Kumulus awan kelabu yang menggantung di angkasa perlahan kini meluruhkan muatannya. Butiran air jatuh, menghempaskan hawa dingin yang menusuk. Pun dengan gemuruh petir yang saling menyahut keras bagai pertarungan pada goresan sunyi.Seorang pria berkemeja serba hitam berdiri menghadap jendela kaca yang buram, penuh dengan jejak tetesan hujan yang menerjang jelang dini hari ini.Sorot mata elangnya tertuju pada sebuah kotak beludru yang tergeletak di meja dari pantulan kaca meski penerangan di ruangan serba abu-abu ini sangatlah minim."Jadi, dia istrinya Damian?" gumam Jacob yang sesaat setelahnya menarik sebelah ujung bibirnya.Dengan seringai miring di wajahnya, kedua tangan Jacob lantas menelusup di balik saku celana hitamnya itu. "Hmmm ... Ini suatu kebetulan yang sangat menarik."Sudah lama dia mencurigai dokter di rumah sakit itu ada hubungan dengan musuhnya. Sampai suatu kebetulan, ada yang mengaku membutuhkan uang dengan nama Karissa Asterin. Jacob pun tak menolak, bahkan dia
"Di mana Karissa? Apa dia belum bangun?" Damian menghampiri meja makan dan singgah dengan gagah pada kursi paling ujung.Tangan Martha yang tengah menuangkan sup krim ayam brokoli ke mangkuk kaca itu refleks mengalihkan atensinya. Tundukan hormat dilayangkan Martha setelahnya."Sudah bangun, Tuan. Tapi tadi Nyonya Karissa hanya mengambil semangkuk sup lalu kembali lagi ke kamarnya. Sebab hari ini beliau berangkat praktek siang," jawab Martha apa adanya.Damian menyeruput kopi tanpa ekspresi. Hanya saja keningnya sedikit berkerut. âDia selalu merajuk,â lirihnya.Ringisan kecil tercetak di wajah Martha yang tampak sungkan. Namun posisinya saat ini tentu harus menjelaskan se-transparan mungkin pada Tuan-nya."Tuan maaf, sepertinya suasana hati Nyonya sedang tidak baik perihal kamar untuk Tuan Muda Aiden. Padahal sebelumnya, Nyonya sudah lebih dulu merencanakan ruangan itu untuk kamar putra Anda kelak."Ungkapan jujur Martha kini bisa dimengerti dengan mudah oleh Damian yang seketika berd
Karissa memekik karena tiba-tiba rahangnya dicengkeram oleh pria tinggi besar yang kini ada di depan wajahnya."Kenapa? Lebih suka jika Jacob yang datang?"Damian menyorot tajam ke arah Karissa yang masih terbelalak kaget melihat kemunculannya yang sangat mendadak ini.âD-Damian ada apa datang?âDamian melepas cengkeramannya. Meski begitu dia tak bisa lepas dari sorot tajam suaminya."Siapa yang mengajarimu berbohong, Karissa?" Damian maju sedikit yang refleks membuat kaki Karissa yang rasanya sudah bak jelly ini mundur ketakutan menyentuh sisi meja."B-Bukan begitu maksudku, Damian. A-Aku."âBertemu dengan pria lain di luar jam 11 malam?âKarissa menelan ludahnya susah payah. Demi Tuhan, dia tidak menduga kalau Damian akan menjemputnya ke sini. Dan parahnya lagi, kenapa mulutnya spontan asal ceplos nama Jacob saat Damian muncul tadi?"Ayo pulang!"âT-Tunggu.â Karissa menggeleng cepat. âSebentar lagi. A-Aku sedang âââIni?â Damian menunjukkan cincin di tangannya.Karissa tak hanya mel
