Charlene menghentikan langkah dan membekap mulutnya sendiri agar tidak sampai mengeluarkan suara tangisan. "Sial! Kau selalu berhasil membangunkan milikku."Wanita yang bersama Axel lantas terkikik. "Apa kekasih bodohmu itu tidak bisa memuaskanmu?""Aghhh ...." Giliran Axel yang mendesah. "Dia tidak pernah bisa membuatku bergairah. Hanya kau yang bisa membuatku turn on, Sweetie."Sweetie. Itu adalah panggilan kesayangan Axel untuknya. Selama ini Charlene mengira jika panggilan itu sangat spesial. Namun, ternyata itu tidak berarti sama sekali bagi Axel.Charlene kemudian mendengar wanita itu mendesah lagi, disusul dengan suara cecapan yang menggema di dalam kamar itu. Ia tidak sanggup berada di sana lebih lama lagi. Charlene ingin berbalik, tetapi ia berpikir bahwa lari bukanlah jalan keluar terbaik.Lebih baik ia menyelesaikan ini sekarang. Ia menegakkan tubuhnya kemudian mengatur napasnya agar bisa tetap tenang. Lalu, ia pun menyusuri lorong sepanjang ruang kamar mandi yang ada di b
Lee tidak mengejar Charlene. Ia berbalik dengan tatapan membunuh dan langsung melayangkan tinjunya ke wajah tampan Axel. Bukkkk! "Akkkkkkkh!" teriak wanita selingkuhan Axel sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan.Axel mengarahkan wajahnya yang terempas ke samping kembali ke Lee. Ia lalu mengusap sudut bibirnya yang terasa perih. Ada darah di sana.Wajar saja, karena pukulan Lee sangat keras. "Pukulan itu hanya peringatan awal. Jika kau berani menyakiti Charlene lagi, aku akan melakukan lebih dari ini.""Heuh, jangan bertingkah seakan kau paling peduli dengan Charlene. Bukankah ini yang kau inginkan?"Lee hanya melayangkan tatapan tajam sebagai balasan. Ia tidak punya waktu untuk berdebat lebih panjang dengan Axel karena harus segera mengejar Charlene sebelum kehilangan jejak gadis itu. Lee kemudian meninggalkan Axel bersama dengan wanita selingkuhan pria itu. Si wanita mendekati Axel dan memindai wajah pria itu dengan serius. Selain luka berdarah pada sudut bibir pria itu, p
"Hei! Hei! Hentikan." Beberapa kali Lee gagal menangkap tangan Charlene untuk menghentikan pukulan gadis itu, sebelum akhirnya ia berhasil meraih kedua pergelangan tangan Charlene. Keduanya terdiam beberapa saat dengan napas yang memburu. Lee menemukan tatapan penuh amarah dalam sorot mata Charlene. Sementara Charlene sendiri merasa sedikit lega karena telah menemukan tempat untuk melampiaskan amarahnya."Kenapa kau tiba-tiba memukulku seperti itu?" Lee mencoba mencari tahu. Charlene memang sering melawannya, tetapi Lee tahu kalau gadis itu tidak akan melakukan sesuatu tanpa alasan. "Kenapa? Justru aku yang seharusnya bertanya pada Anda, kenapa Anda tega mengatakan pada Axel bahwa kita telah tidur bersama?" Charlene menjeda untuk mengatur napas."Seingatku, aku sudah katakan pada Anda bahwa aku sendiri yang akan memberitahu dia. Aku mempercayai Anda, tetapi Anda mengkhianatiku!" Charlene berkedip dengan cepat untuk mencegah air matanya agar tidak terjatuh.Ia memandang ke arah lain
