya berpikir siapa mereka, tepat di sisinya seseorang memukul-mukul kaca dengan tongkat baseball.“Akh!” pekiknya langsung berpindah ke sisi kanan.Jantung wanita itu berdegup makin menj
“Kotak obatnya, Nyonya. Lutut Anda terluka.”Tony memberikan kotak obat setelah Damian melemparkan kode pada supirnya itu. Karissa menerima sambil melirik pada suaminya yang mulai kembali menyalakan iPad-nya.“Biasanya suami yang mengobati,” lirih Karissa sambil meletakkan kotak obat di tengah mereka.Tony di depan kemudi hanya melirik ke kaca spion lalu mulai membawa mobil pergi dari sana. Sedangkan Damian nampak tak peduli.Baiklah, Karissa memang sudah ditakdirkan untuk mandiri begini. Dia membuka kotak obat dan mengobati lututnya sendiri. Di awal mungkin biasa saja, dia bisa menunduk, mengoles obat ke luka. Namun, saat Karissa akan mengobati lecet di mata kaki sebelah kiri, dia kesulitan karena tertahan oleh perutnya yang sudah sedikit buncit.“Damian, susah,” keluhnya.Sia-sia. Pria itu hanya melirik dan kembali pada kerjaannya. Karena sulit, wanita itu pun mengangkat kakinya sebisanya sampai dressnya sedikit terangkat ke paha.“Ck!” Damian berdecak keras melihat ke depan. Bisa sa
Emma menaikkan satu alisnya, menatap wanita yang sudah lama ingin tau identitas asli Aiden.“Aiden anak biologis Damian,” jawabnya tanpa basa basi.Kedua mata Karissa yang mulai berembun, bergerak meneliti setiap mimik wajah yang Emma tampilkan. Jelas sekali ada pancaran emosi di sorot mata wanita itu. Namun, dia harus ingat, Emma bukan kah pernah memanipulasi keadaan sebelumnya. Jadi bukan tak mungkin wanita ini melakukannya lagi.“Kau bohong.” Karissa coba terkekeh hambar. “Damian bisa saja membunuhmu kalau kau berbohong.”Sayangnya, wajah Emma menunjukkan keseriusan. Bahkan, rahang wanita itu nampak mengeras.“Aku bersumpah demi Dewa Zeus!” tegasnya mengepalkan kedua tangan. “Aiden adalah darah daging Damian Morgan!”Tenggorokan Karissa rasanya langsung kering. Begitupun dadanya yang terasa seperti ditusuk oleh ribuan jarum dalam satu waktu.“Kami sudah berencana menikah.” Emma menjeda untuk mengusap cepat air mata yang mendadak jatuh ke pipi tanpa permisi. Bahkan dia sampai melupa
Kumulus awan kelabu yang menggantung di angkasa perlahan kini meluruhkan muatannya. Butiran air jatuh, menghempaskan hawa dingin yang menusuk. Pun dengan gemuruh petir yang saling menyahut keras bagai pertarungan pada goresan sunyi.Seorang pria berkemeja serba hitam berdiri menghadap jendela kaca yang buram, penuh dengan jejak tetesan hujan yang menerjang jelang dini hari ini.Sorot mata elangnya tertuju pada sebuah kotak beludru yang tergeletak di meja dari pantulan kaca meski penerangan di ruangan serba abu-abu ini sangatlah minim."Jadi, dia istrinya Damian?" gumam Jacob yang sesaat setelahnya menarik sebelah ujung bibirnya.Dengan seringai miring di wajahnya, kedua tangan Jacob lantas menelusup di balik saku celana hitamnya itu. "Hmmm ... Ini suatu kebetulan yang sangat menarik."Sudah lama dia mencurigai dokter di rumah sakit itu ada hubungan dengan musuhnya. Sampai suatu kebetulan, ada yang mengaku membutuhkan uang dengan nama Karissa Asterin. Jacob pun tak menolak, bahkan dia
“Apa yang terjadi dengan cucu-cucuku?”Hector yang lebih dulu mendekat saat dokter membuka pintu ruang operasi. Tak langsung menjawab, pria yang masih memakai seragam operasi itu menggeser pandangan pada Luciano.“Bagaimana kondisi istriku?” tanya Luciano.Terdengar tenang, tapi tidak dengan sorotnya yang penuh rasa khawatir.“Nyonya Karissa sempat henti jantung dan pendarahan. Sampai sekarang pasien masih dalam masa kritis. Berdoa saja semoga dia bisa kuat sampai membuka mata untuk melihat serta menggendong anak-anaknya.” Dokter itu kini beralih pada Hector.“Bayi kembar telah lahir. Hanya saja kondisi prematur dan terpapar racun membuat mereka harus mendapat perawatan intensif. Tunggu dokter spesialis anak sedang mengurus semuanya.”***Luciano berdiri membeku di depan dinding kaca transparan. Di dalam ruangan, dua inkubator kecil ditempatkan berdekatan. Sepasang bayi kembar lelaki dan perempuan.Hati Luciano yang biasa keras tak bisa disentuh, kini rasanya hancur dan rapuh melihat
