"Kenapa kau tampak kaget seperti itu? Bukankah tadi aku sudah memgatakan padamu bahwa kita akan menikah secepatnya?" "Ngg ... aku kira Anda tidak serius." Lee melangkah mendekati Charlene sembari menatap lekat gadis itu. "Aku serius, Charlene. Kita akan segera menikah. Aku rasa kali ini ucapanku sudah cukup jelas." Charlene mengangguk. "Iya, aku mengerti, Tuan Montana." "Bagus." "Kalau begitu, aku permisi dulu." Charlene berbalik lagi dan kembali menarik langkah menuju pantry. Lee menyusul dan berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Charlene. Gadis itu spontan menoleh ke arah samping, tempat di mana Lee berada."Aku belum selesai bicara. Kenapa sudah pergi?" protes Lee. " Euh? Maaf, aku pikir tadi sudah tidak ada lagi hal yang ingin Anda katakan." "Justru sebaliknya, masih banyak hal yang harus kita bahas mengenai pernikahan ini. Tetapi kita bisa membicarakannya lagi besok kalau kau merasa lelah." Lee pikir Charlene mungkin perlu waktu untuk menyendiri dan juga beristirahat
"Jadi itu alasanmu?" selidik Lee. "Iya. Lagi pula, untuk apa menghamburkan uang demi sebuah pernikahan palsu?""Aku tidak keberatan dengan hal itu."Charlene meletakkan gelas wine-nya ke atas meja kitchen island. "Jadi aku tidak boleh ikut campur dalam mengambil keputusan mengenai pernikahan KITA?" Charlene menekankan pada kata 'kita'. "Tidak." Lee menenggak habis wine yang ada di dalam gelasnya kemudian meletakkan gelas bertangkai itu ke atas meja juga. "Tentu saja ini keputusan bersama. Aku akan bicara dengan ibuku soal ini." Charlene mengangguk, meskipun ia merasa takjub karena Lee menyetujui permintaannya. Ia lantas menjulurkan tangannya untuk mengambil cangkir berisi teh chamomile yang ia seduh tadi. Mungkin sudah bisa dia minum karena teh itu pasti mulai menghangat.Namun, Lee menangkap tangannya, membuat pergerakan Charlene berhenti. Pria itu berdiri begitu dekat dengannya dan hal itu terjadi begitu saja tanpa ia sadari."Kenapa?" tanya Charlene. Lee lantas melepaskan ceka
Tidak perlu waktu lama bagi Charlene untuk mencerna ucapan Lee sekalipun ia sempat terkejut tadi. Ia kemudian mendorong Lee dan segera melompat turun dari atas kitchen island. "Anda pikir apa yang Anda lakukan sangat lucu?! Anda menghancurkan hubunganku dengan Axel!"Charlene tampak murka. Suaranya bahkan terdengar bergetar. Ia ingin melewati Lee dan kembali ke kamarnya, tetapi pria itu menghalanginya. "Biarkan aku lewat." "Tidak, sampai kita selesai bicara." "Apa lagi yang harus kita bicarakan?!" bentak Charlene yang sudah kehilangan kendali dirinya.Ia mengepalkan kedua tangannya dengan begitu kuat hingga kuku-kuku jarinya menancap pada bagian telapak tangannya. Sakit, tetapi tidak sesakit dengan apa yang hatinya rasakan saat ini. Jika saja membunuh bukanlah sebuah dosa, maka ia sudah pasti akan melakukannya sekarang juga."Sebenarnya kesalahan apa yang telah aku lakukan pada Anda sehingga Anda sampai tega membuatku putus dengan Axel?" Suara Charlene kali ini melemah. Wajahnya t
Charlene berdiri di depan pintu kamar Lee dengan perasaan cemas. Entah bagaimana ia harus menghadapi Lee pagi ini setelah tadi malam menginjak kaki pria itu dengan sengaja. Semalam, Charlene sempat berpikir kalau Lee akan mendatangi kamarnya dan memaksanya untuk membuka pintu.Namun, nyatanya Lee tidak melakukan hal itu. Akan tetapi pada pagi ini, ia sudah pasti tidak bisa menghindari Lee lagi. Jadi akhirnya ia menekan tombol bel di pintu kamar Lee. "Masuk." Terdengar suara Lee dari layar di samping pintu. Charlene menekan handle pintu dan dengan perlahan melangkah masuk ke dalam kamar. Ia melewati lorong hingga akhirnya menemukan Lee yang berdiri dengan posisi membelakanginya, sedang mengenakan kemeja.Seakan menyadari kehadiran Charlene, pria itupun berbalik. Charlene bergegas melintasi ruangan untuk membunuh jarak yang ada di antara mereka. Sesekali ia melirik Lee yang tidak sekalipun melepaskan pandangan darinya.Pria itu belum mengancingkan kancing kemejanya sama sekali. Begit