Baru pertama kali Charlene mendengar lamaran semacam itu. Sama sekali tidak ada sisi romantisnya. Bahkan sangat aneh."Ba-bagaimana mungkin kita menikah?" tanya Charlene. "Kenapa tidak mungkin? Bukankah hari itu kau menolakku karena kau akan menikah dengan Axel? Tetapi sekarang pernikahan itu jelas batal, bukan?" Iya, tetapi-.""Kau lajang. Jadi tidak ada alasan untuk menolakku lagi," potong Lee."Aku belum selesai bicara, Tuan. Aku memang lajang. Tetapi sekarang Andalah yang memiliki hubungan dengan wanita lain. Lagi pula, kenapa Anda bersikeras ingin menikah denganku?" "Sudah aku katakan kalau aku ingin membalas budi." Charlene menjepit bibirnya ke dalam dan meneliti wajah Lee dengan saksama. Sesederhana itukah pernikahan yang Lee tawarkan? "Lalu, bagaimana dengan Nona Frost?" Charlene kembali melontarkan apa yang ada di dalam pikirannya."Memangnya kenapa dengan dia?" Ughh ... Charlene tidak mengerti kenapa Lee menanggapinya dengan begitu tenang, seakan Winter bukanlah masala
"Secepatnya. Bila perlu sekarang juga." Charlene mengerutkan dahinya, menatap dengan tidak percaya kepada Lee. "Anda tidak serius, bukan?" "Kenapa? Apa aku terlihat sedang bercanda?" Lee membalasnya dengan pertanyaan. "Ngg ... maksud Anda, hanya membuat kontraknya saja, bukan? Sedangkan untuk pernikahannya sendiri, belum."Walaupun Charlene sedang sakit hati pada Axel, tetapi bukan berarti ia menjadi seputus asa itu sehingga langsung akan menikah dengan Lee. Oh, sungguh, dia tidak semenyedihkan itu sampai-sampai harus menikah malam itu juga.Selain itu, bukankah justru dirinya yang akan terlihat sebagai terdakwa dalam kasus perselingkuhan ini? Sebab, dia yang terlebih dahulu menikah. Di dunia ini, yang salah bisa jadi benar dan yang benar bisa jadi salah."Tidak, maksudku semuanya." "Memangnya kita akan menikah di mana? Kantor catatan sipil sudah tutup di jam segini," kilah Charlene terlepas dari dirinya yang masih tidak yakin kalau Lee serius dengan ide untuk menikah malam ini.
"Kenapa kau tampak kaget seperti itu? Bukankah tadi aku sudah memgatakan padamu bahwa kita akan menikah secepatnya?" "Ngg ... aku kira Anda tidak serius." Lee melangkah mendekati Charlene sembari menatap lekat gadis itu. "Aku serius, Charlene. Kita akan segera menikah. Aku rasa kali ini ucapanku sudah cukup jelas." Charlene mengangguk. "Iya, aku mengerti, Tuan Montana." "Bagus." "Kalau begitu, aku permisi dulu." Charlene berbalik lagi dan kembali menarik langkah menuju pantry. Lee menyusul dan berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Charlene. Gadis itu spontan menoleh ke arah samping, tempat di mana Lee berada."Aku belum selesai bicara. Kenapa sudah pergi?" protes Lee. " Euh? Maaf, aku pikir tadi sudah tidak ada lagi hal yang ingin Anda katakan." "Justru sebaliknya, masih banyak hal yang harus kita bahas mengenai pernikahan ini. Tetapi kita bisa membicarakannya lagi besok kalau kau merasa lelah." Lee pikir Charlene mungkin perlu waktu untuk menyendiri dan juga beristirahat
"Jadi itu alasanmu?" selidik Lee. "Iya. Lagi pula, untuk apa menghamburkan uang demi sebuah pernikahan palsu?""Aku tidak keberatan dengan hal itu."Charlene meletakkan gelas wine-nya ke atas meja kitchen island. "Jadi aku tidak boleh ikut campur dalam mengambil keputusan mengenai pernikahan KITA?" Charlene menekankan pada kata 'kita'. "Tidak." Lee menenggak habis wine yang ada di dalam gelasnya kemudian meletakkan gelas bertangkai itu ke atas meja juga. "Tentu saja ini keputusan bersama. Aku akan bicara dengan ibuku soal ini." Charlene mengangguk, meskipun ia merasa takjub karena Lee menyetujui permintaannya. Ia lantas menjulurkan tangannya untuk mengambil cangkir berisi teh chamomile yang ia seduh tadi. Mungkin sudah bisa dia minum karena teh itu pasti mulai menghangat.Namun, Lee menangkap tangannya, membuat pergerakan Charlene berhenti. Pria itu berdiri begitu dekat dengannya dan hal itu terjadi begitu saja tanpa ia sadari."Kenapa?" tanya Charlene. Lee lantas melepaskan ceka