“Tekanan darah pasien makin turun! Percepat anestesi. Jangan sampai dia hilang kesadaran sepenuhnya sebelum kita mulai!”“Obat masuk. Kami pakai dosis rendah untuk menjaga kesadaran terbatas. Periksa saturasi oksigen!”Karissa sudah setengah sadar. Tenaga di tubuhnya entah hilang ke mana. Meski begitu, matanya sayunya masih bisa menangkap siapa saja yang sedang ada di sana.“Luciano ....” Mulut lemah itu masih memanggil suaminya.Tangan yang lemas tak berdaya di sisi tubuhnya masih berharap ada yang datang dan menggenggam hangat.“Di mana suaminya?”Terdengar suara yang mempertanyakan keberadaan Luciano. Pertanyaan yang sama, yang ada di pikiran Karissa.Para tenaga medis terus berupaya melakukan operasi dengan waktu yang menipis. Jangan sampai mereka kehilangan waktu yang bisa membuat ibu dan anak tidak bisa diselamatkan.Perawat menyerahkan alat bedah steril. Pisau pertama menyentuh kulit Karissa, menembus jaringan demi jaringan. Darah mulai keluar, tapi tekanan tetap dikontrol deng
“Di mana Luciano? Apa dia sudah membaca hasil DNA Karissa?” tanya Hector saat tiba di depan ruang ICU.“Tuan sedang ada di ruang dewan, Tuan,” jawab Sergio yang cukup terkejut akan kedatangan pria tua itu.Mood Hector terlihat sedang tidak baik. Rahangnya nampak mengeras dan genggaman di ujung tongkat pun erat.“Anak itu. Bisa-bisanya dia asal melepas kancil dari jeruji besi,” desis Hector menahan kemarahannya.Sergio yang belum paham, dia hanya menatap Hector sambil berpikir.“Kau sudah aku beritahu siapa Karissa sebenarnya supaya kamu bisa lebih waspada. Tapi kamu justru membiarkan Luciano melepas Vincent begitu saja!”Sang asisten terkesiap lalu membungkuk penuh rasa bersalah. “Maaf, Tuan. Saya belum paham penuh konsekuensi kalau sampai Tuan Vincent bebas.”Hector memukul lantai dengan tongkatnya sambil berdecak. Membuat Sergio seketika terjingkat.“Informasi Karissa darah murni Luther sudah disebarluaskan oleh Vincent kepada orang-orang yang masih setia pada keluarga itu! Apa menur
“Tuan, maaf. Ini berkas Anda ditemukan di bawah bantal rawat inap. Pagi tadi petugas kebersihan menitipkannya pada saya.” Sang direktur rumah sakit menyerahkan amplop coklat yang masih tersegel kepada Luciano.Pria itu tidak langsung menerima. Dia lebih dulu menutup pintu dengan hati-hati agar Karissa tidak terganggu tidurnya. Barulah ia mengulurkan tangan menerima amplop tersebut.“Ya.”Saking merasa berkas itu tidak penting, Luciano sampai lupa telah menyimpannya secara asal di ranjang rumah sakit.“Dan—“ Direktur yang tampak memiliki tujuan tertentu, sedikit ragu untuk melanjutkan. “Kejadian di lobi tadi, saya meminta maaf. Saya akan memberikan surat peringatan dua tingkat kepada dokter residen itu.”Pria dengan perut buncit dan bulatnya lalu mundur satu langkah sambil membungkuk. “Kami memohon agar Anda berkenan datang ke ruangan dan menerima permintaan maaf langsung dari kami.”Luciano menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia tidak ingin pikirannya terbebani oleh urus
Tamparan itu membuat semua pengawal termasuk Sergio serempak menarik pistol dari pinggang mereka lalu di arahkan ke wanita di sana. Sebelum ada yang terluka, Luciano langsung mengangkat tangannya.“Biarkan!” titahnya tanpa perubahan ekspresi, hanya dingin dan datar.Sementara Shiena, keberanian itu muncul begitu saja ketika amarah atas dendam lamanya pada sosok Luciano meluap. Apalagi ternyata identitas itu dimiliki oleh orang yang selama ini sangat dia hormati dan kagumi.“Jadi kamu adalah serigala penghisap darah berkedok kelinci yang nampak lembut dan manis? Sungguh aku makin membencimu, Luciano!” teriak Shiena hendak menyerang lagi, tapi dua pengawal langsung menakan lengannya.“Shiena, hentikan?” teriak direktur rumah sakit yang baru datang karena mendengar keributan di lobi.“Sekarang aku tau, kenapa ada keanehan di rumah sakit ini. Menerima pasien dengan luka tembak tanpa ada laporan ke kepolisian. Rupanya pemiliknya adalah penjahat itu sendiri!” teriaknya tak peduli.Shiena mer