âMommy ... aku mau mommy ....âSuara tangisan Aiden terdengar ketika Karissa membuka pintu kamar untuk menerima secangkir jahe hangat dari pelayan. Memikirkan Damian yang tidak tidur di kamar ini semalam membuat perutnya mual pagi-pagi.Tidak, bukannya ingin tidur dipelukan lelaki itu. Melainkan luka di tangan Damian akibat memukul dinding terlalu keras. Padahal biasanya pria itu pasti melampiaskan marah padanya, tapi semalam Damian benar-benar pergi dan belum kembali.âAda lagi yang dibutuhkan, Nyonya?âAlih-alih menjawab, Karissa justru menoleh ke kamar Aiden yang terbuka sedikit. Hingga suara dari dalam jelas sekali terdengar.âDia sejak kemarin menangis?â tanyanya. Walau dia benci dengan Emma, tapi tetap saja dia kasihan kalau mendengar suara tangisan itu terus menerus.âTuan Muda terus merengek ingin menghubungi ibunya, Nyonya,â jawab si pelayan dengan hati-hati.âDamian di sana?ââTuan ada di ruang lantai dua sejak semalam dan belum keluar.âKarissa menaikkan satu alisnya. âTida
[Ibumu sudah pingsan 3x di atas makam suaminya. Cepat datang, dia terus memanggil nama anak-anaknya.]Pesan dari Hector membuat Damian terdiam sesaat, mengabaikan rengekan Aiden yang belum mau makan walaupun pengasuh membujuk. Dia hampir saja lupa kalau hari ini adalah hari peringatan ke-lima tahun kematian ayahnya. Biasanya Damian akan ke italy sedari kemarin sebelum ibunya merasa sedih. Namun, sekarang untuk meninggalkan Karissa rasanya tidak se-enteng itu.âAku mau mommy! Aku mau makan sama mommy!â teriaknya.Selain teriakan, suara sendok dilempar membuat Damian mengangkat pandangannya.âAiden!â tegasnya tak suka dengan keributan ini.Pria kecil itu memang diam, tapi kini Aiden justru menahan tangisannya dengan menunduk takut.Damian menarik napasnya kemudian meletakkan ponsel di meja. "Dimakan, Aiden. Itu makanan kesukaanmu kan?" Dia mencoba menaikkan tingkat kesabarannya.Menggeleng pelan, Aiden tetap menunduk. Dia terisak lalu mengusap mata dengan punggung tangan kecilnya.Berula
âTuan, sebentar lagi pesawat landing,â lapor pramugari di pesawat jet pribadi milik Damian.Dua jam perjalanan udara, membawa seorang lelaki bertubuh tinggi atletis akhirnya menginjakkan kaki di tanah Italia, tanah kelahirannya. Hanya 20 menit dari bandara, mobil itu akhirnya memasuki gerbang mansion yang menjulang tinggi dan kokoh. Bangunan ini jauh lebih besar dibanding mansion milik Damian di Inggris. Penjagaan juga lebih ketat dengan anak buah di mana-mana.Salah seorang anak buah langsung membukakan pintu mobil, barulah deretan pengawal lain membungkuk serentak.Langkah besar Damian mulai memasuki ruang demi ruang dalam mansion ini yang sengaja didesain klasik dengan sentuhan warna gelap di tiap sudutnya.Begitu mata elangnya menangkap satu spot ruang dengan hiasan kepala serigala hitam yang bertengger kokoh di sana, Damian seketika menghentikan langkah kakinya.âDi mana mama?â tanya Damian pada tiga orang pelayan yang baru membungkuk padanya."Nyonya Besar sudah menunggu di belak
âJangan pernah berpikir kamu lemah karena penyakit genetik dan merasa tersingkirkan sebab opa pernah menghukummu ke tempat pengasingan. Kami semua sayang padamu, Damian."Rosetta menjeda sejenak untuk mengurus sayuran yang sedang dia potong. Baru kemudian melanjutkan ceritanya. "Dan apa kamu ingat, Nak. Dulu papamu dan â""Sebenarnya apa yang kamu bicarakan?" Hector tiba-tiba datang, memotong cerocosan Rosetta yang belum selesai.Rosetta mengangkat pandangannya, menatap sang ayah dengan kening menyerngit. "Aku hanya sedang bernostalgia dengan putraku. Kenapa? Ada yang salah? Apa aku tidak boleh mengingat momen bahagia bersama Damian-ku?"Membuang napas dengan kasar, Hector menghampiri kursi kosong di sebelah Damian. "Kamu ini selalu membicarakan Damian. Tidak ingatkah kamu kalau ada putramu yang lain? Bagaimana kalau mereka mendengar ceritamu tadi yang terlalu berpihak pada satu anak saja?"Berdecak pelan, Rosetta kini memandang sang ayah dengan berkacak pinggang. "Ya karena yang di d