Tidak perlu waktu lama bagi Charlene untuk mencerna ucapan Lee sekalipun ia sempat terkejut tadi. Ia kemudian mendorong Lee dan segera melompat turun dari atas kitchen island. "Anda pikir apa yang Anda lakukan sangat lucu?! Anda menghancurkan hubunganku dengan Axel!"Charlene tampak murka. Suaranya bahkan terdengar bergetar. Ia ingin melewati Lee dan kembali ke kamarnya, tetapi pria itu menghalanginya. "Biarkan aku lewat." "Tidak, sampai kita selesai bicara." "Apa lagi yang harus kita bicarakan?!" bentak Charlene yang sudah kehilangan kendali dirinya.Ia mengepalkan kedua tangannya dengan begitu kuat hingga kuku-kuku jarinya menancap pada bagian telapak tangannya. Sakit, tetapi tidak sesakit dengan apa yang hatinya rasakan saat ini. Jika saja membunuh bukanlah sebuah dosa, maka ia sudah pasti akan melakukannya sekarang juga."Sebenarnya kesalahan apa yang telah aku lakukan pada Anda sehingga Anda sampai tega membuatku putus dengan Axel?" Suara Charlene kali ini melemah. Wajahnya t
Lee membuka pintu kamarnya dan menemukan Charlene berdiri di hadapannya. Gadis itu sedang memeluk laptop dan memegang ponselnya. "Ada apa?" tanya Lee. "Nggg ... tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin menanyakan apakah kau butuh sesuatu," kilah Charlene. Sejujurnya, bukan itu tujuannya menghampiri kamar Lee. Setelah pembicaraan mereka tadi pagi, malam ini ia berpikir untuk tetap tidur di kamar Lee—sesuai permintaan pria itu. Namun, begitu Lee telah berdiri di hadapannya saat ini, ia justru tidak sanggup mengatakan bahwa ia menerima tawaran pria itu dan mulai malam ini ia akan tidur seranjang dengan Lee."Tidak, aku tidak membutuhkan apa-apa," balas Lee.Charlene mengangguk. "Baiklah, kalau begitu, selamat malam." Charlene memutar tubuhnya 90 derajat, berniat kembali ke kamarnya.Namun, tangan Lee bergerak dengan cepat meraih lengan atas gadis itu. Langkah Charlene pun terhenti."Ada apa? Kau teringat jika membutuhkan sesuatu?" Giliran Charlene yang bertanya."Iya.""Kau lapar? in
"A-aku ...." Charlene tidak tahu harus menjawab apa. Ini sangat aneh untuknya.Lee terkadang sangat berbeda. Tidak, bukan berbeda. Sikap pria itu memang agak berubah dan Charlene tidak tahu apa yang menyebabkan pria itu menjadi seperti saat ini. "Kenapa kau ingin aku tidur di sini? Jangan bilang kalau kau jatuh cinta padaku." Antara ingin mencari penjelasan sekaligus mencairkan situasi yang terasa begitu canggung baginya saat ini.Mengenai Lee yang jatuh cinta padanya, jelas tidak mungkin. Charlene tidak memiliki jawabannya. Hanya saja memang mustahil jika Lee jatuh cinta padanya. "Apakah berdosa jika aku jatuh cinta padamu?"Deg!Seketika, keyakinannya tadi goyah setelah mendengar apa yang Lee katakan selanjutnya. Tidak! Tidak!Lee mungkin hanya mengerjainya saja. Pria itu pasti sedang bercanda. Setelah itu, seperti biasanya, Lee pasti akan mengeluarkan kata-kata yang mencemooh atau apa pun itu."Tidak. Kau berdosa jika hanya berniat mengejekku," ucap Charlene."Siapa bilang aku se