“Kau bertanya apa hubunganku dengan keluarga Luther? Apa menurutmu aku sehebat itu?” ucap Vincent.Sayangnya sorot tajam Luciano masih menyala ke arahnya. Seolah tak percaya dengan jawaban pria paruh baya ini.“Mereka tidak mungkin bertanya tanpa sebab. Atau –“Luciano memiringkan kepala, lalu mengangkat dagu Vincent dengan satu jarinya.“Karissa adalah kerutunan Luther?” desisnya lirih.Vincent memperhatikan tatapan dari pria yang berdiri menjulang tinggi di depannya. Ada satu detik di mana lidahnya ingin bergerak mengucap semuanya. Ah, tidak. Ini belum saatnya. Kalau Luciano tahu bahwa Karissa adalah satu-satunya penerus darah murni Luther, dan anak yang dikandungnya adalah pewaris sah maka mereka tidak akan pernah aman.“Hahahaha! Maksudmu aku adalah anak dari keluarga itu? Apa kamu gila, Luciano?”Mata itu masih menyipit, meski tangannya sudah menjauh dari dagu Vincent.“Cocokkan saja DNA ku dengan DNA keluarga Luther. Orang seperti kalian pasti menyimpan basis data DNA di rumah sa
“Dok, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Karissa saat dokter memeriksanya pagi ini.Pria dengan jas putih itu tersenyum tipis. “Apa Anda tidak ingat sudah menelan cairan penggugur kandungan?”Dahi Karissa berkerut untuk coba mengingat. Kemudian menggeleng pelan saat dia merasa tidak melakukan hal segila itu.“Tidak perlu Anda pikirkan lagi. Anda tolong kendalikan diri, jangan stress dan makan dengan baik,” ucap dokter dengan tenang.Karissa diam, membiarkan dokter melakukan tugasnya. Dalam hatinya berpikir, apa mungkin Damian asli? Ingin bertanya pada Luciano, tapi dari kemarin pria itu selalu mengalihkan pembicaraan ketika dia bertanya banyak hal.“Tuan Damian sangat mencintai Anda. Hari itu, dia memilih menyelamatkan Anda karena situasinya darurat.”“Lalu, apa sekarang masih darurat?”Sang dokter diam sejenak untuk fokus menyuntikkan cairan melalui selang infus. Karissa yang merasakan sedikit reaksi di perut pun mendesis sambil mengusap perutnya.“Plasenta yang sudah terkena zat be
“Apa kali ini terasa manis?” bisik Luciano tepat di bibir Karissa yang baru saja dia cium dengan dalih menyuapi.Dan sialnya Karissa seperti terhipnotis. Dia mengangguk tipis dan kaku tanpa melepas tatapannya dari iris mata hitam sang suami.Senyuman smirk Luciano ukir tipis di sudut bibirnya. Tak mau membuang kesempatan yang selalu dia ciptakan sendiri, pria itu menggigit lagi biskuit dan kembali memasukkan ke mulut Karissa secara langsung.Tak ada penolakan. Wanita itu justru meremas selimutnya erat dan menerima dengan baik. Biskuit itu langsung remuk saat lidah mereka membelit bercampur dengan air liur yang tak lagi pahit, tapi sangat manit dan, panas!“Luciano, apa aku gila?” bisik Karissa dalam hati saat menikmati cara suaminya menyuapi. “Semua dalam dirinya kenapa selalu membuatku bertekuk lutut. Harusnya aku membencinya. Harusnya aku tak mau bersentuhan dengannya. Dia sudah menipuku habis-habisan dengan identitas palsu. Tapi –““Emhh ....” Karissa justru reflek melenguh ringan s
Langkah kaki Luciano terhenti saat mendapati Hector sudah berdiri di ujung lorong, berjalan ringan bersama tongkat kebesarannya. Pria tua itu seperti biasa, mengenakan mantel panjang dan tatapan yang selalu mengundang curiga. Seolah kematian bisa muncul dari balik senyumnya yang sopan.“Aku dengar, kamu sudah coba mengurus pemindahan nama,” ucap Hector saat mereka sama-sama berdiri berhadapan.“Hm,” jawab Luciano singkat.“Ya, seharusnya sejak dulu kamu memakai nama aslimu. Jadi tidak repot begini.”Luciano menarik napas dalam-dalam, menahan emosi yang mulai menghangat. Dia ingat, dulu Hector adalah orang yang pertama kali memberi ide supaya dia memakai identitas Damian untuk balas dendam pada Karissa. Bisa-bisanya sekarang berkata begitu.“Aku harus ke kantor. Jangan coba sentuh istriku. Atau opa benar-benar kehilangan bayi yang kau inginkan,” ucap Luciano dingin, menahan gejolak amarahnya.Hector mengangguk ringan, tak terguncang sedikit pun. “Aku tahu caraku menempatkan diri, Lucia