âDamian ke rumah sakit siang tadi?â beo Karissa ketika seorang petugas laboratorium berbisik padanya.âEmh, aku tidak melihat langsung. Tapi Dokter Forensik yang mengurus. Aku melihat data masuk di ruangan.â Petugas wanita itu melihat ke kanan kiri, sengaja supaya tak ada yang mendengar.âTuan Damian coba melakukan tes DNA, mencocokkan dengan DNA milik Aiden. Apa itu artinya gosip itu benar kalau Tuan Damian dan asistennya ada hubungan? Aku mengatakan ini karena sekarang kamu yang dekat dengannya sebagai dokter khusus Aiden.âKarissa tak terkejut dengan pemikiran petugas itu. Dia hanya bingung, bagaimana bisa Damian ke rumah sakit siang tadi, sebab suaminya sudah pamit pergi sejak pagi. Apa mungkin kepergian ke Italia ditunda? Atau memang Damian berbohong, sebenarnya tidak ada urusan ke Italia?âAh, sudahlah! Kamu ini tidak pandai mengambil kesempatan. Pasti di mansion Tuan Damian kamu tidak pernah meneliti soal hubungan mereka ya?â kesal petugas wanita itu sebab Karissa justru diam m
âAkh!âKarissa memekik menutup mulut dengan telapak tangan. Tubuhnya berdiri kaku dengan tangan lainnya menggenggam erat tralis balkon.Tatapannya bergetar, melihat bagaimana Hector begitu mudah memecahkan kepala seseorang di sana dengan satu tembakan. Padahal pagi ini dia ingin mencoba menghirup udara segar setelah semalaman terkurung di kamarnya sendiri. Namun, yang dia lihat justru adegan mengerikan di sana.âAmpun, Tuan! Ampun! Saya akan mengabdi pada Anda. Saya mengaku salah. Ampuni saya, Tuan!âSuara teriakan minta ampun itu terdengar samar di telinga Karissa yang berdiri di balkon lantai tiga. Padahal tubuh pria itu sudah penuh darah karena cambukan tanpa ampun. Rupanya permintaan ampun tidak digubris.DOR!Satu peluru kembali dikeluarkan untuk pria lain yang sejak tadi berdiri ketakutan.Seolah ini adalah tontonan yang sengaja Hector perlihatkan pada Karissa, pria tua itu mendongak ke balkon sembari menyerahkan pistol itu ke samping.Jantung Karissa berdetak tidak semestinya.
"Maaf, Nyonya. Anda tidak boleh keluar.âKarissa terhenti di depan lift karena dua pengawal menghalangi jalannya. Lalu apa tadi? Tidak boleh keluar? Dia bahkan sudah memakai baju kerja yang rapi. Sebuah tas dokter dan jas putih juga menggantung di tangannya."Sejak kapan aku butuh izin untuk keluar rumah sendiri?" Bukan bersikap sombong, tapi dia heran pada atmosfer yang berbeda sore ini.âTuan Damian melarang Anda keluar dari area ini, Nyonya.âAh, Damian. Itu juga ingin Karissa tanyakan. Setelah sarapan sampai sore begini dia belum melihat suaminya. Lelaki itu tidak pamit sama sekali. Mengirim pesan pun tidak.âJangan bercanda. Aku ada jadwal praktek sore ini.â Karissa tetap maju, berniat menerobos.Segera dua pengawal merapatkan badan, tidak memberi celah. Bahkan salah satu dari mereka berani mendorong ringan lengan majikannya.âNyonya, jangan paksa kami bersikap kasar,â ucapnya sedikit lebih tajam dari sebelumnya.Dengan dahi berkerut tajam, manik mata wanita hamil itu bergerak men