Charlene ingin menarik dirinya mundur. Namun, Lee mencegahnya dengan mempererat pelukannya. Ya! Posisi mereka saat ini sedang berbaring sambil berpelukan. "Lepas, Lee." Charlene mendorong dada pria itu. "Tidak, sampai kau tenang dulu." Lee tetap menahannya. Charlene masih terus menggeliat. Tidak mengacuhkan apa yang Lee katakan. "Teruslah melawan, tetapi kau harus tahu kalau aku tidak ingin melukaimu." Ucapan Lee seketika itu sukses menghentikan serangan yang Charlene lakukan. Gadis itu berusaha mengumpulkan udara setelah tadi mengeluarkan cukup banyak tenaga agar bisa terlepas dari belenggu Lee. Charlene harus mendongak untuk bisa menatap netra pria itu. "Kau janji akan melepaskanku, bukan? Kenapa belum dilepaskan juga?" tuntut Charlene. "Akan kulepaskan asalkan kau tidak menyerangku lagi," tawar Lee. Charlene memejamkan matanya untuk mengatur emosinya. Ia lantas kembali membuka matanya untuk menatap mata Lee. "Aku janji tidak akan menyerangmu. Jadi tolong lepaskan ak
"Aturannya masih tetap sama. Jangan melewati batas yang telah aku buat," ujar Charlene. Ia lantas mengempaskan bokongnya ke atas tempat tidur Lee disusul dengan menghela napas. "Aku merasa belakangan ini ibumu terlalu sering menginap di sini." "Kenapa? Kau keberatan?" lontar Lee yang tengah bersandar pada kepala tempat tidur dengan tablet di tangan. Ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang tidak Charlene ketahui. Namun, kini ia tengah mengalihkan tatapan dari tabletnya ke arah Charlene. "Tidak. Kenapa harus keberatan?" Charlene balik bertanya. "Ini rumahmu. Wajar jika ibumu datang dan menginap.""Kalau tidak keberatan, kenapa mengeluh?" tuding Lee."Aku tidak mengeluh," bantah Charlene.Ia bukan memang bukan mengeluh, tetapi hanya merasa ada sesuatu yang janggal dengan apa yang Hana lakukan."Apa yang kau pikirkan?" selidik Lee kala mendapati Charlene seperti sedang memikirkan sesuatu. "Tidak. Tidak ada." "Jangan berbohong. Kalau aku memaksamu untuk berkata jujur, nanti kau akan
Charlene menggeleng. "Kalau begitu, ayo kita makan siang bersama." Lee menawarkan tangannya. Charlene hampir tidak berani bergerak, tetapi ia mengerling ke arah rekan kerjanya. Tidak perlu waktu yang lama baginya untuk memutuskan menyambut tangan Lee. Lebih cepat, lebih baik sebelum teman-temannya itu terkena masalah.Sebab, Charlene merasa Lee sedang marah. Hal itu membuatnya yakin jika Lee cukup banyak mendengar pembicaraan mereka. Lee pun menariknya pergi setelah tangan Charlene berada di dalam genggamannya.Charlene sempat menoleh ke arah rekan-rekan kerjanya hanya untuk melempar senyuman sembari memberi isyarat 'oke' dengan jari-jarinya, agar mereka tidak cemas. Lee lantas membawa Charlene menuju ke depan gedung kantor. Di sana sudah ada Marvin yang tampak stand by di samping mobil Lee. Mereka masuk ke dalam mobil dan Marvin pun melajukan mobilnya di tengah kepadatan lalu lintas di siang hari. Setelah beberapa saat berlalu, Charlene diam-diam melirik ke arah Lee yang duduk di
"Kenapa dia terlihat lesu?" tanya Charlene kala bergabung dengan rekan sekantornya di salah satu kafe kantor."Dia sedang patah hati karena akhirnya kau menikah dengan bos," terang Beatrice."Padahal dari awal aku sudah katakan padanya kalau dia bukanlah saingan bos," timpal Victor.Wajah Charlene menunjukkan tanda tidak nyaman dan serba salah."Kalian ini, jangan sembarangan bicara. Ronald hanya mengganggapku sebagai teman."Sementara itu, Ronald yang sedari tadi menjadi topik pembicaraan mereka, sama sekali tidak memberikan komentar. Charlene pun menarik kursi yang ada di hadapan pria itu. "Kau tahu, kami cukup kesal karena kau tidak berkata jujur pada kami saat pertama kali bekerja di sini," tukas Rebecca yang duduk di sebelah Ronald. "Kenapa kau tidak terus terang mengatakan bahwa kau memang punya hubungan dengan bos?"Charlene menjadi semakin tidak enak. Teman-temannya menjadi salah paham dan ia sendiri tidak tahu harus bagaimana menjelaskan pada mereka bahwa dirinya memang tida