"T-test drive? Te-tetapi aku tidak berencana untuk membeli mobil. Lagi pula, dapat uang dari mana untuk membeli mobil." Lee menaikkan sebelah alisnya. "Jangan berpura-pura tidak mengerti maksudku, Sweetheart. Kau tahu kita sedang membahas apa." Charlene meneguk salivanya. Ia tidak sadar jika dirinya mundur selangkah. Ia membisu beberapa saat. Sedang menimbang antara ingin tetap berpura-pura bodoh tidak tahu apa maksud ucapan Lee atau mengakui tuduhan pria itu. "Ngg ... te-tetapi kita hanya menikah kontrak, bukan menikah karena cinta.""Apa itu menjadi masalah?"Charlene mundur selangkah lagi. Kali ini ia membuat Lee maju selangkah."Bukankah yang terpenting adalah kedua belah pihak suka sama suka? Tanpa pemaksaan," ucap Lee."A-apa itu artinya Anda—kita—akan—."Charlene melemparkan pandangannya ke arah ranjang Lee sembari mundur dua langkah dan Lee membalasnya dengan maju dua langkah. Charlene melempar tatapan horor ke arah pria itu. "Kenapa tidak? Kau tertarik padaku dan aku
"Yang Axel berikan padamu," jelas Lee. Charlene yang masih merasa linglung, butuh waktu beberapa saat untuk mencerna ucapan Lee. "O, iya!" jawab Charlene dengan semangat. "Cincin itu ada di kamarku. Aku akan mengambilnya sekarang!" Ini adalah kesempatan yang bagus bagi dirinya untuk melarikan diri dari kamar Lee. Demi Tuhan ... ia butuh pasokan udara yang lebih banyak karena berbagi oksigen bersama Lee di kamar pria itu, telah membuatnya sesak napas. Charlene buru-buru berlari keluar dari kamar Lee diiringi oleh tatapan Lee yang tampak sedang memikirkan sesuatu. Begitu tiba di kamarnya, Charlene melangkah ke arah meja di depan sofa, tempat di mana ia meletakkan sebuah kotak berukuran sekitar 40x40 sentimeter. Ia sudah menaruh semua barang-barang pembelian Axel ke dalam kotak tersebut tadi malam, termasuk dengan cincin yang pria itu berikan. Charlene lantas mengangkat kotak tersebut dan membawanya keluar kamar.Saat tiba di luar kamar, ia meletakkan kotak tersebut ke atas lantai ag
Charlene masih sibuk memikirkan ucapan Lee ketika mereka tiba di kantor. Ia bahkan tidak mendengar Rebecca yang menyapa Lee karena separuh nyawanya entah berada di mana."Selamat pagi, Tuan Montana." Lee mengangguk singkat. "Nona Frost sudah menunggu Anda di dalam," lanjut Rebecca."Terima kasih, Nona Roberts"Pria itu berlalu dari hadapan Rebecca dengan diekori oleh Charlene yang pikirannya entah melayang ke mana. Rebecca yang melihat Charlene, hanya menatap rekan kantornya itu dengan pandangan bingung. Namun, ia juga tidak berniat mengganggu Charlene.Sementara itu, Lee telah memasuki ruang kerjanya. Hal pertama yang pria itu lihat adalah sosok seorang wanita cantik. Tampak Winter langsung berdiri dari sofa yang didudukinya lengkap dengan senyum yang terulas di wajah wanita itu.Pada saat ini, Charlene masih belum menyadari kehadiran Winter. "Selamat pagi, Lee," sapa Winter dengan suaranya yang terdengar lembut. Lee melintasi ruangan sembari berkata," Selamat pagi, Winter." Pa
Charlene melirik ke arah Lee, kemudian kembali menatap Winter. "Kenapa kau terlihat kaget seperti itu?" tanya Winter. "Apa kau juga tidak percaya dengan apa yang aku katakan barusan?" Charlene menggeleng."Tidak, bukan seperti itu. Hanya saja, kenapa aku harus tahu mengenai hal ini? Memangnya apa hubungannya denganku?" Winter kembali menyunggingkan senyum."Jelas ada hubungannya denganmu. Lee bilang kalau kalian akan menikah, tetapi kau tidak percaya padanya bahwa kami tidak berkencan," jelas Winter, to the point. Charlene kembali melirik Lee. Andaikan tidak ada Winter di sana, ia pasti akan kembali bertengkar dengan bosnya karena telah melibatkan Winter ke dalam masalah mereka."Bukan begitu. Aku bukan tidak percaya," kilah Charlene.Winter mengamati wajah Charlene. Ia merasa melihat keraguan di sana. Selain itu, ada satu hal lain yang juga ia lihat dan berhasil menarik perhatiannya. "Apa kau membuatnya menangis karena masalah ini?" selidik Winter yang ditujukan pada Lee. Charl