âCucuku dan anakku belum tau kalau ada musuh di sangkar mereka.âHector berucap ketika Vincent masuk ke ruangan beraroma tembakau. Tadi, setelah sarapan dengan atmosfer menegangkan di setiap suapan makanan. Kini Vincent diminta datang ke salah satu ruangan tertutup di mansion itu.Pria paruh baya yang berdirinya sudah tidak setegak dulu, juga tubuhnya tidak seatletis dulu, kini dia tengan berdiri di ruangan. Mata Vincent waspada menatap Hector yang duduk di kursi besar dengan sikap santai. Senyum pria tua itu ramah, tapi tidak dengan matanya yang penuh manipulasi dan intimidasi."Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu, Vincent."Vincent mengepalkan tangannya di samping tubuh. Dia tak berdaya, tapi juga tak mau terlihat lemah."Dan saya berharap kita tidak akan pernah perlu bertemu lagi."Hector tertawa kecil, seakan menganggap ucapan Vincent sebagai lelucon."Kau masih setia pada keluarga Luther, rupanya. Sampai-sampai rela memperrtaruhkan nyawa untuk melindungi keturunann
âDamian tidak ke ruang kerja? Dia ke mana?â bisik Karissa setelah pengawal di lantai dua mengatakan tidak melihat tuannya keluar dari lift.Karena penasaran dengan kegiatan Luciano di tengah malam begini, dia pun masuk lagi ke dalam lift lalu pergi ke lantai lainnya. Di sana sepi, padahal biasanya di setiap lantai ada pengawal.Karissa melangkah kakinya lalu berhenti di tengah ruangan terbuka sambil melihat ke kanan dan kiri. Hingga dia melihat ada bayangan bergerak di lorong sebelah kanan.âDamian? Dia sedang apa?âKaki dengan sandal rumah berbulu tanpa suara itu mulai melangkah melewati lorong dengan penerangan yang minim. Jujur, tiga tahun tinggal di mansion sebesar ini memang tidak semua Karissa tau ada ruang apa saja.Contohnya lorong ini, Karissa tidak tau jalan ini akan membawanya ke mana.âDamian?â panggil Karissa dengan suaranya yang menggema.Tidak ada jawaban.Dia mulai melangkah waspada juga merinding. Sampai-sampai wanita itu memeluk diri sendiri dan mengusap lengannya ya
âTolong jangan lakukan apapun. Jangan ceritakan ini pada suamimu. Aku takut dia mengatakan pada Luciano dan berakhir nyawaku yang melayang.âKarissa sangat ingat tangan Shiena yang gemetaran ketika mengatakan semua.Karissa membuka matanya saat mendengar napas suaminya yang tenang di sampingnya.âDia sudah tidur, kan?â tanyanya dalam hati.Karissa menoleh perlahan. Cahaya remang dari lampu meja menerangi wajah lelaki itu. Luciano yang damai dalam tidur, namun tetap menyiratkan kegelapan yang tak pernah benar-benar hilang.Pelan, Karissa menyingkirkan tangan besar yang melingkar di perutnya.âEmh...â Luciano hanya merubah posissinya sedikit dan kembali terlelap.Karissa mulai bangkit, menahan napas agar tidak membangunkan pria itu. Tangannya terulur ke laci di sisi ranjang. Jari-jarinya menyentuh benda lalu mengeluarkan.Kalung hitam yang diberikan oleh Ben dengan liontin berbentuk kepala serigala dan logo "W" terukir di dalamnya.Hatinya berdebar saat menatap benda itu di tel
Langkah Karissa terhenti ketika mendengar nama Luciano disebut. âSiapa yang berani menyebut nama itu di sini?â gumamnya.Saat ini, dia hendak mengambil jalan pintas menuju ke paviliun barat melewati taman yang sepi karena dekat dengan kamar jenazah. Dia penasaran dengan obrolan yang samar terdengar, Karissa pun mendekat.Orang yang pertama lihat adalah suaminya tengah meniupkan asapnya perlahan, lalu menyeringai sinis ke arah lawan bicaranya. "Damian, kamu di sini?" tanya Karissa memecah memecah keheningan. Keterkejutannya rupanya belum usai. Matanya membesar, napasnya tersengal melihat dua wajah identik yang terpampang di hadapannya."D-Damian? K-Kenapa kalian ada dua?!" Damian hanya menyeringai lebih lebar. Mata birunya bersinar seperti menikmati keterkejutan yang tercetak jelas di wajah Karissa. "Permainan ini akan segera usai," bisik Damian rendah, terdengar berbahaya. Sebelum Karissa bisa bereaksi lebih jauh, sebuah bayangan bergerak cepat dari belakang. Sergio menghantam te