Charlene menatap Lee dengan mata menipis. Ia memang telah dibohongi Lee. Ugh! Harus terlihat romantis di depan Hana? Justru mertuanya itu jadi merasa mengganggu mereka. Charlene lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke Hana. Ekspresinya yang gusar kini telah berganti dengan senyuman. "Tidak, sama sekali tidak mengganggu." Hana tersenyum balik. "Apa kau sudah selesai mengupas kentangnya? Aku sudah menyajikan steak-nya ke atas meja makan," jelas Hana. Senyum Charlene mendadak lenyap. Ia melirik tajam ke arah Lee yang berdiri di belakangnya. Lee menatap balik ke arahnya tanpa rasa bersalah. Satu lagi kebohongan pria itu. Well, dia akan membuat perhitungan dengan suaminya nanti. "Belum. Sebentar lagi. Aku akan meminta Lee untuk membantuku," ujar Charlene. "Baiklah, kalau begitu aku akan memanggil Pieter dulu." Hana kemudian meninggalkan Charlene dan Lee di dapur. "Kau menipuku." Itu bukan pertanyaan dan Charlene bahkan belum menoleh ke arah Lee karena tatapannya masih tertuju ke amb
Charlene sedang menyiapkan makan malam di dapur bersama dengan Hana. Baru dua hari lalu, Charlene menikah dengan Lee, tetapi Hana sudah datanf untuk menginap. Bukannya Charlene merasa tidak nyaman dengan kehadiran Hana ataupun merasa keberatan. Ia justru sangat senang karena bisa mengobrol banyak hal dengan wanita paruh baya itu. Hanya saja, Charlene merasa sedikit aneh. Apakah Hana memang sengaja menginap di sana untuk memata-matai Charlene dan Lee? "Makan apa kita malam ini?" tanya Lee. Kemunculan Lee yang mendadak, sebenarnya tidak akan membuat Charlene terkejut seandainya pria itu tidak tiba-tiba memeluk tubuh Charlene dari belakang dan kemudian mengecup pelipis Charlene. Sontak saja sekujur tubuh Charlene terasa meremang. Ia melirik Lee dengan keberadaan wajah pria itu yang begitu dekat dengan wajahnya. Lee tersenyum menggoda. Menilai dari ekspresi pria itu, sepertinya Lee memang sengaja mengambil kesempatan itu agar dapat memeluk dan mencium Charlene. Charlene ingin marah, t
Charlene tidak tahu sejak kapan Lee menanggalkan penutup dada yang ia kenakan karena terlalu sibuk memikirkan hal lain tadi. Namun, setelah menyadari apa yang tengah Lee lakukan padanya saat ini, membuat darah Charlene seakan bergejolak di dalam sana. Tubuhnya terasa panas dan tanpa ia inginkan, bagian bawah tubuhnya terasa sangat hangat.Lee mengisap bongkahan kenyal itu sambil memainkan puncak berwarna pink merona yang berada di dalam mulutnya, dengan menggunakan lingualnya. Sesekali Lee mengisapnya dengan sangat kuat, membuat tubuh Charlene menegang karena rasa nikmat. Kali lainnya, pria itu memindahkan bibirnya pada bagian bongkahan hanya untuk meninggalkan tanda kepemilikan di sana.Satu tangan Lee memilin puncak yang lainnya, mempermainkannya. Charlene merasa sangat basah. Hanya desahan dan lenguhan yang keluar dari bibirnya tanpa adanya penolakan."Lee ...," lirih Charlene. Tidak ada pria mana pun yang pernah menyentuhnya seintim ini, termasuk Axel. Namun, bukan berarti ia pol