âApa? Dokter Shiena diserang?ââIya, Dok. Dia mengalami luka tusuk di perutnya. Wajahnya juga banyak memar karena dipukuli.âPagi itu Karissa baru saja berangkat praktek. Siapa sangka pasien pertama yang menjadi tanggungjawabnya pagi ini adalah Shiena. Buru-buru dia memakai jas putih, diambilnya berkas yang diberikan oleh perawat untuk dia baca sebentar.âTidak sampai operasi?â tanya Karissa membaca hasil tindakan kemarin.âIya, Dok. Luka tidak sampai mengenai organ vital. Pendarahan juga bisa dihentikan. Jadi pasien cukup dijahit setelah pembersihan,â jawab perawat.Karissa mengangguk lalu bergegas pergi ke kamar rawat inap Shiena. Kedatangannya tentu membuat atensi Shiena dan Ben tertuju ke arah pintu.âShiena ....â Karissa mempercepat langkahnya dan Ben reflek memundurkan kursi rodanya, memberi ruang untuk wanita itu mendekat.Di atas ranjang putih itu, Shiena terbaring dengan memar yang sangat kontras dengan kulit pucatnya. Selain memar, bibirnya sedikit sobek di sudut, dan ada pe
âDua mafia besar memperbutkan kalung dengan makna cinta abadi.â Karissa mengeja salah satu judul artikel yang dia temukan.âAku benar-benar penasaran. Huh, lagian dari mana Damian mendapatkan kalung ini? Pasti sangat mahal harganya.âKarissa sedang bersandar santai di sofa sambil menunggu artikel yang dia temukan itu terbuka. Aneh, kenapa loading-nya terlalu lama.âApa internet sedang error?â Dia keluar ke balkon. Siapa tau cuaca mendung membuat signal internet jadi lelet.Saat artikel hampir terbuka tiba-tiba muncul notifikasi. âHalaman yang Anda buka tidak ditemukan.âDia menggigit bibirnya kemudian membuka artikel lain. Hasilnya sama saja, halaman tidak bisa dibuka.âApa HP-nya yang murahan?â gerutu Karissa membolak balikkan benda pipih itu. sedetik kemudian dia tersenyum smirk, mana mungkin suami dengan pemilik perusahaan raksasa itu memberikan barang murahan.Karena kesal, Karissa pun menyerah. Bersamaan dengan itu, sebuah pesan muncul di notif bar layar benda pipih tersebut.[Ak
âKau tak sanggup meninggalkannya karena terlalu mencintainya?â Vincent bisa melihat itu. Tatapan cinta Karissa terhadap suaminya nampak nyata.Sesungguhnya Vincent juga tidak tega. Namun bagaimana lagi. Pada akhirnya Karissa pun akan tersakiti. Bukan hanya hati, tapi juga fisik. Atau bahkan nyawa yang jadi taruhan.Karissa menunduk. âAku pasti akan meninggalkannya,â jawabnya ragu.Pria paruh baya dengan beberapa keriput yang mulai nampak itu hanya menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia sudah mendengar jawaban yang dia inginkan, dan itu cukup untuk saat ini.Dia mengangkat tangannya lalu mengusap kepala putrinya. Hal itu cukup membuat hati Karissa kembali merasa sedikit lebih tenang dari sebelumnya.âKau sangat cantik meski sedang mengandung. Persis seperti ibumu.â Vincent sengaja mengalihkan topik pembicaraan demi merubah suasana hati ibu hamil ini.Karissa mengangkat wajahnya lalu tersenyum tipis. âBenarkah?âVincent mengangguk samar. âMulai sekarang daddy akan selalu